Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.

A
DENGAN KASUS TB PARU DI RUANG ANAK RSUD SUDONO MADIUN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners Departemen Anak

Oleh:

SINTIA INDARWATI
NIM. 202006037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini disusun untuk memenuhi Tugas
Praktik Profesi Ners Prodi Ners STIKES Karya Husada Kediri :
Nama : Sintia Indarwati
NIM : 202006037
Judul : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada TB PARU

Blitar, 2 Mei 2021

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Mahasiswa

(Melani Kaetika Sari,S.Kep.,Ns,M.Kep) (Sintia indarwati)


LEMBAR PENILAIAN PRAKTIK PRAKTEK PROFESI NERS

Nama Mahasiswa : Sintia Indarwati


NIM : 202006037
Periode Praktik : Keperawatan Anak
Tanggal : 19 April – 8 Mei 2021
Judul Askep : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Kasus TB
PARU
Nilai Supervisi Askep
TOTAL NILAI
NILAI
NO ELEMEN 1+2+3 TT Preceptor
(0-100)
3
1. Laporan Pendahuluan (LP)

2. Asuhan Keperawatan
( ………………………)
3. Responsi Nama Terang

Nilai Supervisi Skill/SOP


TOTAL NILAI
NILAI
NO ELEMEN 1+2 TT Preceptor
(0-100)
2
1. Penguasaan Konsep Perasat/Skill
( ………………………)
2. Responsi Prosedur/ SOP Perasat Nama Terang
LAPORAN PENDAHULUAN

TB PARU

1.1 Konsep TB Paru

1.1.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri tahan asam–alkohol (acid-alcohol- fast

bacillus/AAFB) Mycobacterium tuberculosis terutama mengenai paru, kelenjar

getah bening dan usus. Ditemukan beberapa tanda penyakit yang beragam

disertai sensitivitas pasien terhadap tuberculin (Rubenstein David, 2008).

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan

mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh

organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pencernaan (GI)

dan luka terbuka pada kulit. Terapi paling banyak melalui inhalasi droplet yang

berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut (Nurarif & Kusuma, 2016).

Penularan tuberkulosis yaitu pasien TB BTA (bakteri tahan asam) positif

melalui percik renik dahak yang dikeluarkan nya. TB dengan BTA negatif juga

masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB meskipun dengan

tingkat penularan yang kecil (Kemenkes RI, 2015).

1.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi menurut American Thoracic Society:

1. Kategori 0: tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, Riwayat kontak

negative, tes tuberculin negative.

2. Kategori 1: terpajan tuberculosis tapi tidak terbukti ada infeksi, Riwayat

kontak positif, tes tuberculin ngeatif.

3. Kategori 2: terinfeksti tuberculosis tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif,

radiologis dan sputum negative.


4. Kategori 3: terinfeksi tuberculosis

dan sakit. (Nurarif & Kusuma, 2016).

Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik,

dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan

salah satu faktor determinan untuk menentukan strategi terapi. Sesuai dengan

program Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulan Tuberkulosis)

klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut:

1. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:

1) Dengan atau tanpa gejala klinik.

2) BTA positif

Mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali

disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik

positif 1 kali.

3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.

2. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:

1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif.

2) BTA negatif, biakan negatif tapi radiologik positif.

3. Bekas TB Paru dengan kriteria:

1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negative.

2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif,

menunjukkan serial foto yang tidak berubah.

4) Ada riwayat pengobatan OAT yang lebih adekuat (lebih

mendukung).

(Wahid & Imam, 2013).


1.1.3 Etiologi

Penyebab tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak

berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar

ultraviolet. Ada 2 macam micobakteria tuberculosis yaitu:

1. Tipe Bovin

Berada dalam susu sapi yang menderota mastitis tuberculosis usus.

2. Tipe Human

Bisa berada di bercak ludah (droplet), udara yang berasal dari penderita TB,

dan orang yang rentan terinfeksi bila menghirupnya (Nurarif & Kusuma,

2016).

Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka

secara tak sengaja keluarlah droplet atau nuklei dan jatuh ke tanah, lantai,

atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang

panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke

udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis

yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini

terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri

tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012). Selama kuman TB masuk kedalam

tubuh manusia melalui pernapasan,

kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian

tubuh lainya (Zulkoni Akhsin, 2010).

Menurut Smeltzer & Bare (2015), Individu yang beresiko

tinggi untuk tertular virus tuberculosis adalah:

1. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.


2. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan

kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka

yang terinfeksi dengan HIV).

3. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.

4. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma;

tahanan; etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah

usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 sampai

44 tahun).

5. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

(misalkan diabetes, gagal ginjal kronis, penyimpangan gizi).

6. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.

1.1.4 Manifestasi Klinis

1. Batuk berdahak ≥ 3 minggu, dengan atau tanpa wheez.

2. Sesak nafas

Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah

luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi

pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.

3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas.

Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan

merupakan gejala spesifik pada TB anak apabila tidak disertai

dengan gejala-gejala sistemik lainnya.

4. Berkurangnya BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas

atau BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik.

5. Riwayat kontak dengan pasien TB Paru dewasa.


6. Malaise, anak kurang aktif bermain.

7. Penurunan nafsu makan.

8. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit.

(Nurarif & Kusuma, 2016; Arif, Mutaqqin, 2012; Depkes RI, 2013).

1.1.5 Patofisiologi

Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Micobacterium tuberculosis.

Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan

terlihat bertumpuk. Perkembangan Micobacterium tuberculosis juga dapat

menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga

menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal,

tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru- paru (lobus atas).

Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan

reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan

bakteri), sementara limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan (melisisikan)

basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya

eksudat dalam alveoli.

Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2- 10 minggu setelah terpapar

bakteri. Interaksi antara Mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan

tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang

disebut granuloma. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa

jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.

Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang

selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing

caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan

kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif (Somantri, 2008).


1.1.6 WOC
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium darah rutin

LED normal/meingkat, limfositosis.

2. Pemeriksaan sputum BTA

Untuk memastikan diagnostic TB Paru, namun pemeriksaan ini

tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat

didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.

3. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat

histogen staining untuk menentukan adanya IgG spesifik

terhadap basil TB.

4. Tes Mantoux/Tuberculin

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat

histogen staining untuk menentukan adanya IgG spesifik

terhadap basil TB.

5. Teknik polymerase chain reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam

meskipun hanya satu mikroorganisme dalam specimen juga

dapat mendeteksi adanya resistensi.

6. Becton Dickinson diagnostic instrument sistem (BACTEC)

Deteksi growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari

metabolisme asam lemak oleh mikobacterium tuberculosis.

7. MYCODOT

Deteksi antibody memakai antigen lipoarabinomannan yang


direkatkan pada suatu alat berberntuk seperti sisir plastic,

kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai, sehingga warna

sisir akan berubah.

8. Pemeriksaan radiologi: rontgen thoras PA dan

lateral Gambaran foto thorax yang menunjang

diagnosis TB Paru:

1) Bayangan lesi terletak di lapang paru atas atau segmen

apical lobus bawah.

2) Bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular).

3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda.

4) Kelainan bilateral, terutama di lapang atas paru.

5) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.

6) Bayangan millie (Nurarif & Kusuma, 2016).

1.1.8 Penatalaksanaan

Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif

(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan). Paduan obat yang

digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

1. Obat Anti Tuberculosis (OAT)

1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

a) Rimfaspisin (R)

Dosis 10 mg/kgBB, maksimal 600 mg 2-3 x/minggu atau

BB > 60 kg: 600 mg

BB 40-60 kg: 450 mg

BB < 40 kg: 300 mg

Dosis intermiten 600 mg/kali


b) INH/Isoniazid (H)

Dosis 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgBB 3 kali

seminggu, 15 mg/kgBB 2 kali seminggu atau 300 mg/hari.


c) Pyrazinamide (Z)

Dosis fase intensif 25 mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3 kali

seminggu. 50 mg/kgBB 2 kali seminggu atau

BB > 60 kg: 1500 mg

BB 40-60 kg: 1000 mg

BB < 40 mg: 750 mg

d) Streptomisin (S)

Dosis 15

mg/kgBB atau

BB > 60 kg:

1000 mg

BB 40-60 kg: 750 mg

BB < 40 kg: sesuai BB

e) Etambutol (E)

Dosis fase intensif 20 mg/kgBB, fase lanjutan 15

mg/kgBB, 30 mg/kgBB 3x seminggu, 45 mg/kgBB 2x

seminggu atau

BB > 60 kg: 1500 mg

BB 40-60 kg: 1000 mg

BB < 40 mg: 750 mg

Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali

2) Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination),

kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:


a) 4 obat antituberculosis dalam 1 tablet, yaitu rifampisin

150 mg, isoniazid 75 mg, pyrazinamide 400 mg, dan

etambutol 275 mg.

b) 3 obat antituberculosis dalam 1 tablet, yaitu rifampisin

150 mg, isoniazid 75 mg, dan pyrazinamide 400 mg.

c) Kombinasi dosis tetap rekomendasi WHO (1999) untuk

kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4

tablet sehari selama fase intensif. Sedangkan fase

lanjutan dapat menggunakan komninasi dosis 2 obat

antituberculosis seperti yang selama ini telah digunakan

sesuai dengan pedoman pengobatan.

3) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

Kanamisin, kuinolon, makrolid, amoksilin + asam

klavulanat, derivate rifampisisn dan INH.

2. Tindakan Invasive

1) Bronkoskopi

2) Punksi pleura

3) Pemasangan WSD (Water Sealed Drainase)

3. Kriteria Sembuh

1) BTA mikroskopik negative 2x (pada akhir fase intensif

dan akhir pengobatan).

2) Pada foto thorax, gambaran radiologic serial tetap sama/perbaikan.

3) Bila ada biakan, maka kriteria dtambah biakan

negatif. (Nurarif & Kusuma, 2016).


1.1.9 Komplikasi

1. Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan nafas.

2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.


3. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau

reaktif) pada paru.

4. Pneumothorak (adanya udara dalam rongga pleura)

spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

5. Penyebaran infeksi keorgan lain seperti otak, tulang,

persendian, ginjal, dan sebagainya.

6. Insufisiensi kardiopulmonar (Chardio Pulmonary Insuffciency)

(Wahid & Imam, 2013).

1.2 Konsep Asuhan Keperawatan TB Paru Pada Anak

1.2.1 Pengkajian

1. Data pasien

Penyakit tuberkulosis (TB) biasanya banyak ditemukan pada pasien yang

tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi (Soemantri, 2008).

2. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama

Batuk, nafsu makan menurun, berat badan tidak naik dua bulan terakhir.

2) Riwayat Kesehatan sekarang

Batuk, nafsu makan menurun, berat badan tidak naik dua bulan terakhir.

Klien sering demam, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa ada.


3) Riwayat Kesehatan dahulu

a) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.


b) Pernah berobat tetapi tidak sembuh.

c) Pernah berobat tetapi tidak teratur.

d) Riwayat kontak dengan penderita TB paru.

e) Daya tahan tubuh yang menurun.

f) Riwayat putus OAT (Somantri Irman, 2012).

4) Riwayat Kesehatan keluarga

Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita TB

paru.Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti

Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya (Somantri Irman,

2012).

5) Riwayat pengobatan sebelumnya

a) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan

dengan sakitnya.

b) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.

c) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan

dengan penyakitnya.

Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir

(Somantri Irman, 2012).

3. Aktivitas atau istirahat

Gejala: kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, kesulitan tidur pada

malam hari, menggigil atau berkeringat.

Tanda: takikardia, kelelahan otot, nyeri dan sesak (tahap

lanjut) (Taylor & Ralph, 2013).


4. Makanan atau cairan

Gejala: kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna,

penurunan berat badan.

Tanda: turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, kehilangan

otot/hilang lemak subkutan (Taylor & Ralph, 2013).

5. Nyeri atau kenyamanan

Gejala: nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

Tanda: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,

gelisah (Taylor & Ralph, 2013).

6. Keamanan

Gejala: adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS,

kanker. Tes positif. Tanda: demam rendah atau sedikit panas

akut (Taylor & Ralph, 2013).

7. Interaksi sosial

Gejala: perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular,

perubahan bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas

fisik untuk melaksanakan peran (Taylor & Ralph, 2013).

8. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum: biasanya KU sedang atau buruk.

TD : Normal (kadang rendah karena kurang

istirahat)

Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat

Pernafasan : biasanya nafas pasien meningkat.

Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam

hari. Suhu mungkin tinggi atau tidak teratur. Sering kali tidak
ada demam.

1) Kepala

Inspeksi: Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak

meringis, konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, hidung

tidak sianosis, mukosa bibir kering, biasanya adanya

pergeseran trakea.

2) Thorax

Inpeksi: batuk produktif atau tidak produktif, kadang

terlihat retraksi interkosta dan tarikan dinding dada,

biasanya pasien kesulitan saat inspirasi.

Palpasi: Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah,

pengembangan pernafasan tidak simetris (efusi pleura).

Perkusi: Biasanya saat diperkusi terdapat

suara pekak. Auskultasi: Biasanya terdapat

ronki

3) Abdomen

Inspeksi: biasanya tampak simetris.

Palpasi: biasanya tidak ada

pembesaran hepar. Perkusi: biasanya

terdapat suara tympani.

Auskultasi: bising usus dapat meningkat karena tidak nafsu makan.

4) Ekstremitas

Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat,

tidak ada edema (Somantri Irman, 2012).

9. Pemeriksaan penunjang
1) Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap

akhir penyakit.

2) Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi

10-15 mm terjadi 48-72 jam).

3) Foto thorax:

Infiltnasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap dini

tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas

tidak jelas, pada kavitas bayangan, berupa cincin; pada

klasifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan

densitas tinggi.

4) Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atatu

kerusakan paru karena TB paru.

5) DL: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).

6) Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital

menurun (Somantri Irman, 2012).

1.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan nafas tidak efektif b.d spasme jalan napas

(ketidakmampuan mengeluarkan sekresi pada jalan napas),

sekresi yang tertahan, proses infeksi.

2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi, kerusakan membrane alveolus-kapiler.

3. Deficit nutrisi b.d faktor psikologis (keengganan untuk

makan), intake nutrisi kurang adekuat.

4. Hipertermi b.d proses penyakit (infeksi, peradangan/inflamasi).

5. Risiko infeksi b.d penyebaran/penularan penyakit.


6. Gangguan

Pola tidur. (Tim

Pokja SDKI,

2016).

1.2.3 Rencana Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang

dikerjakan oleh perawat didasarkan pada pengetahuan dan

penilaian klinis untuk mencapai tujuan luaran yang diharapkan

(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018; Tim Pokja SLKI DPP PPNI,

2018).
Diagnosa
No. SLKI SIKI
Keperawatan
1. Bersihan nafas tidak Tujuan: setelah Manajemen Jalan
efektif b.d spasme dilakukan Napas
jalan napas Tindakan Observasi:
(ketidakmampuan keperawatan, 1. Monitor pola
mengeluarkan sekresi diharapkan napas
pada jalan napas), bersihan jalan (frekuensi,
sekresi yang tertahan, napas meningkat. kedalaman,
proses infeksi. usaha napas).
Kriteria hasil: 2. Monitor bunyi
(Bersihan Jalan napas
Napas) tambahan
1. Batuk efektif (wheezing,
meningkat. ronkhi).
2. Produksi 3. Monitor
sputum sputum
menurun. (warna,
3. Wheezing jumlah,
menurun aroma).
(berkurang Terapeutik:
atau tidak 4. Posisikan semi
ada). fowler atau
4. Dispnea fowler.
menurun. 5. Berikan
5. Ortopnea minum hangat.
menurun. 6. Lakukan
6. Sianosis fisioterapi
menurun dada, bila
(tidak perlu.
mengalami 7. Berikan
sianosis). oksigen, jika
7. Frekuensi perlu.
napas Edukasi:
membaik (20- 8. Anjurkan
25 x/menit). teknik batuk
8. Pola napas efektif.
membaik Kolaborasi:
(regular).
9. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
jika perlu.
2. Gangguan pertukaran Tujuan: setelah Pemantauan
gas b.d dilakukan Respirasi
ketidakseimbangan Tindakan Observasi:
ventilasi-perfusi, keperawatan, 1. Monitor
kerusakan membrane diharapkan frekuensi,
alveolus-kapiler. pertukaran gas
meningkat. irama,
kedalaman,
Kriteria hasil: dan upaya
(Pertukaran Gas) napas.
1. Tingkat 2. Monitor pola
kesadaran napas (seperti
meningkat bradypnea,
(CM, GCS: 4, takipnea,
5, 6). kusmsmaul,
2. Dispnea sheyne-
menurun
stokes).
(tidak
3. Monitor
mengalami
kemampuan
sesak).
3. Bunyi napas batuk efektif.
tambahan 4. Monitor
menurun adanya
(tidak ada produksi
bunyi napas sputum.
tambahan). 5. Palpasi
4. Napas cuping kesimetrisan
hidung ekspansi paru.
menurun 6. Aukultasi
(tidak ada bunyi napas.
PCH). 7. Monitor
5. PCO2 saturasi
membaik (N: oksigen.
35-45 mmHg). 8. Minotr nilai
6. PO2 membaik AGD.
(N: 80-100 9. Monitor hasil
mmHg). x-ray thorax.
7. pH arteri Terapeutik:
membaik (N: 10. Atur interval
7,35-7,45). pemantauan
8. Sianonis respirasi sesuai
membaik dengan kondisi
pasien.
(tidak ada 11. Dokumentasi
sianosis). hasil
9. Pola napas pemantauan.
membaik Edukasi:
(regular). 12. Jelaskan
10. Warna kulit tujuan dan
membaik. prosedur
pemantauan.
13. Informasikan
hasil
pemantauan,
jika perlu.
3. Deficit nutrisi b.d Tujuan: setelah Manajemen Nutrisi
faktor psikologis dilakukan Observasi:
(keengganan untuk Tindakan 1. Identifikasi
makan), intake nutrisi keperawatan, status nutrisi.
kurang adekuat. diharapkan status 2. Identifikasi
nutrisi membaik. perlunya
penggunaan
Kriteria hasil: selang
(Status Nutrisi) nasogastric.
1. BB normal 3. Monitor
(menurut asupan
perhitungan Z makanan.
score). 4. Monitor BB.
2. TB normal 5. Monitor lila.
(menurut Terapeutik:
perhitungan Z 6. Berikan
score). makanan
3. Membrane dengan suhu
mukosa yang sesuai.
lembab, Kolaborasi:
kemerahan. 7. Kolaborasi
4. Pucat (-). dengan ahli
5. Kesulitan gizi untuk
makan menentukan
menurun. jenis nutrient
6. Pola makan yang
membaik. dibutuhkan.
7. Lila normal
(N: 17 cm).
4. Hipertermi b.d proses Tujuan: setelah Manajemen
penyakit (infeksi, dilakukan Hipertermia
peradangan/inflamasi). Tindakan Observasi:
keperawatan, 1. Identifikasi
diharapkan penyebab
termoregulasi hipertermia.
membaik.
Kriteria Hasil: 2. Monitor suhu
(Termoregulasi) tubuh.
1. Menggigil 3. Monitor kadar
menurun elektrolit.
(tidak 4. Monitor
menggigil). keluaran urine.
2. Kulit merah Terapeutik:
menurun (kulit 5. Longgarkan
memerah tidak atau lepaskan
ada). pakaian.
3. Pucat menurun 6. Berikan cairan
(tidak pucat). oral.
4. Takikardi 7. Beri kompres
menurun (nadi hangat (pada
normal: 95- dahi/ leher/
140 x/menit). aksila).
5. Takipnea Edukasi:
menurun 8. Anjurkan tirah
(pernapasan baring.
normal: 20-25 9. Anjurkan
x/menit). menggunakan
6. Dasar kuku pakaian atau
sianosis selimut yang
menurun tipis.
(dasar kuku Kolaborasi:
tidak ada 10. Kolaborasi
sianosis). pemberian
7. Suhu tubuh cairan dan
membaik elektrolit
(35,5-37,5oC). intravena, jika
8. Suhu kulit perlu.
membaik.
9. Pengisian
kapiler
membaik
(CRT<2s).
10. Tekanan darah
membaik
(sistolik: 80-
115 mmHg,
diastolic: 50-
75 mmHg).

1.3 Konsep Tumbuh Kembang


1.3.1 Definisi Tumbuh Kembang

Pertumbuhan (growth) adalah suatu proses alamiah yang terjadi

pada individu,yaitu secara bertahap,berat dan tinggi anak semakin

bertambah dan secara simultan mengalami peningkatan untuk

berfungsi baik secara kognitif, psikososial maupun spiritual

(Supartini, 2012).

Perkembangan (development) adalah perubahan secara

berangsurangsur dan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh,


meningkatkan dan meluasnya kapasitas seseorang melalui

pertumbuhan, kematangan atau kedewasaan (maturation), dan

pembelajaran (learning). Perkembangan manusia berjalan secara

progresif, sistematis dan berkesinambungan dengan perkembangan

di waktu yang lalu. Perkembangan terjadi perubahan dalam bentuk

dan fungsi kematangan organ mulai dari aspek fisik, intelektual,

dan emosional. Perkembangan secara fisik yang terjadi adalah

dengan bertambahnya sempurna fungsi organ. Perkembangan

intelektual ditunjukan dengan kemampuan secara simbol maupun

abstrak seperti berbicara, bermain, berhitung. Perkembangan

emosional dapat dilihat dari perilaku sosial lingkungan anak

(Supartini, 2012).

1.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang

Pola pertumbuhan dan perkembangan secara normal antara anak

yang satu dengan yang lainnya pada akhirnya tidak selalu sama,

karena dipengaruhi oleh interaksi banyak faktor. Menurut

Soetjiningsih (2012), faktor yang mempengaruhi tumbuh

kembang, yaitu:

1. Genetika

1) Perbedaan ras, etnis, atau bangsa.


2) Keluarga, ada keluarga yang cenderung mempunyai

tubuh gemuk atau perawakan pendek.

3) Umur merupakan tahap yang mengalami pertumbuhan

cepat dibandingkan dengan masa lainnya.

4) Jenis kelamin, wanita akan mengalami pubertas lebih

dahulu dibandingkan laki-laki.


5) Kelainan kromosom, dapat menyebabkan kegagalan

pertumbuhan, misalnya sindrom down.

2. Pengaruh hormone

Pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa prenatal, yaitu saat

janin berumur empat bulan. Pada saat itu terjadi pertumbuhan

yang cepat. Hormon yang berpengaruh terutama adalah

hormon pertumbuhan somatotropin yang dikeluarkan oleh

kelenjar pituitari. Selain itu kelenjar tiroid juga menghasilkan

kelenjar tiroksin yang berguna untuk metabolisme serta

maturasi tulang, gigi, dan otak.

3. Faktor lingkungan

4. Faktor prenatal

1) Gizi, nutrisi ibu hamil akan mempengaruhi pertumbuhan

janin, terutama selama trimester akhir kehamilan.

2) Mekanis, posisi janin yang abnormal dalam kandungan

dapat menyebabkan kelainan conginetal, misalnya club

foot.

3) Toksin, zat kimia, radiasi.

4) Kelainan endokrin.

5) Infeksi TORCH atau penyakit menular seks.


6) Kelainan imunologi

1.3.3 Tahap-Tahap Tumbuh Kembang

1. Neonatus (bayi lahir sampai usia 0-28 hari)

Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi

perubahan sirkulasi darah serta organ-organ tubuh mulai

berfungsi. Saat lahir berat badan normal dari ibu yang sehat
berkisar 3000 gr - 3500 gr, tinggi badan sekitar 50 cm, berat

otak sekitar 350 gram. Pada sepuluh hari pertama biasanya

terdapat penurunan berat badan sepuluh persen dari berat

badan lahir, kemudian berangsur-angsur mengalami kenaikan.

Dalam tahap neonatus ini bayi memiliki kemungkinan yang

sangat besar tumbuh dan kembang sesuai dengan tindakan

yang dilakukan oleh orang tuanya. Sedangkan perawat

membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan tumbuh

kembang bayi yang masih belum diketahui oleh orang tuanya.

2. Bayi (1 bulan-1 tahun)

Dalam tahap ini bayi memiliki kemajuan tumbuh kembang

yang sangat pesat. Bayi pada usia 1-3 bulan mulai bisa

mengangkat kepala, mengikuti objek pada mata, melihat

dengan tersenyum dll. Bayi pada usia 3-6 bulan mulai bisa

mengangkat kepala 90°, mulai bisa mencari benda-benda yang

ada di depan mata dll. Bayi usia 6-9 bulan mulai bisa duduk

tanpa di topang, bisa tengkurap dan berbalik sendiri bahkan

bisa berpartisipasi dalam bertepuk tangan dll. Bayi usia 9-12

bulan mulai bisa berdiri sendiri tanpa dibantu, berjalan dengan

dituntun, menirukan suara dll.

3. Todler (1 tahun-3 tahun)

Anak usia toddler mempunyai sistem kontrol tubuh yang mulai

membaik, hampir setiap organ mengalami maturitas maksimal.

Pengalaman dan perilaku mereka mulai dipengaruhi oleh

lingkungan diluar keluarga terdekat, mereka mulai berinteraksi


dengan teman, mengembangkan perilaku/moral secara

simbolis, kemampuan berbahasa yang minimal. Sebagai

sumber pelayanan kesehatan, perawat berkepentingan untuk

mengetahui konsep tumbuh kembang anak usia toddler guna

memberikan asuhan keperawatan anak dengan optimal.

4. Pra Sekolah (3 tahun-6 tahun)

Anak usia pra sekolah memiliki karakteristik tersendiri dalam

segi pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal

pertumbuhan, secara fisik anak pada tahun ketiga terjadi

penambahan BB 1,8 s/d 2,7 kg dan rata-rata BB 14,6

kg.penambahan TB berkisar antara 7,5 cm dan TB rata-rata 95

cm. Kecepatan pertumbuhan pada tahun keempat hampir sama

dengan tahun sebelumnya. BB mencapai 16,7 kg dan TB 103

cm sehingga TB sudah mencapai dua kali lipat dari TB saat

lahir. Frekuensi nadi dan pernafasan turun sedikit demi sedikit.

Pertumbuhan pada tahun kelima sampai akhir masa pra

sekolah BB rata- rata mencapai 18,7 kg dan TB 110 cm, yang

mulai ada perubahan adalah pada gigi yaitu kemungkinan

munculnya gigi permanen sudah dapat terjadi.

5. Usia Sekolah (6 tahun-12 tahun)

Kelompok usia sekolah sangat dipengaruhi oleh teman

sebayanya. Perkembangan fisik, psikososial, mental anak

meningkat. Perawat disini

membantu memberikan waktu dan energi agar anak dapat

mengejar hoby yang sesuai dengan bakat yang ada dalam diri
anak tersebut.

6. Remaja (12 tahun–18/20 tahun) Perawat membantu para

remaja untuk pengendalian emosi dan pengendalian koping

pada jiwa mereka saat ini dalam menghadapi konflik (Adriana,

2013).

1.3.4 Tumbuh Kembang Anak Usia 5 Tahun

Umur 60-72
bulan
1. Berjalan lurus.
2. Berdiri dengan 1 kaki selama 11 detik.
3. Menggambar dengan 6 bagian, menggambar orang lengkap.
4. Menangkap bola kecil dengan kedua tangan
5. Menggambar segi empat.
6. Mengerti arti lawan kata.
7. Mengerti pembicaraan yang menggunakan 7 kata atau lebih.
8. Menjawab pertanyaan tentang benda terbuat dari apa dan
kegunaannya.
9. Mengenal angka, bisa menghitung angka 5-10.
10. Mengenal warna.
11. Mengungkapkan simoati.
12. Mengikuti aturan permainan.
13. Berpakaian sendiri tanpa
dibantu. Kemenkes RI, 2016.

1.4 Konsep Imunisasi

1.4.1 Definisi

imunisasi adalah suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh

seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat

orang tersebut terpapar dengan penyakit tidak akan sakit atau hanya akan

mengalami sakit ringan (Depkes RI, 2013.)

1.4.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan dari pemberian imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit menular,

dengan diberikan imunisasi anak akan menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian pada anak dan tubuh

tidak akan mudah terserang penyakit yang berbahaya dan menular.

Untuk dapat tercapainya target Universal Child Immunization yaitu

cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di

100% desa atau kelurahan, selain itu agar tercapainya Eliminasi Tetanus

Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per

1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) (Mulyani & Rinawati, 2018).

1.4.3 Manfaat Imunisasi

Ada 3 manfaat imunisasi bagi anak, keluarga dan negara. Manfaat

imunisasi bagi anak adalah untuk mencegah penderitaan yang

disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian,

sedangkan manfaat imunisasi bagi keluarga yaitu dapat

menghilangkan kecemasan dan mencegah pengeluaran biaya

pengobatan yang tinggi jika anak sakit dan bagi bangsa sendiri

manfaat dari imunisasi yaitu dapat memperbaiki tingkat kesehatan

dan mampu menciptakan generasi penerus bangsa yang sehat dan

kuat (Dompas, 2014).

1.4.4 Jenis-Jenis Imunisasi

1. Imunisasi Aktif

Imunisasi aktif adalah pemberian bibit penyakit yang telah

dilemahkan (vaksin) agar sistem kekebalan atau imun tubuh

dapat merespon secara spesifik dan memberikan suatu ingatan

terhadap antigen. Sehingga bila penyakit muncul maka tubuh

dapat mengenali dan meresponnya. Contoh dari imunisasi aktif

adalah imunisasi polio atau campak. Dalam imunisasi aktif

terdapat beberapa unsur-unsur vaksin yaitu:


1) Vaksin bisa berupa organisme yang secara keseluruan

dimatikan, ekstoksin yang didetoksifikasi saja atau

endotoksin yang terkait pada protein pembawa seperti

polisakarida dan vaksin juga dapat

berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme dari

suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan

bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.

2) Cairan pelarut dapat berupa air steril atau cairan kultur

jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen,

misalnya antigen telur, protein serum, bahan kultur sel.

3) Pengawet, stabilisator atau antibiotic merupakan zat yang

digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau

menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba.

Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa atau

antibiotic yang biasa digunakan.

4) Adjuvan yang terdiri dari garam almunium yang berfungsi

meningkatkan system imun dari antigen, ketika antigen

terpapar dengan antibody tubuh, antigen dapat melakukan

perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan

maka semakin tinggi peningkatan antibody tubuh.

Imunisasi aktif akan menjadikan tubuh anak membuat sendiri

zat anti dari suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya

rangsangan virus yang telah dilemahkan pada imunisasi polio

dan campak. Setelah rangsangan ini kadar zat anti dalam tubuh

anak akan meningkat. Sehingga anak akan mempunyai imun


yang kebal (Mulyani & Rinawati, 2018).

2. Imunisasi Pasif

Imunisasi Pasif adalah suatu proses peningkatan kekebalan

tubuh dengan cara pemberian zat immunoglobulin yaitu zat

yang dihasilkan

melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma

manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui

plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk

mengatasi mikroba yang sudah masuk di dalam tubuh yang

terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah bayi yang baru lahir

dimana bayi tersebut menerima sebagai antibody dari ibunya

melalui darah placenta selama masa kandungan, misalnya

antibody terhadap campak (Mulyani & Rinawati, 2018).

1.4.5 Imunisasi Dasar Pada Bayi/Anak

Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan

kematian bayi dilakukan program imunisasi baik rutin maupun

program tambahan, Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

(PD3I) adalah TBC, difteri, polio, hepatitis B, campak, pertusis

dan tetanus. Bayi seharusnya mendapatkan imunisasi dasar

lengkap yang terdiri dari BCG 1 kali, DPT- HB 3 kali, Polio 4 kali,

HB Uniject 1 kali dan Campak 1 kali (Mulyani & Rinawati, 2018).

1. Imunisasi BCG

Menurut Mulyani & Rinawati (2018), vaksin BCG (Bacillus

Celmette- Guerin) diberikan untuk mencegah terjadinya

penyakit TBC (Tuberkulosis). Penyakit ini disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium Tuberculosis Complex. Penyakit ini

pada manusia akan menyerang saluran pernafasan yang lebih

di kenal dengan istilah TB paru. Penyebab penyakit ini

biasanya ditularkan melalui batuk seseorang. Imunisasi BCG

tidak mencegah teradinya infeksi TB tetapi menggurangi

resiko untuk terkena TB berat seperti meningitis TB atau TB

miliar.

Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi

baru lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada

umur 0-2 bulan. Hasil yang memuaskan akan terlihat apabila

diberikan menjelang umur 2 bulan. Imunisasi BCG cukup

diberikan satu kali saja. Pada anak yang berumur lebih dari 2

bulan, di anjurkan untuk melakukan uji mantoux. Bila

imunisasi BCG berhasil, setelah beberapa minggu di tempat

suntikan akan terdapat suatu benjolan kecil. Imunisasi BCG

mempunyai bentuk kemasan dalam bentuk ampul, bentuk

kering dan 1 box berisi 10 ampul vaksin. Sebelum ampul BCG

disuntikan harus dilarutkan terlebih dahulu dengan

menggunakan pelarut air steril sebanyak 4 ml. Dosis 0,05 cc

untuk bayi dan 0,1 cc untuk anak secara intracutan di daerah

lengan atas kanan.

2. Imunisasi Hepatitis B

Menurut Mulyani & Rinawati (2018), vaksin hepatitis B

diberikan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap

penyakit hepatitis B. Penyakit hepatitis B disebabkan oleh


virus yang telah mempengaruhi organ liver (hati). Pemberian

imunisasi hepatitis diberikan sebanyak 3 kali melalui injeksi

intramuscular. Imunisasi hepatitis berbentuk cair, terdapat

vaksin B-PID (Prefill Inection Device) yang diberikan sesaat

setelah lahir, dapat diberikan pada usia 0- 7 hari. Vaksin B-PID

disuntikan dengan 1 buah HB PID. Vaksin ini menggunakan

PID, merupakan jenis alat suntik yang hanya bisa digunakan

sekali pakai dan terisi vaksin dalam dosis tunggal dari pabrik.

Vaksin juga diberikan pada anak usia 12 tahun yang masa

kecilnya belum diberi vaksin hepatitis B. Selain itu,

orang yang berada dalam rentan resiko Hepatitis B sebaiknya

juga diberi vaksin ini.

3. Imunisasi Polio

Menurut Mulyani & Rinawati (2018), imunisasi polio

diberikan dengan tujuan untuk mencegah penyakit

poliomyelitis. Pemberian vaksin polio dapat di kombinasi

dengan vaksin DPT. Poliomyelitis adalah penyakit pada

susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus

yang berhubungan yaitu virus polio type 1,2 atau 3. Imunisasi

dasar polio diberikan melalui mulut sejak anak baru lahir atau

berumur beberapa hari dan selanjutnya vaksin pollio diberikan

sebanyak 4 kali. Pemberian vaksin polio dapat dilakukan

bersamaan dengan imunisasi BCG, imunisasi hepatitis B dan

imunisasi DPT.

4. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus)


Menurut Mulyani & Rinawati (2018), imunisasi DPT bertujuan

untuk mencegah 3 penyakit yaitu difteri, pertusis dan

tetanus. Pemberian vaksin DPT dilakukan tiga kali melalui

injeksi intramuscular dengan dosis 0,5cc. Vaksin DPT ini

diberikan mulai bayi berumur 2 bulan sampai 11 bulan dengan

interval 4 minggu. Imunisasi ini diberikan 3 kali karena

pemberian pertama antibody dalam tubuh masih sangat rendah,

pemberian kedua mulai meningkat dan pemberian ketiga

diperoleh antibody yang cukup.

5. Imunisasi Campak

Menurut Mulyani & Rinawati (2018), imunisasi campak

bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit

campak. Campak,

measles atau rubella adalah penyakit virus akut yang

disebabkan oleh virus campak. Dosis vaksin campak sebanyak

0,5 cc dan dilarutkan menggunakan pelarut air steril yang telah

tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut dan diberikan pada

anak usia 9 bulan. Kemudian di suntikkan secara sub kutan

walaupun demikian dapat diberikan secara intra muskular.

Tabel Jadwal Pemberian Imunisasi, Dosis, Cara, dan Tempat


Pemberian Imunisasi Pada Bayi.
Cara
Jenis Vaksin Umur Dosis Tempat Pemberian
Pemberian
Hepatitis B 0 bulan 0,5 cc IM Paha
BCG 0 bulan 0,05 cc IC Lengan kanan atas
Polio 1 0 bulan 2 tetes Oral Mulut
Polio 2 2 bulan
Polio 3 3 bulan
Polio 4 4 bulan
DPT 1/HB 1 2 bulan
DPT 2/HB 2 3 bulan 0,5 cc IM Paha
DPT 3/HB 3 4 bulan
Campak 9 bulan 0,5 cc SC Lengan kiri atas
(Sumber: Ditjen PPM & PI Dinkes RI, 2016).

1.5 Konsep Hospitalisasi

1.5.1 Definisi

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau

darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit

untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat

di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan

ketakutan dan cemas bagi anak (Supartini, 2009).

1.5.2 Stressor Hospitalisasi

a. Faktor lingkungan Rumah Sakit


Rumah Sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan

dilihat dari sudut pandang anak-anak. Suasana Rumah Sakit

yang tidak familiar, wajah-wajah yang asing, berbagai macam

bunyi dari mesin yang digunakan dan bau yang khas, dapat

menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak

ataupun orang tua.

b. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti

Berpisah dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang

familiar digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa

dilakukan dan juga berpisah dengan anggota keluarga lainnya.

c. Faktor kurangnya informasi

Kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya

ketika akan menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan

mengingat proses hospitalisasi merupakan hal yang tidak


umum di alami oleh semua orang. Proses ketika menjalani

hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan berbagai

prosedur yang dilakukan.

d. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian

Aturan ataupun rutinitas Rumah Sakit, prosedur medis yang

dijalani seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain

sebagainya sangat mengganggu kebebasan dan kemandirian

anak yang sedang dalam taraf perkembangan.

e. Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan

Kesehatan Semakin sering seorang anak berhubungan dengan

Rumah Sakit, maka semakin kecil bentuk kecemasan atau

malah sebaliknya.

f. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas Rumah Sakit.

Mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam

perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi (Pena & Juan,

2011).

1.5.3 Reaksi Hospitalisasi Sesuai Usia Tumbuh Kembang Pada Anak

1. Masa Bayi (0-1 Tahun)

1) Menangis kuat

2) Pergerakan tubuh yang banyak

2. Masa Toodler (2-3 Tahun)

Tahap protes, menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain.

3. Masa Pra Sekolah (3-6 Tahun)

1) Menolak makan

2) Sering bertanya
3) Menangis perlahan

4. Masa Sekolah (6-12 Tahun)

1) Meninggalkan lingkungan yang dicintai

2) Meninggalkan keluarga

5. Masa Remaja (12-18 Tahun)

1) Menolak perawatan

2) Tidak kooperatif

3) Bertanya-tanya

4) Menarik diri

1.5.4 Reaksi Orang Tua Pada Hospotalisasi Anak

1. Tidak percaya akan penyakit anak.

2. Marah, merasa bersalah karena tidak bisa merawat anak.

1.6 Konsep Bermain

1.6.1 Definisi Bermain

Bermain menurut Hughes, seorang ahli perkembangan anak dalam

bukunya children, play, and development, mengatakan bahwa

permainan merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan

bekerja. Suatu kegiatan bermain harus ada lima unsur di dalamnya

antara lain: Mempunyai tujuan yakni untuk mendapatkan

kepuasan, Memilih dengan bebas atas kehendak sendiri tidak ada

yang menyuruh ataupun memaksa, Menyenangkan dan

dapatmenikmati, Menghayal untuk mengembangkan daya

imajinatif dan kreativitas, Melakukan secara aktif dan standar

(Huges, 1999 dalam Ismail, 2006).

1.6.2 Pola Bermain pada Masa Anak-anak


1. Bermain dengan mainan

Pada permulaan masa awal kanak- kanak bermain dengan

mainan merupakan bentuk yang dominan. Minat bermain

dengan mainan mulai agak berkurang pada akhir awal masa

kanak- kanak pada saat anak tidak lagi dapat membayangkan

bahwa mainannya mempunyai sifat hidup.

2. Dramatisasi

Sekitar usia 3 tahun dramatisasi terdiri dari permainan dengan

meniru pengalaman-pengalaman hidup, kemudian anak-anak

bermain permainan pura- pura dengan temannya seperti polisi

dan perampok, penjaga toko, berdasarkan cerita- cerita yang

dibacakan kepada mereka atau bisa juga berdasarkan acara

filem dan televisi yang mereka lihat.

3. Konstruksi
Anak- anak mulai membuat bentuk- bentuk dengan balok

balok, pasir, lumpur, tanah liat, manik- manik, cat, pasta,

gunting, krayon, sebagian besar konstruk yang dibuat

merupakan tiruan dari apa yang dilihatnya dalam kehidupan

sehari- hari atau dari televisi. Menjelang berakhirnya

awalmasa kanak-kanak, anak-anak sering

menambahkan kreativitasnya kedalam konstruksi-konstruksi

yang dibuat berdasarkan pengamatan- pengamatannya dalam

kehidupan sehari- hari.

4. Permainan

Dalam tahun keempat anak mulai lebih mempunyai permainan


yang dimainkan Bersama dengan teman- teman sebayanya

dari pada dengan orang- orang dewasa. Permainan ini dapat

terdiri dari beberapa permainan dan melibatkan beberapa

peraturan. Permainan yang menguji ketrampilan adalah

melempar dan menangkap bola.

5. Membaca

Anak- anak senang dibacakan dan melihat gambar dari buku,

yang sangat menarik adalah dongeng- dongeng dan nyanyian

anak- anak, cerita tentang hewan, dan kejadian sehari- hari.

6. Film, radio, dan televisi

Anak- anak jarang melihat bioskop namun anak- anak suka

melihat filem kartun, filem tentang binatang, dan filem rumah

tentang anggota keluarga. Anak- anak juga senang

mendengarkan radio tetapi lebih senang melihat televisi. Ia

lebih suka melihat acara anak- anak yang lebih besar dari pada

usia prasekolah (Hurlock, 2002).

1.6.3 Prinsip Bermain pada Anak di RS


1. Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan perawatan yang

sedang dijalankan.

2. Tidak membutuhkan basnyak energi.

3. Harus mempertimbangkan keamanan anak.

4. Dilakukan pada kelompok umur yang sama.

5. Melibatkan orang tua.

Bila keadaan anak masih lemah, maka gunakan bentuk

permainan pasif (Rohmah, 2018).

1.6.4 Permainan Untuk Anak Usia 5 tahun


1. Membuat perahu dari kertas

2. Melipat kertas origami menjadi bentuk katak berbicara.

3. Memotong dan menempel sesuai pola.

4. Menggambar dan mewarnai

5. Melipat kertas origami bentuk belalang.

6. Mencocokkan angka dan huruf alfabet

7. Mencocokkan warna

8. Bermain puzzle

9. Bermain kereta dorong

10. Melompat

11. Meronce (membuat gelang, kalung,

gantungan kunci) (Rohmah, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

Adriana. D. 2013. Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta:
Selemba Medika.
Dinarti, & Muryanti, Y. 2017. Bahan Ajar Keperawatan: Dokumentasi
Keperawatan. 1– 172.
Ditjen PPM & PL Dan Pusdiklat SDM Kesehatan Depkes RI. 2016. Modul Pelatihan
Pengolahan Rantai Vaksin Program Imunisasi.
Dompas, R. 2014. Gambaran Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi Usia 0-12
Bulan. Jurnal Ilmiah Bidan, 2(2).
Huges. 1999 (dalam Ismail, Andang. 2006). Education Games Menjadi Cerdas Dan
Ceria Dengan Permainan Edukatif. Yogyakarta: Pilar Media.
Hurlock. 2002. Psikologi Perkembangan (ed.5). Jakarta: Erlangga.
Kartika, Sari. 2015. Keperawatan Kesehatan: CMHM Basic Course. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pedoman Pelaksanaan: Stimulasi, Deteksi, Dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Depkes RI.
Lestari, Santu Ayu. 2016. Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Masalah Risiko
Kerusakan Fungsi Kardiovaskular Melalui Swedish Massage. KTI (Ners).
Published. FIP: Uiversitas Indonesia.
Mulyani, NS., & Rinawati, M. 2018. Imunisasi Untuk Anak. Jogjakarta: Nuha Medika.
Mutaqqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis:
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus
(Jilid 2). Jogjakarta: Medication Publishing.
Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medical Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter dan Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 (Ed. 7). Jakarta:
Salemba Medika.
Price A. S & Wilson M. L, 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(Ed.6). Jakarta: EGC.
Rohmah, Nikmatur. 2018. Terapi Bermain. Jember: LPPM Universitas
Muhammdadiyah Jember.
Rubenstein, David. 2008. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, S.C., and Bare, B.G. 2015. Medical Surgical Nursing (Vol 1). LWW.
Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar
I Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagungseto.

Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Supartini. 2009. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta. EGC. Taylor
M. Cyntia, Ralhp Sparks Sheila. 2013. DiagnosisKeperawatan Dengan
Rencana Asuhan, (Ed.10). Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
ASUHAN KEPERAWATAN TB PARU

TRIGGER CASE (NARASI KASUS)

An. A (5 tahun) dirawat di ruang anak RSUD Soedono Madiun pada tanggal 2

Mei 2021. Saat dilakukan pengkajian, anak N mengalami batuk. Ibu An. N

mengatakan, bahwa An. N batuk sejak 3 minggu yang lalu dan sekarang

batuknya semakin sering, grok-grok dahaknya tidak keluar, sering demam sejak 2

minggu terakhir. Ibu pasien mengatakan anak N tidak pernah dirawat di rumah

sakit sebelumnya. Ibu pasien mengatakan ayah anak N pernah menderita TB Paru

dan pernah dirawat di rumah sakit karena TB Paru 1 tahun yang lalu. Setelah
dilakukan pemeriksaan didapatkan: pasien tampak lemah, kesadaran

composmentis, pucat (+), batuk (+), sputum sulit keluar, ronkhi (+) di apex paru

kiri, retraksi dada (+), PCH (+), mual (+), muntah (-), TTV = suhu: 38oC, nadi:

120 x/menit, RR: 25 x/menit, TD: 100/60 mmHg, pemeriksaan antropometri: BB:

14 kg, TB: 107 cm, lila: 16,2 cm (n: >17 cm). Hasil pemeriksaan laboratorium

pada tanggal 2 Mei 2021 menunjukkan nilai: Hb: 12,2 g/dl (N: 12,0-16,0),

hematokrit: 37,2 % (37,0-47,0%), leukosit:

14.000 mm3 (N: 5.000-10.000 mm3), BTA: positif (+,-,-), Rontgen thorax

PA: kesan TB Paru positif. Diagnosa medis: TB Paru.


Kuesioner Pra Skrining untuk Anak 60 Bulan
Pa
kai
jaket
makan
Tidur

Ya

Ya

Ya
Ya
Ya

Ya

Ya
Ya

Kesimpulan:
Skor: 10 (sesuai)
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
PEMBERIAN NEBULIZING
Definisi Nebulizing merupakan suatu tindakan dengan memberikan
penguapan agar lender lebih encer, sehingga mudah dihisap.
Nebulizer adalah pelembab yang memberntuk aerosol, kabut
butir-butir kecil air.
Tujuan 1. Untuk mengencerkan secret dengan jalan memancarkan
butir-butir air melalui jalan napas.
2. Pemberian obat-obat aerosol.
Indikasi 1. Pasien yang tidak dapat mengeluarkan secret.
2. Post-ekstubasi.
3. Status asmatikus.
4. Laring edema.
5. Pasien dengan sputum yang kental.
6. Sebelum dilakukan fisioterapi dada.
7. Pada keadaan tertentu dapat diberikan bersamaan dengan
ventilator.
Pengkajian 1. Kaji status kardiopulmonal.
2. Kaji adanya penumpukan secret.
3. Keji kebutuhan pasien akan terapi nebulizing.
Persiapan Persiapan Alat:
1. Nebulizer dan pelengkapnya.
2. Obat-obat untuk terapi aerosol bila diperlukan,
diantaranya:
- Beta agonis: Ventolin, barotec, krikasma, combivent,
bisolvon.
- Antikolinergik: Atrovent.
- Steroid: pulmicord.
3. Stetoskop.
4. HC.
5. Aquades, NaCl 0,9%.
6. Selang oksigen.
7. Simple mask.
8. Bengkok.
9. Tisu.
10. Pot sputum.
11. Baki + alas atau troli
Persiapan Pasien dan Lingkungan:
1. Identifikasi pasien.
2. Jelaskan tujuan dilakukan Tindakan pada pasien
(informed concent).
3. Jaga privasi pasien.
4. Atur posusu pasien (posisi semi fowler atau fowler).
Prosedur 1. Cuci tangan.
2. Masukkan obat sesuai resep dokter kedalam tabung obat
pada nebulizer.
3. Nebulizer dihubungkan ke listrik, kemudia dihidupkan.
4. Pasang selang nebulizer (oral, nasal, masker). Anjurkan
bernapas Panjang dan menghisap udara yang keluar.
Pengisapan udara dilakukan dari hidung dan
dikeluarkan melalui mulut.
5. Secara periodic, anjurkan pasien untuk batuk efektif dan
mengeluarkan dahaknya.
6. Jika uap nebulizer sudah habis, matikan mesin.
7. Mulut pasien dibersihkan dengan tisu.
8. Bereskan alat, kemudian cuci tangan.
Evaluasi 1. Status kardiopulmonal.
2. Kondisi sebelum dan setelah pemberian nebulizer.
3. Karakteristik secret yang keluar.
Dokumentasi 1. Catat status kardiopulmonal.
2. Catat waktu pemberian nebulizer.
3. Catat jenis dan dosis obat yang diberikan.
4. Catat karakteristik secret yang keluar.
Sumber Hidayati, Ratna., dkk. 2014. Praktik Laboratorium
Keperawatan (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai