Latar belakang tulisan ini berawal dari fenomena pemahaman masyarakat yang
memahami bahwa antara hukum Islam dengan Pancasila tidak mempunyai hubungan, karena
hukum Islam berbasis pada keyakinan wahyu Allah, sementara Pancasila berbasis pada
kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia. Selain itu, hukum Islam yang berdasarkan pada
tradisi fiqh tidak mempunyai kepastian hukum sehingga hukum Islam tidak masuk pada ranah
hukum nasional. Menurut sejarah perkembangan pemikiran hukum di Indonesia, hukum
Islam sering tidakditampilkan menjadi sebuah hukum yang berwujud nyata, rasional dan
ilmiah, karena hanya didasarkan pada kebenaran imanen atau keyakinan saja.
Bagi mereka, Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu jenis
kemusyrikan dan bahkan layak disebut thagut. Jelas pemikiran seperti ini merupakan hasil
pembacaan yang nominalis, pembacaan yang fokus kepada nama, bukan semangat yang
dikandung nama tersebut.
Hal ini sangat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum yang salah satunya
dikonsepsikan sebagai aturan yang berasal dari gejala yang tumbuh di masyarakat, yang
berupa nilai dan norma yang menjadi pedoman bagi masyarakat. selain itu, juga bermanfaat
pada harmonisasi antara hukum Islam dan Pancasila.
ISI
Relasi Pancasila Dengan Hukum Syari’ah
1
RELASI PANCASILA DENGAN HUKUM SYARI’AH
Masalah bernegara kita harus berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945, namun
bukan berarti lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Seperti yang pernah dijelaskan oleh KH.
Sholeh Bahruddin bahwa “Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Pancasila ini
rujukannya ada 5, antara lain: al-Qur’an; al-Hadits; Piagam Madinah; Perjanjian Najran; dan
Perjanjian Aelia di zaman pemerintahan Sayyidina Umar bin Khatthab ra.[1] Sehingga dapat
dibuktikan keserasian sila-sila yang terkandung dalam Pancasila dengan ayat-ayat yang ada
dalam al-Qur’an, antara lain:
Sila pertama ini berisi tentang ajaran ketauhidan, sebagaimana yang tercermin dalam
ayat al-Qur’an sebagai berikut:
َ ُم ْستَ ْكبِرُون َوهُ ْم ٌ ُم ْن ِك َرة قُلُوبُهُ ْم بِاآل ِخ َر ِة َيُْؤ ِمنُون ال َفَالَّ ِذين َوا ِح ۚ ٌد ٌِإلَه ِإلَهُ ُك ْم
“Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada hari
akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-
orang yang sombong.”
وَِإ ٰلَهُ ُك ْم ٌِإ ٰلَه َوا ِح ٌد اَل َِإ ٰلَه ِإاَّل هُ َو ُالرَّحْ ٰ َمن َّحي ُم
ِ الر
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Tafsiran ayat ini menurut Quraish Shihab bahwa sesungguhnya Allah yang kalian
murnikan peribadatan kepada-Nya itu, Mahaesa. Tiada tuhan selain Dia. Tiada kekuasaan
selain kekuasaan-Nya. Dia Maha Pengasih dan Penyayang pada hamba-Nya yang telah
diciptakan dan dijadikan-Nya.[2]
Sila ini dulu menjadi perdebatan yang hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu
sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau
sering juga disebut sebagai Piagam Jakarta. Namun karena ada ketidaksetujuan di sana-sini,
sila ini kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa’.
Melalui wacana tersebut membuktikan bahwa tokoh-tokoh kebangsaan pada saat itu
telah mengambil sikap tawassuth. Dengan merubah rumusan sebelumnya menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” ini dapat menghindarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
perpecahan yang timbul dari antar kelompok agama. Indonesia tetap menjadi negara yang
berketuhanan, namun bukan sebagai negara agama juga bukan sebagai negara sekuler.
Jika dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi ‘ketuhanan
dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih bernilai tauhid
atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama. Sedangkan yang kedua,
penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak menekankan makna tauhid yang
sebenarnya.
Melihat paparan di atas pengamalan sila pertama sejalan bahkan menjadi kokoh
dengan pengamalan tauhid dalam ajaran Islam. Inilah, yang menjadi pertimbangan Ki Bagus
Hadikusumo, ketika ada usulan yang kuat untuk menghapus 7 kata “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, mengusulkan kata pengganti dengan “Yang
Maha Esa”. Dalam pandangan beliau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid bagi umat
Islam. (Endang Saifuddin, 1981: 41-44)
Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan yang senantiasa menjunjung tinggi
sikap adil dan beradab, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. An-Nahl ayat 90.
o ْمo ُكoُِع ظo oَ يoۚ ي oَ oحoْ oَ فo ْلoِن اo o َعoىoٰ oَ هo ْنoَ يoوoَ oىoٰ oَ بoرoْ oooُ قo ْلo اo يoِ ذo ِءo اooَoتo ِإ يo َوo ِنo اo َسoحoْ ِإْلo اoوoَ o ِلo ْدo َعo ْلoِ اo بo ُرo ْأ ُمoَ يoَ هَّللاoِإ َّن
ِo o ْغoَ بo ْلo اo َوoِ رooo َكo ْنo ُمo ْلo اo َوo ِءo اooش
o َنo وoرoُ o َّكo َذoَ تo ْمo ُكoَّ لo َعoَل
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Tafsiran ayat ini menurut Quraish Shihab, yaitu Allah memerintahkan para hamba-Nya
untuk berlaku adil dalam setiap perkataan dan perbuatan. Allah menyuruh mereka untuk selalu
berusaha menuju yang lebih baik dalam setiap usaha dan mengutamakan yang terbaik dari
lainnya. Allah memerintahkan mereka untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh para
kerabat sebagai cara untuk memperkokoh ikatan kasih sayang antar keluarga. Allah melarang
mereka berbuat dosa, lebih-lebih dosa yang amat buruk dan segala perbuatan yang tidak
dibenarkan oleh syariat dan akal sehat. Allah melarang mereka menyakiti orang lain. Dengan
perintah dan larangan itu, Allah bermaksud membimbing kalian menuju kemaslahatan dalam
setiap aspek kehidupan, agar kalian selalu ingat karunia-Nya dan menaati firman-firman-Nya.
[4]
Menurut hemat penulis, kata “kemanusiaan” dalam sila kedua ini berarti perilaku antar
sesama manusia yang menghindari suatu perbuatan yang dapat menyakiti orang lain dan
memperkokoh ikatan kasih sayang antar sesama. Sehingga semisal apabila terjadi suatu
perbuatan yang tidak dibenarkan oleh syari’at, maka dia berhak atas hukuman yang berlaku
secara adil. Sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Madinah tentang Hak Asasi Manusia
pasal 2-10.
Pasal 2. Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling
tanggung menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena
suatu pembunuhan dengan cara yang baik dan adil diantara orang2 beriman.
Pasal 3 s/d 10. Setiap Bani2 dari suku Yasrib (Madinah) tetap berpegang atas hak hak
asli mereka, dan tanggung menanggung membayar uang tebusan (diyat) diantara
mereka karena suatu pembunuhan. Dan setiap keluarga (tho’ifah) dapat membayar
tebusan dengan secara baik dan adil dikalangan orang-orang beriman.[5]
Demikian juga konsep beradab (berkeadaban) dengan menegakkan etika dan akhlak
yang mulia menjadi misi utama diutusnya Nabi Muhammad Saw dengan sabdanya,
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Jika kita menolak semangat yang terkandung dalam sila kedua dari Pancasila ini,
berarti dengan sendirinya kita menolak menjalin hubungan baik dengan manusia secara
beradab dan berakhlak. Konsekwensi logisnya, kalau kita menolak berhubungan baik dengan
manusia, sebutan yang pas untuk kita ialah manusia tak bermoral, barbar dan biadab. Na’udzu
billah!
3. PERSATUAN INDONESIA
Sila yang ketiga ini mencerminkan rasa persatuan di tengah perbedaan suku, budaya,
agama, dan sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Ali Imron ayat 103.
َص ُموا بِ َح ْب ِل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا ۚ َو ْاذ ُكرُوا نِ ْع َمتَ هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ِإ ْذ ُك ْنتُ ْم َأ ْعدَا ًء فََألَّفَ بَ ْينِ َوَا ْعت
هَّللا ٰ َأ َأ
ُ ُك يُبَيِّن َ ْ ُ َ
َ ِار فَ نقَذك ْم ِمنهَا ۗ َكذل ْ ِ قُلُوبِ ُك ْم فَ صْ بَحْ ت ْم بِنِ ْع َمتِ ِه ِإخ َوانًا َوكنت ْم َعل ٰى َشفَا ُحف َر ٍة ِمنَ الن
َّ ْ َ ُ ْ ُ ْ ُ
oلَ ُك ْم آيَاتِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَدُون
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Melalui ayat al Qur’an tersebut sudah cukup menjelaskan tentang urgensi menjaga
persatuan dan kesatuan, serta menghindari hal-hal yang menyebabkan perpecahan. Dengan
sila ketiga ini Indonesia mampu mempertahankan utuhnya NKRI di tengah aneka ragam
perbedaan di dalamnya, baik suku, agama, budaya, ras, dan sebagainya. Sila ini sangat erat
hubungannya dengan semboyan negara kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”.
Bahkan di dalam Piagam Madinah juga menjelaskan perihal persatuan, baik persatuan
seagama maupun segenap warga negara yang mencakup muslim dan non muslim, yaitu:
Pasal 16. “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara)
kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya
dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.”
Pasal 17 s/d 23. “Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu
soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan)
Muhammad Saw.”[6]
Nabi mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu jika kemudian diserang oleh
pihak musuh, yakni kaum Musyrik Quraish. Jika dengan kelompok non-muslim saja Nabi
menjalin persatuan di negara Madinah, seharusnya umat Islam juga bersatu padu dan bahu
membahu dalam kebaikan dengan kelompok selain mereka. Indonesia dengan berbagai
macam suku, agama, budaya mampu menyatukan elemen-elemen masyarakat. Dalam
perspektif Islam, Indonesia telah mengamalkan semangat al-Quran dan sunnah Nabi untuk
menjalin dan menjaga persatuan dari tataran terkecil sampai tataran terbesar.
Dengan melihat paparan diatas, jika menolak sila persatuan dan semangatnya ini,
berarti dengan sendirinya kita mendukung perpecahan dan kerusakan dan itu artinya kita
dapat pula disebut sebagai pembuat keonaran dan pemecah belah umat. Jadi banyak sekali
ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk bersatu.
ِ َو َش َد ْدنَا ُم ْل َكهُ َوآتَ ْينَاهُ ْال ِح ْك َمةَ َوفَصْ َل ْال ِخطَا
ب
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan
dalam menyelesaikan perselisihan.”
Kalau kita pelajari, salah satu dasar permusyawaratan ini sebenarnya merujuk
pada nash:
38: صاَل ةَ َوَأ ْم ُرهُ ْم ُشو َرى بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُونَ – الشورى
َّ َوالَّ ِذينَ ا ْستَ َجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوَأقَا ُموا ال
Menurut Syekh M Ali As-Shobuni, Surat ini dinamakan surat as-Syuro bertujuan
menunjukkan bahwa dalam Islam asas musyawarah sangat dijunjung tinggi, dan untuk
mengingatkan orang-orang muslim agar senantiasa membiasakan bermusyawarah dalam
kehidupan mereka (Syekh M. Ali As-Shobuni, Sofwatu Tafasir, [Maktabah Syamilah] juz 3,
hal. 171 ).
Apabila hukum Islam diformulasikan pada ajaran tentang kenegaraan dan demokrasi,
hokum Islam mengingatkan bahwa rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, dalam memerankan
fungsinya akan dimintai pertanggungjawaban kepada Allah, diharapkan mereka (rakyat)
menjalankan fungsinya dengan baik dan benar, karena semua yang dilakukan akan dimintai
pertanggung jawabannya
Melalui ayat tersebut dapat kita ambil pengertian bahwa dalam menyelesaikan suatu
perselisihan adalah dengan jalan musyawarah, bukan dengan jalan demonstrasi yang
terkadang menimbulkan kericuhan, pertikaian, bahkan mengganggu lalu lintas sehingga
merugikan banyak orang. Seperti yang disampaikan oleh KH. Sholeh Bahruddin
yaitu “menyelesaikan masalah bukan di trotoar, bukan di pasar, melainkan di meja bundar”.
[7]
ۚ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَا َء بِ ْالقِ ْس ِط ۖ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَآنُ قَوْ ٍم َعلَ ٰى َأاَّل تَ ْع ِدلُوا
َا ْع ِدلُوا هُ َو َأ ْق َربُ لِلتَّ ْق َو ٰى ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ ۚ ِإ َّن هَّللا َ َخبِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
ا َأوْ فَقِيرًا فَاهَّلل ُ َأوْ لَ ٰىooًّ َربِينَ ۚ ِإ ْن يَ ُك ْن َغنِيo ُك ْم َأ ِو ْال َوالِ َد ْي ِن َواَأْل ْقoوْ َعلَ ٰى َأ ْنفُ ِسooَهَدَا َء هَّلِل ِ َولoيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ بِ ْالقِ ْس ِط ُش
ْرضُوا فَِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِيرًا ِ بِ ِه َما ۖ فَاَل تَتَّبِعُوا ْالهَ َو ٰى َأ ْن تَ ْع ِدلُوا ۚ َوِإ ْن ت َْل ُووا َأوْ تُع
Mengelola negara dengan prinsip keadilan yang meliputi semua aspek, seperti keadilan
hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk kesejahteraan
rakyat merupakan amanat setiap agama bagi para pemeluknya. Dalam Islam di ajarkan agar
pemimpin negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan apabila menghukum mereka
hendaklah dengan hukuman yang adil. (QS. Nisa: 58)
Dalam kaidah fikih Islam dinyatakan “ “ تصرف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحةkebijakan
imam didasarkan pada kemaslahatan rakyat”. Berarti pula bahwa pemegang amanah
kepemimpinan suatu negara wajib mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Di dalam banyak ayat al-Quran terdapat kata ‘urf atau ma‘rūf. Salah satu contohnya
adalah Q.S. al-A‘rāf (7): 199:
(Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-
orang yang bodoh).
Baik di dalam ayat ini maupun di ayat-ayat lain yang menyebut kata ma‘rūf, konteks
tekstual kata tersebut adalah relasi antarmanusia. Pertnayaannya adalah: “Apa makna kedua
kata itu?” Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kedua kata itu. Dari sekian
pendapat, pandangan al-Zamakhsyarī, seorang ahli bahasa dan salah satu tokoh Mu’tazilah,
dalam kitabnya al-Kasysyāf mengatakan, “Kata ‘urf itu berarti: al-ma‘rūf wa al-jamīl min al-
af‘āl (perilaku-perilaku yang ‘dikenal’ dan baik/indah) (al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 2: 545).
Penafsiran yang senada bisa didapati juga pada penafsiran Abū Ḥayyān, seorang
mufassir sunni: al-ma‘rūf wa al-jamīl min al-af‘āl wa al-aqwāl (perbuatan dan perkataan yang
‘dikenal’ dan baik/indah) (Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, 4: 444). Di tempat lain, dia
mengatakan, “Al-ma‘rūf al-wajh allażī yaḥsunu fī al-syar‘ wa al-murū’ah” (Ma‘rūf adalah
bentuk perilaku yang baik menurut syara’ dan murū’ah [kewibawaan]) (al-Zamakhsyarī, al-
Kasysyāf, 1: 463).
Ketika Nabi Muhammad Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau melihat bahwa
komunitas Madinah itu plural, baik dari segi suku, bahasa, maupun agama. Saat itu, terdapat
dua suku besar, yakni Aus dan Kharzraj. Agama mereka pun bervariasi: Yahudi, Kristen,
Islam, dan Majusi. Karena itu, beliau membentuk kesepakatan bersama antarkomunitas, yang
dikenal dengan “Piagam Madinah” (Mīṡāq al-Madīnah; the Medinan Charter), dengan tujuan
mempersatukan umat/masyarakat yang plural tersebut.
Hal ini merupakan contoh langsung dari Rasulullah Saw bahwa kesepakatan bersama
itu bisa menjadi acuan untuk hidup bersama dalam sebuah negara atau apa pun namanya. Apa
yang dilakukan oleh beliau merupakan pengejawantahan atas konsep ‘urf atau ma‘rūf tersebut
di atas.
Melihat hal ini, bisa kita katakan pula bahwa beliau adalah seorang “republikan” yang tertarik
untuk mengayomi semua komponen yang ada di Madinah di bawah kesepakatan bersama.
Dengan kata lain, Negara Kota Madinah (masa Nabi) adalah contoh dari nation states (negara-
negara bangsa) dengan Piagam Madinah sebagai semacam undang-undang dasarnya.
Piagam Madinah inilah yang menjadi inspirasi bagi kiai-kiai, seperti KH Hasyim
Asy’ari, yang bersama founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
membentuk dasar negara kita, Pancasila, yang merupakan kesepakatan bersama dan bisa
mempersatukan bangsa yang sangat plural, baik dari segi suku, bangsa, bahasa, maupun ras.
Berdasarkan hal itu, memproklamasikan NKRI dan menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi bangsa itu berarti ittibā‘ li sunnati Rasulillāh Saw (mengikuti sunnah
Rasulullah Saw), yakni meniru Piagam Madinah.
Meski secara nama, Pancasila dan UUD 45 tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah,
namun seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar yang ma
nataqa an-nash ‘apa yang ada dalam al-Quran dan Sunnah’ tapi lebih dari itu, yakni, yang ma
wafaqa as-syar’a ‘yang sesuai dengan semangat syariat’. Pandangan ini cukup untuk
membantah keyakinan bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran. Selagi
hukum tersebut bersesuaian dengan syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
mengharamkan yang halal, maka jelas Pancasila dan UUD 45 sangatlah islami.
Bagi kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam,
al-Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika membandingkan
semangat nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal
Islam lewat kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa
kedua dasar negara ini sesuai dengan maqasid syariah.
Selanjutnya, secara substantif, lima sila dari Pancasila tak satu pun yang bertentangan
ajaran Islam. Sila pertama seiring dengan konsep tauhid. Sila kedua sesuai dengan ajaran
Islam tentang kemanusiaan dan keadilan. Sila ketiga merupakan bagian dari perintah Islam
untuk melaksankan persatuan antarsesama manusia. Sila keempat sesuai dengan
konsep syūrā. Sila kelima merupakan bagian dari konsep keadilan yang diajarkan oleh Islam.
Singkatnya, siapa pun orangnya dan apapun pahamnya yang tegas-tegas menolak
keesaan Allah, menentang kemanusiaan, memecah belah persatuan, mengadopsi
otoritarianisme dan menghancurkan sendi-sendi keadilan itulah thagut sebenarnya. Jika
jaringan teroris yang mengatasnamakan Islam melawan ini semua, bukankah dengan
sendirinya mereka itu salah satu thagut yang harus kita perangi? Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Dawuh KH. Sholeh Bahruddin pengajian tafsir tanggal 21 Januari 2015 di Masjid
Darut Taqwa.
[2] TafsirQ, Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 163, http://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-
163#tafsir-quraish-shihab, diakses tanggal 09 Maret 2017, jam 21.37 WIB.
[3] As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa,(Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), hal. 165-166.
[4] TafsirQ, Tafsir Surat an-Nahl ayat 90, http://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-90#tafsir-
quraish-shihab, diakses tanggal 09 Maret 2017, jam 23.05 WIB.
[5] Santri Mu’allimin Mu’allimat Pondok Pesantren Ngalah, Buku Pedoman Santri
Darut Taqwa (Dalam Berbangsa dan Bernegara), (Pasuruan: Yudharta
Advertising_Design), hal. 85-89.
[6] Santri Mu’allimin Mu’allimat Pondok Pesantren Ngalah, op.cit., hal 89-95.
[7] Dawuh KH. Sholeh Bahruddin pengajian tafsir tanggal 11 Februari 2017 di Masjid
Darut Taqwa.
https://iftitachulmukarromah.blogspot.com/2017/03/makalah-pancasila-dalam-al-quran-
dan.html
https://bincangsyariah.com/kolom/lima-bukti-pancasila-sesuai-syariat-islam/
https://tabligh.id/hubungan-pancasila-dengan-nilai-ajaran-islam/
https://www.duniasantri.co/relasi-islam-dan-pancasila/?singlepage=1