Allah mengizinkan perceraian dalam Hukum Taurat. Tetapi itu diizinkan untuk umat
Israel yang hatinya belum bertobat. Mereka sudah disunat secara lahiriah tetapi belum secara
rohaniah; mereka adalah orang-orang yang telah murtad. Hal ini diizinkan untuk mereka yang
belum bertobat dalam bangsa Israel1 Orang-orang Israel diizinkan untuk bercerai hanya apabila
telah terjadi dosa percabulan yang dilakukan sebelum menikah, tetapi sekalipun demikian hal
tersebut hanya diizinkan oleh karena kekerasan hati mereka. Dosa yang dilakukan sesudah
menikah (zinah) akan dihukum dengan hukuman mati. Ul. 22:22 berkata:
Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami maka haruslah
keduanya dibunuh mati; laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga.
Dari ayat diatas dapat dikatakan bahwa perbuatan zinah harus dihukum dengan hukuman mati
(dirajam, dilempari batu sampai mati). Sebab perbuatan zinah dipandang sebagai semacam
Barangsiapa membujuk isteri atau suami orang lain untuk berbuat zinah dengan dia, maka iapun
menyerang pernikahan sesamanya dan barangsiapa berzinah (biasanya dengan banyak bohong
dan tipu), iapun membunuh kebahagiaan-pernikahan sesamanya. Oleh sebab itu di dalam
Perjanjian Lama perbuatan zinah itu dihukum dengan hukuman mati seperti pembunuhan.
Di dalam Ul. 24:1-5 seperti yang telah dijelaskan di atas, mengatakan bahwa:
Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia
tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia
1
Theodore H.Epp, Pernikahan, Perceraian dan Pernikahan Kembali, (t.t: Mimery Press, t.tp), 53-54.
2
J. Verkuyl, Etika Kristen Seksuil (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993), 109. J. Verkuyl, Etika Kristen
Seksuil (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993), 109.
menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia
pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu
menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu
menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari
rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka
suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali
menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekecian dihadapan
TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu,
kepadamu menjadi milik pusakamu. Apabila baru saja seseorang mengambil isteri, janganlah ia
keluar bersama-sama dengan tentara maju berperang atau dibebankan sesuatu pekerjaan; satu
tahun lamanya ia harus dibebaskan untuk keperluan rumah tangganya dan menyukakan hati
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya alasan untuk memberikan surat cerai
adalah karena kekerasan hati orang-orang Israel. Tidak ada alasan lain untuk melakukannya.
Kalau seorang calon suami menemukan bahwa calon isterinya ternyata telah mempunyai
hubungan dengan orang lain sebelum mereka menikah, yakni terlibat dalam dosa zinah, maka ia
dapat mengembalikan perempuan itu kepada orang tuanya dengan memberikan surat cerai.
Tetapi dalam hal ini akibatnya adalah hukuman mati, karena ternyata tuduhan itu benar 3
Perceraian diizinkan hanya karena perbuatan tidak senonoh di mana setelah menikah ternyata
istri telah bersalah karena melakukan dosa seks sebelum ia menikah dengan suaminya.
3
Theodore H. Epp, Pernikahan, Perceraian, dan Pernikahan Kembali. ( t.p. Memory press t.th.), 43.
Dalam Perjanjian Baru
Di dalam PB Brewer menjelaskan bahwa Yesus mengajarkan enam hal khusus berkaitan dengan
pernikahan, yaitu :
- Perceraian dapat diizinkan jikalau ada penolakan keras untuk berhenti melakukan perzinahan
- Pernikahan adalah pilihan bukan bersifat wajib maka ketidakmampuan melahirkan anak
- Perceraian atas “dasar apapun” adalah tidak valid dan pernikahan kembali setelah perceraian itu
adalah perzinahan4.
Jadi, pernikahan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan pasangan
suami isteri. Seperti pada zaman Yesus banyak orang-orang Yahudi khususnya orang-orang
Farisi yang membuat Hukum Taurat menjelaskan secara benar dari tafsiran mereka yang salah,
sehingga mereka membenci Yesus dan berusaha untuk membunuhnya. Pada akhirnya mereka
menyalibkan Yesus dan tentang hidupnya Yesus berkata: “Tidak seorangpun mengambilnya dari
memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari BapaKu”
Yoh.10:18.
Termasuk juga dalam hal ini, perkataan Kristus “tentang perceraian dan pernikahan kembali
yang dimaksudkan untuk membersihkan ajaran palsu yang dikaitkan oleh orang-orang Yahudi
4
D. Instone-Brewer, Divorce and Remarriage in the Bible (London: Grand Rapids, 2002), 178-187.
5
Theodore H. Epp, Pernikahan, Perceraian, dan Pernikahan Kembali. ( t.p. Memory press t.th.), 64-65.
Dalam Mat. 19: 8 dikatakan bahwa “Musa mengizinkan kamu
16 Theodore H. Epp, Pernikahan, Perceraian, dan Pernikahan Kembali. ( t.p. Memory press
t.th.), 64-65.
17 Norman L. Gersler, Etika Kristen Pilihan & Isu Kontemporer (Malang: Literatur SAAT,
2010), 366.
untuk bercerai”. Tetapi dalam hal ini Allah tidak pernah memaksudkannya demikian. Karena
“sejak semula tidaklah demikian”. Begitu juga Allah tidak pernah memerintahkan adanya
pernikahan kembali dari pasangan yang bercerai. Dalam hal ini bukan berarti bahwa Dia tidak
pernah mengizinkannya6. Maka pernikahan kembali dengan orang yang sudah bercerai tidak
Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Kor.7 mengatakan bahwa perceraian dan pernikahan kembali
tidak mungkin dilakukan oleh orang yang ingin menyenangkan hati Tuhan. “Paulus berkata
tentang kaum isteri: “Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai
dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya”. (ayat 11)”7. Jadi, baik
perceraian dan pernikahan kembali tidak pernah diizinkan Allah oleh orang-orang yang sudah
6
Norman L. Gersler, Etika Kristen Pilihan & Isu Kontemporer (Malang: Literatur SAAT, 2010), 366.
7
Theodore H. Epp, Pernikahan, Perceraian, dan Pernikahan Kembali. ( t.p. Memory press t.th.), 79.