A major topic in the relation between the church and culture is the
capacity of the church to incarnate the core of its faith into the life
of the local culture. The faith in God is expressed in various
human expressions either cultic or cultural. The church doesn't
risk its faith in God but expresses this faith in various ways
adapted to the local culture where the church lives. Paul and his
friends took effort to enter through the door of the Jews and the
Greeks to bring the Gospel to them. Although he did not always
get great success, his works have been producing great result. In
the reflection of the Asian Church regarding its existence in the
life of Asia, the way to evangelization is, therefore, the incarnation
of the Gospel in the life of the local culture.
Kata-kata Kunci:
Paulus, budaya, pewartaan, Yahudi, Dialog.
PENGANTAR
Hubungan antara Gereja dan budaya dapat dianalisa dari berbagai
perspektif, salah satunya adalah dari perspektif biblis. Perjanjian Baru tidak
secara khusus membahas sikap atau upaya-upaya jemaat Kristen dalam
berdialog dengan budaya karena pada saat Perjanjian Baru ditulis, jemaat
Kristen belum terbangun sebagai sebuah institusi yang berhadapan dengan
kelompok lain. Dalam periode pembentukan Perjanjian Baru, jemaat Kristen
ada dalam tahap awal keberadaan sebagai bagian dari masyarakat Yahudi.
Pewartaan iman dilaksanakan pada periode ini demi tersebarnya iman akan
Yesus yang diakui oleh jemaat Kristen sebagai Mesias, Anak Allah. Metode
pewartaan iman yang tampak dalam praktek pewartaan iman yang
dilaksanakan oleh Paulus dan teman-temannya sebagai misionaris-misio-
naris Kristen pertama sebagaimana dikisahkan oleh Lukas di dalam Kisah
Para Rasul menampakkan upaya Paulus dan para misionaris Kristen untuk
masuk melalui pintu tradisi Yahudi atau tradisi Yunani agar Injil bisa
diwartakan kepada mereka. Peribadatan di Sinagoga merupakan tradisi
peribadatan Yahudi yang dimanfaatkan oleh Paulus sebagai jalan untuk
mewartakan Injil kepada orang-orang Yahudi. Hanya karena ditolak oleh
Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min fvida Misi Paulus • ■ 121
Kristus bukanlah pewartaan yang dimaksudkan untnk menentang iman
Yahudi. Yesus sendiri tidak bermaksud untuk membentuk sebuah agama
baru atau mendirikan sebuah institusi keagamaan seperti Gereja. Gerakan
Yesus merupakan sebuah gerakan pembaharuan spiritual di dalam agama
dan tradisi Yahudi, sama seperti gerakan Yohanes Pembaptis yang juga
berupa gerakan pembaharuan kerohanian di dalam agama Yahudi. Yesus
menjadi pengkotbah keliling, nabi yang memanggil orang-orang kepada
pertobatan di tengah-tengah kehidupan bangsa Yahudi. Kelangsungan iman
Yahudi dan iman akan Yesus ditunjukkan oleh Paulus dalam pewartaannya
yang selalu berawal dengan penjelasan tentang Kitab Suci dan baru
kemudian masuk ke dalam warta tentang Yesus. Jalan pewartaan yang
ditempuh oleh Paulus adalah jalan tradisional dalam pewartaan Yahudi
yakni dalam pewartaan sabda di Sinagoga di mana dibacakan Kitab Suci,
dikidungkan Mazmur, digemakan harapan-harapan mesianik dan seruan-
seruan para nabi. Sebagai seorang yang dididik dalam tradisi Farisi, Paulus
memperoleh kesempatan untuk memberitakan Kitab Suci di Sinagoga.
Dengan demikian, ia masuk melalui pinhi yang biasa dimasuki oleh orang-
orang Yahudi yakni peribadatan di Sinagoga, tetapi ia rupanya tidak
berhasil membawa mereka (paling tidak sebagian besar dari mereka) keluar
melalui pinhi yang diinginkannya; yakni iman akan Yesus Kristus. Jemaat
Yahudi dengan tegas menolak pewartaannya tentang Yesus.
Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min fvida Misi Paulus • ■ 123
Pilihan Paulus untuk menjelaskan bahwa Allah adalah tlwos agnotos itu tentu
mengandung bahaya besar bagi iman Kristen dalam konteks Yunani, yakni
bahwa Allah yang diwartakan bisa dimengerti oleh orang-orang Yunani
sebagai allah yang seperti atau sejajar dengan dewa-dewi lain yang menjadi
sembahan mereka. Allah hanyalah salah sahi dari antara dewa-dewi dalam
pantheon Yunani. Paulus menempatkan monotheisme Yahudi dalam
bahaya, tetapi jalan terbatas itu diambil oleh Paulus untuk memperkenalkan
Allah dan Yesus Kristus kepada orang-orang Yunani. Dari sini tampak
bahwa jalan pemberitaan Injil dengan memanfaatkan pintu-pintu yang
dibuka oleh budaya setempat selalu bersifat terbatas dan tidak sanggup
menyatakan seluruh misteri iman akan Allah yang melangsungkan karya
penyelamatan-Nya melalui Dia yang tersalib dan bangkit.
Kesulitan yang dihadapi Paulus tidak berhenti di situ. Theos agnotos
memungkinkan dia memperkenalkan Allah kepada orang-orang Yunani,
tetapi pemberitaan tentang “Dia yang dibangkitkan dari antara orang mati"
segera mendapatkan penolakan dari orang-orang Atena. Begitu mendengar
pemyataan Paulus tentang bangkit dari kematian, orang-orang Yunani
berseru, "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu."
Ungkapan ini adalah ekspresi penolakan orang-orang Atena untuk
mendengar pembicaraan tentang bangkit dari mati. Paulus pun dikatakan
gagal mempertobatkan para filsuf di Athena.6 Meskipun dikatakan bahwa
mereka tidak memiliki waktu lain selain untuk mengatakan dan mendengar
segala sesuatu yang baru, mereka tidak bisa menerima pewartaan Paulus
tentang orang yang bangkit dari mati. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
filsafat neo-Platonisme yang menjadi aliran filsafat paling kuat yang
membangun cara berpikir dan cara memahami dunia dan hidup orang
Yunani pada zaman itu. Warta eskatologis yang dibawa oleh Paulus ditolak
karena helenisme telah meninggalkan eskatologi semacam itu dan karena di
dalam dunia Romawi, deifikasi kaisar Agustus telah menyingkirkan semua
spekulasi apokaliptik dan mesianik.7 Dalam dualisme neo-Platonisme yang
memisahkan badan dan jiwa, kebangkitan dari kematian adalah gagasan
absurd. Bagi kelompok Neo-Platonisme yang membedakan kenyataan
menjadi dunia materi dan dunia roh/jiwa, yang nyata, utama dan kekal
adalah jiwa sementara badan atau materi adalah penjara jiwa. Jiwa yang
abadi terkubur di dalam badan yang fana. Yang dicita-citakan adalah
terlepasnya jiwa dari badan supaya ia masuk kembali ke alam roh, ke dalam
kemerdekaan dan kekekalan. Karena itu, kematian merupakan saat
pembebasan jiwa. Bagi orang-orang yang memiliki pemikiran seperti ini,
kebangkitan menjadi celaka. Mengapa jiwa yang sudah merdeka dan
kembali ke alam roh yang abadi harus masuk kembali ke badan fana untuk
bangkit lagi?
Dari dua contoh upaya penginjilan Paulus ini menjadi jelas bahwa tidak
semua elemen di dalam budaya atau agama sebanding dengan apa yang ada
di dalam iman Kristen dan dapat dipergunakan untuk menjelaskan iman
Kristen secara menyeluruh. Dalam perjumpaan iman Kristen dengan iman
lain, ada unsur yang bisa disejajarkan dan didialogkan (misalnya tentang
Allah yang menyelamatkan, tentang kepengantaraan, kurban, pengampun-
an, keselamatan), tetapi juga ada unsur-unsur lain yang tidak terdamaikan.
Ekspresi-ekpresi iman seperti peribadatan sinagoga, persembahan, dialog
filosofis/teologis bisa menjadi jalan masuk dalam perjumpaan iman Kristen
dengan budaya atau agama lain, tetapi tidak menyediakan banyak ruang
untuk subur dan kayanya penerusan inti iman Kristen akan Yesus sang
Mesias yang bangkit. Dalam sebuah agama, terkandung unsur Allah yang
mewahyukan diri, manusia yang menerimanya dengan iman, dan ekspresi-
ekspresi iman dalam pengungkapan maupun dalam perwujudan. Allah
yang mewahyukan diri di dalam Yesus Kristus menjadi kekhasan iman
Kristen yang tidak terdamaikan dengan keyakinan iman dalam agama lain.
Sementara ekspresi-ekspresi iman Kristen dapat bertemu dalam dialog
dengan ekspresi-ekspresi iman atau budaya lain, inti iman Kristen tetaplah
khas dalam dirinya sendiri.
Yang hakiki dalam iman seringkali menjadi unsur yang tak terdamaikan
dengan elemen budaya lain. Dalam hal iman Kristen, pengakuan iman
baliwa Allah melaksanakan karya keselamatan secara sempurna di dalam
Yesus Kristus yang wafat dan bangkit dari mati tidak diterima baik oleh
orang-orang Yahudi maupun oleh orang-orang Yunani. Dalam kasus Paulus
di Atena, adalah sebuah kemustahilan menempatkan Allah di samping
dewa-dewi sembahan Yunani. Kebangkitan Kristus dari kematian juga
merupakan skandal kepercayaan bagi orang-orang Yunani yang meng-
harapkan kelepasan kekal jiwa dari badan. Sementara itu, pengakuan bahwa
Yesus yang tersalib adalah Kristus menjadi skandal bagi iman Yahudi yang
memandang baliwa orang yang mati di salib adalah seorang yang dikutuk
oleh Allah. Inti iman tidak bisa dikorbankan demi ekspresi-ekspresi iman
yang lebih sesuai dengan kultur setempat.
Dalam semua kesulitan praktis dan teologis yang dihadapi oleh Paulus
dalam pemberitaan Injil, penolakan merupakan sebuah tanda pengharapan.
Tidak selamanya upaya dialog dengan budaya dan agama akan
menampakkan kesuksesan yang besar dan yang dapat dilihat dalam waktu
cepat. Paulus mengalami hal ini. Pewartaan Injilnya menghadapi banyak
penolakan, tetapi pewartaannya tidak pernah menjadi sia-sia. Selalu ada
sekelompok orang yang membuka diri bagi warta Injil itu. Penolakan justru
menjadi tanda pengharapan karena memaksa Paulus untuk keluar dari kota
tertentu dan pergi ke kota-kota lain untuk membawa warta Injil.
Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min fvida Misi Paulus • ■ 125
Dari tinjauan singkat di atas tampak bahwa dialog dalam/melalui
ekspresi-ekspresi budaya dapat membuka kesempatan untuk membawa
pesart iman, tetapi ekspresi-ekspresi budaya tidak mampu menjadi sarana
yang sempurna untuk mengungkapkan keutuhan iman Kristen dan tidak
ada ekspresi budaya yang sanggup menyatakan inti iman akan Allah yang
menyatakan keselamatan bagi setiap orang melalui Yesus yang wafat dan
bangkit. Oleh karena itu, segala bentuk dialog dengan budaya tidak boleh
mengerdilkan inti iman atau membahayakan inti iman Kristen. Dengan kata
lain, inti iman tidak dikurbankan hanya supaya orang-orang Kristen dapat
hidup dalam kebersamaan dengan budaya dan juga dengan agama-agama
lain.
Gerejn dan Dialog Bndai/a fiercer min fvida Misi Panins • ■ 127
antara agama dan negara. Keduanya seolah merupakan dua entitas berbeda
yang bisa hidup berdampingan tetapi tanpa relasi atau bahkan saling
mencurigai dan menyerang. Kekristenan yang selama berabad-abad
meresapi kehidupan Eropa pada akhirnya tidak diterima dalam Konstitusi
Uni Eropa sebagai akar yang turut membangun peradaban benua biru
tersebut meskipun mereka menerima warisan kultur Yunani dan Romawi
sebagai pembangun identitas mereka.
Di sisi lain, tidak jarang agama yang dominan juga bersikap negatif
terhadap budaya. Paul Tillich mencatat bahwa kekristenan pernah menolak
perubahan kultural atau polihk karena beranggapan bahwa pembaharuan
kultural dan politis tersebut merupakan sebuah ekspresi pemberontakan
otonomi sekuler.9 Dalam relasi antara Gereja dan budaya yang kadang ada
dalam ketegangan ini, perlulah ditemukan model-model perjumpaan yang
subur dan saling memperkembangkan karena sikap negatif budaya
terhadap agama maupun agama terhadap budaya hanya akan merugikan
keduanya. Dengan demikian, Gereja tidak hanya berisi kumpulan ritus,
ajaran, simbol, dan emosi manusiawi tetapi juga keterarahan kepada nilai-
nilai tertinggi karena manusia disentuh oleh Yang Ilahi.ul Keterahan pada
nilai tertinggi tersembunyi, tetapi terwujudkan dalam ekspresi-ekspresi
budaya manusiawi.
SINTESIS
Belajar dari pengalaman Paulus dalam membawa Injil kepada orang-
orang Yahudi dan Yunani serta dari model perjumpaan inkarnatoris antara
Gereja dan budaya, semakin tampaklah beberapa prinsip dialog yang perlu
untuk diperkembangkan. Pertama, sama seperti Paulus menghadapi tradisi
Yahudi dan tradisi Yunani, Gereja berjumpa dengan kekuatan-kekuatan
dominan yang menjadi partner dialognya. Agama dan tradisi Yahudi
menjadi realitas dominan di mana iman akan Yesus tumbuh dan diteruskan.
Kultur Yunani telah menjadi kultur dominan di sekitar laut Mediteranian
semenjak Hellenisme yang diprakarsai oleh Aleksander Agung. Paulus dan
para misionaris Kristen awal berupaya untuk memasuki budaya Yahudi
maupun Yunani melalui pintu mereka, yakni ibadat sinagoga dalam tradisi
Yahudi dan diskusi religius/filosofis dalam tradisi Yunani. Dalam konteks
Asia, kekuatan dominannya adalah realitas Asia yang ditandai dengan
keragaman kultur, agama, serta kemiskinan sebagai kenyataan karakteristik
dalam hidup Asia dan Gereja berjuang untuk memajukan kesadaran akan
pluralitas dan keragaman ini. Ketiga realitas ini merupakan pintu untuk
memasuki kenyataan Asia meskipun realitas Asia itu sendiri bukanlah
realitas yang beku. Dalam kenyataannya, Asia tidak hanya berhadapan
dengan kekristenan, tetapi juga dengan aneka pengaruh sosio-politik dan
ekonomi dalam arus global yang membuat kenyataan-kenyataan Asia yang
dihadapi oleh Gereja semakin kompleks. Tantangan globalisasi di Asia ini
mendorong banyak orang di Asia untuk mencurahkan lebih banyak energi
untuk memerangi dampak-dampak sekularisasi dan untuk menemukan
tempat yang tepat bagi agama dalam sebuah situasi hidup Asia yang baru.
Kesadaran yang muncul dalam sidang FABC tahun 1970 tentang ketiga
realitas Asia ini kini perlu dibaca kembali dalam terang zaman ini untuk
melihat faktor-faktor baru yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana di
belahan dunia lain, sekularisasi melanda Asia di mana iman dan agama
tidak lagi menjadi pegangan yang dominan dan makin tersisihkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memberi jalan-jalan pintas untuk
memenuhi dambaan manusia. Dalam situasi seperti ini, Gereja tidak bisa
lagi berfungsi sebagai sistem global yang tunggal, tetapi satu di antara
tradisi-tradisi yang berbeda-beda yang harus dihadapi oleh Gereja dengan
langkah-langkah yang tepat.
Kedua, dialog dibangun dalam hormat Gereja terhadap budaya-budaya
dengan seluruh kekayaannya tanpa menjadikan dirinya sebagai sebuah
institusi yang berada di atas budaya, tetapi sebagai partner yang
memberikan diri dan siap diperkembangkan dalam perjumpaan. Amalados
telah menunjukkan dalam hal apa saja dialog dengan kenyataan
keberagaman (terutama keberagaman agama) dapat dijalankan: a) dialog
kehidupan, dialog dalam pertukaran intelektual, dialog pengalaman
religius, dialog dalam aksi bersama.11 Paulus dan para misionaris Kristen
awal masih memfokuskan diri pada mendialogkan inti iman mereka akan
Yesus. Dialog tentang inti iman tersebut menemui banyak kendala terutama
ketika iman yang diwartakan oleh Paulus dan para misionaris bahwa Yesus
yang mati tersalib telah bangkit dan diakui sebagai Mesias bertentangan
dengan keyakinan iman Yahudi yang tidak akan pernah menerima orang
yang mati disalib sebagai seorang Mesias dan keyakinan filosofis Yunani
yang tidak menerima gagasan tentang kebangkitan. Situasi yang sama
masih terus dihadapi oleh Gereja dalam mewartakan imannya. Keragaman
agama dan tradisi religius menyediakan dogma-dogma iman masing-
masing yang tidak akan dengan mudah masuk dalam dialog yang saling
memahami dan menerima. Dalam hal inti iman, dialog tidak jarang
menemui jalan buntu: atau menjadi debat kusir atau menjadi ajang adu
rasionalitas teologi yang justru menjauhkan Gereja dari partner dialognya.
Ketika kesulitan besar dihadapi dalam mendialogkan inti iman, pintu dialog
yang lain perlu dimasuki. Dialog kehidupan dan dialog pengalaman
religius, serta aksi bersama memberi peluang bagi sebuah perjumpaan yang
subur dan saling memperkembangkan. Gereja dan parner dialog berjuang
bersama untuk memerdekakan masyarakat Asia dari belenggu kemiskinan.
Dalam dialog dengan realitas kemiskinan Asia, fokus perhatian diarahkan
DAFTAR RUJUKAN
Amalados, M. Freedom in the Spirit and Interreligious Dialogue. Studies in Interreligious
Dialogue 8. New York: Orbis Books, 1998.
Dawson, Ch. Religion and Culture. New York: Shed & Ward, 1948.
Knox, W.L. St. Paul and the Church of the Gentiles. Cambridge: Cambridge University
Press, 1939.
Kroeger, J. "The Faith-Culture Dialogue in Asia: Ten FABC Insights on
Inculturation," diambil dari http://cca.org.hk/home/ctc/ctc08-03/10_james_
kroeger93.pdf, Komis, 14 April 2016. 10:40.
Mortensen, V. "The Dialogue between Science and Religion and the Dialogue
between People of Different Faiths: Areopagus Revisited," Zygon: journal of
Religion and Science 37 (2002): 63-82.
Parapally, J. Church's Dialogue With Cultures and Religions, http://sedosmission
.org/old/eng/parappally.htm; Sabtu, 15 Agustus 2015. 9:16
Shroyer, Montgomery J. "Paul's Departure from Judaism to Hellenism," journal of
Biblical Literature 59 (1940): 41-49.
Soares, Theodore G. "Paul's Missionary Method," The Biblical World 34 (1909): 326
336.
Strowers, Stanley K. "Social Status, Public Speaking and Private Theacing: The
Circumstances of Paul's Preaching Activity," Novum Testamentum XXVI (1984):
58-82.
Tillich, P. "Religion and Culture," The journal of Religion vol XXVI (1946): 79-86.
Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min ftada Misi Paulas ■ ■ 135