Anda di halaman 1dari 17

GEREJA DAN DIALOG BUDAYA

BERCERMIN PADA MISIPAULUS

A major topic in the relation between the church and culture is the
capacity of the church to incarnate the core of its faith into the life
of the local culture. The faith in God is expressed in various
human expressions either cultic or cultural. The church doesn't
risk its faith in God but expresses this faith in various ways
adapted to the local culture where the church lives. Paul and his
friends took effort to enter through the door of the Jews and the
Greeks to bring the Gospel to them. Although he did not always
get great success, his works have been producing great result. In
the reflection of the Asian Church regarding its existence in the
life of Asia, the way to evangelization is, therefore, the incarnation
of the Gospel in the life of the local culture.

Kata-kata Kunci:
Paulus, budaya, pewartaan, Yahudi, Dialog.

PENGANTAR
Hubungan antara Gereja dan budaya dapat dianalisa dari berbagai
perspektif, salah satunya adalah dari perspektif biblis. Perjanjian Baru tidak
secara khusus membahas sikap atau upaya-upaya jemaat Kristen dalam
berdialog dengan budaya karena pada saat Perjanjian Baru ditulis, jemaat
Kristen belum terbangun sebagai sebuah institusi yang berhadapan dengan
kelompok lain. Dalam periode pembentukan Perjanjian Baru, jemaat Kristen
ada dalam tahap awal keberadaan sebagai bagian dari masyarakat Yahudi.
Pewartaan iman dilaksanakan pada periode ini demi tersebarnya iman akan
Yesus yang diakui oleh jemaat Kristen sebagai Mesias, Anak Allah. Metode
pewartaan iman yang tampak dalam praktek pewartaan iman yang
dilaksanakan oleh Paulus dan teman-temannya sebagai misionaris-misio-
naris Kristen pertama sebagaimana dikisahkan oleh Lukas di dalam Kisah
Para Rasul menampakkan upaya Paulus dan para misionaris Kristen untuk
masuk melalui pintu tradisi Yahudi atau tradisi Yunani agar Injil bisa
diwartakan kepada mereka. Peribadatan di Sinagoga merupakan tradisi
peribadatan Yahudi yang dimanfaatkan oleh Paulus sebagai jalan untuk
mewartakan Injil kepada orang-orang Yahudi. Hanya karena ditolak oleh

Gereja dan Dialog Budaya Bercermin jvida M isi Paulus • ■ 119


orang-orang Yahudi, Paulus membawa Injil itu kepada orang-orang Yunani
yang membuka diri untuk menyambut Injil yang diwartakannya (bdk Kis
17:1-9). Di Atena, Paulus memanfaatkan salah satu elemen keagamaan
penduduk Atena sebagai pintu evangelisasi yakni ketika dia
mempergunakan gagasan tentang "mezbah yang dipersembahkan kepada
Allah yang tidak dikenal" untuk mewartakan Allah dan tindakan
keselamatan-Nya melalui Yesus Kristus (Kis 18:22-28). Dua upaya yang
ditempuh oleh Paulus melalui pewartaan di Sinagoga dan penggunaan
tradisi lokal di Atena boleh dikatakan tidak membawa hasil yang signifikan.
Di banyak Sinagoga, Paulus ditolak. Di Atena, Paulus juga mengalami
penolakan. Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa Paulus gagal
membawa Injil meskipun ia telah masuk melalui pintu tradisi/budaya
mereka? Apa yang bisa dipelajari dari kegagalan Paulus ini dalam upaya
membangun dialog antara Gereja dan budaya? Model dialog seperti apakah
yang bisa ditempuh oleh Gereja dalam perjumpaan dengan budaya?

Paulus sadar akan perutusannya untuk memberitakan Injil, khususnya


kepada orang-orang bukan Yahudi (Gal 1:16). Ia meninggalkan tiga pusat
keyahudian pada masa itu (Palestina, Aleksandria, dan Babilonia) dan
mengarahkan penginjilannya ke kota-kota di wilayah utara daerah Medi-
teran untuk memberitakan Injil. Kota-kota yang dikunjungi Paulus pada
umumnya adalah pusat-pusat metropolit di mana Paulus memberitakan inti
Injil yang dibawanya dan berharap agar dari pusat-pusat metropolit itu
tersiar berita Injil ke daerah-daerah sekitar.1 Sebagai contoh, Paulus memu-
satkan penginjilannya di Efesus dan dari sana rekan-rekan sekerja Paulus
melakukan penginjilan di provinsi Asia yang kemudian memuncuLkan tujuh
jemaat di Asia Kecil yang tercatat di kitab Wahyu. Paulus tidak
mengunjungi Kolose dan Laodicea, tetapi mempercayakan kedua jemaat
tersebut kepada Fpafras.
Dalam surat Galatia, tampak kesan bahwa setelali memperoleh
penugasan dari Allah untuk memberitakan Injil, Paulus langsung
mengarahkan pewartaan Injilnya kepada orang-orang non-Yahudi (Gal 1:15­
17). Ia tidak bergerak dari pewartaan kepada bangsa Yahudi menuju kepada
bangsa-bangsa non Yahudi, melainkan ia langsung mewartakan Injil kepada
bangsa-bangsa non Yahudi. Kisah Para Rasul menampilkan sebuah pola
pewartaan Injil yang dilaksanakan oleh Paulus dan teman-teman
misionarisnya. Pada tahap pertama, Paulus pergi kepada orang-orang
Yahudi di Sinagoga dan baru karena penolakan dari pihak orang-orang
Yahudi, Paulus kemudian mengarahkan pewartaan Injil kepada orang-
orang non-Yahudi yang pada mulanya datang menghadiri ibadat di
sinagoga. Setiap kali datang ke sebuah kota non Yahudi, Paulus akan
menuju ke Sinagoga karena di sana berkumpul orang-orang Yahudi dan
mereka yang takut akan Allah untuk beribadat (Kis 13:5.14; 14:1; 16:13;
17:1.10.17). Kepada mereka diberitakan Allah yang diwartakan di dalam
Kitab Suci dan yang menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Iman
akan Yesus Kristus menjamin keselamatan manusia. Pewartaan Paulus
bermula dari Kitab Suci dan berakhir dengan Yesus Kristus. Fokus
pewartaan Paulus adalah Yesus Kristus yang dengan salib mengikut-
sertakan orang ke dalam kematian-Nya dan dengan kebangkitan-Nya
membawa mereka kepada kehidupan. Penolakan oleh orang-orang Yahudi
membuat Paulus menempuh strategi lanjut dari upaya penginjilannya yakni
dengan mendatangi orang-orang non-Yahudi yang membuka diri bagi Injil
yang diwartakannya. Dari pola ini tampak bahwa yang pertama-tama dituju
oleh Paulus dalam pewartaan Injilnya adalah orang-orang Yahudi, baru
kemudian orang-orang non-Yahudi.2 Pola ini tampak berbeda dari
pernyataan-pernyataan Paulus sendiri di beberapa suratnya di mana ia
langsung mengarahkan pewartaannya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi
karena memang itulah yang menjadi perutusan khasnya (Gal 1:16-17).
Pewartaan Paulus tentang Allah yang menyelamatkan umat-Nya
sebagaimana dikatakan di dalam Kitab Suci diterima oleh jemaat Yahudi di
Sinagoga karena bersesuaian dengan ajaran Yahudi, tetapi pewartaan
bahwa karya keselamatan Allah itu terjadi melalui wafat dan kebangkitan
Yesus yang diimani oleh orang-orang Kristen sebagai Mesias mendapat
penolakan yang tidak kecil. Tidak jarang juga muncul kecemburuan dari
pihak orang-orang Yahudi atas keberhasilan Paulus menarik banyak orang
kepadanya (Kis 17:5). Paulus mengalami penolakan dalam aneka rupa:
ditangkap, dihadapkan pada pembesar kota dan dipenjarakan (Kis 16:19­
23), didera (Kis 16:23), dilempari dengan batu (Kis 14:5), dibelenggu, diseret
ke luar kota. Paulus menyebut peristiwa-peristiwa itu di 2 Kor 11:23-28.
Tidak hanya di satu kota ia mengalami penganiayaan, melainkan di setiap
kota. Kecuali di Korintus dan Efesus, Paulus harus meninggalkan sebuah
kota karena ia dikejar-kejar oleh orang-orang setempat, entah kaum Yahudi
atau penduduk asli. Karena itulah, Paulus tidak pernah berlama-lama
tinggal di sebuah kota. Ia harus bergegas pergi ke kota lain untuk
memberitakan Injil. Pola seperti itu terus terulang dan sebenarnya
merupakan sebuah blessing in disguise. Justru karena ditolak di setiap kota,
Paulus pergi ke kota-kota lain dan membawa warta Injil kepada bangsa-
bangsa.
Jalan pewartaan yang ditempuh oleh Paulus merupakan jalan yang
paling mungkin dilakukan pada masa itu, yakni ketika kekristenan belum
menjadi sebuah agama yang terpisah dari agama Yahudi. Injil tentang Yesus

Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min fvida Misi Paulus • ■ 121
Kristus bukanlah pewartaan yang dimaksudkan untnk menentang iman
Yahudi. Yesus sendiri tidak bermaksud untuk membentuk sebuah agama
baru atau mendirikan sebuah institusi keagamaan seperti Gereja. Gerakan
Yesus merupakan sebuah gerakan pembaharuan spiritual di dalam agama
dan tradisi Yahudi, sama seperti gerakan Yohanes Pembaptis yang juga
berupa gerakan pembaharuan kerohanian di dalam agama Yahudi. Yesus
menjadi pengkotbah keliling, nabi yang memanggil orang-orang kepada
pertobatan di tengah-tengah kehidupan bangsa Yahudi. Kelangsungan iman
Yahudi dan iman akan Yesus ditunjukkan oleh Paulus dalam pewartaannya
yang selalu berawal dengan penjelasan tentang Kitab Suci dan baru
kemudian masuk ke dalam warta tentang Yesus. Jalan pewartaan yang
ditempuh oleh Paulus adalah jalan tradisional dalam pewartaan Yahudi
yakni dalam pewartaan sabda di Sinagoga di mana dibacakan Kitab Suci,
dikidungkan Mazmur, digemakan harapan-harapan mesianik dan seruan-
seruan para nabi. Sebagai seorang yang dididik dalam tradisi Farisi, Paulus
memperoleh kesempatan untuk memberitakan Kitab Suci di Sinagoga.
Dengan demikian, ia masuk melalui pinhi yang biasa dimasuki oleh orang-
orang Yahudi yakni peribadatan di Sinagoga, tetapi ia rupanya tidak
berhasil membawa mereka (paling tidak sebagian besar dari mereka) keluar
melalui pinhi yang diinginkannya; yakni iman akan Yesus Kristus. Jemaat
Yahudi dengan tegas menolak pewartaannya tentang Yesus.

Mengapa Paulus gagal membawa orang-orang Yahudi kepada iman


akan Yesus? Kesulitan yang dihadapi oleh Paulus ada pada benturan
ajaran/dogma. Pengakuan iman bahwa Yesus yang disalibkan kini bangkit
dari mati dan diakui sebagai Mesias tidak dapat didamaikan dengan apa
yang tertulis di dalam Kitab Suci yang menjadi dasar iman Israel. U1 21:22­
23 menyatakan bahwa seorang yang digantung di pohon terkutuk oleh
Allah. Atas dasar ayat tersebut, orang yang mati di salib (di pohon, di tiang)
dikategorikan sebagai orang yang dikutuk oleh Allah. Secara religius dia
adalah orang terkutuk, secara sosial dia adalah seorang penjahat. Dalam
keyakinan iman Yahudi, tidak mungkin seorang yang mati sebagai seorang
terkutuk diangkat oleh Allah menjadi Mesias. Di sinilah terletak inti
penolakan orang-orang Yahudi pada iman Kristen yang diwartakan oleh
Paulus tentang Yesus yang wafat di salib, bangkit, dan diakui sebagai
Kristus. Dengan demikian, pintu yang dimasuki oleh Paulus adalah pinhi
yang benar yakni pintu pewartaan dalam peribadatan Yahudi, tetapi isi
pewartaan iman Paulus tidak bisa didamaikan dengan iman Yahudi. Tetapi,
meskipun ditolak oleh sebagian besar orang Yahudi, Paulus diterima
terutama oleh orang-orang non Yahudi yang takut kepada Allah yang turut
beribadat di Sinagoga dan Paulus pun mengalihkan pewartaannya kepada
mereka ini.
Dalarn perjalanan pewartaan Injil, Paulus membawa Injil melintasi
daerah-daerah di Asia dan masuk ke wilayah Yunani yang merupakan
institusi dan elit dominan dalam dunia baru pada zamannya. Iman Kristen
berada dalam sebuah proses transformasi radikal pertama dengan sedikit
demi sedikit melepaskan diri dari akar-akar tradisi Yahudi dan menemukan
bentuk baru di dalam dunia Hellenist Paulus datang ke Atena setelah
mengalami banyak penolakan di berbagai kota Yunani seperti Tesalonika
dan Berea. Di Atena, ia menjumpai banyak patung dewa-dewi sembahan
orang-orang Yunani. Selain itu, ia juga bertemu dengan orang-orang
setempat. Karena orang-orang Yunani adalah orang-orang yang senang
berbicara dan memperdebatkan banyak hal, Paulus juga setiap hari bertemu
dengan orang-orang di pasar.4 Dikatakan oleh Lukas, "Adapun orang-orang
Atena dan orang-orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu
untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu
yang baru" (Kis 17:21). Orang-orang Yunani yang berasal dari golongan
Epikuros dan Stoa bertanya-tanya tentang Paulus dan sebagian dari mereka
berpikir baliwa ia membawa ajaran baru. Mereka ingin mendengar ajaran
baru yang dimilikinya terutama tentang Yesus yang wafat dan bangkit.
Paulus dibawa ke sidang di Areopagus untuk menjelaskan kepada
orang-orang Atena ajaran yang diwartakannya. Sebagai orang yang juga
dididik dalam kultur Hellenis di Tarsus, Paulus mengenal dengan baik cara
hidup orang Atena ini. Ia pun berbicara kepada mereka tentang Allah yang
menjadikan langit dan bumi dan segala isinya, dan yang akan menghakimi
dunia melalui orang yang telah dipilih-Nya yang dibangkitkan-Nya dari
antara orang mati. Ia berbicara sebagai seorang pewarta eskatologis yang
mewartakan pertobatan, saat yang telah ditentukan Allah, dan hakim yang
akan datang untuk mengadili/’ Jaminan atas semua itu adalah kebangkitan
Yesus. Untuk berbicara tentang Allah yang semacam ini, Paulus meng-
gunakan mezbah yang dibaktikan kepada Allah yang tidak dikenal. "Apa
yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada
kamu" (Kis 17:23). Paulus memanfaatkan kekayaan khasanah keagamaan
Atena untuk membawa orang-orang Atena dalam pengenalan akan Allah
dan akan Yesus Kristus. Ini adalah model kedua yang diambil oleh Paulus
dalam pewartaan Injil. Di tengah-tengah orang Yahudi, dia masuk melalui
pintu peribadatan di Sinagoga. Ia membawa warta tentang Yesus Kristus
dengan meletakkan dasar-dasarnya pada Perjanjian Lama. Kepada orang-
orang Atena, Paulus masuk melalui salah satu elemen kepercayaan mereka
pada Allah yang tidak dikenal.

Agama orang-orang Yunani bersifat politeis. Ada banyak dewa-dewi


yang disembah dan untuk setiap dewa/dewi didirikanlah sebuah mezbah.
Salah satu mezbah didirikan untuk allah yang tidak dikenal (theos agnotos).

Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min fvida Misi Paulus • ■ 123
Pilihan Paulus untuk menjelaskan bahwa Allah adalah tlwos agnotos itu tentu
mengandung bahaya besar bagi iman Kristen dalam konteks Yunani, yakni
bahwa Allah yang diwartakan bisa dimengerti oleh orang-orang Yunani
sebagai allah yang seperti atau sejajar dengan dewa-dewi lain yang menjadi
sembahan mereka. Allah hanyalah salah sahi dari antara dewa-dewi dalam
pantheon Yunani. Paulus menempatkan monotheisme Yahudi dalam
bahaya, tetapi jalan terbatas itu diambil oleh Paulus untuk memperkenalkan
Allah dan Yesus Kristus kepada orang-orang Yunani. Dari sini tampak
bahwa jalan pemberitaan Injil dengan memanfaatkan pintu-pintu yang
dibuka oleh budaya setempat selalu bersifat terbatas dan tidak sanggup
menyatakan seluruh misteri iman akan Allah yang melangsungkan karya
penyelamatan-Nya melalui Dia yang tersalib dan bangkit.
Kesulitan yang dihadapi Paulus tidak berhenti di situ. Theos agnotos
memungkinkan dia memperkenalkan Allah kepada orang-orang Yunani,
tetapi pemberitaan tentang “Dia yang dibangkitkan dari antara orang mati"
segera mendapatkan penolakan dari orang-orang Atena. Begitu mendengar
pemyataan Paulus tentang bangkit dari kematian, orang-orang Yunani
berseru, "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu."
Ungkapan ini adalah ekspresi penolakan orang-orang Atena untuk
mendengar pembicaraan tentang bangkit dari mati. Paulus pun dikatakan
gagal mempertobatkan para filsuf di Athena.6 Meskipun dikatakan bahwa
mereka tidak memiliki waktu lain selain untuk mengatakan dan mendengar
segala sesuatu yang baru, mereka tidak bisa menerima pewartaan Paulus
tentang orang yang bangkit dari mati. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
filsafat neo-Platonisme yang menjadi aliran filsafat paling kuat yang
membangun cara berpikir dan cara memahami dunia dan hidup orang
Yunani pada zaman itu. Warta eskatologis yang dibawa oleh Paulus ditolak
karena helenisme telah meninggalkan eskatologi semacam itu dan karena di
dalam dunia Romawi, deifikasi kaisar Agustus telah menyingkirkan semua
spekulasi apokaliptik dan mesianik.7 Dalam dualisme neo-Platonisme yang
memisahkan badan dan jiwa, kebangkitan dari kematian adalah gagasan
absurd. Bagi kelompok Neo-Platonisme yang membedakan kenyataan
menjadi dunia materi dan dunia roh/jiwa, yang nyata, utama dan kekal
adalah jiwa sementara badan atau materi adalah penjara jiwa. Jiwa yang
abadi terkubur di dalam badan yang fana. Yang dicita-citakan adalah
terlepasnya jiwa dari badan supaya ia masuk kembali ke alam roh, ke dalam
kemerdekaan dan kekekalan. Karena itu, kematian merupakan saat
pembebasan jiwa. Bagi orang-orang yang memiliki pemikiran seperti ini,
kebangkitan menjadi celaka. Mengapa jiwa yang sudah merdeka dan
kembali ke alam roh yang abadi harus masuk kembali ke badan fana untuk
bangkit lagi?
Dari dua contoh upaya penginjilan Paulus ini menjadi jelas bahwa tidak
semua elemen di dalam budaya atau agama sebanding dengan apa yang ada
di dalam iman Kristen dan dapat dipergunakan untuk menjelaskan iman
Kristen secara menyeluruh. Dalam perjumpaan iman Kristen dengan iman
lain, ada unsur yang bisa disejajarkan dan didialogkan (misalnya tentang
Allah yang menyelamatkan, tentang kepengantaraan, kurban, pengampun-
an, keselamatan), tetapi juga ada unsur-unsur lain yang tidak terdamaikan.
Ekspresi-ekpresi iman seperti peribadatan sinagoga, persembahan, dialog
filosofis/teologis bisa menjadi jalan masuk dalam perjumpaan iman Kristen
dengan budaya atau agama lain, tetapi tidak menyediakan banyak ruang
untuk subur dan kayanya penerusan inti iman Kristen akan Yesus sang
Mesias yang bangkit. Dalam sebuah agama, terkandung unsur Allah yang
mewahyukan diri, manusia yang menerimanya dengan iman, dan ekspresi-
ekspresi iman dalam pengungkapan maupun dalam perwujudan. Allah
yang mewahyukan diri di dalam Yesus Kristus menjadi kekhasan iman
Kristen yang tidak terdamaikan dengan keyakinan iman dalam agama lain.
Sementara ekspresi-ekspresi iman Kristen dapat bertemu dalam dialog
dengan ekspresi-ekspresi iman atau budaya lain, inti iman Kristen tetaplah
khas dalam dirinya sendiri.

Yang hakiki dalam iman seringkali menjadi unsur yang tak terdamaikan
dengan elemen budaya lain. Dalam hal iman Kristen, pengakuan iman
baliwa Allah melaksanakan karya keselamatan secara sempurna di dalam
Yesus Kristus yang wafat dan bangkit dari mati tidak diterima baik oleh
orang-orang Yahudi maupun oleh orang-orang Yunani. Dalam kasus Paulus
di Atena, adalah sebuah kemustahilan menempatkan Allah di samping
dewa-dewi sembahan Yunani. Kebangkitan Kristus dari kematian juga
merupakan skandal kepercayaan bagi orang-orang Yunani yang meng-
harapkan kelepasan kekal jiwa dari badan. Sementara itu, pengakuan bahwa
Yesus yang tersalib adalah Kristus menjadi skandal bagi iman Yahudi yang
memandang baliwa orang yang mati di salib adalah seorang yang dikutuk
oleh Allah. Inti iman tidak bisa dikorbankan demi ekspresi-ekspresi iman
yang lebih sesuai dengan kultur setempat.
Dalam semua kesulitan praktis dan teologis yang dihadapi oleh Paulus
dalam pemberitaan Injil, penolakan merupakan sebuah tanda pengharapan.
Tidak selamanya upaya dialog dengan budaya dan agama akan
menampakkan kesuksesan yang besar dan yang dapat dilihat dalam waktu
cepat. Paulus mengalami hal ini. Pewartaan Injilnya menghadapi banyak
penolakan, tetapi pewartaannya tidak pernah menjadi sia-sia. Selalu ada
sekelompok orang yang membuka diri bagi warta Injil itu. Penolakan justru
menjadi tanda pengharapan karena memaksa Paulus untuk keluar dari kota
tertentu dan pergi ke kota-kota lain untuk membawa warta Injil.

Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min fvida Misi Paulus • ■ 125
Dari tinjauan singkat di atas tampak bahwa dialog dalam/melalui
ekspresi-ekspresi budaya dapat membuka kesempatan untuk membawa
pesart iman, tetapi ekspresi-ekspresi budaya tidak mampu menjadi sarana
yang sempurna untuk mengungkapkan keutuhan iman Kristen dan tidak
ada ekspresi budaya yang sanggup menyatakan inti iman akan Allah yang
menyatakan keselamatan bagi setiap orang melalui Yesus yang wafat dan
bangkit. Oleh karena itu, segala bentuk dialog dengan budaya tidak boleh
mengerdilkan inti iman atau membahayakan inti iman Kristen. Dengan kata
lain, inti iman tidak dikurbankan hanya supaya orang-orang Kristen dapat
hidup dalam kebersamaan dengan budaya dan juga dengan agama-agama
lain.

GEREJA DAN BUDAYA


Pada hakikatnya, Gereja adalah persekutuan orang-orang yang
mengimani Allah yang memberikan diri-Nya dan keselamatan-Nya bagi
seluruh ciptaan dan memberikannya secara sempurna melalui Yesus
Kristus. Di dalam Gereja, ada iman akan Allah yang merupakan esensi
Gereja, ada orang-orang beriman, dan ada ekspresi-ekspresi iman. Allah
yang diimani berada di luar kuasa manusia. Allah tidak berasal dari dunia,
tetapi orang-orang beriman berasal dari dunia dan mengekspresikan
imannya dalam cipta, rasa dan karsa duniawi yang dimiliki. Dalam diri
setiap manusia, ada kerinduan akan Yang Transenden atau Yang Ilahi yang
tidak bisa dipuaskan hanya dalam batas-batas capaian kodrat (natural) dan
manusiawi. Manusia menciptakan ekspresi-ekspresi duniawi untuk
mengungkapkan keterarahannya pada yang Ilahi. Tidak ada ciptaan budaya
yang dapat menyembunyikan dasar-dasar religius, yanki keterahan kepada
Yang Ilahi.8 Bahkan budaya yang dianggap sekuler pun tetap menampilkan
konsern dan keseriusan akan nilai-nilai tertinggi, tak bersyarat meskipun
tidak diungkapkan dengan label agama tertentu.
Dalam iman Kristen, Yang Ilahi ini ditemukan dalam diri Allah yang
untuk memberikan diri-Nya dan membawa keselamatan bagi seluruh
ciptaan, hadir dan bekerja dalam diri Yesus melalui penjelmaan (inkarnasi)
dalam kehidupan dunia sampai wafat dan kebangkitan-Nya. Wafat dan
kebangkitan-Nya membawa dunia dan manusia ke dalam keselamatan,
yakni ke dalam kesatuan dengan Allah sang sumber hidup. Iman ini
dipegang kokoh dan tidak digoncangkan oleh tekanan-tekanan dari mana
pun. Iman ini diekspresikan di dalam persekutuan orang beriman dalam
aneka wujud: institusi, pengajaran (teologi), disiplin hidup bersama, ritus,
musik, ulah kesalehan. Iman akan Allah di dalam Yesus Kristus dan
ekspresi-ekspresi manusia untuk menyatakan dan mengungkapkan iman
itulah yang melahirkan Gereja. Oleh karena itu, pada dasarnya Gereja
merupakan persekutuan yang dibangun atas dasar iman akan Allah yang
menyelamatkan seluruh ciptaan melalui Yesus dan yang mengekspresikan
iman tersebut dalam aneka ungkapan dan perwujudan.

Sementara itu, budaya dimengerti sebagai keseluruhan cipta, rasa, dan


karsa manusia beserta dengan hasil-hasilnya dalam memperjuangkan
hidupnya di dunia. Budaya tumbuh karena upaya manusia untuk
melaksanakan mandat yang diberikan oleh Allah untuk memenuhi dan
menguasai dimia (Kej 1:28). Segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan
oleh manusia dalam upaya memenuhi dan menguasai/mengatur dunia
tersebut adalali budaya; entail itu ilmu pengetahuan, teknik, seni, dan
barang apa pirn yang dihasilkan oleh manusia. Dunia adalali ciptaan Allah
dan apa yang dihasilkan oleh manusia dari dunia yang diciptakan oleh
Allah ini adalali budaya. Budaya menjadi wujud sosial dari ekspresi-
eskpresi tentang pengalaman dan penilaian yang memberi ciri dan sekaligus
juga membentuk komunitas. Budaya memberi arah, identitas, dan visi bagi
komunitas. Dalam pemahaman seperti ini, agama merupakan salali satu
bentuk dari budaya manusia, meskipun Allah yang diimani oleh orang-
orang beragama mengatasi cipta, rasa, dan karsa manusia. Oleh karena itu,
selalu ada persinggungan antara agama dan budaya. Iman akan Allah yang
menjadi inti setiap agama diekspresikan dalam ungkapan-ungkapan
budaya: pemahaman, tata nilai, perilaku, dan seni.
Dalam perjalanan sejarah, hubungan antara agama dan budaya
diwarnai dengan ketegangan antara harmoni dan konflik. Di beberapa
wilayah, agama hid up berdampingan dengan budaya, balikan saling
memperkaya dan memberi kebaharuan. Di tempat lain, pandangan-
pandangan klias agama tampil sebagai kekuatan yang menyingkirkan atau
bahkan menghancurkan budaya. Tidak bisa dipungkiri kenyataan bahwa
ada agama yang menjadikan budaya setempat sebagai figur antagonis yang
harus dilawan, atau paling tidak ditundukkan di bawah agama. Agama
membawakan diri sebagai kekuatan yang melebihi budaya dan
menempatkan diri di atas budaya. Agama yang akrab dengan budaya dan
memberi tempat bagi unsur-unsur budaya setempat justru dianggap bukan
lagi agama yang puritan, yang asli.

Di masa-masa pra-modern, agama masuk begitu dalam sehingga


budaya setempat sangat diwarnai oleh agama. Eropa dibangun
berlandaskan nilai-nilai kekristenan. Daerah Arab liidup dengan landasan-
landasan keislaman. India menjadi bangsa yang kokoh dalam dasar-dasar
Hinduisme yang kuat. Di masa modern, situasi telah berubah. Kultur
modern menaruh kecurigaan kepada agama dan tidak memberi tempat
leluasa lagi bagi agama. Revolusi Perands menjadi momen besar pemisahan

Gerejn dan Dialog Bndai/a fiercer min fvida Misi Panins • ■ 127
antara agama dan negara. Keduanya seolah merupakan dua entitas berbeda
yang bisa hidup berdampingan tetapi tanpa relasi atau bahkan saling
mencurigai dan menyerang. Kekristenan yang selama berabad-abad
meresapi kehidupan Eropa pada akhirnya tidak diterima dalam Konstitusi
Uni Eropa sebagai akar yang turut membangun peradaban benua biru
tersebut meskipun mereka menerima warisan kultur Yunani dan Romawi
sebagai pembangun identitas mereka.
Di sisi lain, tidak jarang agama yang dominan juga bersikap negatif
terhadap budaya. Paul Tillich mencatat bahwa kekristenan pernah menolak
perubahan kultural atau polihk karena beranggapan bahwa pembaharuan
kultural dan politis tersebut merupakan sebuah ekspresi pemberontakan
otonomi sekuler.9 Dalam relasi antara Gereja dan budaya yang kadang ada
dalam ketegangan ini, perlulah ditemukan model-model perjumpaan yang
subur dan saling memperkembangkan karena sikap negatif budaya
terhadap agama maupun agama terhadap budaya hanya akan merugikan
keduanya. Dengan demikian, Gereja tidak hanya berisi kumpulan ritus,
ajaran, simbol, dan emosi manusiawi tetapi juga keterarahan kepada nilai-
nilai tertinggi karena manusia disentuh oleh Yang Ilahi.ul Keterahan pada
nilai tertinggi tersembunyi, tetapi terwujudkan dalam ekspresi-ekspresi
budaya manusiawi.

MENGINKARNASIKAN IMAN DI ASIA


Apa yang dapat dipelajari dari pengalaman Paulus dalam memper-
gunakan khasanah budaya/religi setempat dalam pewartaan Injil yang
dilaksanakan oleh Gereja sekarang ini? Model perjumpaan seperti apakah
yang perlu dimasuki oleh Gereja dalam perjumpaannya dengan budaya?
Salah satu kaidah perjumpaan iman dan budaya yang mengalir dari pola
pewahyuan dalam Perjanjian Baru adalah pola inkarnatoris. Untuk dapat
masuk dalam kehidupan manusia, Allah sendiri menjadi manusia di dalam
diri Yesus. Hanya karena Allah menjadi manusia, manusia melihat
kemuliaan Allah dan mengenal rencana dan kehendak-Nya.Tidak ada pola
perjumpaan dengan agama atau budaya yang lebih kokoh daripada pola
inkarnatoris. Gereja dipanggil untuk mampu menerjemahkan iman akan
Allah dengan bahasa dan cita rasa yang dipahami oleh budaya setempat.
Ekspresi-ekspresi Gereja yang asing untuk budaya setempat perlu dilepas
tanpa mengorbankan inti iman Gereja akan Allah. Maka, pola inkarnatoris
mengundang Gereja untuk melepaskan kemapanannya dalam mengekspre-
sikan iman yang dalam kenyataannya adalah ekspresi-ekspresi iman alia
Eropa (pakaian, tata cara liturgi, teologi, norma-norma hidup Gereja, dst).
Gereja membutuhkan kerelaan untuk melepaskan apa yang bukan inti dari
iman agar ekpresi-ekspresi yang adalah baju iman itu tidak justru membuat
budaya dan agama lain menutup pintu bagi iman Kristen. Ritus, ajaran,
institusi dan simbol dalam sebuah sistem religius (agama) merupakan
sebuah budaya religius yang berasal dari budaya-budaya umum di sekitar,
dari struktur sosial ekonomi, dari ekspresi filsafat, bahasa, dan seni.11
Budaya yang satu memunculkan budaya religius yang berbeda dari budaya
yang lain. Atas dasar kenyataan ini, Gereja juga selalu perlu menghargai
budaya dalam mendialogkan iman. Budaya setempat memiliki kekayaan
tradisi dan cita rasa religius yang juga dapat memberi wama baru bagi
ekspresi-ekspresi iman Gereja. Ketika Gereja memaksakan budaya
religiusnya atas budaya lain, yang diberikan hanyalah ekspresi-ekspresi
terbatas dan sementara, sedangkan Allah yang menjadi inti dari setiap
kepercayaan tidak sampai kepada mereka. Tidak ada agama yang bisa
menjadikan dirinya sebagai yang absolut di atas budaya dan agama lain.
Langkah kedua adalah menterjemahkan secara baru inti iman Kristen ke
dalam budaya setempat; menginkarnasikan iman ke dalam budaya. Tahap
kedua ini pasti lebih sulit karena yang didialogkan bukan hanya ekspresi
iman, tetapi inti iman Kristen. Paulus dan jemaat perdana mengalami betapa
tidak mudah mendialogkan iman Kristen dengan keyakinan orang-orang
Yahudi bahwa Yesus yang tersalib adalah Mesias yang dipilih oleh Allah;
atau mendialogkan dengan orang-orang Atena bahwa Yesus yang wafat
disalib itu bangkit. Dialog dijalankan agar inti iman itu terjelaskan dan
dipahami dan kalau mungkin dipeluk juga oleh partner dialog. Menginkar­
nasikan inti iman Kristen dalam budaya setempat selalu menjadi tantangan
yang mendatangkan harapan-harapan baru dalam pertumbuhan iman yang
semakin subur dan kaya.

Gereja hadir di tengah budaya-budaya di mana Injil diwartakan. Gereja


hadir di Asia, di Indonesia, di Jawa, dan di berbagai tempat lain. Sejak tahun
1970, para uskup Asia menyadari perlunya Gereja berdialog dengan realitas
Asia yang mencakup tiga bidang: agama, budaya, dan kemiskinan. Gereja
Asia menyatakan komitmennya imtuk masuk dalam dialog dengan
keanekaragaman budaya, agama, dan realitas kemiskinan karena tiga
realitas itu yang dihadapi secara konkret oleh masyarakat Asia sehingga
Gereja tidak lagi hanya menjadi Gereja di Asia melainkan Gereja Asia.
Ketidakmampuan Gereja berdialog dengan ketiga realitas Asia ini
menjadikan kehadirannya tidak signifikan. Gereja tidak sanggup menampil-
kan identitasnya dan melaksanakan misinya tanpa memasukkan pertim-
bangan, cara berpikir, dan praktek-praktek hidup Asia. Gereja masih akan
menjadi Gereja asing, Gereja Eropa, Gereja kaum kolonial. Kungkungan
kultur dan tradisi Eropa yang mewarnai Gereja di Asia tidak bisa bertahan
dalam konteks baru keragaman budaya dan agama serta kemiskinan di
Asia.

Gereja dan Dialog Budaya Bercermin jvida M isi Paulus • ■ 129


Karena hidup di tanah Asia, sudah semestinya Gereja menjadikan
kultur dan tradisi budaya Asia sebagai partner dialog yang saling
memperkaya. Hanya dalam sebuah dialog, kemajuan yang saling mengun-
tungkan dapat diperoleh. Dalam sidang pertama para uskup Asia tahun
1970, muncul kesadaran bahwa "Kita tidak menginkarnasikan hidup
Kristiani dan mendagingkan Gereja dalam cara-cara dan pola-pola budaya-
budaya kita dan dengan demikian membiarkannya asing di tanah kita."
Posisi yang diambil adalah posisi saling menghargai, saling menyumbang,
dan saling diperkembangkan. Gereja tidak menghadapi budaya sebagai
realitas antagonis atau realitas yang sama sekali tidak bisa berpadu
dengannya karena orang beriman adalah orang-orang yang hidup dalam
budaya setempat. Orang-orang Kristen di Asia adalah orang-orang Asia.
Sebelum iman Kristen datang ke Asia, Asia telah hidup dalam kekayaan
budaya sendiri yang tidak dipandang lebih rendah dari kultur Eropa.
Kekristenan berjuang untuk tidak menampilkan diri sebagai agama dan
kekuatan kolonial, sebagai pemegang monopoli kebenaran dan teologi serta
ritus liturgi impor. Melalui perjumpaan dialogis dengan budaya Asia (baca:
dengan mendarahdagingkan iman, menginkarnasikan iman di Asia), Gereja
bertransformasi menjadi Gereja Asia yang otentik yang berwajah Asia.
"Gereja sungguh menjadi katolik ketika bertransformasi dengan masuk
dalam dialog dengan budaya-budaya dan agama-agama Asia dan
mentransformasi mereka dengan kekuatan Roh yang membuat segala
sesuatu baru. „12

Dalam keanekaragaman budaya Asia, Gereja tidak bisa menghindarkan


diri dari perjumpaan dan sebuah pilihan harus diambil: berdiam diri dalam
kekokohan Gereja yang masih bersifat Eropa sehingga menjadi entitas asing
di Asia ataukah masuk dalam dialog dengan budaya-budaya untuk saling
memperkaya. Tidak dapat dipungkiri kesan dan anggapan bahwa Gereja
merupakan sosok asing bagi sebagian besar masyarakat Asia meskipun
iman Gereja tumbuh dari pribadi Yesus yang adalah orang Asia yang
tumbuh dalam budaya Yahudi yang juga adalah Asia. Sejarah jemaat
perdana menampakkan sebuah situasi simbolik. Yesus dan para murid
adalah orang-orang Yahudi dan membawa pesan pembaharuan spiritual
bagi orang-orang Yahudi. Hanya karena penolakan orang-orang Yahudi,
pesan spiritual itu dibawa oleh para misionaris Kristen keluar dari Palestina
dan menyeberang ke Eropa. Banyak orang Eropa menerimanya. Pesan-
pesan spiritual khas Asia masuk dalam kultur Yunani-Romawi Eropa dan
meresapi kultur Eropa. Kekristenan yang Asia menjelma menjadi kekuatan
sosial-religius-politis yang tampil dalam wujud Eropa. Ketika Yesus Kristus
dibawa kembali ke Asia oleh para misionaris dari Eropa, orang-orang Asia
tidak lagi mengenali Yesus Kristus sebagai seorang Asia. Yesus Kristus
adalah orang Eropa. Kekristenan adalah agama Eropa. Oleh karena itu,
salali satu fokus perjuangan Gereja Asia adalah menemukan kembali wajah
Yesus Asia. Di manakah wajah Yesus itu tampak? Seperti apakah wajah
Yesus yang Asia? Lewat jalur manakah wajah Yesus Asia itu bisa
ditemukan?

Gereja hanya dapat menghadirkan diri secara tepat kalau ia masuk


dalam dialog dengan tiga realitas Asia. Dialog menjadi daya hidup Gereja
yang terbangun dalam dua dimensi: dalam dialog Gereja dengan Kristus
yang menjadi dasar hidup dan dalam dialog Gereja dengan realitas Asia
yang menjadi konteks hidup bagi iman Gereja akan Yesus Kristus. Dialog
menjadi cara hidup dan cara pewartaan Injil dalam Gereja Asia. Untuk bisa
mewartakan Kristus dan kabar gembira yang dibawa-Nya, Gereja perlu
membiarkan diri untuk diubah oleh segala yang baik dari budaya-budaya
Asia dan juga untuk dengan berani dan yakin mentransformasi segala hal di
dalam budaya yang tidak berpadanan dengan panggilan untuk hidup di
dalam Kristus. Dalam dialog tersebut, baik Gereja maupun budaya saling
diperkaya dan diperkembangkan.

Gereja berusaha menemukan cara yang tepat untuk mewartakan Kristus


dengan cara yang sesuai dengan mentalitas mereka yang menerima
pewartaan itu dan dengan hormat pada budaya setempat. Dialog dengan
budaya (inkulturasi) adalah sebuah imperatif untuk Gereja di Asia karena
untuk sebagian besar warga Asia, Gereja masih menjadi institusi luar yang
asing dari kekuatan kolonial.13 Gereja menjadi institusi asing dalam cara
hidup, struktur institusional, ritus penyembahan, kepemimpinan, dan juga
teologinya. Asing bagi masyarakat Asia masih menjadi identitas kultural-
nya. Dalam situasi ini, Gereja sadar, bersemangat, dan berkomitment pada
tantangan dan keharusan mendasar untuk mengakarkan iman Kristen
dalam dunia Asia. Yang perlu diakarkan adalah hidup dan pesan Injil di
Asia (FAPA 1,6) melalui inkulturasi yang memiliki tujuan "supaya iman
terinkulurasi dan budaya terevangelisasi" (FAPA III, 27). Inkulturasi
bukanlah adaptasi dari kekristenan yang sudah siap pakai ke dalam situasi
baru, tetapi sebuah pembumian sabda dalam Gereja lokal.14 Gereja perlu
mengupayakan agar dalam pewartaan Injil, orang-orang menerima sabda
dan menjadikan sabda itu sebagai prinsip hidup, nilai-nilai yang
diperjuangkan, sikap dan cita-cita mereka. Gereja menemukan identitas
barunya, tanpa kehilangan apa pun dari kekayaan akar kulturalnya, dengan
mengintegrasikan budaya setempat ke dalam kekayaan iman dan tradisi
Gereja. Dialog yang diupayakan oleh Gereja berpola pada inkamasi Yesus
yang masuk dalam keutuhan kondisi manusia (kecuali kedosaan) untuk
menebus dan membawanya ke dalam misteri Paskah. Yesus masuk menjadi
manusia dan masuk ke dunia untuk membawa dunia dan manusia dalam
keberadaan baru. Gereja masuk ke dalam budaya agar Gereja dan budaya

Gereja dan Dialog Budaya Bercennin jvida Misi Paul us ■ 131


saling diperkaya dan diperkembangkan dan membawa budaya ke
kebaharuan.

Dengan demikian, inkulturasi pada dasarnya adalah dialog antara Injil


dan realitas di mana ia dinyatakan. Inkulturasi lebih daripada perubahan
ritus dan simbol, tetapi pengayaan iman berkat sumbangsih dari budaya
setempat. Dengan berinkulturasi, Gereja tidak melemahkan imannya tetapi
meneguhkan dan memperkayanya melalui perjumpaan dengan budaya.
Gereja tidak hanya memberi dan mengubah, tetapi juga menerima dan
diubah. Yang berubah pasti bukan inti iman akan Yesus, tetapi perspektif
serta kemendalaman iman itu. FABC menyebut Gereja yang berinkulturasi
sebagai Gereja yang "ada dan dibangun melalui perjumpaan yang
mendalam dan saling memperkaya antara Injil dan orang-orang dengan
budaya dan tradisi yang khas" (FABC Papers 60, 18). Inkulturasi yang
dipahami di sini tidak hanya dalam wujud perubahan ungkapan-ungkapan
Injil dan iman Kristiani melalui media budaya, tetapi juga dalam
mengalami, memahami, menjadikan ungkapan Injil itu sebagai milik
melalui sumber daya kultural masyarakat. Hasil dari perjumpaan yang
saling memperdalam dan memperkaya itu adalah Gereja yang diperkaya
oleh budaya dan budaya yang diinjili dengan hidup dan kesaksian Gereja.

SINTESIS
Belajar dari pengalaman Paulus dalam membawa Injil kepada orang-
orang Yahudi dan Yunani serta dari model perjumpaan inkarnatoris antara
Gereja dan budaya, semakin tampaklah beberapa prinsip dialog yang perlu
untuk diperkembangkan. Pertama, sama seperti Paulus menghadapi tradisi
Yahudi dan tradisi Yunani, Gereja berjumpa dengan kekuatan-kekuatan
dominan yang menjadi partner dialognya. Agama dan tradisi Yahudi
menjadi realitas dominan di mana iman akan Yesus tumbuh dan diteruskan.
Kultur Yunani telah menjadi kultur dominan di sekitar laut Mediteranian
semenjak Hellenisme yang diprakarsai oleh Aleksander Agung. Paulus dan
para misionaris Kristen awal berupaya untuk memasuki budaya Yahudi
maupun Yunani melalui pintu mereka, yakni ibadat sinagoga dalam tradisi
Yahudi dan diskusi religius/filosofis dalam tradisi Yunani. Dalam konteks
Asia, kekuatan dominannya adalah realitas Asia yang ditandai dengan
keragaman kultur, agama, serta kemiskinan sebagai kenyataan karakteristik
dalam hidup Asia dan Gereja berjuang untuk memajukan kesadaran akan
pluralitas dan keragaman ini. Ketiga realitas ini merupakan pintu untuk
memasuki kenyataan Asia meskipun realitas Asia itu sendiri bukanlah
realitas yang beku. Dalam kenyataannya, Asia tidak hanya berhadapan
dengan kekristenan, tetapi juga dengan aneka pengaruh sosio-politik dan
ekonomi dalam arus global yang membuat kenyataan-kenyataan Asia yang
dihadapi oleh Gereja semakin kompleks. Tantangan globalisasi di Asia ini
mendorong banyak orang di Asia untuk mencurahkan lebih banyak energi
untuk memerangi dampak-dampak sekularisasi dan untuk menemukan
tempat yang tepat bagi agama dalam sebuah situasi hidup Asia yang baru.
Kesadaran yang muncul dalam sidang FABC tahun 1970 tentang ketiga
realitas Asia ini kini perlu dibaca kembali dalam terang zaman ini untuk
melihat faktor-faktor baru yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana di
belahan dunia lain, sekularisasi melanda Asia di mana iman dan agama
tidak lagi menjadi pegangan yang dominan dan makin tersisihkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memberi jalan-jalan pintas untuk
memenuhi dambaan manusia. Dalam situasi seperti ini, Gereja tidak bisa
lagi berfungsi sebagai sistem global yang tunggal, tetapi satu di antara
tradisi-tradisi yang berbeda-beda yang harus dihadapi oleh Gereja dengan
langkah-langkah yang tepat.
Kedua, dialog dibangun dalam hormat Gereja terhadap budaya-budaya
dengan seluruh kekayaannya tanpa menjadikan dirinya sebagai sebuah
institusi yang berada di atas budaya, tetapi sebagai partner yang
memberikan diri dan siap diperkembangkan dalam perjumpaan. Amalados
telah menunjukkan dalam hal apa saja dialog dengan kenyataan
keberagaman (terutama keberagaman agama) dapat dijalankan: a) dialog
kehidupan, dialog dalam pertukaran intelektual, dialog pengalaman
religius, dialog dalam aksi bersama.11 Paulus dan para misionaris Kristen
awal masih memfokuskan diri pada mendialogkan inti iman mereka akan
Yesus. Dialog tentang inti iman tersebut menemui banyak kendala terutama
ketika iman yang diwartakan oleh Paulus dan para misionaris bahwa Yesus
yang mati tersalib telah bangkit dan diakui sebagai Mesias bertentangan
dengan keyakinan iman Yahudi yang tidak akan pernah menerima orang
yang mati disalib sebagai seorang Mesias dan keyakinan filosofis Yunani
yang tidak menerima gagasan tentang kebangkitan. Situasi yang sama
masih terus dihadapi oleh Gereja dalam mewartakan imannya. Keragaman
agama dan tradisi religius menyediakan dogma-dogma iman masing-
masing yang tidak akan dengan mudah masuk dalam dialog yang saling
memahami dan menerima. Dalam hal inti iman, dialog tidak jarang
menemui jalan buntu: atau menjadi debat kusir atau menjadi ajang adu
rasionalitas teologi yang justru menjauhkan Gereja dari partner dialognya.
Ketika kesulitan besar dihadapi dalam mendialogkan inti iman, pintu dialog
yang lain perlu dimasuki. Dialog kehidupan dan dialog pengalaman
religius, serta aksi bersama memberi peluang bagi sebuah perjumpaan yang
subur dan saling memperkembangkan. Gereja dan parner dialog berjuang
bersama untuk memerdekakan masyarakat Asia dari belenggu kemiskinan.
Dalam dialog dengan realitas kemiskinan Asia, fokus perhatian diarahkan

Gereja dan Dialog Budai/a Bercermin jvida M isi Paulus • ■ 133


pada membangun keadilan di tengah-tengah kokohnya ketidakadilan dalam
kehidupan bersama agar keadilan itu dialami oleh semakin banyak warga
masyarakat. Keadilan semestinya menjadi tema dalam setiap dialog menuju
sebuah hidup bersama yang damai dan berbuah karena tidak ada dialog
yang berbuah dalam konteks Asia kalau tidak memajukan keadilan dalam
kehidupan publik.
Ketiga, dialog dibangun dalam kekokohan keyakinan dari masing-
masing pihak tanpa harus masuk dalam sebuah sinkretisme yang tidak
sehat. Gereja tidak bisa diidentikkan dengan bentuk budaya apa pun dan
iman mesti terus-menerus diterjemahkan secara baru dan menterjemahkan
iman berarti memasuki cara berpikir dan cara hidup, dan tidak hanya
mengubah rumus-rumus. Gereja tidak mengorbankan inti iman akan Allah
yang memberikan diri-Nya dan keselamatan-Nya secara uhih melalui
Yesus, tetapi bersedia membahasakan dan mengungkapkan secara baru inti
iman tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang dapat dimengerti dan
diterima oleh budaya-budaya atau agama-agama yang menjadi partner
dialognya. Tantangan Gereja adalah menjadi orang-orang Kristen yang sejati
dalam situasi zaman. Untuk dapat memasuki dialog yang sejati, Gereja
diajak untuk menyelami realitas hidup Asia yang ditandai dengan
kemiskinan, keragaman budaya dan keragaman agama.

Stanislaus Eko Riyadi


Lulusan program Doctoral Teology di Loyola School of Theology, Pilipina. Berkarya
sebagai Dosen Program Studi ilmu Teologi, Fakullas Teologi, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Email: ekoriyadi@gmail.com

CAT ATAN AKHIR


10 Bdk. Paul Tillich, "Religion," 82.
11 Paul Tillich, "Religion," 81.
|: Jacob Parapally, Church's Dialogue With Cultures and Religions, http://sedosinission.org/old/eng/
parappalhj.htm; Sabtu 15 Agustus 2015. 9:16
13 James Kroeger, "The Faith-Culture Dialogue in Asia: Ten FABC Insights on Inculturation,"
80.
14 Cf. Kroeger, "The Faith-Culuture Dialogue," 81.
15 Amalados, M., Freedom in the Spirit and Interreligious Dialogue. Studies in Interreligious
Dialogue 8. New York: Orbis Books, 1998.

DAFTAR RUJUKAN
Amalados, M. Freedom in the Spirit and Interreligious Dialogue. Studies in Interreligious
Dialogue 8. New York: Orbis Books, 1998.
Dawson, Ch. Religion and Culture. New York: Shed & Ward, 1948.
Knox, W.L. St. Paul and the Church of the Gentiles. Cambridge: Cambridge University
Press, 1939.
Kroeger, J. "The Faith-Culture Dialogue in Asia: Ten FABC Insights on
Inculturation," diambil dari http://cca.org.hk/home/ctc/ctc08-03/10_james_
kroeger93.pdf, Komis, 14 April 2016. 10:40.
Mortensen, V. "The Dialogue between Science and Religion and the Dialogue
between People of Different Faiths: Areopagus Revisited," Zygon: journal of
Religion and Science 37 (2002): 63-82.
Parapally, J. Church's Dialogue With Cultures and Religions, http://sedosmission
.org/old/eng/parappally.htm; Sabtu, 15 Agustus 2015. 9:16
Shroyer, Montgomery J. "Paul's Departure from Judaism to Hellenism," journal of
Biblical Literature 59 (1940): 41-49.
Soares, Theodore G. "Paul's Missionary Method," The Biblical World 34 (1909): 326­
336.
Strowers, Stanley K. "Social Status, Public Speaking and Private Theacing: The
Circumstances of Paul's Preaching Activity," Novum Testamentum XXVI (1984):
58-82.
Tillich, P. "Religion and Culture," The journal of Religion vol XXVI (1946): 79-86.

Gerejn dan Dialog Budai/a fiercer min ftada Misi Paulas ■ ■ 135

Anda mungkin juga menyukai