Anda di halaman 1dari 10

Anton Saputra

224314017
UAS Metode Sejarah

PENDAHULUAN
Perkembangan Kristenisasi di Indonesia pada awalnya dilandasi oleh dinamika sejarah dan
budaya yang melibatkan interaksi antara masyarakat lokal dengan bangsa-bangsa asing. Pada
awal perkembangan kristenisasi di Indonesia, terdapat perbedaan pandangan antara
masyarakat Jawa dan zending Belanda terkait ajaran Kekristenan. 1 Proses ini tidak hanya
merupakan pengenalan agama baru, tetapi juga menyentuh aspek-aspek kehidupan sehari-hari
dan struktur sosial masyarakat Indonesia. Pada abad ke-16, para pedagang Portugis dan
Spanyol memperkenalkan agama Kristen ke kepulauan Nusantara. Namun, upaya kristenisasi
sebenarnya mulai berlangsung secara signifikan pada abad ke-19, ketika misionaris Kristen
dari Belanda memasuki wilayah Indonesia. Kedatangan misi Kristen di Indonesia dimulai
pada abad ke-19, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran Kristen di tengah
masyarakat yang penuh keberagaman agama dan budaya. Misi Kristen ini membawa bersama
mereka pesan agama, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Proses kristenisasi tidak selalu berjalan mulus dan tanpa hambatan. Masyarakat lokal
memiliki sistem kepercayaan dan tradisi (agama asli) yang telah tertanam kuat dalam
kehidupan mereka, sehingga penerimaan terhadap agama baru tidak selalu mudah. Agama
asli Indonesia dibedakan agama asli dan agama pendatang. 2 Sebaliknya, zending Belanda
memiliki pandangan yang lebih kategoris. Mereka cenderung menganggap ajaran Kristen
sebagai satu-satunya kebenaran, dan melihat tradisi lokal sebagai kesesatan. 3 Beberapa
wilayah menerima Kristen dengan terbuka, sementara di lain tempat, resistensi muncul
karena perbedaan keyakinan dan interpretasi agama. Dalam menjalankan misi kristenisasi,
terjadi perbedaan pendekatan antara masyarakat Jawa dan zending Belanda. Masyarakat Jawa
cenderung memiliki pendekatan inklusif terhadap agama baru, memadukan unsur-unsur
agama tradisional dengan ajaran Kristen. Mereka melihat kesamaan dan mengintegrasikan
unsur-unsur baru ke dalam kehidupan dan ritus tradisional mereka.
Di lain sisi, zending Belanda cenderung menerapkan pendekatan kategoris yang lebih keras,
berusaha menghapus atau menggantikan kepercayaan dan praktik keagamaan tradisional.
Setiap lembaga zending mengutus zendelingnya ke tanah Jawa, sekalipun sebelumnya telah
ada utusan yang terlebih dahulu memulai penginjilan di Jawa. 4 Mereka adalah dari lembaga
misi Barat seperti Jerman. Mereka sering kali melihat elemen-elemen agama tradisional
sebagai bentuk kegelapan yang perlu diberantas, dan mendorong konversi total ke dalam
ajaran Kristen. Pendekatan inklusif masyarakat Jawa tercermin dalam fenomena
keberagaman agama dan keyakinan di kalangan masyarakat Jawa yang memeluk Kristen.
Mereka sering mempertahankan ritual dan tradisi lokal, sambil mengidentifikasi diri sebagai

1
Guillot. C, KIAI SADRACH: Riwayat Kristenisasi di Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hlm
189.
2
Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981, hlm 7.
3
Sumanto, Kyai Sadrach Seorang Pencari Kebenaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974,
hlm 14.
4
Th. Van den End, Ragi Carita 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hlm 244
Kristen. Hal ini menciptakan sintesis unik antara kepercayaan lokal dan agama baru,
memperkaya dan merajut keragaman budaya Indonesia.
Sebaliknya, pendekatan kategoris zending Belanda dapat menghasilkan konflik dan
ketegangan antara agama baru dan tradisi lokal. Penerimaan masyarakat terhadap agama
Kristen seringkali terkait dengan pemutusan hubungan dengan praktik keagamaan tradisional
mereka. Ini menciptakan polarisasi di beberapa komunitas dan mendorong ketidaksetujuan
terhadap upaya zending Belanda. Dengan demikian, sejarah awal perkembangan kristenisasi
di Indonesia mencerminkan kompleksitas interaksi antara agama dan budaya. Kontrast antara
pendekatan inklusif masyarakat Jawa dan kategoris zending Belanda menggambarkan
dinamika yang beragam dan penuh tantangan dalam menghadapi perubahan agama di
Indonesia pada masa tersebut. Seiring berjalannya waktu, proses ini terus membentuk
keragaman agama dan budaya yang menjadi ciri khas Indonesia modern.
Pada awal abad ke-20, Indonesia menjadi saksi dari gerakan perlawanan terhadap zending
Belanda yang dipimpin oleh seorang tokoh karismatik bernama Sadrach. Sadrach menjadi
tokoh sentral dalam perkembangan Gereja Kerasulan Baru, sebuah gerakan keagamaan yang
mencerminkan adaptasi lokal terhadap ajaran Kristen di Jawa. Sadrach, seorang pendeta
Jawa, muncul sebagai figur yang memimpin perlawanan terhadap upaya zending Belanda
untuk mengubah identitas agama dan budaya masyarakat Jawa. Lahir pada akhir abad ke-19,
Sadrach tumbuh dalam atmosfer kolonial yang dipenuhi dengan upaya zending Kristen yang
agresif. Pendidikannya yang mendalam di bidang agama membuatnya peka terhadap
ketidaksetujuan masyarakat terhadap campur tangan zending Belanda. Sadrach menolak
pendekatan kategoris dan asimilasi yang diterapkan oleh zending Belanda. Konflik antara
Sadrach dan para zending ini menyebabkan terputusnya hubungan mereka dalam upaya
kristenisasi di Jawa. Sadrach, sebagai respons terhadap penolakan ini, memutuskan untuk
mendirikan Gereja Kerasulan Baru. Gereja ini bertujuan untuk memberikan legitimasi pada
ajaran Kristen versi lokal yang dibawanya ke Jawa.5 Ia melihat perlunya mempertahankan
nilai-nilai dan identitas lokal dalam konteks penerimaan agama Kristen.
Perlawanannya terhadap zending Belanda tidak hanya mencakup aspek agama, tetapi juga
bersifat sosial dan kultural. Sadrach menjadi suara bagi mereka yang menentang pemaksaan
norma-norma Barat dalam praktik keagamaan dan kehidupan sehari-hari. Latar belakang
pribadi Sadrach membawa dimensi pribadi yang unik dalam sejarah penyebaran agama
Kristen di Jawa pada abad ke-19. Sadrach, lahir pada tahun 1800-an di Eropa, menjadi sosok
kunci yang berkontribusi pada pembentukan pandangan agama dan budaya di Pulau Jawa,
Indonesia. Sadrach tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai Kristen dan
pelayanan sosial. Keluarganya terkenal sebagai pelopor misi Kristen, dan dari usia muda,
Sadrach telah terpapar pada semangat melayani dan membagikan ajaran agama Kristiani.
Ketertarikannya terhadap dunia luar, khususnya wilayah yang belum terjamah oleh misi
Kristen, mendorongnya untuk memilih Jawa sebagai tempat misi utamanya. Motivasi utama
Sadrach membawa ajaran Kristen ke Jawa adalah visinya untuk membawa cahaya ke dalam
kehidupan masyarakat Jawa yang penuh keberagaman budaya dan kepercayaan. Ia melihat
potensi besar dalam memperkenalkan ajaran kasih dan nilai-nilai Kristiani untuk merangkul
dan menyatukan masyarakat yang hidup dalam tradisi dan keyakinan yang beragam. Sadrach
5
Samudra Eka Cipta, “Membangun Komunitas Kristen Kang Mardika: Kyai Sadrach dalam
Sejarah Kekristenan di Jawa (1869-1923)”, SUNDERMANN Jurnal Ilmiah Teologi,
Pendidikan, Sains, Humaniora dan Kebudayaan, vol. 13 no. 2, (2020), hlm 66.
diberdayakan oleh keyakinan bahwa ajaran Kristen memiliki pesan universal yang dapat
merangkul segala lapisan masyarakat. Pengalaman dan pendidikannya memperkuat
keyakinannya bahwa dialog antarbudaya adalah kunci untuk mencapai pemahaman dan
penerimaan masyarakat Jawa terhadap agama baru yang dibawanya.
Selain itu, Sadrach juga terinspirasi oleh semangat untuk membawa perubahan positif dalam
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Jawa. Melalui pelayanan sosial dan pendidikan
yang terintegrasi dengan ajaran agama Kristen, ia berharap dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Hal ini mencerminkan pendekatan inklusifnya, di mana agama tidak
hanya diperkenalkan sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai pendorong perubahan
positif dalam kehidupan sehari-hari. Namun, latar belakang pribadi Sadrach juga
mencerminkan tantangan dan konflik yang dihadapi oleh para misionaris pada masa itu.
Kesadaran akan ketidakpastian dan resiko yang terkait dengan misi tersebut tidak
menghentikan langkah-langkahnya. Sadrach menghadapi ketidaksetujuan dan resistensi dari
sebagian masyarakat yang masih tetap kuat dalam kepercayaan dan tradisi lokal mereka.
Keberanian dan semangat Sadrach dalam membawa ajaran Kristen ke Jawa menciptakan
warisan yang berkelanjutan. Meskipun ia mungkin tidak melihat hasil dari usahanya secara
langsung, jejaknya tetap terasa dalam transformasi agama dan budaya di Jawa.
Peninggalan Sadrach menciptakan landasan bagi pengembangan gereja dan komunitas
Kristen di Pulau Jawa yang berkembang seiring berjalannya waktu. Dalam memahami latar
belakang pribadi Sadrach dan motivasinya, kita dapat melihatnya sebagai agen perubahan
yang membawa pesan perdamaian, kasih, dan persatuan ke dalam lapisan keberagaman
budaya di Jawa. Meskipun banyak kendala yang dihadapinya, keberanian dan semangatnya
menjadi sumber inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya untuk melanjutkan perjalanan
misi dan melibatkan diri dalam dialog antarbudaya yang saling memperkaya.
Gereja Kerasulan Baru menjadi perwujudan nyata dari adaptasi lokal terhadap Kekristenan di
Jawa. Dalam konteks Gereja ini, Sadrach dan pengikutnya menggabungkan unsur-unsur
agama Kristen dengan tradisi dan kepercayaan lokal. Mereka menciptakan ruang ibadah yang
mencerminkan budaya Jawa, mempertahankan bahasa Jawa dalam peribadatan, dan
memasukkan unsur-unsur tradisional dalam upacara keagamaan. Keberhasilan Gereja
Kerasulan Baru dalam menarik simpati masyarakat Jawa menunjukkan kebutuhan akan
adaptasi dan integrasi antara agama baru dan budaya lokal. Gereja ini menjadi bukti bahwa
Kekristenan dapat diakomodasi dalam konteks budaya yang berbeda, menciptakan harmoni
antara nilai-nilai agama Kristen dan tradisi setempat. Secara keseluruhan, Sadrach dan Gereja
Kerasulan Baru mencerminkan semangat perlawanan dan adaptasi yang kuat terhadap
hegemoni agama Barat. Mereka membuktikan bahwa Kekristenan tidak harus menggantikan
identitas budaya, tetapi dapat menjadi bagian dari identitas tersebut. Dalam sejarah
penyebaran agama Kristen di Jawa pada abad ke-19, pertentangan antara Sadrach, seorang
misionaris individu, dan Zending Belanda mencerminkan dinamika kompleks dan perbedaan
pendekatan dalam menghadapi budaya lokal.
Sadrach, sebagai individu dengan latar belakang pribadi dan misi yang unik, muncul sebagai
kontras dengan pendekatan zending Belanda yang bersifat kategoris dan eksklusif. Sadrach
datang dengan visi inklusif, mencoba menyatukan ajaran Kristen dengan budaya Jawa tanpa
menggusur keberagaman budaya lokal. Sebaliknya, zending Belanda sering kali menerapkan
pendekatan yang lebih keras, mencoba menggantikan unsur-unsur budaya lokal dengan
unsur-unsur Barat yang dianggap sesuai dengan ajaran Kristen. Pertentangan terbesar muncul
dari perbedaan mendasar dalam pendekatan terhadap budaya lokal. Sadrach menganut
pendekatan inklusif, melihat keunikan budaya Jawa sebagai kekayaan yang dapat
diintegrasikan dengan ajaran Kristen. Dia memahami bahwa untuk mencapai pemahaman dan
penerimaan masyarakat setempat terhadap ajaran Kristen, perlu ada dialog dan integrasi
dengan budaya lokal.
Zending Belanda, sebaliknya, cenderung memiliki pandangan kategoris terhadap budaya
lokal. Mereka melihat unsur-unsur budaya tradisional sebagai bentuk kegelapan yang perlu
dihapuskan dan digantikan dengan norma-norma Barat. Pendekatan ini sering kali
menciptakan konflik dengan masyarakat Jawa yang merasa terancam keberagaman budaya
dan keyakinan tradisional mereka. Masyarakat Jawa menunjukkan perlawanan terhadap
pendekatan eksklusif dan kategoris zending Belanda. Mereka tidak ingin mengorbankan
identitas budaya dan kepercayaan tradisional mereka yang telah terakar kuat dalam
kehidupan sehari-hari. Perasaan ketidaksetujuan semakin meningkat ketika zending Belanda
mencoba memaksa perubahan pada struktur sosial dan tatanan adat Jawa. Perlawanan ini
mencerminkan ketahanan budaya masyarakat Jawa dan dorongan untuk mempertahankan
nilai-nilai tradisional mereka. Sadrach, dengan pendekatan inklusifnya, memahami kebutuhan
untuk menghormati dan bekerja bersama dengan budaya lokal tanpa merusak akar-akar
tradisi yang ada.
Sadrach, yang memiliki pemahaman mendalam tentang masyarakat Jawa dan budayanya,
menyadari resiko dan potensi konflik yang terkait dengan pendekatan yang eksklusif.
Kesadarannya tentang pentingnya menjaga harmoni antara ajaran Kristen dan budaya lokal
memandu langkah-langkahnya untuk menghindari perlawanan dan ketegangan yang dapat
merugikan misinya. Zending Belanda, di sisi lain, mungkin kurang memahami kompleksitas
budaya dan struktur sosial masyarakat Jawa. Kekuatan inisiatif individu dan keberanian untuk
mengeksplorasi kemungkinan pendekatan baru seperti yang dilakukan oleh Sadrach tidak
selalu dihargai atau dipahami sepenuhnya oleh institusi zending yang mungkin lebih
cenderung mempertahankan norma-norma yang sudah ada.
Pertentangan antara Sadrach dan zending Belanda memberikan pelajaran berharga tentang
pentingnya dialog antarbudaya dan penghormatan terhadap keberagaman budaya dalam
penyebaran agama. Sadrach memperlihatkan bahwa pendekatan inklusif, di mana ajaran
Kristen dapat hidup berdampingan dengan budaya lokal tanpa menghancurkannya, dapat
menciptakan pemahaman dan penerimaan yang lebih baik. Pentingnya dialog dan
penghormatan terhadap kebudayaan lokal juga relevan dalam konteks masyarakat modern
yang semakin terbuka terhadap berbagai keyakinan dan tradisi. Pembelajaran dari
pertentangan ini dapat menjadi dasar untuk membangun kerangka kerja yang lebih inklusif
dalam menghadapi perbedaan budaya dan agama.
Pertentangan antara Sadrach dan zending Belanda di Jawa mencerminkan perbedaan
pendekatan dalam penyebaran agama Kristen. Sadrach, dengan visi inklusifnya, mencoba
menyatukan ajaran Kristen dengan budaya lokal tanpa menggusur keberagaman budaya
Jawa. Zending Belanda, dengan pendekatan kategorisnya, terkadang menciptakan ketegangan
dan perlawanan dari masyarakat yang merasa terancam oleh upaya eksklusif tersebut. Dalam
memahami pertentangan ini, kita dapat menggali pelajaran tentang pentingnya dialog
antarbudaya, penghormatan terhadap keberagaman budaya, dan kebutuhan akan pendekatan
yang lebih inklusif dalam penyebaran agama di masyarakat yang beragam. Dalam memahami
sejarah ini, kita melihat bagaimana Gereja Kerasulan Baru menjadi sebuah fenomena unik
yang menandai kompleksitas interaksi antara agama, budaya, dan perlawanan terhadap
kolonialisme di Indonesia.

ISI
Sadrach, seorang misionaris dengan pandangan inklusif dan visi untuk menyatukan ajaran
Kristen dengan budaya Jawa, mengambil langkah-langkah berani untuk membentuk Gereja
Kerasulan Baru di Jawa. Yuda et.al., mengatakan orang Jawa tertarik dengan ajaran moral
yang bersifat perlambangan.6 Langkah-langkah ini mencerminkan upaya aktifnya untuk
membangun komunitas rohani yang memahami dan menghormati keberagaman budaya serta
keyakinan di tengah-tengah masyarakat yang beraneka ragam. Ketidaksiapan para zendeling
yang diterjunkan di ladang misi di Pulau Jawa, karena tidak begitu cepat menguasai
kebudayaan, bahasa Jawa, bahkan tidak memiliki keahlian khusus. Sehingga ia mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi, bahkan orang Indonesia pun cenderung memandang enteng
orang kulit putih yang belum fasih berbicara, yang tidak memiliki kepandaian yang dapat
diandalkan untuk dapat berintegrasi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.7 Langkah
pertama yang diambil oleh Sadrach adalah melakukan studi mendalam tentang budaya Jawa.
Ia menyadari bahwa untuk membentuk gereja yang relevan dan diterima oleh masyarakat
setempat, penting untuk memahami nilai-nilai, tradisi, dan struktur sosial budaya Jawa. Studi
ini membantunya membangun dasar pemahaman yang kuat tentang konteks lokal. Sadrach
memilih pendekatan inklusif dalam menyebarkan ajaran Kristen. Sebaliknya dengan
pendekatan kategoris yang dilakukan oleh beberapa zending Belanda, Sadrach berusaha
menyatukan unsur-unsur agama Kristen dengan nilai-nilai lokal Jawa. Ia menggagas agar
ajaran Kristen dapat hidup berdampingan dengan kepercayaan dan tradisi setempat, tanpa
memaksa perubahan yang drastis.
Gereja Kerasulan Baru yang dibentuk oleh Sadrach didasarkan pada prinsip keberagaman. Ia
tidak hanya mencoba membangun komunitas rohani yang homogen, tetapi juga mengakui
dan merangkul perbedaan dalam kepercayaan dan latar belakang budaya. Inisiatif ini
menciptakan ruang bagi masyarakat dengan berbagai keyakinan untuk bersatu dalam wadah
keagamaan yang bersifat inklusif. Sadrach menyadari pentingnya pendidikan dalam
membentuk komunitas yang berbudaya inklusif. Oleh karena itu, ia mengambil langkah-
langkah untuk memberdayakan anggota komunitas dengan pendidikan tentang ajaran Kristen
yang bersahabat dengan budaya lokal. Pembangunan kapasitas ini menciptakan pemahaman
yang lebih dalam tentang keyakinan bersama, memperkuat hubungan antaranggota
komunitas, dan mengembangkan kepemimpinan internal.
Sadrach secara kreatif mengembangkan liturgi dan upacara keagamaan yang bersifat inklusif.
Ia merancang ritus-ritus yang mencakup elemen-elemen budaya Jawa, memadukannya
dengan unsur-unsur Kristen. Hal ini membantu anggota komunitas merasa terhubung dengan
ibadah dan ritual keagamaan, mengurangi perasaan alienasi, dan menciptakan pengalaman
6
Anggara Yuda, Sutejo, dan Windri Astuti, “Makna Pendidikan dalam Mahar Ilmu Kejawen
di Kecamatan Puhpelem, Wonogiri,” Jurnal Diwangkara 1, no. 2 (2022): 58–64
7
Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII, Malang: Gereja Kristen Jawi Wetan, 1967, hlm
33.
rohani yang mendalam. Sadrach memahami bahwa ajaran Kristen juga harus tercermin dalam
tindakan nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, ia
menekankan pentingnya pelayanan sosial di dalam komunitasnya. Bagi Sadrach, tiap orang
yang sudi mengikut Yesus Kristus mesti memelihara firmanNya di dalam hati
mereka dan bersaksi.8 Gereja Kerasulan Baru terlibat aktif dalam proyek-proyek
kesejahteraan masyarakat, membantu membangun jembatan antara ajaran rohani dan
kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebagai bagian dari visi inklusifnya, Sadrach menginisiasi
dialog antaragama dan kebudayaan. Ia membawa tokoh-tokoh agama lain dan pemimpin
lokal untuk berbicara dan berbagi dalam pertemuan-pertemuan dialog. Ini menciptakan
peluang untuk membangun pemahaman saling dan merayakan keberagaman agama dan
budaya di dalam masyarakat.
Sadrach tidak luput dari konflik internal dalam komunitasnya, terutama karena perbedaan
pandangan dan pemahaman tentang inklusivitas. Namun, langkah-langkahnya untuk
mengelola konflik tersebut dengan bijaksana mencerminkan kepemimpinan yang kuat. Ia
mendorong dialog terbuka, mendengarkan berbagai pandangan, dan berupaya mencapai
kesepakatan yang memadukan keberagaman. Sadrach menanamkan prinsip pembangunan
kemandirian dalam komunitasnya. Ia tidak hanya melibatkan anggota komunitas dalam
kegiatan keagamaan, tetapi juga memberdayakan mereka untuk menjadi pemimpin dan
pelayan dalam lingkup lokal mereka. Pendekatan ini membantu Gereja Kerasulan Baru
berkembang dan berkembang dalam arah yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks
setempat. Melalui langkah-langkah ini, Sadrach mencapai pencapaian harmoni dan
keseimbangan antara ajaran Kristen dan keberagaman budaya di Jawa. Gereja Kerasulan
Baru bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya yang
mencerminkan inklusivitas dan penghargaan terhadap keberagaman budaya.
Langkah-langkah yang diambil oleh Sadrach dalam membentuk Gereja Kerasulan Baru di
Jawa mencerminkan keberanian dan visi inklusifnya. Dengan memahami dan menghormati
budaya lokal, Sadrach berhasil membentuk komunitas rohani yang merangkul keberagaman
dan menciptakan ruang bagi masyarakat dengan berbagai keyakinan. Melalui tindakan nyata,
dialog antaragama, dan pengembangan kapasitas, Sadrach membuktikan bahwa keberagaman
rohani dapat menjadi kekuatan yang mempersatukan, menciptakan lingkungan yang harmonis
di tengah-tengah keanekaragaman budaya.
Terdapat banyak tokoh penting yang menentukan awal berdirinya GKBI, bahkan berdirinya
Gereja Kristen di Indonesia, khususnya Gereja Kristen Jawa (Indische Kerk, pada masa
pemerintah kolonial Hindia Belanda) seakan beriringan pemunculannya melalui pergulatan
yang unik hampir tanpa kekerasan yang berarti. Dua tokoh penting itu adalah F.L Anthing
yang kemudian menjadi Rasul, dan Sadrach. Radin adalah nama kecilnya, yang semula
seorang muslim, lalu berkenalan dengan F.L. Anthing di Batavia dan dibabtis berganti nama
Sadrach, di Batavia Sadrach membantu F.L Anthing menyebarkan ajaran injil. Sadrach
tergolong penginjil pribumi yang fenomenal karena membawa sejumlah orang yang belum
percaya menjadi pemeluk iman Kristen.9 Sadrach memulai misinya dengan melakukan penginjilan
pribadi dari rumah ke rumah di sekitar Batavia. Penginjilan ini dilakukan dengan membagi-bagikan
8
Soetarman Soedirman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu
Kekristenan Jawa pada Abad XIX, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hlm 168.
9
J.E. Culver, “Tugas Yang Masih Belum Terselesaikan: Tinjauan Seklias Atas Sejarah Misi
Di Indonesia" Pengarah: Jurnal Teologi Kristen, no. 2 (2004): 44–48.
brosur dan buku-buku rohani kepada setiap orang yang dijumpainya. 10 Namun karena pelayanan
ini dianggap tidak cocok, maka Sadrach minta izin kepada Anthing untuk kembali ke Jawa
Tengah guna melanjutkan tugasnya dalam pemberitaan Injil kepada orang Jawa.11 Sadrach
mempunyai kharisma dan kemahiran dalam menyebarkan injil dengan metode berdebat.
12
Kemudian melakukan karya pekabaran Injil yang penuh dinamika di Jawa Tengah, sampai
kemudian bertemu dengan Liem Tjoe Kim seorang Cina yang telah menjadi Rasul di
Magelang (murid F.L Anthing), yang kemudian ditahbiskan oleh Rasul Hannibals sebagai
Rasul. Tokoh penting dalam mengawali benih dan menumbuhkembangkan gereja Kerasulan
yang tak dapat dilupakan adalah F.L. Anthing. Beliau adalah seorang sarjana dan praktisi
hukum yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Tahun 1865 ia diangkat menjadi Wakil
Hakim Agung dan karenanya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta). Lalu setelah pindah ke
Bataia, dirumahnya ia melatih pemuda-pemuda dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, Sunda
(Jawa Barat), Manado (Sulawesi Utara), dan daerah lain untuk melakukan penginjilan. Paling
sedikit ada 50 orang yang lulus sebagai penginjil dari “Sekolah Teologi Anthing”. Mereka
bekerja di berbagai daerah di seluruh Hindia Belanda, termasuk Jawa Tengah.
Selama periode kolonial di Indonesia, Zending Belanda, sebagai agen kristenisasi, sering
menerapkan sikap kategoris terhadap budaya lokal. Mereka memandang kepercayaan
tradisional sebagai unsur yang perlu dihapus dan digantikan dengan ajaran Kristen.
Pendekatan ini, dalam beberapa kasus, menciptakan ketegangan serius antara zending
Belanda dan masyarakat Jawa. Zending Belanda memiliki pandangan kategoris terhadap
agama lokal yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Kristen. Mereka melihat praktik-
praktik keagamaan tradisional sebagai bentuk kegelapan spiritual yang perlu dilenyapkan.
Sebagai hasilnya, upaya mereka untuk mengubah masyarakat Indonesia menjadi Kristen
seringkali didasari oleh pemahaman yang tidak mencerminkan keragaman dan pluralitas
budaya di Indonesia. Pendekatan zending Belanda terhadap budaya lokal cenderung bersifat
asimilatif dan kadangkala represif. Mereka seringkali mencoba menggantikan unsur-unsur
kebudayaan tradisional dengan unsur-unsur Barat, menempatkan ajaran Kristen sebagai
norma yang harus diikuti. Ini menciptakan suasana di mana identitas budaya lokal sering
dikorbankan demi penerimaan agama baru.
Zending Belanda juga melakukan upaya pendidikan yang mengarah pada westernisasi,
mencoba mengubah cara berpakaian, pola makan, dan pola pikir masyarakat. Pendekatan ini
sering kali dihadapi dengan resistensi dari masyarakat yang merasa kehilangan identitas
budaya mereka. Terjadi gesekan antara cita-cita zending Belanda untuk membawa
modernitas dan nilai-nilai Kristen, dan usaha masyarakat untuk mempertahankan akar budaya
mereka. Konflik ideologis antara masyarakat Jawa dan zending Belanda mencuat karena
perbedaan mendasar dalam pandangan mereka terhadap agama dan budaya. Masyarakat
Jawa, yang telah hidup dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan yang kaya, sering kali
menolak secara tegas pendekatan yang bersifat kategoris dan eksklusif yang diterapkan oleh
zending Belanda. Sikap kategoris zending Belanda menciptakan ketegangan ideologis dalam
hubungan antara penganut agama lokal dan misionaris. Penerimaan ajaran Kristen sering kali
dipandang sebagai pemutusan hubungan dengan akar budaya dan identitas masyarakat Jawa.

10
Op.cit, hlm 67.
11
Sumanto, Kyai Sadrach Seorang Pencari Kebenaran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974,
hlm 16.
12
J.E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, Bandung: Biji Sesawi, 2014, hlm 86
Upaya zending untuk mengekang keberagaman budaya seringkali memicu perlawanan dan
ketidakpuasan di kalangan masyarakat.
Konflik semakin memuncak ketika zending Belanda memaksa pengubahan struktur sosial
dan tatanan adat masyarakat Jawa. Upaya untuk menghapus sistem kepercayaan dan tata nilai
tradisional seringkali menuai resistensi dan perlawanan. Pemaksaan nilai-nilai Kristen yang
tidak memahami konteks budaya lokal dapat mengakibatkan ketidaksetujuan dan merugikan
hubungan antara masyarakat dan zending. Meskipun konflik ideologis terjadi, masyarakat
Jawa tidak pernah kehilangan kekuatan resilience budaya mereka. Meskipun tekanan dari
zending Belanda, banyak masyarakat Jawa yang mampu mempertahankan nilai-nilai
tradisional mereka, bahkan di tengah penyebaran agama Kristen. Mereka mengintegrasikan
unsur-unsur Kristen ke dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa mengorbankan identitas
budaya yang telah terbentuk selama berabad-abad.
Masyarakat Jawa juga mengalami dinamika internal dalam menjawab konflik ideologis ini.
Beberapa kelompok masyarakat memilih untuk memeluk Kristen tanpa mengorbankan
keberagaman budaya mereka, sementara yang lain lebih keras dalam mempertahankan
keyakinan tradisional mereka. Ketegangan ideologis antara masyarakat Jawa dan zending
Belanda selama periode kristenisasi di Indonesia mencerminkan kompleksitas hubungan
antara agama dan budaya. Sikap kategoris zending Belanda, yang bersifat eksklusif, sering
kali bertentangan dengan nilai-nilai dan keberagaman budaya masyarakat Jawa yang telah
mapan. Pada akhirnya, proses kristenisasi di Indonesia menciptakan lapisan-lapisan kompleks
dalam identitas budaya dan agama masyarakat. Meskipun ada konflik, budaya masyarakat
Jawa terbukti tangguh dan mampu bertahan di tengah arus perubahan agama yang datang dari
Barat. Dinamika ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah dan identitas Indonesia yang
beragam.

Kesimpulan
Pada abad ke-19, proses kristenisasi di Indonesia menghadapi dinamika kompleks yang
melibatkan interaksi antara agama dan budaya, terutama dalam konteks masyarakat Jawa dan
zending Belanda. Perbedaan pendekatan antara masyarakat Jawa yang inklusif dan zending
Belanda yang kategoris menciptakan suasana tegang dalam pengenalan agama Kristen di
wilayah tersebut. Masyarakat Jawa pada umumnya cenderung mengadopsi pendekatan
inklusif terhadap agama baru dengan memadukan unsur-unsur Kristen dengan kepercayaan
tradisional mereka. Hasilnya adalah terbentuknya suatu sintesis unik yang mencerminkan
keberagaman budaya dan agama Kristen. Di sisi lain, zending Belanda menerapkan
pendekatan yang lebih kategoris, yang cenderung menimbulkan konflik dengan tradisi lokal.
Dalam dinamika ini, tokoh kunci yang muncul sebagai penentang pendekatan eksklusif
zending Belanda adalah Sadrach. Melalui Gereja Kerasulan Baru, Sadrach secara aktif
mempraktikkan visi inklusifnya dengan menciptakan ruang bagi ajaran Kristen dan budaya
Jawa untuk hidup berdampingan secara harmonis. Pendekatannya melibatkan langkah-
langkah yang komprehensif, termasuk studi mendalam tentang budaya Jawa, pembentukan
komunitas inklusif, dan pengembangan kapasitas melalui pendidikan. Salah satu aspek kunci
dari pendekatan Sadrach adalah kesediaannya untuk memahami dan menghormati
keberagaman budaya masyarakat Jawa. Ini terwujud dalam upayanya untuk menyelidiki
secara mendalam aspek-aspek budaya tersebut, sehingga dapat membangun titik temu antara
ajaran Kristen dan nilai-nilai lokal. Dengan demikian, Sadrach berhasil membentuk suatu
model kristenisasi yang tidak merusak, melainkan memperkaya keberagaman budaya yang
ada.
Langkah-langkah praktis yang diambil oleh Sadrach mencakup pendirian Gereja Kerasulan
Baru sebagai basis operasional untuk menerapkan visinya. Gereja ini bukan hanya sebagai
tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan komunitas yang merangkul keberagaman.
Melalui pendekatan ini, Sadrach berhasil membentuk komunitas inklusif di mana ajaran
Kristen dan budaya Jawa dapat hidup berdampingan tanpa konflik. Pendidikan juga menjadi
salah satu fokus utama Sadrach dalam upayanya menciptakan harmoni antara agama dan
budaya. Melalui program-program pendidikan yang dirancangnya, Sadrach memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk memahami nilai-nilai Kristen sambil tetap memelihara
dan menghormati akar budaya mereka. Hal ini membantu mengurangi ketegangan antara
ajaran agama baru dan tradisi lokal.
Sadrach tidak hanya berhenti pada pendekatan teoritis, tetapi juga secara aktif terlibat dalam
menciptakan ritus-ritus keagamaan yang mencerminkan keberagaman budaya. Ini mencakup
upacara-upacara keagamaan yang menggabungkan elemen-elemen tradisional Jawa dengan
ajaran Kristen, menciptakan suatu bentuk ibadah yang bersifat inklusif dan dapat diterima
oleh masyarakat setempat. Dengan langkah-langkah ini, Sadrach berhasil membentuk model
kristenisasi yang menghormati dan memperkaya keberagaman budaya masyarakat Jawa.
Visinya untuk menciptakan ruang inklusif bagi agama Kristen dan budaya lokal telah berhasil
meredakan konflik yang mungkin timbul akibat pendekatan eksklusif zending Belanda.
Melalui Gereja Kerasulan Baru dan inisiatif-inisiatifnya, Sadrach memberikan kontribusi
signifikan dalam merintis jalan menuju harmoni antara agama dan budaya di Indonesia
pada abad ke-19
Pentingnya dialog antarbudaya dan penghormatan terhadap keberagaman budaya muncul
sebagai tema utama dalam konflik antara Sadrach dan zending Belanda. Sadrach memahami
bahwa untuk mencapai pemahaman dan penerimaan agama Kristen, perlu ada integrasi
dengan budaya lokal tanpa merusak akar-akar tradisi yang ada. Sebaliknya, zending Belanda
seringkali kurang memahami kompleksitas budaya dan struktur sosial masyarakat Jawa.
Dalam pengembangan Gereja Kerasulan Baru, Sadrach menciptakan model inklusif yang
menggabungkan unsur-unsur agama Kristen dengan tradisi dan kepercayaan lokal. Inisiatif
ini menunjukkan bahwa keberagaman rohani dapat menjadi kekuatan yang mempersatukan,
menciptakan lingkungan yang harmonis di tengah-tengah keanekaragaman budaya.
Dalam melihat konflik antara masyarakat Jawa dan zending Belanda, kita melihat dinamika
internal masyarakat Jawa dalam menjawab konflik ideologis ini. Beberapa masyarakat
memilih untuk memeluk Kristen tanpa mengorbankan keberagaman budaya mereka,
sementara yang lain lebih keras dalam mempertahankan keyakinan tradisional mereka.
Kesadaran akan pentingnya menjaga harmoni antara ajaran Kristen dan budaya lokal
membentuk resistensi dan keberlanjutan identitas budaya masyarakat. Dengan demikian,
proses kristenisasi di Indonesia pada abad ke-19 menciptakan lapisan-lapisan kompleks
dalam identitas budaya dan agama masyarakat. Meskipun konflik terjadi, budaya masyarakat
Jawa terbukti tangguh dan mampu bertahan di tengah arus perubahan agama yang datang dari
Barat. Dinamika ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah dan identitas Indonesia yang
beragam, menegaskan pentingnya dialog, penghormatan, dan adaptasi dalam menghadapi
perbedaan budaya dan agama.

Daftar Pustaka:
Anggara Yuda, S. d. (2022). Makna Pendidikan dalam Mahar Ilmu Kejawen di Kecamatan Puhpelem,
Wonogiri. Jurnal Diwangkara Vol 1, no. 2, 58-64.

Cipta, S. E. (2020). “Membangun Komunitas Kristen Kang Mardika: Kyai Sadrach dalam Sejarah
Kekristenan di Jawa (1869-1923). SUNDERMANN Jurnal Ilmiah Teologi, Pendidikan, Sains,
Humaniora dan Kebudayaan, vol. 13 no. 2, 66-72.

Culver, J. (2004). Tugas Yang Masih Belum Terselesaikan: Tinjauan Seklias Atas Sejarah Misi Di
Indonesia. Pengarah: Jurnal Teologi Kristen, no. 2, 44-48.

Culver, J. (2014). Sejarah Gereja Indonesia. Bandung: Biji Sesawi.

End, T. V. (1987). Ragi Carita 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Guillot, C. (1985). KIAI SADRACH: Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

Handoyomarno. (1967). Benih Yang Tumbuh VII. Malang: Gereja Kristen Jawi Wetan.

Partonadi, S. S. (2001). Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Kekristenan Jawa pada
Abad XIX. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Subagya, R. (1981). Agama Asli Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumanto. (1974). Kyai Sadrach Seorang Pencari Kebenaran. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai