Anda di halaman 1dari 71

BAB I Dasar Alkitabiah Pelayanan Lintas Budaya Penjelmaan Yesus Kristus dan

Kontekstualisasi
Penjelmaan atau inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak penyataan Allah kepada manusia.
Dalam Perjanjian Lama "Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada ... kita
dengan perantaraan nabi-nabi" (Ibrani 1:1). Zaman dahulu Allah bersabda kepada umat-Nya
melalui nabi-nabi-Nya. Namun, "... pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan
perantaraan Anak-Nya, ...." (Ibrani 1:2). Yesus Kristus, Anak Allah dan Firman yang kekal itu
"... telah menjadi manusia dan diam di antara kita...." (Yohanes 1:14) Dalam inkarnasi Yesus,
Allah melintasi jurang pemisah antara surga dan dunia ini. Ia menjembatani kesenjangan antara
alam gaib dan alam semesta ini. Ia melakukan semua ini untuk menyatakan diri-Nya kepada
kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 1:18 "Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi
Anak Tunggal Allah, ... Dialah yang menyatakan-Nya." Kata "menyatakan-Nya" secara harfiah
berarti "menafsirkan" atau "meriwayatkan". Yesus Kristus adalah penafsir Allah yang
sempurna. Di sini kita melihat cara Allah sendiri untuk mengontekstualisasikan firman-Nya.
Yang Mahamulia, yang Mahaagung, dan yang Mahasuci menjadi sama dengan kita. Pribadi
kedua dari Tritunggal mengambil rupa manusia bagi diri-Nya sendiri, mengambil segala
sesuatu berhubungan dengan kemanusiaan yang sempurna, sehakikat dengan kita sebagai
manusia (Ibrani 2:14). Ia menyesuaikan diri dengan kita supaya kita dapat memahami siapa
Allah itu sebenarnya. Allah kita adalah Allah yang rindu menampakkan diri-Nya kepada kita
dengan cara yang relevan. Meskipun demikian, sebagai manusia Ia hidup tanpa dosa. "Ia telah
dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibrani 4:15b), sebab "di dalam Dia tidak ada dosa" (1
Yohanes 3:5). Oleh karena itu, kita melihat bahwa penyataan Allah dalam inkarnasi itu relevan
dan tetap murni. Puncak kerinduan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia diwujudkan
dalam kehadiran-Nya sendiri di antara manusia. Ia yang Mahasuci bersedia memasukkan diri-
Nya ke dalam kebudayaan manusia. Ia bahkan menjadi manusia sejati yang berkomunikasi
dengan masyarakat lindungan-Nya sesuai dengan bahasa dan kebudayaan mereka. Sebenarnya
tujuan kontekstualisasi sama dengan tujuan inkarnasi Yesus. Sama seperti Allah menyatakan
diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan
Allah kepada suku-suku yang belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka. Oleh karena
itu, kontekstualisasi merupakan suatu prinsip ilahi yang diwujudkan dalam penjelmaan Yesus.
Inkarnasi Yesus tidak hanya memberi teladan kepada kita, tetapi juga memerintahkan kita
untuk mengikuti teladan-Nya: "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian Aku mengutus
kamu!" (Yohanes 20:21) Sidang di Yerusalem dan Kontekstualisasi Persoalan yang terjadi
pada sidang jemaat di Yerusalem dalam Kisah Para Rasul 15 mengungkapkan persoalan-
persoalan yang biasanya muncul dalam pelayanan lintas budaya: hubungan antara kebudayaan
dan Injil. Dan keputusan yang diambil oleh jemaat yang mula-mula merupakan suatu dasar
yang kokoh untuk pelaksanaan kontekstualisasi. Hal yang dibahas dalam sidang di Yerusalem
merupakan arti Injil yang sebenarnya. Mereka menggumuli syarat-syarat untuk keselamatan:
"Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di
situ, 'Jikalau kamu tidak disunat menurut adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak
dapat diselamatkan.'... 'Orang-orang yang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk
menuruti hukum Musa'" (Kisah Para Rasul 15:1,5). Oleh karena itu, menurut golongan orang-
orang Yahudi: Injil + Sunat = Keselamatan. Mereka merasa bahwa tidaklah cukup kalau orang
Yunani hanya percaya kepada Yesus saja; mereka juga harus mengikuti adat-istiadat orang
Yahudi. Namun Paulus dan Barnabas tidak setuju dengan rumusan ini: "Tetapi Paulus dan
Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu." (Kisah Para Rasul
15:2a) Menurut golongan Paulus: Injil + 0 = Keselamatan Kenyataan yang sebenarnya ialah
bahwa kita diselamatkan oleh iman karena kasih karunia Allah (Kisah Para Rasul
15:7,9,11,14). Sidang di Yerusalem meneguhkan pendapat Paulus dan Barnabas bahwa kita
diselamatkan oleh Injil dan hanya Injil saja. Orang Yunani tidak harus menjadi seperti orang
Yahudi atau mengikuti adat-istiadat Yahudi untuk memperoleh keselamatan. Persoalan yang
dibahas pada sidang di Yerusalem dapat digambarkan sebagai berikut. Golongan orang Yahudi
percaya bahwa orang Yunani harus menjadi seperti orang Yahudi untuk memperoleh
keselamatan. 2
Golongan Paulus percaya bahwa baik orang Yahudi maupun orang Yunani diselamatkan hanya
oleh iman. Mereka tidak usah meninggalkan kebudayaan atau adat-istiadat mereka untuk
diselamatkan, asalkan mereka mau bertobat dan percaya kepada Yesus. Tersirat dalam
keputusan ini ialah suatu kebebasan yang diberikan kepada setiap suku untuk mengungkapkan
Injil itu dalam sarana kebudayaannya sendiri. Kita tidak hanya diselamatkan tanpa mengikuti
adat-istiadat asing, tetapi juga boleh beribadah tanpa mengikuti adat-istiadat asing. Jadi,
bagaimana orang dari latar belakang Kristen diselamatkan? Apa yang harus dilakukannya kalau
ia ingin diselamatkan? Ia harus bertobat dan percaya kepada Yesus. Bagaimana dengan orang
dari latar belakang bukan Kristen? Apakah orang dari agama lain harus mengikuti adat
kekristenan tradisional untuk diselamatkan? Tidak. Semua orang diselamatkan hanya oleh
iman. Renungkan implikasinya. Apakah orang Sunda harus mengikuti adat dan tradisi Batak
kalau ia ingin diselamatkan? Tidak! Apakah orang Jawa harus mengikuti adat dan tradisi
Tionghoa kalau ia ingin diselamatkan? Tidak! Namun, tanpa disadari justru itulah yang terjadi,
dan setiap gereja di Indonesia dipengaruhi oleh adat Barat (karena kekristenan dibawa ke
Indonesia oleh penginjil yang memasukkan adat mereka sendiri), selain oleh adat suku
mayoritas anggota. Kalau demikian halnya bagaimana caranya supaya orang dari latar
belakang bukan Kristen dengan adat/tradisinya dapat percaya tanpa mengikuti adat atau tradisi
suku lain? Kita harus mendirikan jemaat-jemaat baru. Kita harus membentuk dan
mengembangkan adat dan tradisi yang alkitabiah, tetapi sesuai dengan adat serta tradisi petobat
baru. Sesuai dengan keputusan sidang di Yerusalem dan agar kita dapat menjangkau sebanyak
mungkin orang di Indonesia, kita harus berusaha mendirikan jemaat-jemaat baru, jemaat-
jemaat yang "berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan kebudayaannya." Paulus
di Athena: Penyampaian Injil yang Kontekstual Dalam Kisah Para Rasul 17:22-34 ada
suatu pemaparan yang menerangkan penyampaian Injil yang kontekstual. Pada waktu itu Rasul
Paulus menginjili orang-orang terpelajar di kota Athena. Pada waktu itu, kota Athena
merupakan pusat para sarjana, cendekiawan, ilmuwan, dan filsuf, sehingga kota ini terkenal
sebagai kota untuk orang berpendidikan tinggi dan pola berpikir maju. Rasul Paulus mulai
menginjili orang Athena di rumah ibadat Yahudi serta di pasar dengan cara bertukar pikiran
dan bersoal jawab dengan siapa saja yang bersikap terbuka. Akhirnya Paulus diundang ke
Areopagus, badan cendekiawan yang berfungsi seperti Majelis Ulama Indonesia (Kisah Para
Rasul 17:16-21). Paulus mulai memberitakan Injil dengan cara memuji mereka atas
kesungguhan mereka dalam beribadah: "Hai orang-orang Athena, aku lihat, bahwa dalam
segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa." (ayat 22b) Ia mulai mendekati mereka
dengan cara yang sepositif mungkin dan berusaha menghindari konfrontasi. Setelah memuji
mereka, ia menemukan suatu jembatan supaya pesan yang disampaikan dapat mencapai
sasaran dan sekaligus relevan bagi para pendengarnya: "Sebab ketika aku berjalan-jalan di
kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah
dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya,
itulah yang kuberitakan kepada kamu." (ayat 23) Perhatikan bahwa Paulus menjadikan sebuah
mezbah -- bukan sebuah patung berhala -- sebagai titik tolak. Rupanya, Allah yang berdaulat
sudah mempersiapkan orang Athena untuk menerima Injil melalui mezbah ini. Paulus
kemudian menyatakan bahwa tugas dan tujuannya ialah memperkenalkan Allah yang tidak
dikenal oleh mereka. Setelah itu, Paulus menerangkan tentang Allah sebagai Pencipta dan
Pemelihara manusia (ayat 24-27). Kemudian dalam ayat 28 ia memakai jembatan lain. Ia
mengutip syair mereka: "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada seperti yang
telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga."
Kelihatannya Paulus percaya bahwa setiap kebudayaan atau agama memunyai unsur-unsur
kebenaran sehingga ia berani mengutip puisi orang-orang Yunani yang disejajarkan dengan
firman Allah. Ia mengutip supaya berita yang disampaikan itu dapat diterima dan dipahami
sehingga Injil yang disampaikan menjadi relevan. Namun pendekatan kontekstual ini bukan
saja dimaksudkan untuk menyesuaikan diri saja, melainkan juga untuk hidup di bawah hukum
Kristus, yaitu menantang hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Allah supaya Injil tetap
murni. Akhirnya Paulus mengakhiri penyampaian ini dengan tantangan tentang pertobatan,
penghakiman yang akan datang, dan kebangkitan Yesus (ayat 30-31). Respons terhadap
pemberitaan Paulus ini bermacam-macam. Ada yang mengejeknya, ada yang ingin mendengar
lagi, serta ada beberapa yang percaya (ayat 32-34).
Ada satu hal lain yang menonjol dan harus ditekankan di sini. Penyampaian kontekstual ini
berpusatkan kepada Allah dan bukan kepada Anak Allah. Paulus tidak keberatan kalau langkah
awal dari pendekatannya berpusat kepada Allah. Ia merasa tidak perlu langsung menyinggung
soal Yesus 3
atau Anak Allah. Ia ingin memaparkan Injil langkah demi langkah dan penekanannya selalu
sesuai dengan konteksnya. Misalnya, di Indonesia adalah lebih tepat kalau kita lebih berpusat
kepada Allah dalam pemberitaan Injil kita. Walaupun pada akhirnya kita harus berani
menantang semua orang supaya bertobat dan percaya kepada Yesus, namun adalah lebih
bijaksana dan alkitabiah kalau penginjilan kita berpusat kepada Allah. Ada ayat-ayat lain yang
menunjang pendekatan yang berpusat kepada Allah. Kadang-kadang Injil disebut sebagai Injil
Allah (2 Korintus 11:7, 1 Tesalonika 2:2,8,9), jemaat disebutkan sebagai jemaat Allah (1
Tesalonika 2:14, Kisah Para Rasul 20:28), dan Allah disebutkan sebagai Juru Selamat kita (1
Timotius 1:1, Titus 1:3; 2:10; 3:4). Marilah kita mulai lebih bersikap kontekstual dalam
pemberitaan kita. Marilah kita berusaha meniru teladan Rasul Paulus yang rajin mencari dan
menemukan jembatan-jembatan baru untuk penginjilan. Marilah kita dengan penuh semangat
menyampaikan Injil yang relevan dan tetap murni. Kristologi dan Kontekstualisasi Persoalan
yang paling penting dalam teologi, pelayanan, dan penginjilan ialah jawaban terhadap
pertanyaan ini: "Siapakah sebenarnya Yesus Kristus itu?" Cara yang paling tepat untuk
menjawabnya ialah dengan mengerti dan merenungkan nama-nama sebutan Yesus. Yesus
digelari macam-macam sebutan, misalnya Nabi, Mesias (Almasih), Firman, Imam, Guru, Juru
Selamat dan lain-lain. Mengapa demikian? Ada dua alasan. Pertama, alasan teologis, yaitu
pengertian tentang Yesus begitu kaya dan mendalam sehingga satu atau dua sebutan saja tidak
cukup. Yesus ialah satu oknum atau pribadi yang luar biasa, yang tidak dapat dipahami dari
satu segi. Sebagai Nabi, Ia bersabda kepada kita; sebagai Gembala, Ia membimbing kita;
sebagai Juru Selamat, Ia menyelamatkan kita; dan sebagai Raja, Ia memerintah dalam
kehidupan kita. Paulus menggarisbawahi alasan teologis dengan melukiskan Injil yang
disampaikannya sebagai "kekayaan Kristus yang tidak terduga" (Efesus 3:8). Kedua, alasan
misiologis, yaitu para rasul dan penginjil yang mula-mula memakai banyak nama sebutan
supaya berita yang disampaikan relevan dan dapat dipahami. Misalnya, sebutan "Imam Besar"
hanya dipergunakan dalam kitab Ibrani saja untuk melukiskan Yesus sebab kitab Ibrani
dikarang khusus bagi orang Yahudi. Dan menurut pola berpikir orang Yahudi konsep "Imam"
begitu bermakna sehingga sebutan "Imam Besar" benar-benar membantu orang-orang Yahudi
mengerti siapakah Yesus sebenarnya. Pengakuan pertama dalam Injil juga menggambarkan
alasan misiologis ini. Pengakuan dan pemberitaan bahwa "Yesus adalah Mesias" (atau Kristus;
Markus 8:29; Lukas 9:20; Kisah Para Rasul 5:42; 9:22; 17:2-3; 18:5, 28; 1 Yohanes 2:22)
muncul dalam konteks Yahudi karena mereka memiliki harapan agung dalam Mesias. Selama
berabad-abad orang-orang Yahudi telah menantikan dan merindukan Mesias yang akan datang
sehingga penyampaian Yesus sebagai Mesias begitu relevan dan menyentuh hati orang Yahudi.
Meskipun demikian, pemberitaan Yesus sebagai Mesias tidak begitu berarti bagi orang Yunani.
Sebaliknya, pengakuan kristologis, "Yesus adalah Tuhan" (Kisah Para Rasul 10:36; 11:20;
Roma 10:9; Filipi 2:11; 2 Korintus 12:3; 2 Korintus 4:5) begitu relevan dan bermakna bagi
orang Yunani sehingga lebih sering dipakai dalam konteks Yunani. Pengakuan ini "menjadi
jembatan bagi kekristenan untuk memasuki dunia yang berbahasa Yunani, memasuki dunia
orang kafir, dan memasuki dunia proselit (orang-orang bukan Yahudi penganut agama
Yahudi). Dr. V.H. Neufeld menyimpulkan penelitiannya tentang pengakuan-pengakuan orang
Kristen yang mula-mula sebagai berikut: "'Kristus-homologia' [pengakuan bahwa Yesus
adalah Kristus] lebih relevan bagi orang Yahudi ... Kyrios-homologia (pengakuan bahwa Yesus
adalah Tuhan) lebih berarti terutama bagi orang Yunani." Ada lebih banyak bukti lagi tentang
kristologi dan kontekstualisasi. Misalnya, Injil Yohanes pasal satu sangat kaya kristologinya.
Dalam pasal ini Yesus sedikitnya dilukiskan dalam 13 nama sebutan: Firman, Allah (ayat 1);
Terang (ayat 4); Manusia, Anak Tunggal Bapa (ayat 14); Yesus Kristus (ayat 17); Anak Domba
Allah (ayat 29); Anak Allah (ayat 34); Rabi/Guru (ayat 38); Mesias/Kristus (ayat 41); Anak
Yusuf (ayat 45); Raja Orang Israel (ayat 49); Anak Manusia (ayat 51)
Mengapa demikian? Nama-nama sebutan ini menyampaikan "kekayaan Kristus yang tidak
terduga". Perhatikan bahwa Yohanes tidak terpaku kepada satu nama sebutan saja ketika
menceritakan tentang Yesus. Demikian juga dalam pemberitaan Petrus. Waktu Petrus
menginjili orang Yahudi ia memakai nama-nama sebutan yang paling relevan, yang tidak
bertentangan dengan pola berpikir 4
orang Yahudi. Dalam Kisah Para Rasul 3:11-20 Ia melukiskan Yesus sebagai: Hamba (ayat
13), Yesus (ayat 13), Yang Kudus dan Benar (ayat 14), Pemimpin kepada hidup (ayat 15),
Mesias (ayat 18). Kita dapat mengambil hikmat juga dari percakapan Yesus dengan perempuan
Samaria. Walaupun percakapan ini dilakukan dalam waktu yang singkat, hal itu masih
merupakan satu ilustrasi yang praktis tentang penginjilan dan proses pengertian si penerima.
Pada mulanya perempuan ini mengakui bahwa Yesus adalah "nabi" (Yohanes 4:19). Lalu,
setelah mendengarkan Yesus lebih lama ia sadar bahwa Yesus adalah "Mesias" (Yohanes 4:25-
26, 29). Kemudian, sesudah Yesus mengajar selama dua hari di situ, orang-orang Samaria
mengakui bahwa Yesus adalah "Juru Selamat Dunia" (Yohanes 4:39-42). Jelas dalam cerita ini
pengertian perempuan Samaria tentang Yesus makin lama makin jelas. Gelar "Mesias" lebih
kaya dan berarti daripada gelar "nabi", sedangkan gelar "Juru Selamat Dunia" lebih luas dan
mendalam lagi. Demikianlah proses kontekstualisasi itu! Begitu banyak nama sebutan Yesus
dipakai dalam Perjanjian Baru. Mengapa gereja-gereja kita cenderung memakai hanya
beberapa nama sebutan saja? Nama-nama sebutan Yesus Kristus, Tuhan Yesus, dan Anak
Allah ialah sebutan yang paling disenangi umat Kristen di Indonesia. Padahal, justru gelar-
gelar tersebut bertentangan dengan ajaran agama orang bukan Kristen yang ada di sekitarnya.
Meskipun akhirnya kita harus memberitakan "seluruh maksud Allah" (Kisah Para Rasul
20:27), namun adalah lebih bijaksana, lebih berhasil, dan lebih alkitabiah kalau kita memulai
penyampaian Injil kita dengan mengetengahkan nama-nama sebutan yang paling relevan dan
mudah dipahami. Misalnya, gelar "Nabi" dan "Mesias" merupakan dua gelar yang dapat
berfungsi sebagai jembatan untuk menjangkau orang luar. Agama mayoritas di Indonesia
mengakui bahwa Yesus (dalam bahasa Arab, Isa) adalah nabi. Juga dalam Kitab Suci mereka,
Isa digelari "Almasih", (Mesias dalam bahasa Arab). Kebanyakan pemeluk agama mayoritas
di Indonesia belum mengerti apa artinya sebenarnya dari "Almasih". Walaupun demikian,
karena nama sebutan ini terdapat dalam Kitab Suci mereka, maka lebih baik kalau kita memulai
dengan nama sebutan yang ada dan menjelaskan artinya kepada mereka. Inilah cara yang
dipakai dalam Perjanjian Baru. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kristologi dalam
Perjanjian Baru begitu meneguhkan pentingnya pelaksanaan kontekstualisasi.
BAB II
Allah Menghendaki Semua Suku Bangsa Menyembah-Nya
Allah menghendaki semua suku bangsa di dunia menyembah-Nya. Itulah sebabnya, Dia begitu
peduli kepada seluruh umat manusia melalui Abraham dan keturunannya. Mereka diberkati
oleh-Nya untuk dijadikan saluran berkat bagi semua suku bangsa di dunia ini. Tuhan Yesus
Kristus menyimpulkan rencana ini dalam Matius 24:14, "Injil Kerajaan ini akan diberitakan di
seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya."
Rasul Yohanes diperkenankan melihat penggenapan rencana ini di dalam Wahyu 7:9,
"Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang
tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di
hadapan tahta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun
di tangan mereka; karena mereka ditebus oleh darah Tuhan Yesus Kristus dari tiap-tiap suku
dan bahasa dan kaum dan bangsa." Selain itu, dalam Wahyu 15:4 Rasul Yohanes menyaksikan,
"Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan yang tidak memuliakan namaMu? Sebab Engkau
saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah
nyata kebenaran segala penghakiman." Berdasarkan firman Tuhan tersebut, kita mengetahui
dengan pasti bahwa semua suku bangsa akan terwakili di hadapan takhta Allah di surga. Karena
semua suku bangsa merupakan ciptaan Tuhan, semua suku bangsa itu juga harus termasuk
ciptaan yang baru. Tanpa terkecuali, semua bangsa harus terwakili untuk menyembah Tuhan
di surga. Bagaimana Respons kita?
Firman Tuhan mengingatkan bahwa anak-anak Tuhan tidak boleh berdiam diri melainkan taat
seperti para rasul ini. Setelah mendengar Amanat Agung, mereka mematuhi perintah terakhir
Tuhan Yesus. Mereka menunggu di Yerusalem hingga diberi Roh Kudus (Kisah Para Rasul
1:8) dan sesudah itu, "Merekapun pergi memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut
bekerja dan meneguhkan Firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya." (Markus 16:20)
5
Walaupun Paulus tidak langsung mendengar Amanat Agung dari mulut Tuhan Yesus, namun
dia mengerti rencana Tuhan. Itu sebabnya, dia menulis surat kepada jemaat di Roma demikian,
"Sebab aku tidak berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah
dikerjakan Kristus olehku, yaitu untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan....
Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai Ilirikum aku telah
memberitakan sepenuhnya Injil Kristus.... Tetapi sekarang, karena aku tidak lagi memunyai
tempat kerja di daerah ini dan karena aku telah beberapa tahun lamanya ingin mengunjungi
kamu, aku harap dalam perjalananku ke Spanyol aku dapat singgah di tempatmu." (Roma
15:18, 19, 23, 24) Spanyol termasuk bangsa yang belum terjangkau oleh Injil. Seandainya kita
mengevaluasi daerah pelayanan rasul Paulus, kita dapat melihat bahwa tidak semua penduduk
di sana sudah bertobat, justru sebaliknya, hanya sebagian kecil dari daerah yang luas itu sudah
percaya Yesus sebagai Juruselamat. Dan walaupun demikian, Paulus bisa mengatakan bahwa
tidak lagi tersedia tempat bagi Paulus di sana. Mengapa demikian? Bagi Paulus, yang penting
Injil sudah diberitakan dan gereja sudah didirikan. Paulus memberikan tugas kepada Jemaat
yang baru itu agar melanjutkan pelayanan pekabaran Injil di daerah tersebut, sehingga Paulus
sendiri bebas untuk melanjutkan perjalanannya ke daerah yang sama sekali belum mengenal
Yesus Kristus. Perintisan Injil di antara bangsa yang belum mengenal Kristus merupakan
prioritas utama pelayanan Paulus. Dalam hal ini, Paulus menantang kita orang Kristen di
Indonesia. Siapakah yang kita prioritaskan dalam pelayanan PI? Apakah gereja kita, suku kita,
atau suku-suku bangsa yang belum pernah mendengar Injil? Bukankah mereka harus menjadi
pusat perhatian pekabaran Injil kita? Bukankah mereka juga termasuk kumpulan besar yang
dilihat oleh Rasul Yohanes? Ataukah mereka merupakan pusat doa syafaat dan usaha PI kita?
Tuhan akan datang kembali dan menyelesaikan Kerajaan-Nya di dunia jika semua suku bangsa
sudah terwakili sebagai ciptaan baru. Di manakah orang Kristen, di manakah gereja yang
memedulikan mereka yang belum pernah mendengarkan Injil? Tuhan Yesus ingin mencari
jiwa-jiwa yang terhilang. Siapa yang bersedia dipakai dalam rencana Allah ini? Siapa yang
memprioritaskan perintisan gereja di tengah orang-orang yang belum terwakili di hadapan
takhta Tuhan Allah kita?
BAB III
Pengharapan Bangsa-Bangsa
Salah satu cara terbaik untuk melihat dengan jelas lingkup Amanat Agung yang telah
diutarakan Yesus dan para rasul adalah dengan menenggelamkan diri kita dalam atmosfir
pengharapan yang mereka rasakan dengan membaca Alkitab mereka, Perjanjian Lama. Satu
aspek yang sangat besar dari pengharapan itu adalah harapan yang terkandung di dalamnya
bahwa kebenaran Allah akan menjangkau semua kelompok masyarakat di bumi dan kelompok
tersebut akan datang dan menyembah Allah yang benar. Pengharapan itu terus-menerus
diekspresikan dalam istilah kelompok masyarakat (rakyat, bangsa, suku, keluarga, dan
sebagainya). Demikianlah pengharapan dari kitab Mazmur dan Yesaya yang menunjukkan
gambaran mengenai Amanat Agung Yesus. Ayat-ayat dalam kitab tersebut dikategorikan
dalam empat kategori, yaitu nasihat, janji, doa, dan rencana. "Menyatakan Kemuliaan-Nya
di Antara Bangsa-Bangsa" Kategori pertama yang mengungkapkan pengharapan bangsa-
bangsa adalah kumpulan nasihat yang dinyatakan supaya kemuliaan Allah dapat dinyatakan
dan ada sembah puji di antara bangsa-bangsa dan oleh bangsa-bangsa. Bermazmurlah bagi
TUHAN, yang bersemayam di Sion, beritakanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa.
(Mazmur 9:11) Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-
sorai! (Mazmur 47:1) Pujilah Allah kami, hai bangsa-bangsa, dan perdengarkanlah puji-
pujian kepada-Nya! (Mazmur 66:8) Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa
dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di antara segala suku bangsa. (Mazmur 96:3) 6
Kepada Tuhan, hai suku-suku bangsa, kepada Tuhan sajalah kemuliaan dan kekuatan!
Katakanlah di antara bangsa-bangsa, "Tuhan itu Raja! Sungguh tegak dunia, tidak goyang. Ia
akan mengadili bangsa-bangsa dalam kebenaran. (Mazmur 96:7, 10) Bersyukurlah kepada
Tuhan, serukanlah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa!
(Mazmur 105:1) Pujilah Tuhan, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa!
(Mazmur 117:1) Pada waktu itu kamu akan berkata, "Bersyukurlah kepada Tuhan, panggillah
nama-Nya, beritahukanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa, mashyurkanlah, bahwa
nama-Nya tinggi luhur!" (Yesaya 12:4) Marilah mendekat, hai bangsa-bangsa, dengarlah, dan
perhatikanlah, hai suku-suku bangsa! Baiklah bumi serta segala isinya mendengar, dunia dan
segala yang terpancar dari padanya. (Yesaya 34:1) "Bangsa-Bangsa akan Datang kepada
Terang-Mu!" Kategori kedua yang mengungkapkan pengharapan bangsa-bangsa adalah
kumpulan janji bahwa suatu hari nanti bangsa-bangsa akan menyembah Allah yang benar.
Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik
pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu. (Mazmur 2:8; Band. Mazmur 111:6) Aku
mau memasyhurkan namamu turun-temurun; sebab itu bangsa-bangsa akan bersyukur
kepadamu untuk seterusnya dan selamanya. (Mazmur 45:17) Para pemuka bangsa-bangsa
berkumpul sebagai umat Allah Abraham. Sebab Allah yang empunya perisai-perisai bumi; Ia
sangat dimuliakan. (Mazmur 47:9) Segala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud
menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu. (Mazmur 86:9)
Tuhan menghitung pada waktu mencatat bangsa-bangsa: "Ini dilahirkan di sana." (Mazmur
87:6) Maka bangsa-bangsa menjadi takut akan nama Tuhan, dan semua raja bumi akan
kemuliaan-Mu. (Mazmur 102:15) Apabila berkumpul bersama-sama bangsa-bangsa dan
kerajaan-kerajaan untuk beribadah kepada Tuhan. (Mazmur 102:22) Kekuatan perbuatan-
Nya diberitakan-Nya kepada umat-Nya, dengan memberikan kepada mereka milik pusaka
bangsa-bangsa. (Mazmur 111:6) Maka pada waktu itu, taruk dari pangkal Isai akan berdiri
sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat
kediamannya akan menjadi mulia. (Yesaya 11:10) Tuhan semesta alam akan menyediakan di
gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk,
suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar, masakan yang bergemuk dan bersumsum,
anggur yang tua yang disaring endapannya. Dan di atas gunung ini Tuhan akan mengoyakkan
kain perkabungan yang diselubungkan kepada segala suku bangsa dan tudung yang
ditudungkan kepada segala bangsa-bangsa. (Yesaya 25:6-7) Terlalu sedikit bagimu hanya
untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan
orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang
bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi. (Yesaya
49:6) Dalam sekejap mata, keselamatan yang dari pada-Ku akan dekat, kelepasan yang
Kuberikan akan tiba, dan dengan tangan kekuasaan-Ku Aku akan memerintah bangsa-bangsa;
kepada-Kulah pulau-pulau menanti-nanti, perbuatan tangan-Ku mereka harapkan. (Yesaya
51:5) Tuhan telah menunjukkan tangan-Nya yang kudus di depan mata semua bangsa; maka
segala ujung bumi melihat keselamatan yang dari Allah kita. (Yesaya 52:10) Demikianlah ia
akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya melihat dia;
sebab apa yang tidak diceritakan kepada mereka, akan mereka lihat, dan apa yang tidak
mereka dengar akan mereka pahami. (Yesaya 52:15) 7
Sesungguhnya, engkau akan memanggil bangsa yang tidak kaukenal, dan bangsa yang tidak
mengenal engkau akan berlari kepadamu, oleh karena Tuhan, Allahmu, dan karena Yang
Mahakudus, Allah Israel, yang mengagungkan engkau. (Yesaya 55:5) Mereka akan Kubawa
ke gunung-Ku yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku. Aku akan berkenan
kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan
di atas mezbah-Ku, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa. (Yesaya
56:7) Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya
yang terbit bagimu. (Yesaya 60:3) Aku mengenal segala perbuatan dan rancangan mereka,
dan Aku datang untuk mengumpulkan segala bangsa dari semua bahasa, dan mereka itu akan
datang dan melihat kemuliaan-Ku. (Yesaya 66:18) Aku akan menaruh tanda di tengah-tengah
mereka dan akan mengutus dari antara mereka orang-orang yang terluput kepada bangsa-
bangsa, yakni Tarsis, Pul dan Lud, ke Mesekh dan Rosh, ke Tubal dan Yawan, ke pulau-pulau
yang jauh yang belum pernah mendengar kabar tentang Aku dan yang belum pernah melihat
kemuliaan-Ku, supaya mereka memberitakan kemuliaan-Ku di antara bangsa-bangsa. (Yesaya
66:18-19) "Biarlah Semua Bangsa Menyembah Engkau, ya Allah!" Kategori ketiga yang
mengungkapkan pengharapan bangsa-bangsa adalah doa yang dipanjatkan dengan penuh iman
bahwa Allah akan disembah di antara bangsa-bangsa. Kiranya Allah mengasihani kita dan
memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, sela supaya jalan-Mu dikenal
di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa. Kiranya bangsa-bangsa bersyukur
kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu. Kiranya suku-
suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa
dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi. Sela Kiranya bangsa-bangsa
bersyukur kepada-Mu, ya Allah, kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu.
(Mazmur 67:1-5) Kiranya semua raja sujud menyembah kepada-Nya, dan segala bangsa
menjadi hamba-Nya!(Mazmur 72:11) Biarlah nama-Nya tetap selama-lamanya, kiranya
nama-Nya semakin dikenal selama ada matahari. Kiranya segala bangsa saling memberkati
dengan nama-Nya, dan menyebut Dia berbahagia. (Mazmur 72:17) "Aku akan Memuji
Engkau di Antara Bangsa-Bangsa" Kategori keempat yang mengungkapkan pengharapan
bangsa-bangsa menyatakan rencana-rencana dari pemazmur untuk melakukan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya untuk membuat kebesaran Tuhan dikenal di antara bangsa-bangsa.
Sebab itu aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu di antara bangsa-bangsa, ya Tuhan, dan aku
mau menyanyikan mazmur bagi nama-Mu. (Mazmur 18:49) Aku mau bersyukur kepada-Mu di
antara bangsa-bangsa, ya Tuhan, aku mau bermazmur bagi-Mu di antara suku-suku bangsa.
(Mazmur 57:9) Aku mau bersyukur kepada-Mu di antara bangsa-bangsa, ya Tuhan, dan aku
mau bermazmur bagi-Mu di antara suku-suku bangsa. (Mazmur 108:3) Diberkati untuk
Memberkati
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa berkat pengampunan dan keselamatan yang Allah
berikan pada umat Israel pada akhirnya merujuk pada penjangkauan semua kelompok
masyarakat di muka bumi. Israel diberkati agar menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Pernyataan
terbaik mengenai hal itu terdapat dalam Mazmur 67:1-2, "Kiranya Allah mengasihani kita dan
memberkati kita, kiranya Ia 8
menyinari kita dengan wajah-Nya, Sela, supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-
Mu di antara segala bangsa." Berkat tercurah kepada umat Israel sebagai alat untuk menjangkau
bangsa-bangsa. Demikian pengharapan yang ada dalam Perjanjian Lama: berkat keselamatan
tercurah bagi semua bangsa.
BAB IV
Misi Lintas Budaya
"Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, ... tetapi Aku akan membuat engkau
menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung
bumi." (Yesaya 49:6) Rasul Paulus sangat gigih membagikan Injil bagi bangsa lain di luar
bangsa Yahudi, bukan karena ia tidak toleran terhadap bangsanya sendiri -- malah ia mau mati
terkutuk bagi bangsanya, Yahudi (Roma 9:3) -- tetapi karena ia mau "melintasi" budaya untuk
menjangkau bangsa-bangsa lain yang juga dikasihi Allah. Panggilan Allah kepadanya sangat
jelas sehingga beberapa kali ia menyaksikannya (Kisah Para Rasul 9:15; 13:47) dan
membuatnya mengarahkan fokus pada daerah pelayanannya (2 Korintus 10:13; Roma 15:23).
Rasul Paulus menerima pengutusan lintas budaya sebagai respons terhadap kasih Allah kepada
semua suku bangsa. Nyata bahwa Allah menghendaki kita untuk memerhatikan bangsa lain di
samping bangsa kita sendiri karena Allah juga mengasihi mereka. Kita juga harus melihat
sebuah kebutuhan yang mendesak seperti Allah melihatnya. Dalam Kisah Para Rasul 16:9, Roh
Allah mencegah Rasul Paulus ke Asia kecil dan membelokkannya ke Makedonia di mana Injil
sangat dibutuhkan tidak hanya untuk bangsa kita, tapi untuk semua makhluk dan tidak bisa
ditunda. Setiap hari di seluruh dunia, banyak manusia meninggal tanpa Kristus. Inilah yang
juga harus menjadi urgensi kita dalam pengutusan lintas budaya. Lalu bagaimana kita
membangkitkan pemahaman dan pengertian akan misi lintas budaya? Rasul Petrus yang
demikian nasionalis Yahudi mengalami "pencerahan" bahwa Allah juga bekerja di antara
bangsa-bangsa lain setelah mendengar penjelasan yang dibagikan oleh Kornelius (Kisah Para
Rasul 10:34) sehingga ia mendukung panggilan Allah untuk misi bangsa-bangsa di luar
bangsanya. Rasul Yakobus juga demikian setelah mendapat penjelasan dari Paulus dan
Barnabas(Kisah Para Rasul 15:14). Oleh karena itu, penting bagi gereja-gereja lokal
memberikan penjelasan tentang apa yang sedang Allah lakukan di ladang pelayanan supaya
jemaat mengalami "pencerahan" dan mau mendukung dengan sepenuh hati pekerjaan
pengutusan lintas budaya. Mungkin juga baik jika ada jemaat lokal yang mau ikut serta ke
ladang-ladang misi dan melihat langsung apa yang sedang Allah kerjakan untuk
membangkitkan semangat dan motivasi mendukung pelayanan pengutusan lintas budaya
tersebut, sambil tidak lupa mengajarkan untuk berdoa syafaat bagi pelayanan misi seperti yang
selalu diminta Rasul Paulus kepada jemaat-jemaat lokal yang mendukungnya supaya
mendoakan pelayanannya (Kolose 4:3). Kiranya Tuhan memberi kita hati yang merindukan
jiwa-jiwa di bukan hanya bangsa kita sendiri, tapi juga bangsa-bangsa lain di dunia.
BAB V
Siapa Peduli Suku-Suku yang Terabaikan?
Salah satu tugas gereja dan orang percaya adalah melakukan pekerjaan misi. Apakah yang
dimaksud dengan pekerjaan misi itu? Pekerjaan misi meliputi semua kegiatan yang bertujuan
untuk mengabarkan kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus sebagai kurban
penebus dosa manusia, serta jaminan hidup kekal bagi siapa pun yang percaya dalam nama-
Nya. Yesus adalah satu-satunya pengharapan yang dapat membawa orang-orang dari kematian
menuju kehidupan sejati. Jadi, pekerjaan misi tidak lain adalah pengabaran Injil. Meskipun
gereja-gereja dan individu-individu sudah melakukan banyak perbuatan baik, namun hanya
kegiatan yang bertujuan untuk pengabaran Injil dan pembentukan murid-murid Yesus sajalah
yang dapat dikatakan sebagai pekerjaan misi yang sebenarnya.
Tugas untuk bermisi adalah tugas paling penting bagi pengikut Kristus. Sesudah Ia bangkit dari
antara orang mati, Yesus menampakkan diri paling sedikit lima kali kepada murid-murid-Nya.
Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memberitakan Injil kepada semua suku bangsa
(Matius 28:18-20; Markus 16:14-16; Lukas 24:46-49; Yohanes 20:21-23). Amanat Agung
tersebut disampaikan kepada murid-murid Yesus, setidak-tidaknya lima kali sesudah
kebangkitan-Nya. Dalam 9
Markus 16:15 dikatakan, "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala
makhluk." Murid-murid mula-mula Yesus menanggapi dengan serius tugas tersebut. Jadi, sejak
permulaan abad yang pertama hingga saat ini, Injil terus-menerus menyebar dengan cepat.
Gambaran kemajuan Injil dapat dilihat dari hasilnya sekarang, yaitu bahwa sudah sekitar
sepertiga populasi dunia menjadi percaya kepada Yesus. Meskipun belum semua orang
mendengar Injil, banyak individu sudah diberi peluang untuk mendengar dan merespons Injil
Yesus. Amanat Agung lebih dari sekadar mengabarkan Injil kepada perseorangan. Dalam
Matius 28, Yesus menekankan pentingnya pemberitaan Injil kepada suku-suku bangsa. "Yesus
mendekati mereka dan berkata: 'Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada
akhir zaman.' (Matius 28:18-20). Sekilas tampaknya banyak perintah yang terkandung di dalam
Amanat Agung, namun sebenarnya hanya terdapat satu perintah utama, yaitu "Jadikanlah
semua bangsa murid-Ku!" Frasa "semua bangsa" (Yunani: 'panta ta ethne') berarti "semua suku
bangsa" secara menyeluruh. Oleh sebab itu, berkaitan dengan perintah untuk memuridkan
setiap suku bangsa itu, Yesus memerintahkan kita untuk mengutamakan pemberitaan Injil.
Fokus pengabaran Injil dipusatkan pada menjadikan suku-suku bangsa sebagai murid-murid
Yesus. Kalau demikian, bagaimana hasilnya sampai sekarang? Menurut salah satu lembaga
misi yang paling dapat dipercaya, sekitar 2/3 populasi dunia belum percaya kepada Yesus; kira-
kira setengah dari jumlah itu merupakan suku-suku yang dianggap sudah terjangkau dan
setengahnya merupakan suku-suku terabaikan. Ada ribuan suku bangsa di dunia ini. Menurut
statistiklembaga-lembaga misi terkini, 4.992 suku di dunia dianggap terabaikan, walaupun
perkiraan dari lembaga-lembaga misi tersebut bervariasi tergantung dari definisi yang dipakai
untuk suku-suku terabaikan. Di antara suku-suku itu, terdapat 1.317 suku yang sudah dilayani,
walaupun penginjilan belum sepenuhnya maksimal. Artinya, masih ada 3.675 suku terabaikan
yang belum dilayani oleh pekerjaan misi. Suatu suku dikategorikan sebagai "suku terabaikan"
jika orang-orang percaya atau jemaat-jemaat yang ada di suku tersebut belum mampu
menjangkau sukunya sendiri. Walaupun di antara lembaga-lembaga misi tidak ada
kesepahaman mengenai persentase jumlah minimal penduduk suku yang Kristen agar tidak
lagi dikategorikan sebagai "suku terabaikan", namun biasanya persentasenya berkisar antara 1-
2% jumlah warganya yang Kristen. Di Indonesia terdapat 127 suku yang masuk ke kategori
"suku terabaikan". Suku-suku di Indonesia yang masuk ke kategori "suku terabaikan" adalah
suku yang memiliki populasi lebih dari 10.000 jiwa namun jumlah warganya yang mengenal
Kristus kurang dari 1%. Suku-suku terabaikan di Indonesia termasuk dalam 23 rumpun yang
tersebar di seluruh Indonesia. Mengapa suku-suku tersebut masih terabaikan? Sebagian orang
Kristen sering berpikir bahwa alasannya adalah karena mereka tidak bersedia mendengar Injil,
bahkan sudah menolak Injil. Namun realitanya sering tidak demikian. Mereka masih terabaikan
karena faktor-faktor yang menghalangi pemberitaan Injil ke suku tersebut. Banyak suku
menjadi terabaikan karena Injil belum diperbolehkan masuk ke suku tersebut. Orang-orang
yang percaya kepada Kristus sudah mengetahui bahwa Injil yang baik dan indah itu merupakan
kunci untuk kemerdekaan dan keselamatan. Namun, Injil sering dihalangi oleh faktor-faktor
sosial atau politik sehingga belum boleh didengar oleh masyarakat suku-suku terabaikan.
Ternyata, banyak orang akan rela menjadi percaya kepada Kristus seandainya mereka diberi
kesempatan untuk mendengarkan Injil melalui sarana yang sesuai konteksnya. Faktor-faktor
lain yang menjadi penyebab suku-suku tersebut terabaikan termasuk kondisi jemaat-jemaat itu
sendiri. Perhatian orang-orang Kristen dari suku tersebut sering tersita karena mereka bersikap
duniawi atau dihimpit tekanan hidup sehingga mengabaikan tugas untuk bermisi yang begitu
penting. Amanat Agung Tuhan Yesus mendesak setiap orang percaya agar berperan aktif dalam
memuridkan setiap suku bangsa bagi Yesus. Gereja-gereja perlu menganggap serius Amanat
Agung tersebut dan mengabarkan Injil dengan setia. Amanat Agung memang tidak
diperintahkan secara langsung kepada gereja-gereja, oleh karena itu amanat ini tidaklah harus
selalu bergantung pada keterlibatan gereja setempat. Setiap orang Kristen diperintahkan untuk
terlibat di dalamnya. Amanat Agung disampaikan kepada setiap orang Kristen secara individu.
Demikianlah setiap orang percaya harus melaksanakan Amanat Agung, dan setiap kumpulan
orang percaya, yaitu jemaat, juga harus bekerja sama dalam melaksanakan Amanat Agung.
Mengapa Yesus belum datang untuk kedua kalinya? Jawabannya ialah karena Yesus masih
menangguhkan penghukuman terhadap segala kefasikan di dunia agar semakin banyak orang
10
bertobat dari dosa-dosanya dan berbalik kepada Allah dengan menjadi percaya kepada Yesus
(2 Petrus 3:9). Yesus menubuatkan, "Injil kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia
menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14).
Jadi, pemberitaan Injil ke semua bangsa adalah persyaratan untuk kedatangan Tuhan Yesus
yang kedua kali. Pada akhirnya nanti, setiap suku bangsa akan diwakili di sekeliling takhta
Allah di surga. Wahyu 7:9 berkata, "Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu
kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan
suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai
jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka." Akhir-akhir ini, Tuhan sedang
menarik orang-orang datang kepada Yesus secara luar biasa. Suku-suku yang dulu sangat
tertutup, bahkan melawan Injil, sekarang mulai terbuka untuk mendengarkan Injil. Allah
sendiri yang menarik orang-orang itu untuk datang kepada Yesus secara langsung. Benih-benih
Injil yang ditabur pada masa lalu sedang bertumbuh. Tsunami di Indonesia, yang menyebabkan
banyak penderitaan dan tangisan, juga meninggalkan bekas pada banyak bangsa lain, mulai
dari Asia Tenggara sampai ke daratan Afrika. Lintasan tsunami itu menjangkau tempat tinggal
suku-suku terabaikan dari berbagai latar belakang agama. Allah sedang menginsyafkan
bangsa-bangsa akan kebenaran, agar mereka berpaling kepada Yesus untuk diselamatkan
(Yesaya 45:22). Ribuan orang di seluruh dunia sedang bermimpi dan mendapat penglihatan-
penglihatan mengenai Yesus (Isa Almasih). Yesus sering menampakkan diri dengan berjubah
putih berkilauan. Ia menyuruh orang-orang mencari kebenaran tentang Dia, lalu banyak orang
menjadi percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat. Kita pada masa ini juga diberi
kesempatan untuk bekerja sama dengan Yesus dalam memuridkan semua suku bangsa. Kalau
demikian, apa yang harus kita perbuat untuk suku-suku terabaikan? Pertama, mari kita belajar
untuk mengenali mereka. Banyak informasi di internet dan di lembaga-lembaga Kristen yang
dapat digunakan untuk memperlengkapi pengertian kita mengenai suku-suku yang terabaikan.
Lembaga-lembaga misi bisa menyediakan banyak data penolong untuk kita. Pengabdian dalam
pekerjaan misi dimulai dengan pengetahuan yang benar. Kedua, mari kita bertekad untuk
mendoakan mereka. Sebaiknya, kita masing-masing memilih salah satu suku tersebut sebagai
pokok doa harian. Dengan demikian, Saudara akan menjadi seorang duta bagi Allah untuk suku
tersebut. Berdoalah agar Tuhan menginsyafkan orang-orang suku itu mengenai kebenaran dan
anugerah Allah melalui Tuhan Yesus. Berdoalah agar Tuhan mengutus pekerja-pekerja-Nya
untuk menjangkau suku tersebut. Kenalilah kebutuhan suku tersebut. Dengan mengenal
kebutuhan mereka secara lebih mendalam, kita akan dapat mendoakan mereka secara lebih
spesifik. Ketiga, mari kita tingkatkan sumbangan bagi pekerjaan misi. Uang yang
dipersembahkan untuk perluasan Kerajaan Allah merupakan investasi yang kekal. Setiap orang
Kristen seharusnya menyelidiki bagaimana ia menggunakan uangnya dan menetapkan prioritas
finansial yang semestinya. Dengan demikian, uang yang dipersembahkan untuk perkerjaan
misi akan meningkat secara pasti, sebab perkerjaan misi adalah pekerjaan utama Allah.
Keempat, pergilah! Seandainya ada kesempatan untuk melibatkan diri secara langsung dalam
pengabaran Injil, lakukanlah. Allah paling berkenan ketika umat-Nya melibatkan diri dalam
menyebarkan Injil, baik secara lokal maupun sampai ke ujung bumi. Pertimbangan kita untuk
mengutamakan ikut dalam pekerjaan misi ialah karena Allah memunyai Anak satu-satunya,
dan Ia telah mengutus Anak-Nya tersebut sebagai seorang utusan Injil (Yohanes 3:16). Itulah
alasan yang mendesak setiap orang Kristen untuk melibatkan diri dan mendorong anak-anak
kita untuk terlibat juga secara langsung dalam memuridkan semua suku bangsa bagi Yesus.
BAB VI
Mengapa Kita Harus Mengutamakan Suku-Suku Terabaikan?
MENGAPA KITA HARUS MENGUTAMAKAN SUKU-SUKU TERABAIKAN?
DASAR ALKITAB Dasar alkitabiah tentang kehadiran suku bangsa di dunia diambil dari
firman Tuhan yang terdapat di Mazmur 86:9, "Segala bangsa yang Kau jadikan akan datang
sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu." Dari ayat ini,
kita mengerti bahwa Tuhan menciptakan beragam suku bangsa demi satu tujuan, agar mereka
memuliakan nama-Nya dan menyembah hanya kepada-Nya. Itulah sebabnya, kita tidak layak
mengeluhkan besarnya jumlah suku bangsa di dunia ini. 11
Bila memandang Indonesia, kita menemukan ratusan suku bangsa dengan beragam budaya dan
bahasanya masing-masing. Sayangnya, sebagian di antara mereka belum mengenal nama-Nya,
apalagi menyembah Dia. Malahan mereka tidak memedulikan Penciptanya. Keadaan ini tentu
mendukakan Tuhan karena Ia ingin segala suku bangsa datang dan menyembah-Nya dalam
keberagaman mereka masing-masing. Ratusan suku bangsa di Indonesia -- sekitar 6.900 suku
di seluruh dunia -- masih termasuk dalam kategori terabaikan, suatu jumlah yang sangat besar.
Sejak semula, Tuhan kita adalah Allah yang berwawasan ujung bumi. Kejadian 1:28
merupakan perintah bagi Adam dan Hawa untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya.
Perintah ini kembali diulang kepada Nuh dalam Kejadian 9:1, tatkala ia keluar dari bahteranya.
Kemudian, ketika memanggil Abraham, Tuhan berfirman, "Olehmu semua kaum di muka bumi
akan mendapat berkat" (Kejadian 12:3). Demikianlah segala bangsa di atas bumi turut
mendapat berkat (Kejadian 18:18). Tentu saja berkat ini bukan sesuatu yang didapat secara
gaib. Paulus menjelaskan dalam Galatia 3:8 dan 9 bahwa melalui iman Abraham, suku-suku
bangsa non-Yahudi akan turut diselamatkan. Dan inilah berkat yang dimaksudkan dalam kitab
Kejadian. Akan tetapi, sebelum suku-suku bangsa lainnya dapat menggabungkan diri dalam
koor raksasa para penyembah, sebagaimana dilihat oleh Rasul Yohanes sebagai nubuat (Wahyu
7:9,10), mereka harus berbalik dan bertobat kepada Tuhan lebih dahulu. Saat ini, kita telah
menjadi anak-anak Abraham. Dengan demikian, janji-janji yang diberikan kepada Abraham
dalam Kejadian 12:3 dan 18:18 juga diwariskan dan diamanatkan kepada kita. Oleh karena itu,
kita pun harus menjadi berkat bagi segenap suku bangsa tersebut. Ada banyak ayat dalam PL
yang melukiskan bagaimana suku bangsa akan memuliakan nama Tuhan. Beberapa di
antaraayat-ayat tersebut adalah seperti di bawah ini.
Aku mau memasyurkan namamu turun-temurun; sebab itu bangsa-bangsa akan bersyukur
kepadamu untuk seterusnya dan selamanya. (Mazmur 45:18)

Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai! (Mazmur


47:2)

Pujilah Allah kami, hai bangsa-bangsa, dan perdengarkanlah puji-pujian kepada-Nya.


(Mazmur 66:8)

Dengan kata lain, Tuhan kita tidak puas kalau hanya satu golongan saja yang memuliakan dan
menyembah Dia. Sebaliknya, Ia ingin supaya semua suku bangsa dan ras masuk dalam koor
yang menyembah-Nya. SEMUA MANUSIA ADALAH ORANG BERDOSA Masalahnya,
sampai saat ini target Allah tersebut belum tercapai. Tidak ada satu pun suku bangsa yang
benar. Semuanya telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Dosa telah memisahkan
manusia dengan Allah. Dalam Roma 3:9-20, Paulus membeberkan daftar panjang dosa kita.
Dan semua itu merupakan suatu realitas yang tidak dapat kita mungkiri. Manusia diciptakan
untuk memuliakan Tuhan, tetapi mereka malah mencemari dirinya dengan melanggar perintah
Tuhan. Oleh karena itu, seluruh penduduk sedunia sudah berada di bawah hukuman Allah dan
sudah terpisah dari Allah untuk selama-lamanya. Karena itu pula, para nabi terus mengangkat
masalah dosa manusia untuk menyadarkan mereka akan keberadaannya yang sesungguhnya.
Seluruh ungkapan para nabi itu ditujukan agar manusia mau berbalik kepada Allah,
Penciptanya. PRINSIP TUHAN: DOSA MENANTIKAN HUKUMAN Paulus menjelaskan
dalam Roma 1:18-22, "Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman
manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui
tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa
yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat
nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat
berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai
Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati
mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi
mereka telah menjadi bodoh."
Sebenarnya, ada banyak orang yang menyadari bahwa apa yang mereka perbuat tidak bisa
diterima oleh Tuhan (Roma 1:21). Karena mengetahui segudang dosa dalam kehidupannya,
mereka menciptakan berbagai agama untuk menenangkan hati nurani mereka (Roma 1:21-23).
Mereka membuat cara untuk bisa mengerjakan banyak amal. Akan tetapi, Tuhan tidak bisa
disuap dengan 12
berbagai amal buatan manusia (Roma 3:20). Sebaliknya, hanya lewat firman Tuhanlah mereka
dapat mengenal dosa mereka. Di mana ada dosa, di sana pulalah mestinya ada hukuman.
Hukuman yang layak atas dosa manusia adalah hukuman mati. "Sebab walaupun mereka
mengetahui tuntunan-tuntunan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-
hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya sendiri, tetapi mereka
juga setuju dengan mereka yang melakukannya" (Roma 3:9-20, lihat juga Roma 6:23). Semua
manusia sudah divonis (Roma 3:19b; Yohanes 3:18,36), tetapi pelaksanaan hukuman ini masih
ditangguhkan. Meskipun Tuhan kita panjang sabar dan lapang hati, manusia tetap tidak akan
selamat bila tidak bertobat. Sebaliknya, manusia akan menjalani hukuman (Roma 2:5-11). Hal
ini selaras pula dengan apa yang dikemukakan dalam Nahum 1:3, "Tuhan itu panjang sabar
dan besar kuasa, tetapi Ia tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman orang yang bersalah."
JANJI-JANJI TUHAN Suku-suku bangsa di dunia ini memang hidup di dalam dosa. Akan
tetapi, anugerah Tuhan yang luar biasa tidak membiarkan manusia untuk terus berada di dalam
dosa. Melalui Anak-Nya, Ia mengajarkan firman-Nya kepada manusia, bahkan merelakan diri-
Nya untuk menanggung semua hukuman sebagai ganti manusia (Roma 3:23,24). Meskipun
demikian, Tuhan harus menegakkan kebenaran. Ia tidak mungkin menerima semua orang
karena bila demikian, surga akan dicemari oleh kehadiran orang-orang yang tidak disucikan.
Oleh karena itu, manusia harus dibebaskan dari belenggu dosa dan disucikan oleh darah Yesus.
Dan hal ini hanya terjadi kalau manusia menerima karya Tuhan Yesus dengan imannya (Roma
3:22,25). Karena Tuhan adalah suci dan hanya orang-orang yang sudah disucikan Tuhan saja
yang akan berada di surga. Firman-Nya jelas tentang hal ini, yaitu tanpa kekudusan tidak ada
orang yang akan melihat Tuhan (Ibrani 12:14; Matius 5:8). Alkitab penuh dengan janji-janji
bahwa suku-suku bangsa akan diselamatkan. Ketika Ismael dan ibunya disuruh meninggalkan
rumah Abraham, mereka mengembara di padang gurun, lalu mereka berseru kepada Tuhan.
Seruan itupun didengar Tuhan (Kejadian 21:17). Mereka pun mendapat air hidup. Dari
peristiwa ini, kita menyadari bahwa keturunan dari Ismael pun bisa berseru kepada-Nya. Anak-
anak Ismael, yaitu Nebayot dan Kedar, akan membawa korban di dalam kebaktian Tuhan,
sebagaimana disebutkan dalam Yesaya 60:7, "Segala kambing domba Kedar akan berhimpun
kepadamu, domba-domba jantan Nebayot akan tersedia untuk ibadahmu; semuanya akan
dipersembahkan di atas mezbah-Ku sebagai korban yang berkenan kepada-Ku, dan Aku akan
menyemarakkan rumah keagungan-Ku." Dari firman tersebut kita melihat bahwa Ismael tidak
disingkirkan untuk selama-lamanya. Melalui anak- anaknya ia akan memberikan kontribusi
yang sangat penting di dalam ibadah kepada Tuhan. Tidak hanya anak-anak Ismael yang akan
datang ke kebaktian besar pada akhir zaman, tetapi suku-suku bangsa lainnya juga. Hal ini
disebutkan dalam Yesaya 60:3-6, "Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu,
dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu. Kelimpahan dari seberang laut akan beralih
kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu. Sejumlah besar unta akan
menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari
Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur Tuhan."
Orang dari seberang laut yang dimaksud adalah orang yang datang dari pulau-pulau.
Perhatikan pula ayat-ayat berikut ini.
Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak
di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-
duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik ke gunung
Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya
kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman Tuhan dari
Yerusalem." (Yesaya 2:2,3)

Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada Tuhan; dan segala kaum dari
bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya. (Mazmur 22:28)

Banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada Tuhan pada waktu itu dan akan menjadi
umat-Ku dan Aku akan diam di tengah-tengahmu. (Zakharia 2:11)

Beginilah Firman Tuhan semesta alam: "Masih akan datang lagi bangsa-bangsa dan
penduduk banyak kota." (Zakharia 8:20)
13
Kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan- persembahan;
kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba menyampaikan upeti! Membaca dan merenungkan semua
janji ini -- yang bisa ditambahkan --, tidak bisa diragukan lagi, bahwa dari semua suku bangsa
dalam dunia ini, ada yang ikut pada hari raya besar ini. (Mazmur 72:10)

VISI Tuhan memberikan janji dalam Yesaya 49:6, "Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi
terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi."
Tapi siapa yang akan bertanggung jawab untuk mewujudnyatakan janji tersebut? Paulus
menerapkan ayat ini kepadanya sendiri, "Sebab inilah yang diperintahkan kepada kami: Aku
telah menentukan engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah,
supaya engkau membawa keselamatan sampai ke ujung bumi" (Kisah Para Rasul 13:47). Janji-
janji Tuhan itu telah menjadi perintah baginya dan berdasarkan hal itulah ia memberitakan
Injil. Bilapun tidak dapat berangkat, ia mendoakan suku bangsa lain agar mereka selamat
(Kolose 1:28-2:3). Meskipun berita Injil harus disampaikan dan diedarkan seluas-luasnya,
sampai kini masih ada suku bangsa yang belum mendengar berita keselamatan lewat darah
Yesus (Roma 3:24,25). Mengapa kita mau menyimpan berita Injil keselamatan ini untuk diri
kita sendiri? Mengapa hati kita tidak dipenuhi dengan belas kasihan kepada semua orang yang
masih hidup dalam kegelapan (Roma 9:1-3)? Tidakkah Saudara berbeban berat ketika
menyadari adanya manusia, malah seluruh suku, yang sedang menuju ke neraka, sementara
mereka sendiri tidak menyadarinya? Bukankah tugas kita justru memperingatkan mereka?
Mengapa banyak orang Kristen tidak peduli ketika banyak manusia juga ciptaan Allah yang
tidak mau menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran, padahal mereka diciptakan untuk
menyembah Tuhan (Roma 11:33-36)? Bagaimana solusi untuk hal ini? Pergilah dan
beritakanlah Injil Yesus Kristus kepada mereka, tetapi lebih dahulu berdoalah! Tanpa doa tidak
ada wewenang! Andaikata tidak ada orang Kristen yang bersedia untuk berdoa syafaat,
mendukung pelayanan, dan pergi kepada suku-suku bangsa lain, mereka tidak akan beroleh
kesempatan. Tuhan sangat memedulikan setiap suku bangsa. Oleh karena itu, kita harus
mengutamakan suku-suku terabaikan sebagai sasaran pelayanan kita sebagai gereja. Bila kita
melakukan hal ini, itu berarti kita berada dalam poros kehendak Tuhan. Dan kita dapat terlibat
lewat doa syafaat dan pergumulan kita melibatkan diri dalam penginjilan di antara suku-suku
terabaikan. Dengan demikian, akan lebih banyak orang dan suku bangsa yang mau mengerti
keselamatan dalam Kristus dan masuk dalam kerajaan Tuhan. Bersediakah Saudara?
BAB VII
Mengadopsi Salah Satu Suku
Definisi adopsi:
1. Mengangkat anak orang lain dan mengesahkan sebagai anak sendiri; memelihara orang lain
seperti anak sendiri.

2. Mengambil keputusan untuk mempelajari, mendoakan, dan melayani salah satu suku yang
belum mengenal kasih Allah.

3. Membuat satu komitmen formal, sebagai gereja, atau jemaat setempat, atau yayasan, untuk
mendoakan, mengutus, serta mendukung pelayanan lintas budaya dan melayani salah satu suku
yang belum terjangkau.

Mengapa mengadopsi salah satu suku?


1. Karena Allah mengasihi semua suku bangsa. Allah tidak hanya mengasihi beberapa suku
saja, tetapi mengundang semua suku bangsa untuk menerima keselamatan (hidup kekal) yang
dijanjikan dan digenapi melalui Tuhan Yesus Kristus.

2. Karena banyak suku yang tidak dapat dilayani oleh pelayanan biasa. Pola pelayanan yang
kontekstual, disesuaikan dengan bahasa daerah setempat, ciri budaya suku tersebut, dan situasi
dan kondisi di tempat tersebut. Kita harus lebih mementingkan ciri budaya suku itu daripada
ciri budaya gereja kita sendiri untuk "memenangkan sebanyak mungkin" (1 Korintus 9:19-23).

3. Untuk menciptakan kemitraan yang konstruktif dan mengurangi persaingan. Setiap suku
memerlukan berbagai macam pelayanan pemuridan, pelayanan sosial, dan pelayanan gerejawi
di seluruh wilayahnya. Namun, kadang kala muncul persaingan yang tidak konstruktif. Suatu
14
kemitraan daerah dapat menjadi forum komunikasi antarpelayanan dan sebagai saluran berbagi
sumber-sumber pelayanan, misalnya data mengenai budaya, terjemahan, dan buku cetakan.
Kemitraan di lapangan harus dimulai dengan kemitraan doa di gereja dan jemaat setempat.

Bagaimana caranya mengadopsi salah satu suku?


1. Mendoakan berbagai suku sebelum berkomitmen sebagai kelompok yang akan mengadopsi
satu atau dua suku.

2. Menentukan bentuk adopsi yang cocok bagi kelompoknya sendiri pada saat ini

Mendoakan. Masing-masing dari kita bisa mulai berdoa syafaat bagi suatu suku.

Mendukung pelayanan dana, Alkitab, traktat yang kontekstual, pelatihan, dll..

Mengutus pelayan lintas budaya, dan perjalanan misi.

Mulai mempelajari, mendoakan, mengunjungi, dan melayani suku. "I will give you every
place where you set your foot, as I promised Moses." (Jos. 1:3, NIV).

Tiga cara komitmen adopsi.


1. Mengadopsi untuk Berdoa.

Allah kita bekerja melalui doa syafaat umat-Nya. Membuat komitmen untuk berdoa syafaat
adalah keputusan serius. Hal-hal yang didoakan antara lain, siapa dan di mana suku itu berada,
berbagai ciri budaya setempat, kebutuhan jasmani dan rohani, dan hambatan pelayanan tertentu
2. Mengadopsi untuk Mendukung.

Jika belum siap mengutus pelayan, orang Kristen dapat mendukung pelayanan dalam bentuk
dana, bahan pelatihan, atau tenaga kerja.
3. Mengadopsi untuk Mengutus Pelayan.

Suku-suku ini belum dijanngkau oleh karena pola pelayanan yang biasa tidak efektif di dalam
lingkup budaya yang begitu berbeda. Jadi harus ada kemitraan/kerja sama di dalam proses
mempersiapkan dan mengutus calon pelayan lintas budaya. Seorang pelayan lintas budaya
adalah seorang yang dewasa di dalam Kristus, mampu mengajar, mampu menyesuaikan diri
dengan budaya setempat, dan berpengalaman dalam kerja sama tim secara efektif. BAB VIII
BUDAYA Berasal dari bahasa Latin “colore” yaitu mengolah atau mengerjakan, Inggris
“culture.” Secara umum kebudayaan berarti :
- Cara hidup yang terus berkembang
- Teladan hidup
- Sesuatu yang akan mempengaruhi keseluruhan pengertian, nilai, norma, tingkat pengetahuan
dan meliputi struktur social, religious, dan sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak dan menjadi
ciri khas suatu masyarakat.1

1Ebbi Smith “Culture: The Milieu of Missions” dalam Missiologi, 261.


Unsur-unsur kebudayaan yaitu estetika, material, bahasa dan sistem kepercayaan.
- Estetika (berhubungan dengan seni dan kesenian).

Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan disampaikan dapat
mencapai tujuan dan efektif.
- Kebudayaan Material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret, temuan-
temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian, arkeologi mencakup barang-barang.
- Bahasa, alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap wilayah, bagian dan negara
memiliki perbedaan yang sangat komplek.
15
- Sistem kepercayaan, mempengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat,
mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara
mengkonsumsi, dan cara bagaimana berkomunikasi.2

2Ibid, 261-266. 3G. Kartasapoetra dan R.G. Widyaningsih, Teori Sosiologi, (Bandung: 1982),
51. 4G. Kartasapoetra, Teori Sosiologi, 67.
Dalam hubungan dengan masyarakat, budaya dan sosial terintegrasi sejak manusia itu lahir
berawal dari kehidupan dalam lingkungan keluarga selanjutnya secara bertahap meningkat
terus sehingga menjalin hubungan sosial menyesuaikan dan menentukan cara-cara hidup
masyarakat. Dalam sosiologi modern, budaya dianggap sebagai hasil usaha manusia,
dilimpahkan dari generasi tua kepada generasi muda sehingga setiap orang berpartisipasi ke
dalam budaya itu.3 Pengamatan terhadap realita budaya harus dianalisa dengan metode
visualisasi empat tingkat pemahaman yang berurutan dengan menggunakan ilustrasi yang
disebut dengan teknik “Man from Mars” yaitu seorang mahluk dari Mars baru-baru ini telah
mendarat dengan menggunakan pesawat antariksa di bumi dan ia melihat realita kehidupan
manusia di bumi dari sudut pandangan seorang pengunjung asing dari antariksa. Adapun 4
tingkatan tersebut terdapat dalam gambar di bawah ini :
Gambar Empat tingkatan pengamatan budaya.4 Lapisan pertama dan lapisan permukaan yang
akan diamati oleh seorang asing adalah tingkah laku orang. Lapisan kedua dalam pengamatan
adalah pilihan-pilihan orang tersebut terhadap apa yang baik atau terbaik yang mencerminkan
nilai-nilai pokok orang itu. Lapisan ketiga adalah kepercayaan seseorang yang membuat orang
itu melakukan hal-hal yang dianggapnya benar. Lapisan keempat ialah pandangan hidup
seseorang dalam suatu kebudayaan yang menjadi inti dari ekspresi sebuah tingkah laku atau
pola hidup. Bentuk-bentuk kebudayaan dalam Alkitab harus dipahami dalam konteks
kebudayaannya. Bentuk-bentuk kebudayaan itu tidaklah sakral, tetapi maknanyalah yang
sakral. Sesungguhnya semua kebudayaan bersifat relatif, termasuk kebudayaan-kebudayaan
dalam Alkitab. Menurut Richard Niehbur dalam buku Christ and Culture hubungan
Kekristenan dengan budaya digambarkan dalam lima pandangan yaitu : 16
1. Christ against culture.

Penganut pandangan ini berpendapat bahwa dunia ini dan budayanya penuh dosa dan najis bagi
Tuhan sehingga Kekristenan harus menentang seluruh dunia ini serta budayanya.
2. Christ of culture

Penganut pandangan ini berpendapat bahwa Kekristenan adalah bagian dari budaya sehingga
Kekristenan menerima pengajaran budaya yang dianggap sama dengan pengajaran Kristus.
3. Christ above culture

Pandangan ini menyatakan Kekristenan berada di atas budaya. Budaya dianggap sebagai
hukum alam sedangkan di atasnya kekristenan adalah hukum surgawi.
4. Christ and culture in paradox

Pandangan ini bersifat dualistis karena di satu pihak menganggap semua budaya adalah buruk
dan di pihak lain mengakui bahwa mereka berada di dalam masyarakat budaya yang buruk itu,
tetapi Tuhan memelihara mereka setiap saat oleh anugerah.
5. Christ transforming culture

Penganut ini memiliki pemahaman bahwa Kekristenan harus merubah dan memperbaharui
budaya yang fana dan penuh dosa.5
5H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (New York: Harper & Row, 1951), 55.
BAB IX
Memahami Budaya
Apa itu budaya? Bagi mereka yang baru mulai mempelajari antropologi misionaris, pertanyaan
ini sering kali menjadi tanggapan pertama mengenai deskripsi, definisi, perbandingan, model,
paradigma, dll. yang membingungkan. Mungkin tak ada kata dalam bahasa Inggris yang lebih
luas daripada kata budaya; tak ada bidang lain yang lebih kompleks daripada antropologi
budaya. Namun, pemahaman mendalam akan arti budaya adalah prasyarat agar Kabar Baik
dari Tuhan dapat disampaikan secara efektif kepada kelompok orang yang berbeda. Prosedur
dasar dalam pembelajaran budaya adalah memahami budayanya sendiri. Setiap orang memiliki
budayanya sendiri dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas darinya. Memang benar bahwa
siapa pun bisa menghargai budaya lain dan berkomunikasi secara efektif dengan dua atau lebih
budaya. Namun, tak seorang pun yang bisa mengungguli budayanya sendiri atau budaya orang
lain untuk mendapat cara pandang yang melampaui batas budaya. Karena alasan inilah perkara
mempelajari budaya menjadi hal yang sulit, meskipun itu budayanya sendiri. Dan hampir
mustahil untuk melihat suatu hal yang hanya menjadi bagian dari seseorang secara menyeluruh
dan objektif. Salah satu metode yang berguna adalah memandang suatu budaya,
membayangkan beberapa lapisan secara berturut-turut, atau tingkat pemahaman saat melihat
arti budaya yang sebenarnya. Dengan begitu, teknik "pria dari Mars" ini akan berguna.
Bayangkanlah seorang pria dari Mars baru saja mendarat (dari pesawat ruang angkasa) dan
melihat semua hal melalui kacamata alien. Hal pertama yang akan diperhatikan seorang
pengunjung adalah perilaku orang. Inilah lapisan terluar yang akan diperhatikan oleh alien.
Kegiatan apa yang akan diamatinya? Apa yang sudah dilakukannya? Saat memasuki sebuah
ruang kelas, tamu kita mungkin mengamati beberapa hal yang menarik. Orang bisa berada di
ruangan ini karena satu atau lebih penyebab. Tampaknya mereka mengitari ruangan dengan
sewenang-wenang. Seorang yang lain berpakaian berbeda dengan yang lainnya dan mengatur
posisinya sehingga berhadapan dengan orang-orang dan mulai berbicara. Saat semua ini
diamati, beberapa pertanyaan akan muncul, "Mengapa mereka berada di kelas ini? Mengapa si
pembicara berpakaian berbeda? Mengapa banyak yang duduk ketika satu orang berdiri?" Ini
adalah pertanyaan tentang arti yang timbul karena mengamati perilaku. Menanyakan
perbedaan cara bertindak pada beberapa orang mungkin menjadi suatu hal yang menarik untuk
dilakukan. Namun, beberapa orang mungkin akan mengangkat bahu dan berkata, "Memang
beginilah cara kami melakukan sesuatu." Tanggapan ini menunjukkan fungsi penting dari
budaya, yaitu memberikan "cara yang terpola dalam melakukan sesuatu", seperti yang
dijelaskan oleh satu kelompok ahli antropologi misionaris. Anda bisa menyebut budaya sebagai
"lemsuper" yang mengikat orang dan memberikan rasa identitas dan kelangsungan yang
hampir tak bisa ditembus. Identitas ini paling jelas terlihat dari perilaku -- cara melakukan
sesuatu.
Dalam mengamati penduduk, alien mulai menyadari banyak perilaku yang didikte oleh pilihan-
pilihan serupa yang telah dibuat masyarakat. Pilihan ini mencerminkan masalah nilai-nilai
budaya, lapisan berikutnya dari pandangan kita akan budaya. Masalah ini selalu berhubungan
dengan pilihan mengenai apa yang "baik", apa yang "menguntungkan", atau apa yang "terbaik".
17
Jika pria dari Mars itu terus menyelidiki orang-orang di kelas tersebut, dia mungkin akan
menemukan bahwa ada berbagai pilihan untuk mereka dalam melewatkan waktu. Selain
belajar, mereka bisa bekerja atau bermain. Banyak yang akan memilih belajar karena yakin itu
pilihan yang lebih baik dibandingkan bermain atau bekerja. Dia menemukan berbagai pilihan
lain yang telah mereka buat. Sebagian besar dari mereka memilih datang ke ruangan dengan
kendaraan kecil beroda empat karena merasa kemampuan untuk dapat berpindah dengan cepat
sebagai hal yang sangat menguntungkan. Memasuki ruangan beberapa saat setelah orang-orang
lain masuk dan segera keluar setelah pertemuan berakhir. Orang-orang ini mengatakan bahwa
sangat penting bagi mereka untuk menggunakan waktu dengan efisien. Nilai adalah keputusan
"yang ditetapkan sebelumnya" di antara pilihan yang umumnya dihadapi, yang dibuat oleh
suatu budaya. Ini membantu orang-orang yang tinggal di dalam budaya tersebut untuk
mengetahui apa yang "sebaiknya" atau apa yang "harus" dilakukan agar "cocok" dan sesuai
dengan pola kehidupan. Melebihi pertanyaan mengenai perilaku dan nilai, kita menghadapi
pertanyaan yang lebih mendasar mengenai budaya. Hal ini membawa kita menuju tingkat
pemahaman yang lebih mendalam, yaitu kepercayaan budaya. Kepercayaan ini memberi
jawaban atas pertanyaan "apa yang benar". Nilai-nilai dalam budaya tidak dipilih secara
sembarangan, tapi mencerminkan sistem kepercayaan yang mendasari. Misalnya, dalam kelas,
seseorang yang menyelidiki lebih jauh mungkin akan menemukan bahwa "pendidikan"
memiliki arti penting tertentu karena anggapan mereka tentang apa yang benar dari orang
tersebut, kemampuannya untuk berpikir dan memecahkan masalah. Dalam hal ini, budaya
diartikan sebagai "cara pandang yang dipelajari dan dibagi bersama" atau "orientasi kognitif
yang dibagi bersama". Menariknya, alien penyelidik kita bisa menemukan bahwa orang yang
berbeda dalam ruangan tersebut, saat menunjukkan nilai dan perilaku yang sama, bisa
menyatakan kepercayaan yang sangat berbeda. Dan dia juga bisa menemukan bahwa nilai dan
perilaku bertentangan dengan kepercayaan yang seharusnya menghasilkannya. Masalah timbul
dari kebingungan antara kepercayaan pelaksanaan (kepercayaan yang memengaruhi nilai dan
perilaku) dan kepercayaan teoritis (menyatakan kepercayaan yang hanya sedikit memengaruhi
nilai dan perilaku). Inti dari semua budaya adalah pandangannya terhadap dunia. Hal ini
menjawab pertanyaan paling dasar, "Apa yang sebenarnya?" Bidang budaya ini berkaitan
dengan pertanyaan "terakhir" yang terpenting mengenai kenyataan, pertanyaan yang jarang
ditanyakan, namun yang jawaban terpentingnya dapat diberikan oleh budaya. Beberapa tamu
kita dari Mars bertanya pada orang-orang, pernahkah mereka serius memikirkan pandangan
hidup yang terdalam, yang telah membawa mereka ada dalam kelas ini. Siapa mereka? Dari
mana mereka datang? Adakah hal atau orang lain yang mengambil kenyataan yang seharusnya
dipikirkan? Apakah mereka melihat apa adanya atau adakah sesuatu yang lain? Apakah hanya
saat ini yang terpenting? Ataukah masa lalu dan masa depan secara signifikan memengaruhi
pengalaman masa kini mereka? Setiap budaya memiliki jawaban rinci atas pertanyaan-
pertanyaan ini dan jawaban itu mengendalikan dan menyatukan semua fungsi, aspek, dan
komponen budaya. Pemahaman akan pandangan dunia sebagai inti setiap budaya menjelaskan
kebingungan akan banyaknya pengalaman pada tingkat kepercayaan. Pandangan dunia
seseorang memberi satu sistem kepercayaan yang tercermin dalam nilai dan perilaku orang itu
yang sebenarnya. Terkadang diperkenalkan sistem kepercayaan yang baru atau yang bersaing,
namun pandangan dunia tetap tidak berubah dan tidak tertantang sehingga nilai dan perilaku
mencerminkan sistem kepercayan yang lama. Kadangkala orang yang menceritakan Injil secara
lintas budaya tidak memperhitungkan masalah pandangan dunia ini. Karena itulah, mereka
merasa kecewa karena kurangnya perubahan yang dihasilkan usaha mereka. Model budaya ini
terlalu sederhana untuk menjelaskan banyak unsur dan hubungan kompleks yang ada pada
setiap budaya. Bagaimanapun juga, model yang sangat sederhana ini menjadi garis besar dasar
bagi setiap murid yang mempelajari budaya.
BAB X
Budaya dalam Kerangka Pikir Misiologi
MEMAHAMI BUDAYA
Setiap orang memiliki budaya dan tidak seorang pun dapat dipisahkan dari budayanya sendiri.
Tantangan berat bagi para misionaris (baik dalam maupun luar negeri) adalah mengidentifikasi
diri dengan orang-orang yang dilayani. Untuk itu, mereka dituntut memahami budaya
kelompok masyarakat yang dituju. 18
Langkah pertama untuk belajar budaya-budaya lain adalah menguasai budaya sendiri. Apakah
arti budaya itu? Budaya menurut para sarjana Antropologi adalah hal-hal yang bersangkutan
dengan akal (Kuncaraningrat). Budaya adalah sejumlah kebiasaan yang saling berkaitan
(Antropolog AS Boas Kroeber, Clinton, dll.). Budaya adalah organisasi sosial yang
direfleksikan oleh keseluruhannya (Antropolog Inggris Malinowski, Raeliffie Brown). Lloyd
E. Kwast menjelaskan: "Budaya memiliki empat lapisan yang terdiri dari tingkah laku, nilai-
nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan cara pandang dunia." 1. Tingkah laku: "Apa yang Dibuat
atau Dikerjakan" Lapisan yang paling luar adalah "tingkah laku", yang dapat diamati dengan
mudah. Hal-hal yang dapat diamati adalah: kebiasaan-kebiasaan serta bahasa-bahasa dalam
berbagai bentuk dan arti. Rangkaian antara bentuk dan arti menghasilkan suatu simbol: "Apa
yang dikerjakan?" Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan: "Apa artinya?" Contoh:
Acungan jempol, berjabat tangan, orang Barat berpelukan sambil mencium pipi, dan lain-lain.
2. Nilai-Nilai: "Apa yang Baik atau yang Terbaik?" Tingkah laku kebanyakan bersumber dari
suatu sistem nilai-nilai standar tingkah laku dan pertimbangan yang memberikan tuntutan ke
dalam hal apa yang baik dan indah atau terbaik dan terindah. Sistem nilai biasanya tumpang
tindih dengan budaya. Pertanyaan "Apa yang baik atau yang terbaik?" mencetuskan pertanyaan
lain: "Apa yang dibutuhkan?" Contoh: Di Irlandia jumlah penduduk lebih besar daripada
persediaan makanan. Penduduknya sering mengalami kekurangan makanan yang amat
dahsyat, dan itu sudah biasa bagi mereka. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang nampak dan
mendesak yaitu mengurangi jumlah penduduknya. Tetapi karena jumlah mayoritas penduduk
adalah pemeluk agama Kristen yang menolak KB, maka jalan keluarnya adalah menyusun dan
mengembangkan kebudayaan dengan suatu anjuran yang menyerupai keharusan. Setiap
penduduknya diminta untuk tidak menikah sebelum berusia 30 tahun. Akhirnya, laju
pertambahan penduduk bisa dikurangi karena adanya penundaan pernikahan. Di India terjadi
sebaliknya, pernah juga terjadi kelaparan yang sangat hebat sehingga rata-rata orang di sana
hanya berusia 28 tahun. Hampir setengah dari anak-anak meninggal sebelum berusia 5 tahun,
sehingga terjadilah kekurangan penduduk. Dengan demikian nampaklah suatu kebutuhan dan
budaya yang harus dikembangkan sebagai jalan keluar dari masalah tersebut. Wanita-wanita
di India diwajibkan untuk menikah pada usia 12 atau 13 tahun. Akhirnya terjadilah ledakan
jumlah penduduk yang luar biasa sampai sekarang. 3. Kepercayaan-Kepercayaan: "Apa yang
Benar?" Nilai-nilai merupakan refleksi dari kepercayaan-kepercayaan. Sering kali,
kepercayaan-kepercayaan dipertahankan secara teoretis tetapi tidak memengaruhi nilai-nilai
atau tingkah laku. Sistem kepercayaan-kepercayaan berperan untuk memberikan tuntutan
kepada masyarakat setempat dalam mengambil keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan.
Contoh: Perang antara suku Madura dengan suku Dayak di Kalimantan Barat. Suku Dayak
identik dengan kekristenan yang percaya bahwa tidak diperbolehkan membunuh manusia.
Tetapi kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kejayaan suku tersebut membuat mereka
memilih membunuh daripada tetap mengikuti kepercayaannya. 4. Cara Pandang Dunia: "Apa
yang Terjadi?" Cara pandang dunia adalah keyakinan dasar seseorang yang berfungsi sebagai
lensa tafsir terhadap kenyataan dan penuntun menuju suatu keputusan. Contoh: Orang dari suku
Jawa percaya ada hari-hari tertentu yang baik yang bisa mendatangkan kebaikan dan ada hari-
hari tertentu yang tidak baik yang mendatangkan sial. Jika ada rumah tangga yang berhasil atau
gagal sering ditafsirkan karena pengaruh hari perkawinannya. Sifat Umum dari Budaya 1.
Allah menciptakan budaya. Para misiolog, khususnya yang berpaham injili, rata-rata percaya
bahwa budaya adalah ciptaan Allah yang baik pada mulanya dan rusak bersama dengan
jatuhnya manusia dalam dosa. 2. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berbudaya. 19
Ini adalah satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain yaitu manusia
sebagai makhluk yang berbudi dan berbudaya. 3. Budaya telah rusak bersama dengan rusaknya
gambar dan rupa Allah dalam diri manusia. Karena manusia tidak bisa dipisahkan dengan
budayanya, maka penebusan sudah barang tentu meliputi budaya. Oleh karena itu, para
misiolog perlu mengamati dan menghargai budaya-budaya lain, mengantisipasi karya Allah di
dalam dan melalui budaya-budaya tersebut. INJIL DAN BUDAYA Injil di Balik Budaya
Dalam gerakan pemberitaan Injil yang dilakukan oleh para misionaris, pernah terjadi
perbedaan yang tidak jelas antara Injil dan kebudayaan. Walaupun tidak mudah, perbedaan
Injil dan budaya harus dibuat dengan jelas. Jika perbedaan antara kedua unsur tersebut kurang
jelas, akan ada bahaya bagi pembawa Injil untuk membiarkan budayanya sendiri menjadi pesan
Injil. Ada beberapa contoh "bagasi budaya" yang dijadikan bagian dari pesan Injil, seperti
demokrasi, kapitalisme, bangku dan mimbar gereja, sistem organisasi, peraturan, pakaian resmi
pada hari Minggu, dll.. Akhirnya, sering kali terjadi permasalahan terhadap budaya asing yang
ditambahkan atau dilampirkan pada pesan Injil mengakibatkan penolakan terhadap
kekristenan. Injil vs Budaya Ketika berhadapan dengan budaya, Injil sering menghadapi dua
kemungkinan, yaitu Injil menelan budaya atau budaya menelan Injil. Kedua-duanya sama-
sama mendatangkan kerugian. Jalan keluarnya adalah kontekstualisasi. Beberapa contoh: a.
Orang-orang Kristen di Jawa tidak lagi mengurusi kuburan leluhurnya dan memanjatkan doa
di sana sehingga kuburan-kuburan orang Kristen Jawa menjadi rusak, kotor, dan tidak terawat.
Akibatnya orang-orang Jawa yang belum Kristen takut masuk Kristen karena takut kuburannya
tidak terawat dan tidak dikirimi doa oleh kerabatnya. b. Orang-orang Kristen di Afrika tidak
lagi membersihkan sampah dan kotoran-kotoran yang menurut keyakinan sebelumnya dipakai
sebagai tempat persembunyian roh-roh jahat; mereka tidak lagi takut dengan roh-roh tersebut.
Akibatnya, sampah dan kotoran-kotoran tersebut menjadi sarang penyakit dan banyak
mendatangkan kematian. Hal tersebut menghalangi orang lain untuk menjadi Kristen. Orang-
orang Kristen Indonesia yang beribadah di sebuah gereja dengan mimbar dan bangku, pakaian
bagus, tata ibadah, paduan suara, seperangkat alat musik dan lain-lain lebih mencirikan budaya
Barat daripada Injil, sehingga bagi orang-orang yang tidak bisa menerima budaya Barat dengan
sendirinya menolak Injil. ANALISA BUDAYA Agar tidak terjadi kekeliruan, para utusan Injil
harus menganalisa budaya sesuai dengan tahapan-tahapannya, sehingga ada peluang untuk
membuka pintu masuk bagi Injil. Tahap Fenomenologis Tahapan ini hanya melihat fenomena
dari permukaan saja. Dalam ilmu alami kita menyelidiki fenomena dari pengalaman panca
indra. Para ilmuwan sosial (anthro, sosio, psiko) memandang dari "pendekatan orang dalam"
("pendekatan emic") terhadap realita. Kita menyelidiki bagaimana orang dalam memandang
sesuatu, sebab ini merupakan kerangka untuk kita mengerti kepercayaan dan tingkah lakunya.
"Pendekatan orang dalam" ini menolong kita mengerti orang dari kebudayaan lain dari sudut
pandang mereka. Tetapi pendekatan ini tidak disertai dengan pemikiran kritis. Penjelasan
tentang suatu fenomena diterima sebagai suatu kebenaran. Jadi, kalau mereka berkata bahwa
penyakit cacar disebabkan oleh suatu roh atau karena kutukan nenek moyang, maka jawaban
itu akan diterima sebagaimana adanya. "Pendekatan emic" akhirnya hanya akan menghasilkan
pikiran naif dan relativisme kebudayaan. Tidak ada yang mutlak atau benar secara universal.
Tahap Ontologis
Pada tahap ini kita berusaha menggali fenomena lebih dalam lagi untuk mengetahui "realita
yang sebenarnya". Pada tahap ini kita mengevaluasi berbagai teori; kita menerima teori yang
lebih dapat 20
menjelaskan realita dan menolak yang lain. Pada tahap ontologis kita menegaskan bahwa ada
suatu realita yang benar yang didukung oleh teori-teori, dan bahwa ada "penyebab" absolut
atas segala sesuatu. Dalam ilmu antropologi pendekatan ontologis disebut sebagai "pendekatan
etic". "Pendekatan etic" berarti kita mengembangkan suatu sistem untuk membandingkan dan
mengevaluasi berbagai kultur untuk mencapai suatu teori universal. Misalnya, kita mengambil
konklusi bahwa malaria di seluruh dunia disebabkan oleh nyamuk. Atau, gerhana matahari
disebabkan oleh bulan melintas di bawah matahari. Tahap Misiologis Dalam pelayanan lintas
budaya kita harus menghadapi perbedaan antara pendekatan emic dan etic. Misalnya ada kultur
yang membenarkan pembunuhan anak, tetapi berdasarkan Alkitab kita menegaskan perbuatan
itu sebagai dosa. Hitler membenarkan pembunuhan orang Yahudi, sebagai orang Kristen kita
kutuk perbuatan itu sebagai dosa. Dalam hubungan kita dengan masyarakat non-Kristen kita
perlu memulai dengan kepercayaan dan praktik mereka. Misalnya, kepada orang yang
beragama lain yang menolak pembunuhan segala sesuatu, kita jelaskan obat luka sebagai "obat
membersihkan luka", bukan "obat pembunuh kuman'". Atau, di masyarakat yang masih
percaya kepada dukun kita mungkin bisa menawarkan alternatif baru daripada menantang
jawaban yang lama, seperti obat sebagai ganti dukun. Bahaya memakai pendekatan emic ialah
kita menguatkan kepercayaan mereka. Ada bagian-bagian dalam setiap kebudayaan yang tidak
dapat diterima oleh Injil, dan bagian ini perlu ditantang. Ketika Injil tidak menantang kultur,
melainkan mendukungnya, maka akan timbul suatu aliran kepercayaan. Supaya kita
menghasilkan orang Kristen dewasa, maka kita harus menantang kepercayaan palsu dan
memperkenalkan kebenaran alkitabiah. Artinya, kita harus memperkenalkan standar dan
kepercayaan eksternal. Oleh karena itu pendekatan misiologi yang baik adalah yang
menggabungkan pandangan emic dan etic, dan rela bekerja dalam ketegangan yang akan timbul
di antaranya. BAB XI Lebih Jauh Tentang Budaya dan Identifikasi Jika ada orang Kristen
yang menghakimi orang non-Kristen dengan menyebut mereka sebagai jahat, kafir, dan
berdosa, orang Kristen itu telah bersalah. Budaya "Kristen" yang seperti itu sebenarnya juga
suatu dosa. Pekerja lintas budaya perlu memahami bahwa sebagian besar budaya adalah netral.
Lausant Covenant dalam artikelnya, "Penginjilan dan Budaya", mengatakan, "Karena manusia
adalah ciptaan Tuhan, sebagian budayanya kaya dalam hal keindahan dan kebaikan." Dalam
komentarnya, John Stott menjelaskan, "Budaya bisa disamakan dengan permadani hiasan,
rumit namun indah, yang dibuat oleh masyarakat tertentu untuk mengekspresikan identitas
hukumnya. Kepercayan dan budaya adat adalah bagian dari permadani ini. Lausanne Covenant
menentang pemasukan "budaya alien" ke dalam Injil. Willowbank Report dengan tegas
menyatakan, "Terkadang dua kesalahan budaya ini dilakukan bersamaan, dan si penginjil
bersalah karena imperialisme kultural merusak budaya lokal dan bahkan membawa masuk
budaya alien." Setiap budaya harus diuji dan dinilai oleh Kitab Injil seperti yang ditegaskan
Lausanne Covenant. Kebanyakan budaya bisa diperluas menjadi sarana untuk mengabarkan
Injil. Dalam kitab Kisah Para Rasul 17:26-28, Paulus -- dalam sidang Areopagus di Atena --
mengatakan bahwa Tuhan sudah menentukan tempat yang tepat di mana orang harus tinggal.
Karena itulah, budaya merupakan bagian dari rencana Tuhan. Dan Ia menempatkan orang di
tempat di mana mereka harus tinggal agar mereka dapat mencari dan menemukannya. Pada
kesempatan ini, kita mungkin menemukan bahwa pendekatan Paulus terhadap orang Atena
berbeda dengan pendekatannya pada jemaatnya. "Pandangan dunia" orang Atena perlu
diperhitungkan dan diperhatikan. Paulus sudah melihat bahwa kota itu penuh dengan berhala
dan hal itu membuatnya sedih. Dalam pesannya, ia mulai membuat referensi mengenai cara
hidup rohani dan objek berhala mereka. Secara khusus, dia sangat tertarik dengan sebuah
mezbah yang bertuliskan: KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL.
Lalu ia menyatakan siapa Tuhan itu, Sang Pencipta, Allah surga dan bumi yang tidak menetap
di kuil-kuil buatan manusia. Dialah Pemberi semua nafas kehidupan. Kemudian Paulus 21
membuat referensi mengenai di mana manusia harus tinggal sebagai sesuatu yang ditentukan
Tuhan. Tuhan melakukan ini agar orang-orang mencari dan bisa menemukan-Nya. Paulus juga
mengutip filsafat Yunani dan menegaskan apa yang telah mereka katakan. Dari kutipan salah
satu puisi mereka, dia memperkenalkan Injil. Setelah membicarakan inti dari kepercayaan
mereka, dia memperkenalkan kebenaran. Berbagai macam tanggapan muncul ketika Paulus
membicarakan penyaliban. Hanya sedikit yang memercayainya, termasuk seorang anggota
Areopagus. Rasul Paulus peka terhadap budaya. Dia tentu sudah menyadari bahwa orang-orang
tersebut sangat berpegang pada budayanya dan dibentuk oleh latar belakang mereka ketika dia
menulis surat 1 Korintus 9. Konteks ini berkaitan dengan penyerahan hak-haknya sebagai
seorang rasul. Dia membuat satu pernyataan yang mengagumkan, "Sungguhpun aku bebas
terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh
memenangkan sebanyak mungkin orang." Lebih jauh lagi dia mengatakan, "Demikianlah bagi
orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi .... Bagi orang-orang yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat (non-Yahudi) aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah
hukum Taurat ...." Perhatikanlah kata "seperti" dan renungkan artinya. Paulus bertekad untuk
menjadi "segalanya bagi semua manusia" agar dapat menyelamatkan mereka. Dalam beberapa
kitab Galatia, Paulus mengenali bahwa hanya ada satu Injil. Namun, Injil ini akan diartikan
berbeda oleh orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Oleh karena itu, dalam membawa berita
Injil kepada orang non-Yahudi, orang Yahudi tidak boleh memaksakan unsur-unsur
keyahudiannya kepada orang non-Yahudi. Karena unsur-unsur tersebut tidaklah penting untuk
Injil, malah merusakkan kebenaran Injil. Masalah yang umum dengan para pekerja lintas
budaya adalah mereka sering kali sudah memiliki pandangan awal tentang apa yang membantu
pelayanan mereka. Bukan hanya memiliki pola budayanya sendiri yang ternyata sulit untuk
diubah, mereka juga membawa "sub-budaya Kristen" mereka. Misalnya, seorang misionaris
yang terlibat dalam perintisan gereja tentunya sudah memikirkan cara perintisan tertentu.
Pemikiran seperti itu akan merintangi penginjilan. Yang sama buruknya, orang-orang yang
tinggal di kota sasaran penginjilan akan meneliti unsur Kristen baru dan berpikir bahwa mereka
harus menerima dan mempraktikkan unsur-unsur ini agar menjadi orang Kristen. Tidak
mengherankan, banyak orang Asia yang memandang agama Kristen sebagai agama Barat.
Melihat kembali sejarah kekristenan pada tahun 1500-1900 di Asia, Paul Johnson membuat
pernyataan tajam. "Adalah ketidakmampuan kekristenan untuk berubah dan mengurangi sifat
keeropaannya sehingga kesempatan yang ada terlewatkan. Sangat sering gereja Kristen
menempatkan dirinya sebagai perluasan konsep sosial dan intelektual Eropa daripada sebagai
perwujudan kebenaran universal .... Meskipun kekristenan lahir di Asia, saat diekspor kembali
dari abad enam belas ke depan, kekristenan gagal untuk mendapatkan sifat keasiaannya."
Banyak misionaris Barat pada masa lampau yang tidak mau mengenali budaya asli tempatnya
berada karena tekanan dan ketegangan yang akan mereka hadapi dalam proses pengenalan itu.
Kini ketika orang-orang Asia terlibat dalam pelayanan lintas budaya, mentalitas yang sama ini
harus disingkirkan. Kita bisa disalahkan karena merusak prinsip alkitabiah misi. FUNGSI,
BENTUK, DAN ARTI Misionaris yang terlibat dalam perintisan gereja harus berhati-hati
dalam membedakan fungsi dan bentuk. Fungsi adalah kegiatan penting yang memiliki tujuan.
Sedangkan bentuk adalah pola, struktur, atau metode yang digunakan untuk melaksanakan
fungsi. Orang Kristen baru perlu mengekspresikan kepercayaan mereka dan menyembah dalam
cara kultural yang berarti. Mereka harus memiliki kebebasan untuk menolak pola kultural alien
dan mengembangkan pola kulturalnya sendiri. Mereka bebas untuk "meminjam" bentuk
budaya dari yang lain, namun harus yang berarti. Seseorang dengan latar belakang religius Asia
akan terbiasa jatuh dan lemah dalam menyembah Tuhan daripada duduk di kursi dengan mata
tertutup. Di Afrika, drum digunakan di beberapa daerah untuk memanggil orang-orang dalam
penyembahan, meskipun sebelumnya alat tersebut tidak diterima. Di Bali, dewan penatua
gereja mempelajari kepercayaan alkitabiah dan kultural, lalu menentukan bahwa gaya
arsitektural tertentu untuk jemaat mereka akan bisa dengan jelas menunjukkan kepercayaan
mereka. Karena orang-orang Bali sangat "visual", mereka mengekspresikan kepercayaan
terhadap Trinitas dengan merancang atap bangunan gereja mereka menjadi bertingkat tiga.
Dalam suatu budaya, hampir semua adat akan melaksanakan fungsi yang penting. Untuk itulah,
adat seharusnya tidak dicap "jahat" dan dihapuskan tanpa melihat fungsi dan artinya.
Terkadang, adat lama bisa memberi arti yang baru. Beberapa memang harus dihapuskan.
Dalam beberapa contoh, bisa diberikan adat penggantinya yang menjalankan fungsi sama. 22
KEUNIVERSALAN INJIL Ketika kita mengenali orang-orang dari budaya yang berbeda,
pesan yang kita bawa, yaitu Injil bisa disampaikan. Injil ini ditemukan dalam Alkitab. Di satu
sisi, isi Injil ditemukan dalam keseluruhan Alkitab yang menjelaskan Injil dengan berbagai
macam cara kepada orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Ada sesuatu dari Injil yang
relevan dengan budaya apa pun. Yang harus kita hindari adalah membawa Injil yang belum
dikemas ke dalam satu budaya baru. Banyak kelompok yang terburu-buru "mengambil
keputusan untuk Tuhan" telah menjadi tidak bijaksana dalam melaksanakan metode.
Akibatnya, mereka lebih banyak mengakibatkan kerusakan daripada perbaikan dan terkadang
pula menutup jalan bagi pekerjaan lintas budaya yang selanjutnya. Orang bisa menolak pesan
Injil bukan karena mereka antipati terhadap Kristus atau kekristenan, namun karena
kekristenan dianggap sebagai ancaman terhadap budaya dan solidaritas masyarakat mereka. Ini
tidak hanya terjadi pada masyarakat suku dan religius, tetapi juga pada masyarakat sekuler.
Oleh karena itu, faktor kultural tidak bisa diartikan hanya di permukaan saja. Ketika firman
Tuhan mulai menembus suatu masyarakat, firman itu memiliki kuasa untuk berbicara kepada
adat dan kepercayaan masyarakat tersebut. Adat dan kepercayaan yang tidak cocok dengan
Kitab Injil harus dihapuskan. Yang tidak bertentangan dengan Injil bisa dipertahankan, bahkan
dipoles dan diubah di bawah pemerintahan Tuhan. Dan saat orang berserah dalam
pemerintahan Tuhan, Roh Kudus meneranginya melalui kitab Injil untuk memahami kebenaran
dengan cara yang baru melalui pandangan mereka sendiri. PEMERINTAHAN TUHAN ATAS
BUDAYA Saya ingat, ketika akan masuk universitas, bagaimana bapa rohani saya menasihati
saya untuk melihat semua seni, ilmu, dan filosofi yang akan saya geluti di bawah pemerintahan
Kristus. Ini semua harus diuji di bawah ketelitian Kitab Injil. Nasihatnya tidak pernah saya
lupakan. Adalah petualangan untuk melihat semua studi lewat pandangan ini. Jika Kristus
sungguh-sungguh Tuhan atas segalanya, budaya harus berada di bawah-Nya. Prinsip ini cukup
berguna karena pekerja lintas budaya harus hidup dengan tingkat ambiguitas (suatu persyaratan
agar pekerja lintas budaya menjadi efektif). Lausanne Covenant dalam salah satu arikelnya di
Penginjilan dan Budaya menyatakan, "Injil ... mengevaluasi semua budaya menurut kriteria
kebenarannya dan menuntut kemutlakan moral di setiap budaya." Maka dari itu, firman Tuhan
menolak berhala-berhala yang menentang keunikan Tuhan. Hukum moral Tuhan juga bersifat
mutlak, sedangkan budaya mengandung adat istiadat dengan nilai yang berkaitan. Injil
Anugerah juga menolak budaya, bentuk, dan praktik yang didasarkan pada kebaikan manusia
untuk memperoleh keselamatan. Ketika orang terbuka terhadap pengajaran Injil, kita bisa
memercayai bahwa Roh Tuhan mengubahkan "pandangan dunia" orang-orang ini saat mereka
menaati firman Tuhan.
BAB XII
Aspek-Aspek Komunikasi Lintas Budaya
A. Utamakan yang Terpenting Ada dua hal penting yang perlu kita pelajari agar berhasil
menginjili siapa pun, khususnya kelompok mayoritas. Tanpa kedua hal ini, usaha kita akan sia-
sia. Pertama adalah hidup yang kudus, dan yang kedua adalah doa dan kepercayaan yang teguh
bahwa Allah masih melakukan mukjizat guna meneguhkan kebenaran Injil. Hidup yang
Kudus Penginjilan yang berhasil tidak pernah bergantung pada perdebatan yang hebat atau
teknik-teknik yang diterapkan secara sempurna. Berpikir dan belajar bagaimana memberitakan
Injil secara lebih baik tetap merupakan hal yang penting. Walaupun demikian, betapa pun
menariknya kesaksian kita kepada kelompok mayoritas, kesaksian kita ini tidak akan berguna
jika hidup kita tidak mencerminkan kepribadian Kristus. Hal itu seperti menghidangkan makan
malam yang lezat di piring yang kotor. Saksi Kristus yang tidak hidup kudus mungkin akan
lebih banyak merugikan daripada menguntungkan perluasan pemberitaan Injil.
Saya kenal seorang laki-laki yang senang berbicara tentang Yesus dan Injil dengan siapa saja
yang mau mendengar. Dia memandang dirinya sendiri sebagai pengkhotbah dan penginjil,
namun dia sudah menikah beberapa kali. Baru-baru ini saya melihat dia bersama wanita lain
yang bukan 23
istrinya. Orang itu tidak memiliki kesaksian yang baik di lingkungannya; dia dianggap orang
munafik. Demikian pula dengan orang yang tidak mau meminjamkan uang kepada orang yang
sedang membutuhkan pinjaman. Demikian pula dengan orang yang gampang marah, orang
yang tidak membayar hutangnya, atau yang suka berbohong. Hidup orang seperti itu tidak
membangkitkan rasa hormat dari orang-orang yang tidak percaya. Bagaimana mereka dapat
memercayai Injil dari mulutnya? Apakah kita harus sempurna dahulu baru kita berhak
menginjil? Tentu saja tidak. Yang kita perlukan ialah menjadi semakin serupa dengan Yesus.
Kita tidak dapat membenarkan gaya hidup yang terang-terangan melanggar perintah Allah.
Sebaliknya, orang yang belum percaya harus melihat adanya kualitas-kualitas yang baik pada
pengikut-pengikut Kristus. Orang-orang percaya mungkin tidak menyadari bahwa kualitas-
kualitas ini diperhatikan oleh orang lain. Walaupun demikian, Allah sendiri bekerja di dalam
diri kita untuk mengubah kita menjadi orang-orang yang lebih baik. Kalau kita mengabaikan
dosa yang ditunjukkan Allah dalam hidup kita, kita tidak akan dapat menjadi saksi-Nya yang
berguna. Allah telah menciptakan kita sebagai bejana yang kudus (2 Korintus 4:7). Kita telah
dikuduskan untuk membawa Injil kepada orang-orang yang belum mendengarnya. Hal ini tidak
mungkin dapat dilakukan kalau kita tidak meneladani Yesus. Kita masing-masing harus
berusaha mengenal Allah dan hidup dalam kekudusan-Nya. Hal itu harus menjadi tujuan yang
paling penting dalam kehidupan kita. Dengan demikian, Dia akan memakai kita. Berdoa untuk
Mukjizat Penginjilan merupakan bagian dari peperangan rohani yang besar. Sebelum masuk
dalam peperangan, tentara-tentara harus memiliki senjata yang tepat dan ampuh. Paulus
mendaftarkan senjata yang kita butuhkan dalam Efesus 6. Ketika semua senjata itu sudah siap
untuk dipakai dan semua tentara itu sudah siap untuk berperang, Paulus berkata itulah
waktunya untuk berdoa. Maksudnya, doa adalah tempat untuk menghadapi musuh. Medan
peperangan ada di dalam doa. Kita diberitahu bahwa doa orang yang benar sangat berkuasa
dan efektif (Yakobus 5:16). Kebenaran adalah perkara menaati Allah dan hidup dalam
kekudusan, maka di dalam doa kita dapat mengatasi perlawanan musuh. Sebelum kita mulai
bersaksi, kita harus berdoa untuk orang yang tersesat, supaya mata mereka tercelik dan hati
mereka terbuka. Kita berdoa untuk seluruh keluarga dan tetangga supaya mereka beriman
kepada Kristus. Kita berdoa supaya Allah menyadarkan mereka bahwa mereka membutuhkan
keselamatan dan hal-hal yang kekal. Kita berdoa melawan kuasa-kuasa kegelapan yang
mengikat seluruh kelompok orang itu. Ketika Roh Allah berjalan di depan kita, maka kita pergi
memberitakan Injil. Ketika kita berdoa, kita tahu bahwa Roh sedang bekerja. Dia memakai doa
kita untuk menghancurkan benteng-benteng kejahatan (2 Korintus 10:4). Usaha kita yang
terpenting harus terpusat pada doa. Orang yang terbeban untuk memberitakan Injil kepada
kelompok mayoritas sering bergumul dalam upaya menemukan kunci yang tepat untuk
membuka hati orang-orang yang belum percaya. Tetapi dari pengalaman, kita melihat bahwa
hal tersebut tidak sesederhana itu. Siapa pun yang pernah berusaha membuka gembok yang
sudah karatan tahu bahwa gembok itu tidak mudah dibuka, sekalipun dengan kunci yang tepat.
Jika gembok itu sudah lama tidak dibuka, mungkin diperlukan pelumas. Pelumas untuk
membuka kunci hati dan pikiran orang-orang adalah minyak roh. Roh Allah bekerja membuka
hati mereka ketika kita berdoa dan terus mencoba kunci Injil. Salah satu doa yang paling
dinamis ditemukan dalam Kisah Para Rasul 4:23-31. Saat itu murid-murid diancam karena
mengabarkan Injil. Allah telah meneguhkan kebenaran pemberitaan mereka dengan
menyembuhkan seorang yang lumpuh. Petrus dan Yohanes memimpin jemaat itu dalam doa
supaya Allah menolong mereka, dan supaya mereka tetap berani walaupun ada ancaman dari
para pemimpin Yahudi. Lebih jauh lagi, mereka meminta Allah untuk terus mengadakan
mukjizat demi menyatakan kebenaran Injil Yesus Kristus. Allah berkali-kali mengabulkan doa
itu melalui banyak tanda dan berbagai keajaiban. Dan mereka terus menginjili.
Allah masih melakukan mukjizat sampai saat ini. Tetapi, keajaiban-keajaiban itu bukan hal
utama untuk menguatkan kita yang sudah percaya. Memang kita akan menjadi semakin
bersemangat ketika melihat Allah bekerja dengan cara yang luar biasa, namun kita memiliki
firman Allah dan janji-janji-Nya untuk menguatkan kita. Allah memakai tanda-tanda dan
keajaiban, khususnya untuk meneguhkan Injil kepada orang-orang yang akan percaya. Saat ini
Allah memberi mimpi dan penglihatan kepada mereka yang mencari Dia. Orang-orang
disembuhkan dan dijamah Allah dengan cara-cara yang luar biasa. Kita harus berdoa supaya
Allah mengadakan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban untuk meneguhkan kesaksian kita
kepada teman-teman dan keluarga kita yang beragama lain. Allah mungkin memakai mukjizat
untuk membawa mereka yang Anda kenal kepada Kristus. Karena itu, berdoalah supaya Allah
mengadakan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban. Allah ingin 24
menjawab doa yang seperti itu supaya dunia ini dipenuhi oleh pengetahuan akan kemuliaan-
Nya (Habakuk 2:14). Pendekatan yang Alkitabiah Pendekatan yang alkitabiah untuk
menyampaikan Kabar Baik ialah hidup berdampingan dengan orang-orang yang belum
mendengarnya, kemudian ceritakan Injil kepadanya. Yesus memakai cara ini di jalan ke Emaus
(Lukas 24:13-35). Dia berjalan berdampingan dengan 2 orang yang sedang berbicara tentang
arti penyaliban Yesus dan tentang kebangkitan-Nya. Dia ikut berbicara dengan mereka. Dia
mengarahkan percakapan mereka pada pesan nabi-nabi di dalam firman Allah. Beberapa waktu
kemudian, mereka mengerti apa yang Yesus jelaskan kepada mereka. Begitulah cara Yesus
berkomunikasi dari waktu ke waktu. Filipus, melakukan hal yang serupa (Kisah Para Rasul
8:26-40). Allah memanggil dia untuk pergi ke padang gurun dekat Gaza. Ketika sedang
berjalan, Filipus mendekati seseorang yang berada di dalam kereta. Maka, Filipus berlari
mendekatinya. Orang itu sedang membaca dari kitab Nabi Yesaya dan memunyai beberapa
pertanyaan. Dia mengundang Filipus untuk naik ke keretanya. Filipus mengambil kesempatan
itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tersebut. Lalu dia mengarahkan percakapan
itu kepada Kabar Baik. Seperti Yesus, Filipus secara harfiah telah berjalan berdampingan
dengan orang yang diinjili olehnya. Kita tidak harus berjalan bersama seseorang setiap kali kita
memberitakan Injil. Namun secara kiasan, aturan yang sama tetap berlaku. Kita harus berusaha
berjalan ke arah yang sama dengan arah orang itu. Kita melakukan hal itu sambil berusaha
mengetahui bagaimana dia berpikir. Kita harus memasuki dialog (percakapan dua arah) dengan
dia, bukan monolog (percakapan satu arah) atau memberi ceramah. Cobalah untuk
mendengarkan mereka terlebih dahulu. Berusahalah untuk mengerti keadaan mereka.
Anggaplah diri Anda sendiri sebagai seseorang yang sedang belajar memahami posisi orang
lain. Setelah Anda mendengarkan dan mengerti, maka Injil kebenaran Allah akan dapat Anda
ungkapkan secara lebih tepat. Di samping itu berjalanlah dengan wajar, jangan tergesa-gesa.
Kadang-kadang itu merupakan perjalanan yang panjang. Jarak dari Yerusalem ke Emaus lebih
dari 11 kilometer. Bahkan, Yesus pun perlu menempuh setiap langkah dalam perjalanan yang
panjang itu untuk meyakinkan kedua orang itu yang sebelumnya sudah pernah mendengar Dia
berbicara berhadapan muka dengan mereka. Tujuannya adalah untuk menyampaikan
kebenaran Injil kepada teman-teman kita dengan lembut dan perlahan. Mungkin ilustrasi
berikut ini akan memperjelas apa yang dimaksudkan dengan berjalan berdampingan.
Bayangkan sebuah kereta kuda yang berlari kencang tanpa kusir ke arah Anda. Apakah Anda
akan berusaha menghentikannya langsung dari depan? Jika Anda melakukan hal itu, Anda
mungkin akan mendapati diri Anda terbaring di rumah sakit atau lebih buruk lagi daripada itu.
Anda akan berhasil jika Anda berlari berdampingan dengan kuda itu dan berusaha menangkap
tali kendalinya untuk memperlambat derap kuda itu. Lalu Anda dapat menghentikannya atau
membelokkannya ke arah yang benar. B. Diperlukan Waktu Proses menceritakan Kabar Baik
kepada mereka yang belum pernah mendengarnya memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Jarang sekali ada orang yang langsung beriman setelah mendengar Injil untuk pertama kali atau
untuk kedua kalinya. Lebih jarang lagi ada orang yang langsung beriman setelah mendengar
Injil dari orang yang tidak dikenal olehnya. Yesus sendiri menunjukkan bahwa diperlukan
waktu untuk berbincang-bincang dengan satu sama lain. Dia meninggalkan surga selama 30
tahun lebih untuk melakukan hal itu. Kedatangan-Nya kepada kita dan kesediaan-Nya
meluangkan waktu bersama kita merupakan hal yang penting bagi kita. Dengan demikian, kita
dapat lebih mengerti tentang Kerajaan Allah. Hal itu penting bagi keselamatan kita. Orang-
orang Kristen perlu mengikuti teladan Yesus; mereka perlu pergi kepada orang-orang yang
belum mendengar Injil. Kalau tidak demikian, dengan cara bagaimana orang-orang itu akan
mendengar Injil (Roma 10;14-17)? Jarang sekali mereka datang kepada kita. Kitalah yang
harus pergi kepada mereka. Memang hal itu merupakan proses yang panjang dan melelahkan.
Waspadalah terhadap cara-cara penginjilan yang cepat dan mudah. Gaya Hidup yang
Terbuka Jadi, berapa banyak waktu yang diperlukan? Apakah cukup kalau kita berkunjung
sekali seminggu selama 1 atau 2 jam? Jika waktu kita bersama orang-orang yang belum percaya
itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan jika kita menggunakan cara-cara yang kreatif,
bukankah itu cukup?
Tentu hal itu sangat baik. Program kunjungan yang dilakukan gereja hampir selalu
menghasilkan sesuatu yang baik bagi gereja. Jika pelayanan kita kepada Allah di bidang
lainnya dapat ditingkatkan dengan adanya perencanaan dan daya cipta, demikian pula di bidang
penginjilan. Walaupun 25
demikian, untuk menjangkau orang-orang yang tersesat, kita harus menyediakan cukup banyak
waktu, dan itu akan menuntut seluruh waktu kita. Hal itu dimulai dengan kesediaan untuk
melakukan apa saja yang diperlukan untuk membawa orang yang tersesat kepada Kristus.
Inilah yang dimaksudkan Paulus ketika dia berkata, "Bagi semua orang aku telah menjadi
segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara
mereka" (1 Korintus 9:22). Penyerahan diri secara menyeluruh seperti itu sulit dilaksanakan
kalau kita dibatasi oleh jadwal atau rencana. Jadwal dan rencana memang sangat penting dan
berguna, tetapi waktu yang diperlukan untuk menjangkau orang yang tersesat adalah waktu
untuk saling berbagi kehidupan. Sama seperti yang dilakukan Yesus, kita harus berjalan
bersama teman-teman kita, makan bersama mereka, bertemu mereka di tempat kerja, bahkan
bergadang sambil mengobrol bersama mereka. Kita harus rela berbagi semua aspek kehidupan.
Semua waktu kita harus diserahkan ke bawah pengendalian Roh Kudus. Dengan demikian
Allah dapat memakai kita untuk menjangkau orang-orang yang tersesat. Itu merupakan gaya
hidup pelayanan yang mencakup segalanya. Teman-teman saya menilai orang berdasarkan
apakah dia mudah bergaul/terbuka atau tidak. Mereka menilai orang yang terbuka sebagai
teman dan orang yang berharga. Orang-orang yang tidak terbuka dianggap sombong dan tidak
ramah. Bila kita memahami hal itu, maka kita memunyai kesempatan untuk memberitakan
Injil. Teman-teman kita ingin agar kita bersikap terbuka dan ramah setiap saat. Keramahan
seperti ini merupakan alat yang dapat kita gunakan untuk memberitahu mereka tentang
kebenaran Allah. Banyak orang Kristen hanya mengenal sedikit sekali orang yang non-Kristen.
Jika ada waktu luang, itu sering dipakai untuk kegiatan gereja. Gaya hidup Kristen kita yang
padat dengan kesibukan hanya menyisihkan sedikit waktu bagi orang-orang yang tidak
mengenal Kristus. Hubungan kita dengan orang-orang yang tersesat begitu jauh dan tidak
ramah. Atau mungkin kita sama sekali tidak memunyai hubungan dengan mereka. Apa yang
akan dikatakan Yesus kepada kita tentang hal itu? Yesus adalah orang yang terbuka, yang suka
meluangkan waktu dengan orang-orang yang perlu mendengar Kabar Baik. Jika Dia hidup pada
zaman sekarang, dan menghadapi apa yang kita hadapi, apakah sikap dan perbuatan-Nya akan
berbeda dari kita? Keputusan yang Tidak Mudah Diambil Banyak gereja merencanakan
kegiatan sepanjang hari pada Hari Kemerdekaan atau pada hari-hari libur lainnya. Oleh karena
itu, khususnya pada Hari Kemerdekaan, orang-orang Kristen tidak hadir dalam kegiatan-
kegiatan yang penting di tengah-tengah masyarakat. Banyak orang Kristen berpendapat bahwa
bergabung bersama saudara-saudara seiman dan melakukan kegiatan-kegiatan di gereja pada
hari libur lebih penting daripada ikut berpartisipasi bersama para tetangga dalam kegiatan-
kegiatan yang diadakan oleh lingkungan setempat. Mereka tidak mau mengecewakan saudara-
saudara seimannya di gereja. Akibatnya, orang Kristen dianggap tidak tertarik kepada
lingkungan dan tetangganya atau mereka tidak berjiwa nasionalis. Karena hari-hari libur
umumnya merupakan waktu untuk menjalin hubungan sosial bersama para tetangga, orang-
orang Kristen dianggap tidak tertarik untuk menjalin ikatan ketetanggaan yang akrab. Jadi
hilanglah kesempatan untuk menjadi garam! Orang-orang Kristen banyak yang tidak
menghargai pentingnya berpartisipasi dalam lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Maka
dari itu mereka dianggap tidak ramah atau bahkan dianggap anti sosial. Teman-teman kita,
sebaliknya, memberikan kesan bahwa mereka lebih memerhatikan lingkungannya dan orang-
orang di sekitarnya. Kebanyakan kegiatan diawali dengan doa dalam bahasa Arab.
Ketidakhadiran orang Kristen hanya meneguhkan pemikiran yang salah bahwa Yesus bukan
untuk mereka. Ada juga hari-hari yang digunakan untuk kerja bakti. Kegiatan-kegiatan itu
sering jatuh pada hari Minggu pagi. Apakah mereka sengaja membuatnya bertepatan dengan
waktu kebaktian gereja? Tidak selalu. Hal itu hanya disebabkan karena hari Minggu adalah
satu-satunya hari libur bagi kebanyakan orang Indonesia. Itu merupakan hari bagi sebagian
besar orang Indonesia melakukan kegiatan-kegiatan sosial bersama.
Tidakkah lebih baik absen satu kali di gereja sekalipun pada kebaktian Minggu pagi demi
menjangkau orang-orang yang tersesat, sesuatu yang diperintahkan dalam firman Allah? Ini
mungkin kedengarannya radikal, tetapi mengapa jadwal kebaktian Minggu pagi dan jadwal
kegiatan-kegiatan lainnya tidak diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan orang-orang
Kristen berpartisipasi dalam kegiatan lingkungannya demi menjangkau orang-orang itu yang
tersesat? Yesus sering bertindak berlawanan dengan tradisi agama supaya dapat meluangkan
waktu bersama orang-orang yang tersesat (Matius 9:9-13). Memang tidak mudah untuk
mengambil keputusan seperti itu. Jika kita ingin berhasil dalam memenuhi panggilan Allah,
yaitu menjalin hubungan yang penuh perhatian dengan orang-orang yang masih tersesat, maka
kita harus membatasi waktu yang kita pakai untuk melakukan hal-hal lainnya. Kita memang
diperintahkan untuk tidak meninggalkan pertemuan dengan orang-orang percaya lainnya
(Ibrani 10:25), tetapi kita juga diperintahkan untuk memberitakan Injil 26
kepada dunia. Kita harus melakukan kedua-duanya. Karena itu kita perlu meminta kepada
Allah agar Ia memberi tuntunan. Kasih Berarti Mengatakan "Tidak" Kepada Diri Sendiri
Paulus dengan jelas mengajar kita bahwa kita harus melakukan apa saja yang diperlukan untuk
memenangkan orang yang tersesat (1 Korintus 9:22). Jika sebaiknya kita tidak makan daging,
maka kita harus rela melakukannya (1 Korintus 8:9-13). Kasihlah yang menjadi alasannya (1
Korintus 13). Karena Paulus merujuk pada daging, marilah kita berbicara tentang daging
babi/anjing. Makan daging babi/anjing sangat menjijikkan bagi orang lain. Daging babi/anjing
dianggap makanan haram. Anjing sebagai binatang peliharaan tidak dapat disetujui oleh
sebagian tetangga yang beragama lain, walau sebagian lainnya tidak keberatan. Tidak ada dari
mereka yang mau dijilat oleh anjing. Orang Kristen yang hendak menjalin hubungan dengan
mereka harus memerhatikan masalah itu. Jika Paulus mengatakan bahwa lebih baik tidak
makan daging sama sekali daripada menimbulkan pertentangan, tidakkah kita seharusnya
mempertimbangkan untuk tidak makan daging babi dan tidak memelihara anjing? Jika hal itu
terlalu memberatkan Anda, bagaimana kalau Anda tidak makan daging babi bila sedang berada
dekat teman-teman Anda, dan menyembunyikan anjing Anda di suatu tempat sehingga mereka
tidak merasa jijik? Beberapa tahun yang lalu, sebuah kelompok jemaat melakukan pendekatan
terhadap satu kelompok pemuda dari kelompok etnis lain. Orang-orang ini cukup terbuka
kepada Injil sebagai hasil kesaksian seorang pendeta awam yang berasal dari kelompok etnis
yang sama. Gereja itu merencanakan suatu kegiatan pada hari libur dan mereka mengundang
kelompok pemuda ini. Kaum wanita di gereja itu telah mempersiapkan makanan. Segala
sesuatu berjalan dengan baik sampai mereka duduk untuk makan. Pada saat itulah mereka
mengetahui bahwa daging yang dipersiapkan untuk mereka adalah daging babi. Mereka tidak
memakannya. Sejak itu mereka tidak pernah lagi berhubungan dengan gereja itu. Hilanglah
segala kesempatan untuk bersaksi lebih jauh lagi. Ada satu gereja di daerah kami yang ditutup
oleh pemerintah karena keluhan dari tetangga-tetangganya. Saya tahu, ada gereja-gereja yang
ditutup atau tidak diberi izin walaupun tidak melakukan apa-apa yang menyinggung tetangga-
tetangga mereka. Tetapi dalam perkara ini gereja tersebut telah memanggang daging babi di
luar gedung gereja mereka. Reaksi para tetangga menunjukkan betapa hal itu menimbulkan
syak di hati mereka. Tidakkah lebih baik bagi gereja tersebut untuk tidak melakukan kegiatan
itu? Karena kesalahan itu, tidak ada lagi gereja di daerah tersebut. Mungkin orang-orang
Kristen akan bertanya, "Apakah kita tidak berhak makan daging babi di gedung milik gereja
kita jika kita mau?" Tentu saja kita berhak. Tetapi hukum kasih lebih tinggi daripada hak kita.
Yesus, sebagai contoh, memiliki hak yang tinggi, tetapi Dia tidak mempertahankannya (Filipi
2:6). Kasih mendorong Yesus untuk tidak memakai hak itu. Ia bertindak demikian demi kita.
Kita pun harus melakukan hal yang sama demi memenangkan teman-teman kita. Penyesuaian
lain yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana kita berpakaian, khususnya wanita. Saya
tidak menganjurkan wanita Kristen memakai penutup kepala walaupun di beberapa tempat di
Indonesia ada yang memakainya. Tetapi wanita-wanita Kristen hendaknya tidak memakai rok
mini, baju ketat, atau pakaian-pakaian lain yang tidak sopan. Bagi tetangga-tetangga kita, hal
itu seperti mengiklankan kerendahan moral kita. Dapatkah Anda membayangkan apa yang
mereka pikirkan ketika melihat wanita yang memakai rok mini pergi ke kebaktian Kristen?
Mereka berpikir bahwa orang Kristen tidak memerhatikan moral. Mode telah menjadi lebih
penting daripada pendapat umum. Jika kita memberi kesan yang tidak pantas melalui pakaian
kita, bagaimana mungkin kita dapat berbicara kepada mereka tentang Allah yang kudus? Hal
lain yang layak dipertanyakan apakah laki-laki perlu memakai dasi ke gereja? Mengapa orang
yang memimpin kebaktian harus memakai dasi dan jas? Mengapa laki-laki diharapkan
memakai pakaian barat ke gereja? Khususnya pendeta! Di banyak gereja, memakai kemeja
batik dapat diterima. Bagaimana kalau laki-laki memakai sarung dan peci? Di banyak tempat,
sarung dan peci adalah pakaian Indonesia. Hal-hal seperti itu memerlukan kebijaksanaan.
Seorang Kristen memakai sarung dan peci pada hari-hari khusus seperti Idul Fitri. Teman-
teman menganggap perbuatan itu sangat menghormati mereka. Di daerah lain, seorang
Indonesia, apalagi orang barat, yang dikenal sebagai orang Kristen mungkin sama sekali
dilarang memakai peci. Karena itu, kenalilah para tetangga Anda dan temukan sendiri apa yang
dapat diterima oleh mereka. Isu-isu yang berhubungan dengan apa yang halal dan apa yang
haram juga berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Sulit untuk memberi penuntun
yang jelas. Setiap orang percaya harus bersikap hati-hati. Hindarilah kesan-kesan negatif.
Perhatikan tetangga-tetangga Anda untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dan mengapa.
Kita harus aktif berbicara kepada mereka untuk mengetahui bagaimana gaya hidup kita
memengaruhi mereka. 27
Menghindari Pertentangan Bukan rahasia lagi, kekristenan dan Islam sudah sejak dahulu
bertentangan. Orang-orang Islam dan orang-orang Kristen saling menyerang, saling
menganiaya, dan saling membunuh. Tidak ada gunanya di sini untuk menentukan pihak mana
yang lebih banyak menyerang, atau pihak mana yang orang-orangnya paling banyak mati
syahid. Yang nyata pertentangan itu terus berkepanjangan dan sulit diatasi. Hal itu terasa ketika
kita menyadari bahwa mereka perlu mendengar Injil. Saya hendak memaparkan dua hal lainnya
yang harus dihindari. Pertama, hindarilah perkataan yang menentang nabi mereka. Kita percaya
bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Manusia sempurna yang pernah hidup. Al-Qur'an
sendiri meneguhkan bahwa Yesus tidak pernah berdosa (QS 19:19). Nabi mereka adalah
manusia biasa. Al-Qur'an memberi kesan bahwa dia berdosa (QS 47:19). Hal ini sesuai dengan
kebenaran Alkitab bahwa tidak ada seorang pun kecuali Yesus yang tidak berdosa (Ibrani 4:15
dan Roma 3:23). Walaupun demikian, sedikit sekali manfaatnya bila kita meninggikan Kristus
tetapi merendahkan nabi mereka. Kehidupan Kristus tidak bercela. Dia akan dimuliakan
sekarang dan selamanya. Akan lebih bermanfaat kalau kita menunjukkan hormat kepada
pendiri agama itu. Bukankah orang-orang Kristen tidak berharap akan diserang oleh kelompok
mayoritas? Kita pun hendaknya tidak menyerang mereka. Kritik terhadap nabi lain biasanya
menimbulkan kemarahan. Kalau seseorang menjadi marah, maka mereka tidak dapat berpikir
jernih. Mereka tidak akan bersikap terbuka terhadap cara baru untuk mempertimbangkan
pendapat-pendapat. Apakah benar bila kita mengakui nabi mereka sebagai nabi bagi suku-suku
Arab? Dia diutus untuk menyampaikan pesan. Dia memanggil mereka dari kekafiran untuk
percaya kepada Allah Pencipta. Dia berusaha membela hak orang yang miskin dan tertindas.
Dia juga mengerti banyak mengenai Mesias. Pada kenyataannya, dia menyebut Isa Almasih,
yaitu Yesus Kristus, sebagai yang paling ditinggikan di dunia ini dan yang akan datang (QS
3:45). Saya menganggap itu sebagai peranan seorang nabi. Mengingat hal itu, orang Kristen
seharusnya tidak merendahkan nabi itu. Isi Al-Qur'an itu sendiri sering dipakai oleh Allah
untuk mengarahkan orang-orang agar mereka percaya kepada Kristus. Karena itu, kita juga
boleh menyebut nabi mereka sebagai nabi yang dipakai Allah. Kedua, Al-Qur'an adalah buku
yang dikritik oleh orang-orang Kristen. Orang Kristen tidak menganggap Al-Qur'an
diwahyukan Allah. Sekali lagi, sama seperti halnya menyerang nabi mereka bukan merupakan
hal yang produktif, demikian pula tidak efektif bila kita menyerang Al-Qur'an. Entah mereka
membaca Al-Qur'an atau tidak, tetapi mereka bergantung kepadanya secara emosional sebagai
bagian hakiki dari imannya. Usaha-usaha orang Kristen untuk mengubah pandangan mereka
mengenai Al-Qur'an hanya akan lebih mengobarkan peperangan yang sudah sejak lama terjadi.
Lebih berguna kalau kita memakai titik-titik persamaan antara Alkitab dan Al-Qur'an sebagai
jembatan bagi mereka. Paulus "gusar" ketika menyadari adanya praktik-praktik dan
kepercayaan yang salah di Athena (Kisah Para Rasul 17:16). Namun dia memakai prasasti dari
salah satu altar kafir itu untuk memberitakan Injil (Kisah Para Rasul 17:23). Demikian pula,
kalau kita mengarahkan mereka pada kesamaan-kesamaan Al-Qur'an dan Alkitab, itu bukan
berarti kita sepenuhnya menerima Al-Qur'an sebagai firman Allah. Titik-titik persamaan itu
dapat menekankan kebenaran Allah yang tertera di dalam Alkitab. Hiasan-Hiasan Kristen
Masalah lain yang harus dihindari berhubungan dengan apa yang sangat disayangi oleh setiap
orang Kristen: salib Kristus. Salib merupakan batu sandungan bagi teman-teman kita,
walaupun itu merupakan lambang keselamatan bagi orang Kristen (1 Korintus 1:23-24).
Sayang sekali, bagi mereka, salib telah menjadi simbol orang kafir sejak zaman Perang Salib.
Tentara-tentara Kristen dalam Perang Salib menghiasi perisai mereka dengan salib sementara
mereka membantai desa-desa Islam. Kalau orang-orang Kristen memakai kalung salib atau
menggantungkan salib di dinding rumah mereka, secara otomatis mereka menyebabkan banyak
dari mereka merasa syak. Di sinilah kita harus hati-hati. Kenyataan tentang salib, yaitu bahwa
Yesus telah datang ke dunia dan mati, akan selalu sulit untuk diterima oleh orang-orang yang
belum percaya. Itu merupakan batu sandungan. Tetapi itu merupakan inti Injil dan tidak boleh
dipudarkan dengan cara apa pun. Sayang sekali, lambang salib telah dimuati dengan kesan-
kesan negatif dan dipandang sebagai bagian dari kebudayaan Kristen Barat yang mereka tolak.
Sering kali [hiasan salib] menjadi penghalang komunikasi antara orang Islam dan orang
Kristen. Kenyataan bahwa Yesus sudah mati di kayu salib itulah yang harus kita pegang erat-
erat, bukan kalung salib atau hak untuk menghiasi rumah kita dengan cara yang menyenangkan
diri kita sendiri.
Jika kalung salib atau penjepit dasi berbentuk salib yang kita pakai menghalangi kita untuk
didekati oleh tetangga kita, kita seharusnya tidak memakainya. Jika salib yang tergantung di
dinding rumah kita menghalangi mereka mengunjungi rumah kita, kita harus
memindahkannya. Pasti ada 28
cara lain yang lebih tepat untuk menyatakan diri sebagai pengikut Kristus daripada dengan
menunjukkan salib. Misalnya, cara yang lebih baik untuk menunjukkan bahwa Anda pengikut
Yesus adalah dengan mengasihi tetangga kita. Jika lambang salib membuat syak teman-teman
kita, jika hal itu menutup kesempatan bagi mereka untuk mendengar Injil, maka kita perlu
membuat perubahan. Hal lain yang mungkin juga tidak berkenan ialah gambar tangan yang
sedang berdoa, Yesus yang rambut-Nya pirang dan yang mata-Nya biru, yang sedang
membawa anak domba; gambar-gambar Kristen Barat tradisional lainnya juga mungkin
menimbulkan akibat yang sama. Haruskah kita malu menjadi orang Kristen? Tentu saja tidak.
Namun kita harus ingat bahwa hiasan-hiasan Kristen di rumah kita dapat menjadi penghalang
bagi teman-teman kita. Sebutan Kita harus hidup dengan memerhatikan masalah-masalah itu.
Kita harus terus bertumbuh menjadi semakin peka terhadap tetangga-tetangga kita. Seorang
yang tersinggung tidak akan mendengarkan kita. Bahkan istilah "Kristen" sudah mengandung
arti negatif sehingga sering tidak produktif bagi kita untuk menyebut diri "orang Kristen"
kepada mereka. Orang-orang percaya mula-mula disebut sebagai pengikut-pengikut Kristus
atau pengikut Jalan Tuhan (Kisah Para Rasul 9:2). Kata "Kristen" ditemukan tiga kali di dalam
Alkitab (Kisah Para Rasul 11:26; 26:28 dan 1 Petrus 4:16). Istilah itu semula dianggap sebagai
penghinaan, tetapi istilah itu sekarang sudah menjadi lambang kehormatan bagi orang-orang
yang menerima Kristus sebagai Tuhan. Namun, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya,
istilah itu mengingatkan mereka akan kekejaman tentara Kristen dalam Perang Salib --
peperangan antara denominasi gereja, atau boleh dikatakan antara partai politik barat. Kalau
ditanya, penulis lebih suka memperkenalkan diri sebagai "pengikut Isa Almasih". Sebutan itu
biasanya akan menimbulkan beberapa pertanyaan yang dapat menjadi titik tolak pembicaraan
tentang Kabar Baik. Hal itu dinilai positif sebab Isa adalah nama Islam untuk Yesus. Pada suatu
kesempatan, ketika ditanya apa artinya menjadi pengikut Isa, saya dapat memberitakan seluruh
Injil kepada mereka. Sebutan lain yang positif adalah "Nasrani". Ini juga merupakan istilah
yang artinya orang Kristen. Istilah itu dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an. BAB XIII
Petunjuk dan Tantangan Lintas Budaya Ada delapan petunjuk bagi misionari yang ingin
melakukan pelayanan misi kontekstual lintas budaya yaitu:
1. Alkitab harus menjadi otoritas final dalam proses kontekstualisasi, tidak boleh patuh kepada
ideologi manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan sinkritisme.
2. Elemen “Supracultural” Injil harus dipelihara dalam proses kontekstualisasi.

3. Pemimpin lokal perlu berada di garis depan dalam merefleksi hasil-hasil formulasi teologi
kontekstualisasi, struktur gereja, dan metode penginjilan.
4. Formulasi teologi perlu dibangun berdasarkan informasi refleksi teologi yang sebelumnya
dan menjadi bahan dialog dengan komunitas Kristen yang lebih luas untuk menolak bidat dan
sinkritisme.

5. Sinkritisme perlu ditolak di dalam proses refleksi teologi lokal.


6. Kesabaran dan kerendahan hati diperlukan oleh misionari karena komunitas Kristen yang
baru biasanya mencoba-coba untuk menjadi sinkritisme dan bidat.

7. Instrumen yang tepat diperlukan untuk menganalisa konteks sosial budaya masyarakat
setempat.
8. Sebuah model kontekstualisasi yang menyeimbangkan Alkitab dan konteks sosial budaya
harus dilakukan.6

6Daniel R. Sanchez “Contextualization, 332.


Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam mempelajari sebuah budaya yakni :
1. Kejutan budaya
2. Menjadi dwi-budaya tahap dimana merasa nyaman dengan dua budaya.
3. Salah pengertian dalam lintas budaya sering terjadi karena tidak mengenal budaya lainnya.
4. Etnosentrisme-menyalahkan atau mencurigai praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan
budaya lain dan yakin bahwa mereka lebih rendah dan tidak benar.
5. Terjemahan Alkitab kata-kata bisa berbeda artinya dalam budaya lain.
29
6. Perbedaan antara Injil dan budaya harus jelas.
7. Mewaspadai sinkritisme dan mendorong kemandirian.
8. Pertobatan dan akibat-akibat sampingan yang tidak terduga sebelumnya.

Agar misionari tidak mengalami penolakan penginjilan karena kebudayaan yang sangat
berbeda dengan konteks misi, maka misionari harus mengerti elemen-elemen budaya dan
mampu mengindentifikasi budaya setempat. Elemen budaya terdiri dari perilaku, nilai-nilai,
kepercayaan dan cara pandang. Langkah pertama mengidentifikasi budaya setempat ialah
memasuki sebuah budaya dengan pandangan yang terbuka, percaya, dan menerima. Langkah
kedua ialah menanggapi perbedaan-perbedaan budaya dengan rendah hati sebagai seorang
pelajar. Tujuan utama identifikasi bukanlah sampai seberapa jauh miripnya seseorang bisa
capai dalam sebuah budaya, tetapi sampai dimana keefektifannya berkomunikasi dengan
mereka yang berbudaya lain.7 Komunikasi Lintas Budaya David J. Hesellgrave (pakar
komunikasi lintas budaya) membagi komunikasi lintas budaya dalam dua paradigma yaitu
paradigma klasik dan paradigma zaman sekarang. Paradigma klasik terbagi dalam tiga kategori
yaitu pembicara atau sumber berita misionari, isi dari berita misionari dan gaya dari berita
misionari. Paradigma zaman sekarang terbagi dalam tujuh dimensi yaitu:
7CWMC, Kairos: Allah, Gereja dan Dunia (Butuan City, Philippines: Living Springs
International, 2005), 7-2 – 7-12. 8David J. Hesselgrave, Communicating, 142-160. 9Ibid, 183
10Todd Elefson, Diktat “Komunikasi Lintas Budaya”, 58-59.
1. Pandangan-pandangan dunia – cara-cara memahami dunia
2. Proses-proses kognitif – cara-cara berpikir
3. Bentuk-bentuk linguistik – cara-cara mengekspresikan gagasan
4. Pola-pola perilaku – cara-cara bertindak
5. Struktur-struktur sosial – cara-cara berinteraksi
6. Pengaruh Media – cara-cara menyalurkan berita
7. Sumber-sumber motivasional – cara-cara memutuskan.8

Tugas misionari adalah untuk mengomunikasikan Kristus secara lintas budaya. Ini berarti
bahwa misionari harus menafsirkan berita dari Alkitab berkenaan dengan kebudayaan dimana
hal ini diberikan dan menghindari pengaruh yang tidak semestinya dari kebudayaanya sendiri,
meneruskan berita yang sesungguhnya dalam istilah-istilah yang akan bersifat informatif dan
persuasif di dalam kebudayaan respondennya.9 Prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam
komunikasi lintas budaya sesuai kelompok sosial yaitu:
1. Mulai pada awal hubungan
2. Pakai konsep yang mereka pahami
3. Sampaikan Injil secara tidak langsung dengan cerita yang membawa pada pembersihan hati
4. Jalin persahabatan yang erat dengan petobat baru
5. Ambil sikap seorang guru yang akrab
6. Atur alur percakapan
7. Tawarkan doa langsung (doa berkah).10

BAB XIV
Banyak Tantangan untuk Para Pekerja Lintas Budaya
Di Indonesia, banyak suku-suku terabaikan membutuhkan para pengerja Injil yang dapat
memberkati mereka dengan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus, Juru Selamat dunia. Sayangnya,
tidak banyak orang yang bersedia mengabarkan Injil dan mendirikan jemaat lintas budaya.
Mereka yang bersedia pun menghadapi bermacam-macam tantangan. Boleh dikatakan, mereka
yang melayani suku-suku terabaikan umumnya kurang disokong oleh gereja-gereja atau
organisasi Kristen yang mengutus mereka. Mereka membutuhkan dukungan doa, dana, dan
persekutuan yang menguatkan jiwa, perasaan, dan kerohanian mereka.
Pelayanan lintas budaya adalah tantangan yang cukup rumit dan berat. Pada umumnya, kita
kurang mengerti bahwa setiap orang yang melayani suku lain harus belajar banyak tentang
sifat, bahasa, dan cara hidup suku itu. Jika kita bergaul secara biasa dengan menggunakan
bahasa Indonesia saja, 30
maka banyak orang tidak akan mengerti maksud dan tujuan kita. Hal ini dapat diperlihatkan
dalam lima pokok berikut.
1. Bahasa Setiap bahasa yang terdapat di Indonesia mengandung ciri-ciri yang khas. Jika kita
bicara soal rohani kepada seseorang, kita harus menguraikannya dengan bahasa yang paling
cocok untuk orang itu. Jika tidak demikian, ada kemungkinan besar ia tidak akan menangkap
maksud kita.

2. Pandangan Hidup Pandangan hidup setiap suku terabaikan terdiri dari filsafat dan teologi
mereka. Jika mereka memunyai pandangan hidup yang berbeda dari kita, maka mereka akan
sukar untuk menerima Injil. Misalnya, jika seseorang memiliki pengertian tentang Tuhan,
manusia, dosa, keselamatan, dunia gaib, dan sebagainya yang berbeda dari pandangan dunia
Alkitab, ia tidak akan langsung mengerti Injil. Injil mempunyai pandangan hidup tersendiri
yang harus dijelaskan dengan contoh-contoh yang dapat ditangkap oleh orang itu.

3. Nilai-nilai Kita harus mempelajari nilai-nilai yang dihargai oleh suku terabaikan itu.
Pengertian kita akan nilai-nilai mereka membuka banyak peluang untuk Injil. Kita
menghormati nilai-nilai mereka yang baik dan menguatkan nilai-nilai itu yang sesuai dengan
pandangan hidup Alkitab.

4. Kepemimpinan Cara kepemimpinan setiap suku juga memunyai ciri khas yang perlu
diperhatikan oleh kita. Jika kita tidak berusaha memimpin jemaat baru dengan cara yang dapat
dimengerti dan dihormati oleh mereka, maka mereka tidak akan merasa betah. Para penginjil
perlu mempelajari cara kepemimpinan orang-orang yang mereka layani.

5. Organisasi sosial Sistem organisasi sosial sebuah suku juga penting untuk kita pelajari.
Misalnya, hampir setiap suku di Indonesia memegang sistem bapak/anak buah, tapi cara
melaksanakannya cukup bervarisasi. Kita harus memerhatikan sistem-sistem sosial, seperti
sistem kekeluargaan, sistem pendidikan, dan sistem-sistem masyarakat yang lain. Jika tidak,
kita seolah-olah masih berada di luar ruang lingkup kehidupan mereka. Penyesuaian ini tidak
begitu mudah dilaksanakan oleh seorang penginjil atau gembala yang berasal dari suku lain.

Kesimpulannya Tidak heran jika sebagian besar para penginjil dan pendeta yang melayani
suku-suku terabaikan tidak bertahan lama dalam pelayanan. Mereka merasa pusing karena
tantangan-tantangan yang besar, kurang dibimbing untuk pelayanan yang berat itu, dan kurang
didukung oleh gereja dan saudara-saudara seiman. Marilah kita memerhatikan para pekerja
lintas budaya, mendoakan, dan menyokong mereka secara khusus agar mereka dikuatkan oleh
Tuhan dalam mengemban tugas yang berat itu. Jika kita berusaha mengenal dan membantu
para penginjil lintas budaya, kita juga telah mengambil bagian dalam pengabaran Injil kepada
orang-orang yang belum pernah mengerti berita tentang Yesus Anak Allah.
BAB XV
Mengidentifikasi Talenta Para Pekerja Lintas Budaya
Supaya bisa berfungsi sebagai satu tubuh, jemaat/gereja sebagai Tubuh Kristus dalam lingkup
kehidupan yang lebih kecil, membutuhkan anggota-anggota tubuh yang lain. Tubuh
memerlukan mulut sehingga Tuhan memilih beberapa nabi dan pendeta atau para pengajar.
Tubuh perlu berfungsi secara "sopan dan teratur" sehingga Tuhan memberikan karunia kepada
beberapa orang untuk mengatur administrasi. Tuhan kadangkala membutuhkan seseorang yang
senantiasa "dibutuhkan kehadirannya seperti apendiks atau lampiran pada buku", karena
menjangkau keluar adalah salah satu fungsi utama gereja, seperti yang Tuhan katakan, "Ladang
adalah duniaini" (Matius 13:38), maka Allah telah menempatkan setiap bagian tubuh untuk
melayani pelayanan lintas budaya.
Di banyak gereja, pekerja lintas budaya tidak diberikan kesempatan untuk menggunakan
talenta mereka. Jadi, mereka duduk diam dan bertanya-tanya, "Untuk apa aku di sini?" Mereka
barangkali mencoba mencari pelayanan di bidang yang lain, namun mereka selalu merasa tidak
cocok untuk pelayanan tersebut. Oleh karena itu, dengan frustrasi mereka berpindah dari satu
pelayanan ke pelayanan yang lain, atau dari satu gereja ke gereja yang lain. Gerejalah yang
bertugas membantu mereka memperkenalkan jenis pelayanan lintas budaya dan melatih
mereka untuk menjadi bagian dari pelayanan ini. 31
Ketika Barnabas dan Paulus pulang dari Yerusalem ke Antiokhia dengan membawa hasil
laporan pertama para rasul, maka gereja segera mengidentifikasi talenta-talenta setiap orang
dan menempatkan lima orang yaitu para nabi dan para pengajar, termasuk para pemimpin
gereja. Lalu, melalui doa dan puasa, gereja mendengarkan suara Roh Kudus mengatakan, "Aku
menginginkan Barnabas dan Saulus untuk beberapa tugas lintas budaya." (Terjemahan bebas
dari Kisah Para Rasul 13:1-2, Red). Orang-orang percaya dalam persekutuan Anda harus
mengambil inisiatif di dalam proses misi dengan mengidentifikasi talenta-talenta yang ada pada
pelayanan lintas budaya gereja Anda dan mengizinkan mereka menggunakan karunia-karunia
mereka. Suatu persekutuan misi di gereja dapat menjadi tempat ujian yang ideal bagi para calon
utusan Injil yang potensial. Di bawah pengarahan seorang jemaat awam atau anggota majelis
yang percaya bahwa mereka dapat menjadi bagian dari pelayanan lintas budaya -- mereka dapat
mempelajari semua aspek misi. Mereka dapat ditantang untuk menjalankan tugas menjangkau
jiwa dengan pelayanan lintas budaya. Mereka dapat mempraktikkan seni mendukung utusan
Injil secara moral, termasuk urusan logistik, dengan melayani melalui lembaga misi di kota
Anda. Sebagai orang-orang yang berpotensi untuk pergi ke ladang-ladang misi, mereka dapat
melakukan misi jangka pendek atau perjalanan misi singkat untuk mendapatkan pengalaman.
Dan mereka yang diidentifikasikan memiliki talenta sebagai pengutus, dapat menggunakan
karunia mereka. Pendeta, panitia misi atau persekutuan, janganlah menjadi orang terakhir yang
mengetahui bila seorang anggota dari gereja Anda turut terlibat dalam misi! Ambillah inisiatif,
buatlah kegiatan untuk menjangkau pelayan lintas budaya sebagai bagian visi Allah yang telah
diberikan kepadamu. Memelihara Tanggung jawab dalam Pelayanan Pertanggungjawaban
telah menjadi slogan dalam budaya kita. Bagaimana dengan orang-orang yang menjadikan
prinsip "uruslah urusanmu sendiri" sebagai falsafah hidupnya? Toh, dari segala bangsa, ada
ratusan pendeta dan pemimpin gereja yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang mereka lakukan
di luar gereja. Beberapa orang mengatakan: "Mereka bersama misi XYZ. Bukankah itu suatu
misi yang baik?" Ya, sangat mungkin. Akan tetapi, apakah misi itu sesuai dengan tujuan
pelayanan dari gereja Anda? Apa target pelayanan itu? Apakah kemampuan dan karunia sang
utusan Injil sesuai dengan pekerjaan misi itu? Dimensi kedua dari tanggung jawab, antara lain:
pada saat Anda yakin bahwa pekerja lintas budaya Anda itu terlibat dalam suatu pelayanan
yang sesuai dengan talenta dan mandat dari gereja, Anda harus melakukan suatu evaluasi yang
terus-menerus dan berkesinambungan untuk mengetahui apa saja yang telah dicapai dalam
pelayanan itu. Laporan yang teratur dari supervisornya akan membantu Anda memantau
pelayanan mereka. Bila utusan Injil Anda bekerja melalui suatu badan misi, maka usahakanlah
jalur hubungan pertanggungjawaban tetap terbuka, jelas, dan masuk dalam persekutuan Anda.
Ingatlah, utusan Injil ini masih bagian dari satu tubuh gereja Anda. Laporan dari pekerja Anda
itu harus diisi secara rinci. Usahakanlah menghubungi pekerja Anda secara berkala. Laporan
pekerja lain di ladang pelayanan yang sama, kunjungan oleh seorang tua-tua gereja akan
meyakinkan Anda bahwa pelayanan sungguh-sungguh berjalan sebagaimana mestinya. Di atas
semuanya itu, hasil kerja mereka yang berangkat sebagai utusan Injil maupun yang melayani
sebagai pengutus-pengutus, merupakan usaha dan pekerjaan suatu tim! Memperkukuh
Pertumbuhan Rohani Betapa sedihnya hati kita tatkala menyimak beberapa laporan statistik
yang menyatakan bahwa para pelayan lintas budaya, yang sebelumnya "mendengarkan suara
Tuhan," dan yang mendapat dukungan penuh dari jemaat, ternyata lebih dari separuhnya tidak
mampu menyelesaikan komitmen mereka alias gagal di tengah jalan. Kebanyakan di antara
mereka tak sanggup melakukannya akibat kekeringan rohani. Mereka hanya sampai pada taraf
mencoba untuk memberi lebih banyak dari apa yang mereka terima. Pemimpin gereja harus
mendukung pertumbuhan rohani pekerja misi pada saat: 1. Sebelum sang misionari pergi; 2.
Ketika mereka berada diladang misi; 3. Saat mereka kembali. 1. Mendorong Pertumbuhan
Rohani Sebelum Mereka Pergi
Jemaat Antiokhia memberikan suatu teladan yang baik: Barbanas dan Saulus adalah pemimpin-
pemimpin yang dewasa rohaninya, yang dipilih oleh Roh Kudus untuk suatu tugas yang sangat
berat dan sukar. Karena itu, tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami mengapa faktor
pengetahuan yang baik tentang Kitab Suci menjadi kualifikasi yang penting. Mereka juga
mengajak Yohanes Markus untuk ikut bersama mereka. Tetapi, kenyataannya, ia tidak siap dan
belum matang. Buktinya, tatkala mereka menemui kesulitan, ia meninggalkan mereka!
Beberapa tahun kemudian, Paulus merasa bahwa Yohanes Markus pun masih belum siap
(Kisah Para Rasul 15:38). Namun, beberapa tahun setelah itu, Paulus meminta agar Timotius
membawa serta Yohanes Markus, karena "ia sangat membantu dalam pelayananku" (2
Timotius 4:11). Kerinduan seseorang yang mau dan bersedia pergi 32
tidak berarti bahwa ia telah siap untuk diutus. Ada gereja yang berbuat begini: Setiap orang
yang berpikir dan merasa bahwa ia adalah bagian dari Tubuh Kristus dalam pelayanan lintas
budaya, maka orang itu dianjurkan agar selalu menghadiri persekutuan misi yang dipimpin
oleh seorang koordinator lintas budaya. Di sinilah mereka secara teratur diekspos bagi
pelayanan lintas budaya melalui doa syafaat bagi bangsa-bangsa diseluruh dunia, baik
mendengar pengajaran dari para pembicara melalui pelayanan video dan berbagai kesempatan
pelayanan, maupun beragam perjalanan pelayanan rohani. Apabila seseorang, atau keluarga
(pasangan suami-istri) maupun kelompok, merasakan panggilan untuk menjadi utusan Injil,
maka orang tersebut mulai berhubungan dengan pendeta senior dalam pelatihan pemuridan.
Setelah ia diangkat dalam posisi kepenatuaan di gereja dan aktif dalam suatu kurun waktu
tertentu, maka ia pun siap untuk pelatihan misi lintas budaya, dan mau membangun tim
pendukung pribadi. Gereja harus mengutus seorang pekerja yang memenuhi syarat dan
memiliki kredibilitas; ia harus tahu apa yang ia percayai dan mengapa ia mempercayainya.
Kepercayaan itu dapat ia peroleh melalui kombinasi dari berbagai macam pelatihan dan
program persiapan. Selain itu, gereja harus mengutus orang yang telah dilengkapi dengan
keterampilan dasar dan pengajaran yang dalam tentang Kristus, serta memahami berbagai
kebudayaan, seperti kebudayaan Asia, Yunani, dan Ibrani, sehingga ia dapat mengerti budaya
dari negeri yang akan dimasukinya. Dengan begitu, ia dapat melakukan pemberitaan Injil
dengan menggunakan konteks yang sesuai dengan kebudayaan setempat. Para pengutus, harus
mengutus orang yang telah dilatih dalam hubungan antar-pribadi (inter-personal relationship).
Sebab, kekurangan dalam hal inilah yang menjadi alasan terbesar ambruknya para utusan Injil
di ladang pelayanan. Gereja harus mengutus orang-orang yang berjiwa besar yang mau belajar,
dan tidak pernah merasa telah mencapai pengetahuan akan kebenaran secara lengkap (2
Timotius 3:7). Atau, orang yang senantiasa mau diisi pengetahuan dan pengenalannya akan
Allah (Kolose 1:10). 2. Mendorong Pertumbuhan Rohani di Ladang Misi Ketika seorang
pelayan lapangan dibebani dengan urusan penghidupannya di rumah (lihat 2 Timotius 2:4), dan
terhanyut dalam kesibukan pelayanan yang begitu menumpuk, sangat mudah baginya untuk
mengabaikan kehidupan rohaninya. Itu sebabnya, ia harus selalu bekerja keras bagi Pokok
Anggur yang benar, sehingga apabila ada carang-carang yang rusak mesti dikerat atau
dipangkas, agar pohon anggur itu tetap bersih, terpelihara, dan menghasilkan buah yang lebat.
Sebaliknya, apabila pohon anggur itu tidak diurus dengan baik, maka beragam doa yang
dinaikkan kepada Allah dan pembacaan Alkitab, serta belajar firman Allah, hanyalah
merupakan rutinitas belaka. Akibatnya, si pekerja lintas budaya itu pun gugur dimakan 'virus'
kekeringan rohani. Penulis kitab Ibrani berkata, "Janganlah kita terus-menerus meletakkan
pengajaran dasar, seperti memberikan susu kepada balita, tetapi baiklah kita memberikan
makanan keras agar ia bisa bertumbuh ke tingkat kedewasaan yang penuh" (Ibrani 5:12-6:3).
Meski pekerja Anda itu tidak mendengarkan siaran di stasiun radio Kristen, pelayanan firman
Allah di stasiun TV, serta selusin seri pelajaran Alkitab untuk bisa dipilih setiap minggunya, ia
tidak perlu merasa malu. Yang penting adalah bahwa pekerja Anda harus setia mempelajari
Alkitab sebagai sumber kebenaran itu. (2 Timotius 2:15) Ia harus senantiasa "memberi makan"
kehidupan rohaninya. Anda mungkin dapat membantunya dengan mengiriminya rekaman-
rekaman kaset tentang pelajaran Alkitab atau barangkali Anda bisa belajar bersama-sama
dengan dia melalui surat-menyurat membahas kitab demi kitab dalam studi Alkitab. Sebuah
keluarga utusan Injil di Peru, dikirimi oleh gereja mereka rekaman studi Alkitab melalui kaset.
Mereka segera mendengar kaset-kaset itu dalam kelompok studi Alkitab bersama anggota-
anggota pelayanan yang lain. Ketika mereka mulai mendengarkan beberapa bait lagu-lagu
rohani lewat kaset-kaset itu, timbul kerinduan mereka akan musik-musik Kristen. Puji Tuhan!
Kerinduan itu segera terpenuhi ketika sebuah stasiun radio amatir mengumandangkan pujian
rohani Kristen. Bahkan, dari stasiun ini mereka dapat meminta beberapa kaset musik Kristen
lainnya. 3. Mendorong Pertumbuhan Rohani Ketika Mereka Pulang ke Rumah Utusan
Injil Anda mungkin akan pulang untuk waktu yang singkat, sebelum kembali lagi ke ladang
misi. Cobalah cek temperatur kehidupan rohaninya. Banyak yang dihujani dengan sejumlah
ide-ide, perbedaan nilai dan kepercayaan. Apakah ia masih berpegang teguh pada Batu
Karang? Adakah perubahan dalam cara berpikirnya? Kemungkinan, dia membutuhkan
peneguhan dalam imannya. Lebih serius lagi, ia barangkali perlu menyatakan kembali dasar-
dasar iman Kristennya. Beberapa pokok atau doktrin yang agak miring, bisa saja datang dari
tim yang bergabung dengannya, yang berasal dari organisasi lain. 33
Jika pekerja Anda telah pulang ke rumahnya untuk menangani suatu pelayanan baru di tempat
asalnya, Anda tidak boleh beranggapan bahwa kehidupan rohaninya akan berjalan terus. Di
rumahnya, ia mungkin dihujani oleh ilah-ilah materialisme dan kenikmatan hidup. Hal ini dapat
membawa efek negatif pada pengajarannya. Usahakan agar ia masih tetap membagikan apa
yang "pertama-tama ia terima dari Tuhan" dan tetap mengobarkan kasih mula-mula (1 Korintus
15:3). Ada keluarga tertentu menjalani petualangan misi selama dua tahun di Asia Timur Jauh.
Mereka kembali ke Amerika Serikat guna memulai lagi pelayanan kurang lebih 15 tahun
kemudian. Atas bimbingan pemimpin gereja mereka, mereka kemudian menyadari adanya
serangan rohani yang begitu hebat yang dilancarkan kepada seluruh keluarga mereka di ladang
misi. Karena itu, mereka lalu bekerja menghancurkan kuasa-kuasa kegelapan, mematahkan
kebiasaan-kebiasaan yang merusak, dan mulai hidup dalam kemenangan dan kebebasan yang
tersedia dalam Kristus. Dukungan dan doa terus menerus yang tulus dari anggota gereja ketika
pertama kali kembali ke rumah mereka, semuanya itu merupakan cara terbaik untuk mengatasi
berbagai persoalan yang datang menyerang mereka. BAB XVI KONTEKSTUALISASI
Defenisi Misi Kontekstualisasi Lintas Budaya
Kata “kontekstualisasi” berasal dari kata context yang akar katanya contextus (Latin) yang
berarti menenun bersama. Kontekstualisasi dapat didefenisikan yaitu membuat konsep dan
metode yang relevan dalam suatu situasi dan sejarah. Dari defenisi ini misi kontekstualisasi
dapat dilihat sebagai pesan karya penebusan dan kasih Allah dalam Yesus Kristus menjadi
kehidupan dan isu yang penting dalam konteks sosiokultural dan mampu merubah cara
pandangnya, nilainya, dan tujuannya. Terminologi kontekstualisasi sebanding dengan
indigenous yaitu melibatkan secara mendalam konteks budaya setempat dalam suatu misi.11
11Taber dan Coe, sebagaimana dikutip Daniel R. Sanchez “Contextualization and the
Missionary Endavor” dalam buku Missiology: An Introduction to the Foundations, History,
and Strategies of World Missions (Nashville: Broadman & Holman Publishers, 1998), 318.
12Bruce Nicholls, sebagaimana dikutip Ailsa C.H. Baker, Diktat Strategi Misi, 113. 13Byang
Kato, sebagaimana dikutip Ailsa C.H. Baker, Diktat Strategi Misi, 113. 14John A. Gration,
sebagaimana dikutip Ailsa C.H. Baker, Diktat Strategi Misi, 113. 15David J. Hesselgrave,
Communicating Christ Cross-Culturally (Malang: Literatur SAAT, 2005), 138-139. 16Enoch
Wan, sebagaimana dikutip Bambang Sriyanto, “Contextual Evangelism” dalam jurnal Pasca
STBI, Volume 7/No. 2/Oktober 2010 (Semarang: STBI, 2010), 86.
Beberapa defenisi kontekstualisasi yang lain ialah penterjemahan inti Injil yang tidak berubah
ke dalam bentuk perkataan yang bermakna /penuh arti bagi kelompok–kelompok orang dalam
budaya dan keadaannya masing-masing.12 Kontekstualisasi adalah membuat pengertian–
pengertian atau cita–cita yang relevan dalam situasi tertentu, karena pesan Injil diilhamkan tapi
sarana ungkapan tidak, maka mengkontekstualisasikan sarana tidak hanya dibenarkan tapi
diperlukan.13 Kontekstualisasi adalah menghubungkan Injil kepada suatu budaya tertentu
termasuk semua dimensinya.14
Menurut David J. Hesselgrave, kontekstualisasi dapat dimaksudkan sebagai usaha untuk
mengkomunikasikan pesan manusia, karya-karya, perkataan, dan kehendak Allah dalam cara
yang setia kepada penyataan Allah, khususnya pada waktu hal ini dikeluarkan di dalam ajaran-
ajaran Kitab Suci, dan yang penuh arti bagi responden-responden di dalam konteks kultural
dan eksistensial mereka masing-masing. Kontekstualisasi itu bersifat verbal maupun non
verbal dan ada hubungannya dengan berteologi, penerjamahan, penafsiran dan penerapan
Alkitab; gaya hidup inkarnasional; penginjilan; pengajaran Kristen; penanaman dan
pertumbuhan gereja; organisasi gereja; gaya penyembahan-sungguh dengan semua aktivitas-
aktivitas yang termasuk dalam melaksanakan Amanat Agung.15
Setidaknya ada dua defenisi utama tentang kontekstualisasi yaitu pertama usaha manusia untuk
memformulasi, mempresentasekan, dan mempraktekkan iman Kristenan dalam budaya suku
fokus yang relevan16, kedua komunikasi lintas budaya tentang kebenaran Alkitab dalam
menemukan 34
nilai dan bagian yang cukup dalam agama lain untuk dapat menjelaskan Alkitab dalam sistem
dan kebudayaan mereka.17 Empat Sifat Budaya Dalam Terang Firman Seorang misionaris
lintas budaya yang ingin melakukan pelayanan kontekstualisasi harus memahami ada empat
sifat budaya dalam terang firman Tuhan yaitu budaya yang bersifat positif, budaya yang dapat
diubah, budaya yang bersifat negatif, dan budaya yang bersifat netral.
17Armin Bachor, sebagaimana dikutip Bambang Sriyanto, “Contextual Evangelism” dalam
jurnal Pasca STBI, 86. 18Arip Sitompul, “Kebudayaan dalam Perspektif Teologis” dalam
Jurnal “Kerusso”, edisi I Vol. 2/2011 (Sidikalang: STT OI, 2011), 30-35. 19Todd Elefson,
Diktat “Komunikasi Lintas Budaya” (Medan: STII, 2005), 30.
1. Budaya yang bersifat positif

Sesungguhnya kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok. Jadi kebudayaan itu
dihayati dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok. Dalam Kejadian
1:26-27 dan Kejadian 2:15 manusia memiliki posisi yang istimewa posisi yang bertanggung
jawab terhadap Allah yang memberi mandat kepadanya. Inilah dasar dan titik tolak manusia
mengembangkan kehidupannya, yang disebut kebudayaan.
2. Budaya yang dapat diubah

Bahagian dari budaya yang bersifat positif adalah budaya yang diubah. Budaya yang dapat
diubah artinya adalah unsur-unsur budaya yang harus diubah menjadi positif sehingga selaras
dengan kebenaran Firman Allah.
3. Budaya yang bersifat netral

Budaya yang bersifat netral adalah, adanya unsur-unsur di dalam budaya yang apabila unsur-
unsur itu dipakai kepada hal-hal yang bertentangan dengan Firman, seperti penyembahan
berhala maka hal itu menjadi negatif dan bertentangan dengan kemuliaan Allah. Namun
sebaliknya, apabila unsur-unsur budaya itu dipakai kepada hal-hal yang tidak bertentangan
dengan Firman maka hal itu menjadi positif. Sementara unsur-unsur budaya tersebut tidak
netral, tergantung pada pemakainya atau tujuan serta motif pemakaiannya.
4. Budaya yang bersifat negatif

Budaya yang bersifat negatif adalah adanya unsur atau elemen yang terkandung di dalam suatu
budaya yang isinya bertentangan dengan kebenaran Firman Allah.18 Contoh unsur- unsur
netral dalam kebudayaan Islam yang dapat dipertahankan sebagai bentuk relevansi terhadap
budaya:
- Penggunaan kopiah
- Kopiah putih di Sumatera Selatan dipakai oleh orang yang belum naik haji, di Jawa, kopiah
ini dipakai oleh orang –orang yang sudah naik haji. Sedangkan kopiah hitam dipakai sebagai
kopiah nasional.
- Pemakaian sarung dan kain kebaya.
- Duduk di lantai atau tikar.
- Cara bersalam-salam
- Membuka sepatu atau sandal ketika masuk ke dalam rumah atau gereja untuk berbakti atau
bersekutu bersama- sama.
- Penggunaan alat-alat musik tradisional
- Di kota Sendang ,Tulung Agung,Jawa Timur, telah dicoba cara mengabarkan Injil dengan
gamelan untuk mengiringi nyanyian-nyanyian penyembahan kepada Tuhan. Cara ini sangat
berhasil, terbukti banyak orang Jawa non Kristen yang menghadiri kebaktian tersebut .Mereka
tidak merasa asing menghadirinya.
- Mengubah cerita- cerita rakyat menjadi cerita-cerita agama.
- Penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil.
- Penggunaan bahasa Arab sangat baik, terutama untuk mendekati orang-orang Islam yang
terdidik sebab bahasa Arab merupakan bahasa kesatuan Islam, sehingga penggunaan bahasa
itu merupakan penghormatan kita terhadap mereka.
- Sunat.19
35
Sikap Terhadap Kebudayaan Paul G. Hiebert menyatakan setidaknya minimal ada 3 sikap
misi terhadap kebudayaan lama yang dimiliki konteks seperti yang dinyatakan dalam skema
berikut ini :
Gambar 2
Skema Sikap terhadap Ajaran/Kebudayaan Lama20
20Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries (Grand Rapids, Michigan: 1991),
188. 21Paul G. Hiebert, artikel “Critical Contextualization”, 1-5.
Penolakan terhadap budaya lama akan menimbulkan beberapa masalah teologis dan
misiologis. Pertama penolakan itu berdasarkan asumsi secara implisit bahwa bentuk kultural
orang Kristen Barat adalah seperti kultur Kristen. Kedua perlu kebiasaan baru untuk mengganti
kebiasaan yang sudah ditolak oleh para petobat. Ketiga usaha untuk menghapuskan kebiasaan
atau tingkah laku kebudayaan yang lama sering kali gagal. Penerimaan kebudayaan lama
haruslah dilakukan dengan kritisi yang tajam dan diterangi Firman Tuhan. Apabila kebudayaan
lama diterima tanpa dikritisi maka akan menghasilkan sinkritisme terhadap budaya lama. Tiga
pengecekan untuk mengkritisi kebudayaan lama ialah pertama Alkitab dipandang sebagai
kekuasaan yang mutlak dan final, kedua keimaman orang percaya yang berasumsi bahwa setiap
orang percaya mempunyai Roh Kudus yang memimpin mereka dalam pengertian dan aplikasi
Alkitab di dalam kehidupannya sendiri, dan ketiga ada pengecekan dari gereja.21

Anda mungkin juga menyukai