Anda di halaman 1dari 71

BAGIAN KARDIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ARITMIA PADA COVID 19

Disusun Oleh:
Eka Indah Meivy Puti
11120182106

Pembimbing
dr. Wisudawan, M.Kes, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK
BAGIAN KARDIOLOGI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Eka Indah Meivy Puti
NIM : 111 2018 2106
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Referat : Aritmia Pada Covid 19

Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepanitraan klinik


berjudul Aritmia Pada Covid 19 dan telah disetujui serta telah dibacakan
dihadapan supervisorpembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Kardiologi RS Ibnu Sina Makassar Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.

Makassar,Juni 2020
Supervisor Pembimbing

dr. Wisudawan, M.Kes, Sp.JP, FIHA

2
BAB I
PENDAHULUAN

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret


2020 sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang
terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. 10 Tingkat
mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan
yang tertinggi di Asia Tenggara.5,11 Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224
kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara
telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus dan kematian
sudah melampaui China. Amerika Serikat menduduki peringkat
pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus
baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh
Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas
paling tinggi di dunia, yaitu 11,3%.1
Insidensi dan tipe aritmia jantung sebagai konsekuensi langsung
infeksi COVID-19 masih belum diketahui. Pada studi retrospektif satu
pusat kesehatan dengan 138 pasien perawatan dengan infeksi pulmonal
COVID-19 di Wuhan, Cina, aritmia jantung terjadi pada 23 pasien
(16,7%) dan injuri kardiak akut pada 10 pasien (7,2%, yang diartikan
peningkatan troponin, atau perubahan EKG baru dan abnormalitas
ekokardiografi). Aritmia jantung dipikirkan sebagai komplikasi utama
dan terjadi paling sering pada pasien yang dikirim ke ruang intensif
(ICU) dibanding pasien pada perawatan biasa (16 pasien dari 36 pasien
[44%] vs 7 pasien dari 102 pasien [6.9%], p<0.001). Akan tetapi, tipe
dan durasi aritmia tidak disebutkan secara jelas pada laporannya. Secara
umum, tatalaksana akut pada aritmia seharusnya tidak berbeda
signifikan dari tatalaksana pasien non-COVID dan harus sesuai dengan
panduan ESC, European Heart Rhythm Association dan panduan
lainnya yang terkait.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ARITMIA
A. Definisi 2,3

Normal EKG dinamakan sinus rhythm, sedangkan aritmia atau

dysritmia adalah gangguan irama pada bioelektrikal jantung baik itu

terjadi karena adanya gangguan pembentukan impuls atau gangguan

pengahantaran impuls yang semua ini sebabkan oleh suatu penyakit

yang terjadi pada sel pacemaker jantung atau pada sistem konduksi.

Aritmia atau dysritmia bisa juga disebabkan karena proses fisiologi

jantung sendiri atau pengaruh obat-obatan.

Saat istirahat, jantung normalnya teraktifkan dengan frekuaensi 60-

100 denyut/menit. Irama abnormal jantung (Aritmia) bisa terlalu

lambat (Bradiaritmia), terlalu cepat (Takiaritmia) atau terhalang

(Blok).

B. Etiologi2,3

Penyebab dari aritmia jantung biasanya satu atau gabungan dari kelainan

berikut ini dalam sistem irama-konduksi jantung:

1. Irama abnormal dari pacu jantung.

2. Pergeseran pacu jantung dari nodus sinus ke bagian lain dari

jantung.

3. Blok pada tempat-tempat yang berbeda sewaktu menghantarkan

impuls melalui jantung.

4. Jalur hantaran impuls yang abnormal melalui jantung.

4
5. Pembentukan yang spontan dari impuls abnormal pada hampir

semua bagian jantung.

Beberapa kondisi atau penyakit yang dapat mengakibatkan aritmia

antara lain :

1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan

miokard (miokarditis karena infeksi).

2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme

arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.

3. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin, dan

obat-obat anti aritmia lainnya.

4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia).

5. Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang

mempengaruhi kerja dan irama jantung.

6. Gangguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.

7. Gangguan metabolic (asidosis, alkalosis).

8. Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme).

9. Gangguan irama jantung akibat gagal jantung.

10. Gangguan irama jantung karena karmiopati atau tumor jantung.

11. Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis

system konduksi jantung).

5
C. Klasifikasi2

Aritmia atau distrimia dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1. Aritmia karena gangguan pembentukan impuls

a. Nodus SA

1) Takikardi Sinus (ST)

2) Bradikardi Sinus (SB)

3) Aritmia Sinus

4) Sinus Arest

b. Atrium

1) Ekstrasistol atrial

2) Atrial takikardi

3) Flutter Atrial

4) Fibrilasi Atrial

c. Nodus AV

1) Irama Junctional (UR)

2) Ekstrasistol Junctional

3) Takikardi Junctional

d. Supraventrikel

1) Ektrasistol Supraventrikel

2) Takikardi Supraventrikel

e. Ventrikel

1) Irama Idioventrikuler

2) Ekstrasistol Ventrikuler

6
3) Takikardi Ventrikel

4) Vibrilasi Ventrikel

2. Aritmia karena gangguan penghantaran impuls

a. Blok Sinoatrial

b. Blok Atrioventrikuler

1) Blok AV derajat 1 (First degree AV block)

2) Blok AV derajat 2 mobitz I (Weckenbach)

3) Blok AV derajat 2 mobitz II

4) Blok AV derajat 3 (Total AV block)

c. Interventrikuler

1) Right bundle branch block (RBBB)

2) Left bundle branch block (LBBB)

D. Jenis Aritmia serta Gambaran EKG2,3

1. Aritmia Atrial

Gelombang P merupakan depolarisasi atrium dan berbentuk

positif (upright) serta pada EKG timbul sebelum tiap kompleks

QRS jika stimulus dimulai dari nodus SA. Jika irama dimulai di

tempat lain di atrium maka konfigurasinya akan berbeda.

Disritmia atrial. Disritmia atrial merupakan kelainan

pembentukan dan kelainan konduksi impuls listrik di atrium.

Mekanisme yang mendasari adalah:

a. Gangguan automaticity (sel miokard di atrium mengeluarkan

impuls sebelum impuls normal dari nodus SA). Penyebab

7
tersering adalah iskemia miokard, keracunan obat, dan

ketidakseimbangan elektrolit.

b. Triggered activity (kelainan impuls listrik yang kadang muncul

saat repolarisasi, saat sel sedang "tenang"dan dengan stimulus

satu impuls saja sel-sel miokard "tersentak" beberapa kali).

Penyebab tersering adalah hipoksia, peningkatan katekolamin,

hipo-magnesemia, iskemia, infark miokard dan obat yang

memperpanjang repolarisasi.

c. Re-entry (keadaan dimana impuls kembali menstimulasi

jaringan yang sudah terdepolarisasi melalui mekanisme sirkuit,

blok unidirectional dalam konduksi serta perlambatan

konduksi dalam sirkuit). Penyebab tersering adalah

hiperkalemia dan iskemia miokard.

1) Kompleks Atrial Prematur (PAC)

Satu kompleks tunggal muncul lebih awal dari kompleks

sinus yang seharusnya. Setelah PAC, sinus ritme biasanya

berlanjut. Penyebab tersering adalah mekanisme re-entry.

- Laju :biasanya 60-100x/menit, bisa saja lambat,

jika lebih dari 100x/menit disebut takikardia atrial.

- Irama : bisa ireguler.

- Gel. P : ukuran, bentuk, arah bisa berubah dari

beat to beat.

- Interval PR : bervariasi

8
- Durasi QRS : 0,10 detik atau kurang, kecuali ada

perlambatan konduksi intraventrikel.

2) Takikardia supraventrikular (SVT=supraventricular

tachycardia) atau takikardia Atrial

Jalur re-entry pada takikardia supraventrikular dijumpai di

nodus AV (50%), jalur asesoris lain (40%) serta di atrium atau

nodus SA (10%).Karakteristik

- Laju : 100-250x/menit.

- Irama : reguler.

- Gel. P :kadang gelombang P tumpang tindih

dengan gelombang T dan disebut gelombang P'.

- Durasi QRS : 0,10 detik atau kurang, kecuali ada

perlambatan konduksi intraventrikel.

9
3) Kepak atrial (atrial flutter)

Kepak atrial klasik diakibatkan adanya sirkuit re-entry

yang khas serta kebanyakan melibatkan atrium kanan.

Kelainan pada EKG biasanya dilihat pada lead II.

Karakteristik:

- Laju : laju atrial 250-450x/menit.

- Irama : irama atrial teratur tetapi irama ventrikel

bisa teratur atau tidak bergantung konduksi atau blok

atrioventrikular.

- Gel. P : tidak bisa di identifikasi dan berbentuk

gigi gergaji (sawtooth appearance).

- Interval PR : tidak bisa diukur.

4) Fibrilasi atrial (AF=atrial fibrillation)

Depolarisasi muncul di banyak tempat di atrium,

menyebabkan depolarisasi yang tidak terkoordinasi dengan

frekuensi tinggi. Sentakan fokus ektopik pada struktur vena

yang dekat dengan atrium (biasanya vena pulmonal)

merupakan penyebab utama.Karakteristik:

10
- Laju :laju atrial 400-600x/menit, laju ventrikel

bervariasi.

- Irama :irama ventrikel tidak teratur (jarak R-R

ireguler)

- Gel. P :tak dapat diidentifikasi, garis baseline

bergelombang.

- Durasi QRS :0,10 detik atau kurang, kecuali ada

perlambatan konduksi intraventrikel.

5) Sindrome Wolff Parkinson White (WPW)

Suatu sindrom pre-eksitasi, konduksi impuls antegrade

berjalan selain dari jalur konduksi normal juga melalui jalur

tambahan lain. Jalur tambahan tersebut mempunyai konduksi

lebih cepat sehingga membuat beberapa bagian dari ventrikel

terdepolarisasi secara dini, yang menghasilkan pemendekan

interval PR dan timbul gelombang delta pada kompleks QRS

di EKG. Karakteristik:

- Laju : laju atrial 60-100x/menit.

- Irama : teratur.

11
- Interval PR : kurang dari 0,22 detik.

- Durasi QRS : lebih dari 0,12 detik dan dijumpai

gelombang delta padakompleks QRS.

2. Aritmia Ventrikel

Pada keadaan tertentu (iskemia atau infark miokard),

daerah diventrikel menjadi mudah terangsang dan bisa

menimbulkan gangguan irama dengan mekanisme re-entry,

automaticity maupun triggered activity. Depolarisasi ventrikel

abnormal akan diikuti repolarisasi ventrikel yang abnormal juga

sehingga dijumpai perubahan pada gelombang T dan segmen ST.

1) Kontraksi ventrikel prematur (PVC =premature ventricular

contraction) atau ventricular extra systole (VES)

Keadaan ini muncul dari suatu lokasi di ventrikel yang

ter”iritasi”. Mekanisme dasar berupa peningkatan automaticity atau

re-entry di ventrikel. Perdefinisi, PVC adalah denyutan prematur

yang muncul lebih dini dari denyutan yang diharapkan. Biasanya

12
gelombang T menunjukkan arah yang berlawanan dengan arah

kompleks QRS.Berbagai bentuk dan tipe PVC antara lain:

a. PVC tipe uniformis atau multiformis

Jika denyutan dini berasal dari lokasi anatomi yang sama

dan bentuk PVC sama disebut uniformis dan jika bentuknya

berbeda pada satu sedapan disebut multiformis walaupun

belum tentu berasal dari lokasi yang berbeda.

b. PVC Tipe “R on T”

Gelombang R dari PVC jatuh pada gelombang T denyutan

sebelumnya.

c. PVC tipe berpasangan (couplets)

13
Terdapat dua PVC berurutan, jika lebih dari tiga PVC

sekaligus disebut salvo/run VT.

d. PVC Tipe Bigeminal

Satu PVC diantara dua kompleks QRS normal.

e. PVC Tipe Trigeminal

Satu PVC diantara tiga kompleks QRS normal.

f. PVC Tipe Quadrigeminal

Satu PVC diantara empat kompleks QRS normal.

14
2) Accelerated Idioventricular Rhytm

Irama ini sering dijumpai sebagai pertanda keberhasilan

terapi reperfusi pada pasien IMA disertai elevasi ST dan onset

< 12 jam.Karakteristik:

- Laju : 41-100x menit.

- Irama : reguler.

- Gel. P : Tidak ada

- Durasi QRS :>0.12 detik, arah gelombang T berlawanan

dengankompleks QRS.

3. Takikardia Ventrikel (VT = ventricular tachycardia)

Keadaan ini ditandai dengan lebih dari tiga PVC berurtan

dengan laju lebih dari 100x/menit . Jika muncul kurang dari

30 detik disebut nonsustained VT, jika lebih dari 3 detik

disebut sustained VT.Berbagai bentuk dan tipe VT antara lain;

15
a. VT tipe monomorfik

Kompleks QRS dari VT mempunyai bentuk dan

amplitudo yang sama berasal dari fokus tunggal atau jalur

re-entry.

b. VT tipe polimorfik

Kompleks QRS dari VT mempunyai bentuk dan

amplitudo yang tidak sama, terdapat beberapa fokus jalur

yang berbeda. Takikardia ventrikel tipe polimorfik yang

timbul pada interval QT yang memanjang disebut Torsade

de pointes.

4. Fibrilasi ventrikel (VF=ventricular fibrillation)

Aktivitas listrik yang kacau terjadi tanpa adanya

depolarisasi ventrikel atau kontraksi. Terjadi akibat re-entry

wavelet multipel di ventrikel. Pada VF tidak ada depolarisasi

ventrikel yang terorganisasi sehingga tidak ada kontraksi

16
miokard yang efektif dan tidakada pulsasi nadi, terdiri dari

VFkasar (coarse) dan VF halus (fine).VF merupakan aritmia

yang fatal dan harus segera diterminasi.Karakteristik:

- Laju : Tidak dapat ditentukan

- Irama : Kacau

- Gel. P : Tidak ada

- Durasi QRS :Tidak ada

5. Kepak ventrikel (ventricular flutter).

Selama proses kepak ventrikel, otot ventrikel

berdepolarisasi dalarn pola sirkular. Penyebab utama adalah

mekanisme re-entry dengan frekuensi 300 kali per menit.

6. Asistol.

Pada asistol sama sekali tidak ada aktivitas listrik ventrikel.

17
3. Aritmia Junctional

Daerah antara nodus AV sampai ke sebelum percabangan

berkas His disebut atrioventrikular (AV) junction. Irama yang

berasal dari AV junction disebut disritmia junctional.Beberapa

tipe irama junctional antara lain:

1) Junctional escape beats

Irama ini terjadi karena pengambilalihan fungsi pacu

jantung (escape pacemaker) oleh AV junction akibat

kegagalan nodus SA membentuk impuls. Karakteristik:

- Laju : bergantung irama dasar.

- Irama :reguler, timbul terlambat, biasanya

muncul setelah episodesinus arrest.

- Gelombang P : bisa tidak ada.

- KompleksQRS : sempit, depresi segmen ST.

18
2) Irama junctional dan takikardia junctional

Irama ini terjadi pada sel pacu jantung di berkas His. Jika

laju >100x/menit disebut takikardia junctional dan jika

<60x/menit disebut irama junctional.Karakteristik:

- Laju : bervariasi.

- Irama : teratur.

- Gelombang P : biasanya tidak ada.

- Kompleks QRS : sempit (<0,10 detik), kecuali ada

gangguan konduksi.

19
4. Gangguan Konduksi

a. Nodus SA

1) Blok Sinoatrial
Pada keadaan ini sel pacemaker di nodus SA memulai
suatu impuls, tetapi konduksi impuls diblok saat impuls
keluar dari nodus SA.Karakteristik:
- Laju : bervariasi karena ada pause.
- Irama : ireguler.
- Gel. P : normal.
- Interval PR : normal.
- Durasi QRS : normal, kecuali ada gangguan
konduksi intraventrikel.

2) Sinus Arrest
Terjadi gangguan automatisasi nodus SA dan sel
pacemaker gagal membentuk impuls listrik pada satu atau
lebih denyutan. Jika tidak ada sel lain yang bertindak
sebagai pacemaker (biasanya di "junction" atau ventrikel)
maka keadaan akan berlanjut menjadi asistol dan henti
jantung.Karakteristik:
- Laju : bervariasi karena ada pause.
- Irama : ireguler.
- Gel. P : normal.
- Interval PR : normal.
- Durasi QRS : normal.

20
b. Nodus AV

1) Blok Atrioventrikular (Blok AV)


Jaringan konduksi khusus yang menghubungkan
konduksi listrik antara atrium dan ventrikel disebut AV
junction. Setiap gangguan konduksi impuls pada nodus
AV dan sistem His-Purkinjedisebut blok AV. Interval PR
merupakan kunci untuk membedakan tipe blok AV serta
analisis lebar kompleks QRS merupakan kunci penentu
lokasi blok. Blok AV dibagi atas:
a) Blok AV derajat satu
Terjadi keterlambatan transmisi impuls dari nodus SA
ke ventrikel akibat perlambatan konduksi di nodus AV,
tetapi bukan diblok. Karakteristik:
- Laju : sesuai irama sinus atau kecepatan
atrial.
- Irama : biasanya teratur.
- Gelombang P : normal.
- Durasi QRS : biasanya normal.
- Interval PR : konstan dan lebih dari 0,20 detik.
Konduksi impuls normal ke atrium, tetapi transmisi
impuls memanjang lebih dari normal pada nodus AV dan
konduksi normal ke ventrikel. Blok AV derajat satu tidak
berbahaya, karena setiap impuls mencapai ventrikel
dengan kecepatan konduksi di ventrikel normal.

21
b) Blok AV derajat dua
Mekanisme dasar berupa satu atau beberapa impuls
dari atrial tidak dihantarkan ke ventrikel sehingga tidak
membentuk kompleks QRS pada EKG. Jika bloknya
terjadi pada nodus AV maka bloknya adalah blok derajat
dua tipe satu dan jika bloknya terjadi di bawah atau setelah
nodus AV (berkas His atau berkas cabang) disebut blok
AV derajat dua tipe dua. Kunci penilaian adalah konstan
tidaknya interval PR serta ada QRS missing (gelombang P
yang tidak diikuti kompleks QRS).
- Blok AV derajat dua tipe satu (Mobitz tipe I atau
Wenckebach)
Saat Impuls dari sinus dihantarkan melalui nodus AV
akan terjadi perlambatan hantaran yang semakin besar
(Interval PR semakin lama semakin panjang) sampai suatu
saat gelombang P gagal dihantarkan dan tidak diikuti oleh
kompleks QRS (QRS missing). Bloknya terjadi pada
nodus AV sehingga gelombang QRS normal.
Karakteristik:
- Laju : laju atrial lebih besar dari laju
ventrikel.
- Irama : irama ventrikel ireguler.
- Gelombang P : bentuk normal, beberapa
gelombang P tidak diikuti kompleksQRS.
- Durasi QRS : biasanya normal.

22
- Interval PR : tidak konstan,semakin lama
semakinmemanjang.

Kelainan ini biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi


jika rasio konduksi sangat rendah bisa menyebabkan
bradikardia dan penurunan curah jantung. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, infark miokard
akut inferior, penyakit katup aorta serta efek obat-obat
yang memperlambat konduksi AV (penghambat beta,
antagonis kalsium, dan digitalis).
- Blok AV derajat dua tipe dua (Mobitz tipe II)
Keadaan ini timbul jika impuls di atrium gagal
dihantarkan ke ventrikel tanpa penundaan konduksi yang
progresif. Lokasi blok konduksi terletak di bawah nodus
AV dan sering pada distal berkas His di berkas cabang.
Karakteristik:
- Laju : laju ventrikel lebih lambat.
- Irama : irama ventrikel ireguler.
- Gelombang P : bentuk normal dan beberapa
gelombang P tidak diikutikompleks QRS (ada QRS
missing).
- Durasi QRS : biasanya melebar karena blok pada
cabang berkas.
- Interval PR : konstan.

23
Pada infark miokard akut inferior bisa terjadi blok AV
dengan kompleks QRS sempit (lokasiblok di nodus
AV), tetapi jika blok AV pada infark miokard akut
anterior biasanya menunjukkan kompleks QRS lebar
(lokasi blok di infranodus/berkas cabang).
c) Blok AV derajat tiga (blok AV total/komplit)
Impuls dari atrium tidak dihantarkan ke ventrikel
sehingga atrium dan ventrikel mengalami depolansasi
secara terpisah satu dengan yang lain. Karakteristik:
- Laju : laju atrial lebih besar dari laju
ventrikel.
- Irama : teratur, tidak ada hubungan antara
irama atrial dan ventrikel.
- Gelombang P : normal.
- Durasi QRS : bergantung lokasi escape
pacemaker, durasi QRS normal bilairama dari
junctional dan melebar bila terdapatventricularescape
rhythm.
- Interval PR : tidak ada.

24
Jika pasien simtomatik, terapi awal berupa injeksi

sulfas atropin secara intravena dan pemasangan pacu

jantung sementara (transkutan) serta cari penyebab dasar

(misal infark miokard akut, efek obat-obatan dan lain-

lain). Jika kelainan menetap maka diatas, dengan

implantasi pacu jantung menetap. Kelainan ini bisa juqa

dijumpai pada pasien usia tua akibat degeneratif nodus

AV.

c. Intraventrikular

Pada keadaan normal, septum intraventrikel bagian kiri

akan terstimulasi pertama sekali, kemudian impuls berjalan

untuk menstimulasi septum kanan sehingga ventrikel kiri dan

kanan akan berdepolarisasi secara bersamaan. Konduksi

normal akan menghasilkan kompleks QRS sempit (durasi

QRS <0,12 detik).

d. Cabang Berkas (Bundle Branch)

Blok cabang berkas merupakan gambaran konduksi impuls

parsial maupun komplit pada cabang berkas. Hal ini

menyebabkan perlambatan eksitasi salah satu ventrikel

sehingga depolarisasi ventrikel tidak simultan. Konduksi di

ventrikel lebih lambat sehingga menghasilkan kompleks QRS

yang lebar (durasi QRS >0,12 detik). Untuk analisis, paling

25
baik dilihat di sadapan VI dan V6.Beberapa kelainan blok

cabang berkas adalah sebagai berikut:

1) Blok cabang berkas kanan (RBBB=right bundle


branch block)
Karakteristik RBBB:
- Pola rSR'di sadapan aVR dan VI.
- Gelombang S lebar (durasi >0,04 detik) dan tumpul
(slurred) di sadapan I, aVL, V5, dan V6.
- Durasi kompleks QRS >0,12 detik (blok komplit) atau
antara 0,10-0,12 detik (blok tidak komplit).
Pola RBBB sering dijumpai pada pasien stenosis
mitral, defek septum atrial, IMA serta bisa juga suatu
variasi normal.

26
2) Blok cabang berkas kiri (LBBB=left bundle branch
block)
Karakteristik LBBB:
- Kompleks QRS lebar dan bertakik (berbentuk huruf M)
di sadapan I, aVL, V5 dan V6.
- Tidak dijumpai gelombang Q di sadapan I, V5, dan V6.
- Kadang disertai depresi segmen ST dan gelombang T
inversi. di sadapan I, aVL, V5, dan V6.

27
- Durasi kompleks QRS >0,12 detik (blok komplit) atau
antara 0,10-0,12 detik (blok tidak komplit).

28
E. Diagnosis 2,3

Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan tanda

dan gejala seperti diatas, juga dilakukan pemeriksaan penunjang

seperti :

1) Electrocardiogram

Sebuah gambaran impuls listrik yang berjalan melalui otot jantung.

Hasil EKG tercatat pada kertas grafik, melalui penggunaan

elektroda yang melekat pada lengan, dada dan kaki. Hal yang perlu

dinilai dari EKG adalah menentukan irama jantung (Rhythm),

frekuensi (Heart Rate), Sumbu Jantung (Axis), ada atau tidaknya

tanda hipertrofi, ada atau tidaknya tanda iskemia/infrak dan ada

atau tidaknya tanda akibat gangguan lain seperti obat-obatan atau

gangguan keseimbangan elektrolit.

2) Ambulatory Monitors

a. Holter monitor:  Rekorder kecil yang portable dimana


menempel pada elektroda di dada pasien. Merekam ritme
jantung secara kontinu selama 24 jam.
b. Transtelephonic monitor: monitor kecil ditempelkan pada
elektroda, biasanya di jari atau pergelangan tangan. Melalui alat
ini, ritme jantung pasien dikirim melalui line telepon ke dokter.
c. Transtelephonic monitor with a memory loop:  rekorder
kecil yang portable dipakai terus-menerus dalam jangka waktu
tertentu untuk merekam dan menyimpan informasi ritme
jantung pasien.

29
3) Strest Test

Sebuah tes untuk merekam aritmia yang muncul atau

memburuk dengan latihan. Tes ini membantu untuk menentukan

apakah ada penyakit jantung atau jantung koroner yang menjadi

penyebab kelainan ritme.

4) Echocardiogram

Alat ultrasound untuk melihat jantung, menentukan jika ada

kelainan otot atau katup jantung yang menyebabkan aritmia. Tes

ini dilakukan saat istirahat atau dengan aktivitas.

5) Cardiac Catheterization

Dengan menggunakan local anestesi, kateter dimasukan

melalui pembuluh darah dan diarahkan dengan mesin x-ray. Pada

kateter dimasukan kontras sehingga dapat tampak gambaran arteri

koroner, rongga jantung dan katup. Tes ini dapat mendeteksi kerja

otot dan katup jantung.

6) Electrophysiology Study

Kateterisasi khusus jantung yang dapat mengevaluasi sistem

konduksi jantung. Kateter dimasukan untuk merekam aktivitas

elektrik jantung. Alat ini digunakan untuk menentukan penyebab

kelainan ritme jantung dan penanganan yang sesuai. Selama tes,

aritmia dapat dimunculkan dan dihentikan.

30
7) Tilt Table Test

Merekam tekanan darah dan nadi setiap menitnya saat meja

dinaikkan dengan posisi kepala diatas pada level yang berbeda-

beda. Hasil tes ini digunakan untuk mengevaluasi ritme jantung,

tekanan darah.

8) Elektrolit

Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium

dapat memicu terjadinya disritmia.

9) Pemeriksaan Hormon Tiroid

Peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat

menyebabkan gangguan irama jantung atau disritmia.

10) Riwayat Penggunaan Obat-obatan

F. Penatalaksanaan Aritmia 2,3

1. Farmakoterapi

Obat-obatan anti-aritmia menurut Vaughan-Williams

Kela Golongan Mekanisme Kerja


s
I sodium-channel Reduce phase 0 slope and peak of action
blockade potential.
IA - moderate Moderate reduction in phase 0 slope; increase
APD; increase ERP.
IB - weak Small reduction in phase 0 slope; reduce
APD; decrease ERP.
IC - strong Pronounced reduction in phase 0 slope; no
effect on APD or ERP.
II beta-blockade Block sympathetic activity; reduce rate and
conduction.
III potassium- Delay repolarization (phase 3) and thereby
channel increase action potential duration and

31
blockade effective refractory period.
IV calcium-channel Block L-type calcium-channels; most
blockade effective at SA and AV nodes; reduce rate
and conduction.

Kela Golonga
Sediaan Mekanisme Kerja Penggunaan
s n
 Quinidi (Na+) channel block  Ventricular
Ia fast- (intermediate
channel ne association/dissociation) arrhythmias
blockers  Procain  prevention of
amide paroxysmal recurrent
 Disopyr atrial
amide fibrillation (triggered
by vagal overactivity)
 procainamide
in Wolff-Parkinson-
White syndrome
Ib  Lidocai (Na + ) channel block  treatment and
(fast
ne association/dissociation) prevention during and
 Phenyto immediately
in after myocardial
 Mexilet infarction , though this
ine practice is now
discouraged given the
increased risk
of asystole
 ventricula
r tachycardia
 atrial
fibrillation
+
Ic  Flecaini (Na   ) channel block  prevents paroxys
(slow
de association/dissociation) mal atrial fibrillation
 Propafe  treats recurrent
none tachyarrhythmias of

32
 Moriciz abnormal conduction
ine system .
 contraindicated
immediately post-
myocardial infarction.
II Beta-  Propran beta blocking   decrease myocar
blockers Propranolol also shows
olol some class I action dial
 Esmolol infarction mortality
 Timolol  prevent
 Metopr recurrence
olol of tachyarrhythmias
 Atenolo
l
 Bisopro
lol
III  Amioda K + channel blocker  In Wolff-
rone Sotalol is also a beta Parkinson-White
 Sotalol blocker [ 2 ] syndrome
 Ibutilid  (sotalol:) ventric
e ular
 Dofetili tachycardias and atrial
de fibrillation
 Droned  (Ibutilide:) atrial
arone flutter and atrial
 E-4031 fibrillation
IV slow-  Verapa Ca 2+ channel blocker  prevent
channel
blockers mil recurrence
 Diltiaze of paroxysmal
m supraventricular
tachycardia
 reduce ventricula
r rate in patients
with atrial fibrillation
V  Adenosi Work by other or Used in supraventricular

33
ne unknown mechanisms arrhythmias, especially
(Direct nodal inhibition). in Heart Failure with
 Digoxin Atrial Fibrillation,
contraindicated in
ventricular
arrhythmias.

2. Non-Farmakoterapi 2,3

a. Perubahan Pola Hidup

Aritmia mungkin dapat berhubungan dengan gaya hidup

tertentu. Jadi diharapkan menghindari faktor resiko tersebut :

- Berhenti merokok

- Membatasi konsumsi alcohol

- Membatasi atau menghentikan konsumsi produk yang

mengandung kafein ( teh atau kopi )

b. Kardioversi

Pada pasien dengan aritmia yang persisten ( seperti atrial

fibrilasi ), ritme yang normal terkadang tidak dapat didapatkan

hanya dengan terapi farmokologi. Setelah pemberian anestesi,

disalurkan syok elektrik ke dada pasien yang akan

mensinkronisasi jantung dan memacu jantung kembali ke

normal ritme.

c. Permanent Pacemaker

34
Suatu alat yang mengirim impuls elektrik ke otot jantung

untuk mendapatkan nadi yang normal. Pacemaker memiliki

‘pulse generator’ dan lead yang menghantarkan impuls dari

generator ke otot jantung. Pacemaker biasanya digunakan untuk

menghindari terjadinya denyut jantung yang lemah.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA COVID 19

A. Definisi4
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan
penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua
jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab
COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2.

B. Epidemiologi5
Sejak kasus pertama di Wuhan terjadi, peningkatan kasus Covid
19 di China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga
awal Februari 2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei
dan provinsi di sekitar kemudian bertambah hingga ke provinsi provinsi
lain dan seluruh China.7 Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736
kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus lain dilaporkan
dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia,
Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea

35
Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan
Jerman.
COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret
2020 sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang
terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian.10
Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini
merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.5,11 Per 30 Maret 2020,
terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia. Eropa
dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan
kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat
menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak
dengan penambahan kasus baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30
Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6.549 kasus baru. Italia
memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3%.

C.Etiologi 4,5

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam


genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa
virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada
2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus.15 Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2.

Gambar 4

Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada


umumnya (Gambar 4). Sekuens SARS-CoV-2 memiliki kemiripan

36
dengan coronavirus yang diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul
hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar yang kemudian
bermutasi dan menginfeksi manusia.17 Mamalia dan burung diduga
sebagai reservoir perantara. Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga
sebagai reservoir perantara. Strain coronavirus pada trenggiling adalah
yang mirip genomnya dengan coronavirus kelelawar (90,5%) dan SARS-
CoV-2 (91%).18 Genom SARS-CoV-2 sendiri memiliki homologi 89%
terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-CoV.19
Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-
CoV-2 memiliki struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-
binding yang hampir identik dengan SARS-CoV. Pada SARS-CoV,
protein ini memiliki afinitas yang kuat terhadap angiotensin-converting-
enzyme 2 (ACE2).20 Pada SARS-CoV-2, data in vitro mendukung
kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor
ACE2.17 Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak
menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase N
(APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).

D.Patogenesis4,5
Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi
diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak
diketahui.30 Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel
pada saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan
reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein
yang terdapat pada envelope spike virus akan berikatan dengan reseptor
selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2
melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein yang
dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan
sel.
Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus
masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel

37
dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural.
Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada
selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum
endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang
tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel virus akan
tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir,
vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran
plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru. Pada SARS-CoV,
Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan dalam masuknya
virus ke dalam sel pejamu.31 Telah diketahui bahwa masuknya SARS-
CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan
plasma membran dari sel.32 Pada proses ini, protein S2’ berperan penting
dalam proses pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses
fusi membran. Selain fusi membran, terdapat juga clathrin-dependent dan
clathrin-independent endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV
ke dalam sel pejamu.
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-
CoV.35 Efek sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons
imun menentukan keparahan infeksi.36 Disregulasi sistem imun kemudian
berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respons
imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan
jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan. Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2
juga belum sepenuhnya dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari
mekanisme yang ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika
virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke antigen
presentation cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung
pada molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun,
MHC kelas II juga turut berkontribusi.30 Presentasi antigen selanjutnya
menstimulasi respons imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi
oleh sel T dan sel B yang spesifik terhadap virus.30 Pada respons imun

38
humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-
CoV hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka
panjang.30 Hasil penelitian terhadap pasien yang telah sembuh dari SARS
menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+
memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun
secara bertahap tanpa adanya antigen.Virus memiliki mekanisme untuk
menghindari respons imun pejamu. SARS-CoV dapat menginduksi
produksi vesikel membran ganda yang tidak memiliki pattern recognition
receptors (PRRs) dan bereplikasi dalam vesikel tersebut sehingga tidak
dapat dikenali oleh pejamu. Jalur IFN-I juga diinhibisi oleh SARS-CoV
dan MERS-CoV. Presentasi antigen juga terhambat pada infeksi akibat
MERS-CoV.

Gambar 5

B. Faktor Resiko4,5,6
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi
dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan
faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih

39
banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang
lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada
peningkatan ekspresi reseptor ACE2. Diaz JH43 menduga pengguna
penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB)
berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini,
European Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada
bukti meyakinkan untuk menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat
golongan ACE-i atau ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini
sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap
infeksi SARS-CoV-2.45, 46 Kanker diasosiasikan dengan reaksi
imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi,
dan gangguan maturasi sel dendritik.47 Pasien dengan sirosis atau
penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga
lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih
buruk.Studi Guan, dkk. menemukan bahwa dari 261 pasien COVID-19
yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya adalah dengan kanker dan
23 pasien dengan hepatitis B. Infeksi saluran napas akut yang menyerang
pasien HIV umumnya memiliki risiko mortalitas yang lebih besar
dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini belum ada studi
yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-Hubungan infeksi
SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum
dilaporkan. Belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma
dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, studi meta-analisis
yang dilakukan oleh Yang, dkk.menunjukkan bahwa pasien COVID-19
dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki
manifestasi klinis yang lebih parah.
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk
tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke
area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat

40
(dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah.Tenaga medis
merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia,
sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis. Di China, lebih dari
3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%.

C. Gejala Klinis4,5,6
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,
pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus
tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak
6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi
asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load yang tinggi dari
swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut
saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue,
batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan,
kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi
oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah,
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam,
ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2)
distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan
oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal.
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-
gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak
napas. Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam,
batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk
produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia,
menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis,
dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19

41
memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C sementara 34% mengalami
demam suhu lebih dari 39°C. Perjalanan penyakit dimulai dengan masa
inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini
leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak
bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui
aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2
seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini
umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah
timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi
di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat
dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya
inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan
ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya.

D. Pemeriksaan Penunjang 4,5,6


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung
jenis, fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan
prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia
juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue.
Yan, dkk.67 di Singapura melaporkan adanya pasien positif palsu serologi
dengue, yang kemudian diketahui positif COVID-19. Karena gejala awal
COVID-19 tidak khas, hal ini harus diwaspadai.

2. Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto
toraks dan Computed Tomography Scan (CT-scan) toraks. Pada
foto toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-
glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi

42
pleura, dan atelectasis, seperti terlihat pada Gambar 6. Foto
toraks kurang sensitif dibandingkan CT scan, karena sekitar 40%
kasus tidak ditemukan kelainan pada foto toraks. Studi dengan
USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan
utama. Konsolidasi subpleural posterior juga ditemukan walaupun
jarang.68 Studi lain mencoba menggunakan 18F-FDG PET/CT,
namun dianggap kurang praktis untuk praktik sehari-hari.
Berdasarkan telaah sistematis oleh Salehi, dkk. temuan utama pada
CT scan toraks adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau tanpa
konsolidasi, sesuai dengan pneumonia viral. Keterlibatan paru cenderung
bilateral (87,5%), multilobular (78,8%), lebih sering pada lobus inferior
dengan distribusi lebih perifer (76%). Penebalan septum, penebalan pleura,
bronkiektasis, dan keterlibatan pada subpleural tidak banyak ditemukan.
Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi pleura, efusi
perikardium, limfadenopati, kavitas, CT halo sign, dan pneumotoraks.
Walaupun gambaran-gambaran tersebut bersifat jarang, namun bisa saja
ditemui seiring dengan progresivitas penyakit. Studi ini juga melaporkan
bahwa pasien di atas 50 tahun lebih sering memiliki gambaran konsolidasi.
Gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis:
1. Pasien asimtomatis: cenderung unilateral, multifokal,
predominan gambaran ground-glass. Penebalan septum
interlobularis, efusi pleura, dan limfadenopati jarang
ditemukan.
2. Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus,
predominan gambaran ground-glass. Efusi pleura 5%,
limfadenopati 10%.
3. Dua minggu sejak onset gejala: masih predominan gambaran
ground-glass, namun mulai terdeteksi konsolidasi
4. Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-
glass dan pola retikular. Dapat ditemukan bronkiektasis,
penebalan pleura, efusi pleura, dan limfadenopati.

43
Gambar 7 foto thorax dan CT Scan pasien dengan Covid 19
3. Pengambilan Spesimen
WHO merekomendasikan pengambilan spesimen pada dua lokasi,
yaitu dari saluran napas atas (swab nasofaring atau orofaring) atau saluran
napas bawah [sputum, bronchoalveolar lavage (BAL), atau aspirat
endotrakeal]. Sampel diambil selama 2 hari berturut turut untuk PDP dan
ODP, boleh diambil sampel tambahan bila ada perburukan klinis. Pada
kontak erat risiko tinggi, sampel diambil pada hari 1 dan hari 14. Zou, dkk.
melaporkan deteksi virus pada hari ketujuh setelah kontak pada pasien
asimtomatis dan deteksi virus di hari pertama onset pada pasien dengan
gejala demam. Titer virus lebih tinggi pada sampel nasofaring
dibandingkan orofaring. Studi lain melaporkan titer virus dari sampel swab
dan sputum memuncak pada hari 4-6 sejak onset gejala.81 Bronkoskopi
untuk mendapatkan sampel BAL merupakan metode pengambilan sampel
dengan tingkat deteksi paling baik. Induksi sputum juga mampu
meningkatkan deteksi virus pada pasien yang negatif SARS-CoV-2
melalui swab nasofaring/orofaring. Namun, tindakan ini tidak
direkomendasikan rutin karena risiko aerosolisasi virus.
Sampel darah, urin, maupun feses untuk pemeriksaan virologi
belum direkomendasikan rutin dan masih belum dianggap bermanfaat
dalam praktek di lapangan. Virus hanya terdeteksi pada sekitar <10%

44
sampel darah, jauh lebih rendah dibandingkan swab. Belum ada yang
berhasil mendeteksi virus di urin. SARS-CoV-2 dapat dideteksi dengan
baik di saliva. Studi di Hong Kong melaporkan tingkat deteksi 91,7% pada
pasien yang sudah positif COVID-19, dengan titer virus paling tinggi pada
awal onset.
E. Diagnosis4,6
Definisi operasional pada kasus COVID-19 di Indonesia mengacu
pada panduan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
yang mengadopsi dari WHO

Gambar 8 2
Kasus probable didefinisikan sebagai PDP yang diperiksa untuk
COVID-19 tetapi hasil inkonklusif atau seseorang dengan dengan hasil
konfirmasi positif pancoronavirus atau betacoronavirus. Kasus
terkonfirmasi adalah bila hasil pemeriksaan laboratorium positif COVID-
19, apapun temuan klinisnya. Selain itu, dikenal juga istilah orang tanpa
gejala (OTG), yaitu orang yang tidak memiliki gejala tetapi memiliki
risiko tertular atau ada kontak erat dengan pasien COVID-19.
Kontak erat didefinisikan sebagai individu dengan kontak
langsung secara fisik tanpa alat proteksi, berada dalam satu lingkungan
(misalnya kantor, kelas, atau rumah), atau bercakap-cakap dalam radius 1
meter dengan pasien dalam pengawasan (kontak erat risiko rendah),

45
probable atau konfirmasi (kontak erat risiko tinggi). Kontak yang
dimaksud terjadi dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala.
Song, dkk. mencoba membuat skor COVID-19 Early Warning
Score (COVID-19 EWS) berdasarkan 1311 orang yang melakukan
pemeriksaan SARS-CoV-2 RNA di China, seperti pada lampiran . Skor ini
memasukkan gambaran pneumonia pada CT scan toraks, riwayat kontak
erat, demam, gejala respiratorik bermakna, suhu tertinggi sebelum masuk
rumah sakit, jenis kelamin laki-laki, usia, dan rasion neutrofil limfosit
(RNL) sebagai parameter yang dinilai. Nilai skor COVID-19 EWS
miminal 10 menunjukkan nilai prediksi yang baik untuk dugaan awal
pasien COVID-19.
Diagnosis komplikasi seperti ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada
pasien COVID-19 dapat ditegakkan menggunakan kriteria standar masing-
masing yang sudah ditetapkan. Tidak terdapat standar khusus penegakan
diagnosis ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada pasien COVID-19.

46
BAB IV
TATALAKSANA ARITMIA PADA COVID 19 7,8,9

Prinsip umum dari tata laksana pasien dengan aritmia kardiak dan
alat implan kardiak selama pandemik adalah sebagai berikut:
a. Melindungi tenaga kerja kesehatan untuk memberikan tata laksana yang
tepat pada semua pasien dengan infeksi COVID-19;
b. Meminimalkan risiko infeksi nosokomial pada pasien yang tidak
terinfeksi dan tenaga kesehatan;
c. Menyediakan kualitas baik pada keadaan gawat darurat untuk semua
keadaan aritmia dan alat implan yang mengancam nyawa.
Berbagai perkumpulan nasional dan layanan kesehatan termasuk
Heart Rhythm Society, National Health Service (UK), dan Cardiac Society
of Australia and New Zealand mempunyai masalah rekomendasi yang
serupa untuk mencapai tujuan ini dan panduan tatalaksana pada pasien
dengan aritmia jantung dan alat implan jantung selama pandemic COVID-
19.
Pemantauan dan Tindak Lanjut Pasien dengan Alat Implan Jantung
1. Pemantauan jarak jauh harus sering dilakukan untuk mengganti
kunjungan interogasi alat rutin ke rumah sakit, klinik, dan praktik.
Kunjungan klinik harus diganti dengan kontak dari jauh lewat telepon
atau internet oleh dokter menggunakan alat komunikasi:
a. Pada pasien yang sudah dilakukan pemeriksaan melalui
pemantauan jarak jauh, dapat menunda evaluasi. Hal ini dapat
berimplikasi secara psikologis, dimana pasien mungkin
merasa hal tersebut memperlambat pemeriksaan rutin
sehingga mengganggu kualitas alat mereka. Jaminan kepada
pasien harus disampaikan ketika pasien harus menunda
kedatangannya ke poliklinik.
b. Pada pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan melalui
pemantauan jarak jauh, mengaktifkan alat tersebut biasanya

47
membutuhkan langkah membuat program selama kunjungan
klinik, pencatatan transmitter, dan mengambil persetujuan dari
pasien. Hal ini menempatkan pasien untuk risiko infeksi dan
memakan waktu untuk ke rumah sakit. Akan tetapi, memulai
pemantauan jarak jauh tanpa pasien datang ke rumah sakit
dapat menjadi untuk alat Boston Scientific and Abbott (PM
dan DKI), selama pemantauan jarak jauh deprogram nyala (
ON ) sebagai standar pada alat cardiovascular implantable
electronic devices (CIEDs) ini. Untuk alat lain (seperti semua
alat CIEDs Medtronic dan Biotronik), pemantauan jarak jauh
butuh melakukan program dari poliklinik menyala ( ON ),
kecuali sudah dilakukan pada saat pemasangan implan sesuai
standar di beberapa negara dan pusat kesehatan. Ketika CIED
sudah diprogram menyala ( ON ), untuk semua alat, pasien
hanya perlu menyalakan alat transmitter di rumah yang akan
aktif secara otomatis (Biotronik; Abbott), setelah menekan
tombol (Boston Scientific), atau setelah beberapa langkah
(Medtronic) yang dipandu dari telepon. Produsen
menunjukkan adanya keterbatasan terhadap regulasi privasi
untuk secara langsung mengirimkan transmitter ke rumah
pasien dan harus menyediakan alat dari rumah sakit yang
harus dikirimkan pada tahap selanjutnya
2. Pemantauan jarak jauh mungkin butuh pengaturan kembali dari rumah
sakit yang mungkin menghindari pemindahan skala besar dari keadaan
rawat jalan ke model telemetri selama waktu COVID-19 dimana
kegiatan rumah sakit terbatas;
3. Alat pasien yang sudah terjadwal untuk poliklinik yang harus ditunda
dapat diyakinkan bahwa perubahan besar pada integritas alat dapat
ditandai dengan alarm. Pasien harus diinstruksikan untuk menghubungi
pusat kesehatannya jika alarm berbunyi;

48
4. Pasien tanpa gejala baru atau alarm harus dilakukan penjadwalan ulang
untuk tindak lanjut alat setelah pandemik;
5. Interogasi alat secara urgen di rumah sakit atau ambulatori mungkin
dibutuhkan untuk pasien dengan kecurigaan adanya disfungsi baru dan
berat pada lead; deplesi baterai khususnya pada pasien dependen
terhadap pacu jantung; deteksi aritmia maligna; baik atau tidaknya
penghantaran ICD jika tidak dapat diatur dari pemantauan jarak jauh;
6. Semua pasien harus dilakukan pemeriksaan untuk gejala, atau
terpaparnya terhadap infeksi COVID-19 sebelum admisi:
Pada pasien tanpa dicurigai atau terkonfirmasi infeksi COVID-19:
a. Interogasi harus dipilih menggunakan komunikasi tanpa kabel,
mengurangi kontak langsung serta mengambil jarak aman dan
menggunakan APD yang sesuai;
b. Interogasi harus dilakukan pada area untuk non-infeksi (sesi 5);
Pada pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi infeksi COVID-19:
c. Protokol rumah sakit untuk menggunakan suatu set khusus yang
memprogram dengan area penyimpanan, pembersihan sebelum dan
sesudah penggunaan, penggunaan sekali tongkat pelindung, dan APD
lengkap yang direkomendasikan. Interogasi sebaiknya menggunakan
komunikasi tanpa kabel untuk menghindari kontak langsung
Pertimbangan untuk Elektrofisiologis dan Prosedur Alat Implan
Kategori prosedur EP pada keadaan COVID-19 digambarkan pada
Tabel . Singkatnya, seluruh ablasi elektif dan prosedur alat implan jantung
harus ditunda dan obat antiaritmia harus ditinjau kembali dan ditambahkan
jika perlu, untuk mengatur aritmia dengan simptom yang berulang selama
periode pandemi COVID-19. Prosedur EP yang urgen tanpa kecurigaan
atau konfirmasi terinfeksi COVID-19 harus dilakukan pada area
laboratorium kateterisasi khusus non-infeksi dengan membatasi kontak
langsung dengan personil dan menggunakan APD yang sesuai selama
prosedur. Pada pasien dengan kecurigaan atau terkonfirmasi infeksi
COVID-19, prosedur harus dilakukan pada area laboratorium kateterisasi

49
yang khusus dengan membatasi kontak langsung dengan personil dan APD
yang sesuai selama prosedur. Jika butuh intubasi, hal ini harus dikerjakan
diluar laboratorium untuk menghindari kontaminasi. Rawat inap rumah
sakit dan seluruh prosedur tambahan (EKG dan ekokardiografi) sebaiknya
dikurangi sebisanya dan dilakukan setelah penilaian klinis kembali
terhadap kebutuhan pemeriksaan tersebut.

Tabel Kategori prosedur elektrofisiologis pada keadaan COVID-19

Tata laksana Aritmia Jantung pada Pasien dengan Infeksi COVID-19


Insidensi dan tipe aritmia jantung sebagai konsekuensi langsung
infeksi COVID-19 masih belum diketahui. Pada studi retrospektif satu
pusat kesehatan dengan 138 pasien perawatan dengan infeksi pulmonal
COVID-19 di Wuhan, Cina, aritmia jantung terjadi pada 23 pasien

50
(16,7%) dan injuri kardiak akut pada 10 pasien (7,2%, yang diartikan
peningkatan troponin, atau perubahan EKG baru dan abnormalitas
ekokardiografi). Aritmia jantung dipikirkan sebagai komplikasi utama dan
terjadi paling
sering pada pasien yang dikirim ke ruang intensif (ICU) dibanding pasien
pada perawatan biasa (16 pasien dari 36 pasien [44%] vs 7 pasien dari 102
pasien [6.9%], p<0.001). Akan tetapi, tipe dan durasi aritmia tidak
disebutkan secara jelas pada laporannya. Secara umum, tatalaksana akut
pada aritmia seharusnya tidak berbeda signifikan dari tata laksana pasien
non-COVID dan harus sesuai dengan panduan ESC, European Heart
Rhythm Association dan panduan lainnya yang terkait.
Takiaritmia
Takikardia Supraventrikular
Tidak ada laporan khusus terhadap insidensi dari tipe non-AF/atrial
flutter dari takikardia supraventrikular paroksismal (TSVP) selama
infeksi COVID-19. Berdasarkan teori, eksaserbasi dari TSVP atau TSVP
baru mungkin terjadi pada pasien dengan infeksi COVID-19.
Pertimbangan khusus selama pandemik COVID-19 adalah tidak
tersedianya sementara prosedur kateter ablasi sebagai tatalaksana
definitif, risiko infeksi nosokomial pada kunjungan IGD berulang, dan
kemungkinan interaksi dengan obat antiaritmia .
● Adenosin intravena dapat digunakan secara aman untuk terminasi akut,
tapi kurang sebagai data konfirmasi;
● Terapi selanjutnya dengan obat BB (atau CCB jika BB kontraindikasi)
harus dimulai dengan dosis rendah. Interaksi obat dengan obat antivirus
harus dievaluasi, termasuk menghindari bradikardi untuk menghindari
kelebihan pemanjangan interval QT
● Setelah pandemik COVID-19, indikasi untuk ablasi kateter perlu dinilai
ulang

51
Atrial Fibrilasi and Flutter
Tidak ada pelaporan spesifik mengenai munculnya AF pada pandemik
COVID-19. Ada kemungkinan munculnya AF dipicu dengan adanya
pneumonia berat, ARDS, dan sepsis, insiden terjadinya AF saat perawatan
dikatakan tinggi. Sekitar 23-33% pada pasien kritis dengan sepsis atau
ARDS terjadi AF dan 10% muncul AF baru. 189-192 AF yang baru
muncul pada sepsis dan ARDS berkaitan dengan tingginya mortalitas
jangka panjang maupun pendek, sangat tinggi kejadian yang berulang serta
meningkatkan risiko gagal jantung dan stroke. 189-192 Laporan baru di
Italia, sekitar 355 pasien COVID-19 yang meninggal (usia rata-rata 79,5
tahun, 30% wanita), grafik retrospektif menunjukkan adanya riwayat AF
sekitar 24,5%. 7 Hal ini didukung dengan perkiraaan pasien yang masuk
ICU terutama usia tua dengan COVID-19 terjadi AF baru atau AF yang
berulang sehingga menimbulkan komplikasi dalam penatalaksanaannya.
Faktor spesifik yang memicu pada keadaaan ini adalah hipokalemia dan
hipomagnesemia (dipicu oleh mual, anoreksia, diare, dan obat-obatan),
asidosis metabolic, penggunaan agen inotropil (khususnya dobutamine dan
dopamine), disinkronisasi ventilator, kelebihan cairan, peningkatan tonus
simpatis, inflamasi, iskemia, superinfeksi bakterial, dan kerusakan
miokardium. Pada semua pasien AF, tujuan terapi harus
mempertimbangkan kontrol laju ventrikel, kontrol irama,dan profilaksis
tromboemboli. Khususnya pada infeksi COVID-19, pertimbangan ini
harus dipikirkan:
● Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil karena AF baru dan atrial
flutter, kardioversi elektrikal perlu dipertimbangkan. Personel yang
tersedia harus dipertimbangkan dan kemungkinan dibutuhkan intubasi
(dengan meningkatkan risiko aerosol virus);
● Pada pasien kritis dengan hemodinamik tidak stabil karena AF baru atau
atrial flutter,amiodaron intravena menjadi obat pilihan untuk kontrol
irama, walaupun kombinasi dengan hidroksi klorokuin dan atau
azitromisin harus dihindari. Jika digunakan, keuntungan dari

52
tatalaksana harus seimbang dengan risiko proaritmia karena prolongasi
QT
● Pada pasien dengan gangguan pernafasan akut berat, kardioversi
biasanya tidak diberikan. Keuntungan tanpa disertai tata laksana yang
baik karena adanya hipoksemia, inflamasi, dan pemicu lainnya seperti
hipokalemia, asidosis metabolik, infus katekolamin, kelebihan cairan,
peningkatan tonus simpatis, dan superinfeksi bakterial;
● Pada pasien yang dirawat dengan terapi antiviral dengan AF baru/atrial
flutter maupun yang berulang tapi dengan hemodinamik stabil,
penghentian obat antiaritmia (terutama sotalol dan flekainid , selain itu
amiodaron dan propafenone) dan inisiasi terapi kontrol laju nadi dengan
penyekat beta (atau CCB jika ada kontraindikasi, dengan atau tanpa
digoxin; tetap perhatikan interaksi obat) lebih dipilih untuk pilihan
terapi. Kardioversi spontan ke irama sinus mungkin terjadi dalam
beberapa jam atau hari pada. Pasien COVID-19 yang stabil dengan AF
baru dengan presentasi klinis ringan-sedang tanpa adanya inflamasi;
● Pada pasien perawatan dengan atrial flutter baru, kontrol laju nadi lebih
sulit disbanding AF. Jika pasien tetap simptomatik atau adanya masalah
hemodinamik, kardioversi elektrik dapat dipertimbangkan;
● Antikoagulan untuk mencegah stroke yang terkait AF atau emboli
sistemik perlu dipandu dari skore CHA2DS2-VASc. Antikoagulan
terapeutik perlu dipertimbangkan pada pasien laki-laki dengan
CHA2DS2-VASc ≥ 1 dan perempuan ≥ 2, dan diindikasikan pada
pasien laki-laki dengan CHA2DS2-VASc ≥ 2 dan perempuan ≥ 3.
● Kebutuhan ekokardiogram harus dipertimbangkan baik karena perlu
kontak erat antara dokter dan pasien serta kontaminasi alat. Hanya Jika
dibutuhkan untuk terapi secepatnya pada pasien kritis untuk menilai
fungsi ventrikel kiri dan keterlibatan perikardium dan miokardium.
Ekokardiografi torakal lebih dipilih dibanding esofageal untuk
menghindari tindakan aerosol. Jika mungkin bisa ditunda setelah masa
penyembuhan

53
● Ekokardiografi esofageal sebaiknya dihindari pada awal pemberian
antikoagulan pada pasien AF baru.
● Interaksi obat-obat termasuk antiviral, antiaritmia, dan antikoagulan
harus dipertimbangkan sebelum pemberian. Setelah sembuh dari
COVID-19, pilihan terapi kontrol irama atau kontrol laju jantung harus
dinilai kembali, dan antikoagulan jangka Panjang harus dilanjutkan
berdasarkan skor CHA2DS2-VAS

Tabel Penatalaksanaan Takiaritmia pada Covid 19

Aritmia Ventrikel
Walaupun belum ada yang melaporkan adanya insidensi aritmia ventrikel
pada populasi general pasien dengan infeksi COVID-19, suatu studi
retrospektif di satu pusat kesehatan dari Wuhan menganalisis adanya

54
kejadian dan aritmia ventrikel maligna yang signifikan pada 187 pasien
yang dirawat dengan infeksi COVID-19. Dari 187 pasien (usia rata-rata 58
± 14.7 tahun, 49% laki-laki), 43 pasien (23%) meninggal saat perawatan.
Secara keseluruhan, 66 pasien (35,3%) dengan penyakit kardiovaskular
termasuk hipertensi (32,6%), penyakit jantung koroner (11,2%), dan
kardiomiopati
(4,3%), dan 52 pasien (27,8%) terdapat injuri miokardium dengan
peningkatan level Troponin T. Selama perawatan, aritmia ventrikel
maligna (VT menetap atau VF) terjadi pada 11 pasien (5,9%). VT/VF
terjadi paling sering dengan peningkatan level troponin (17.3% vs 1.5%, p
< 0.001). Hal inimenunjukan adanya aritmia ventrikel maligna sebagai
penanda terjadinya injuri miokardium akut dan mungkin menunjukkan
kebutuhan pemberian antiviral dan imunosupresan yang lebih agresif. Pada
pasien dengan riwayat kardiovaskular dan aritmia ventrikel, eksaserbasi
VT/VF dapat terjadi karena infeksi COVID-19. Walaupun laporan belum
ada untuk COVID-19, korelasi antara kebutuhan terapi ICD dan pandemi
influenza sudah diketahui. Pertimbangan khusus selama pandemik
COVID-19 dirangkum seperti di bawah ini:
● Pasien yang tidak responsif tanpa bernafas, protocol local Bantuan
Hidup Dasar dan Advans harus dilakukan. Selama bantuan hidup dasar,
ventilasi tidak dilakukan hanya kompresi kardiak, untuk menghindari
kegiatan aerosol. Untuk Bantuan Hidup Lanjut, hanya tenaga kesehatan
dengan APD lengkap yang dapat melakukan intubasi
● Pada pasien dengan VF, defibrilasi asinkronasi, dan pada pasien dengan
VT hemodinamik tidak stabil, kardioversi elektrikal tersinkronisasi
harus dilakukan;
● Pada pasien dengan VT monomorfik menetap:
o Kardioversi elektrik harus dipertimbangakan pada pasien dengan obat
kombinasi antiviral yang membuat pemanjangan QT interval,
khususnya pada pasien yang sudah dalam ventilasi

55
o Prokainamid intravena (jika ada) atau lidokain, perlu dipertimbangan
pada pasien dengan obat antivral kombinasi yang membuat
pemanjangan QT interval jika hemodinamik mendukung;
o Amiodarone intravena harus dipertimbangkan pada pasien dengan
penyakit jantung struktural dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Akan
tetapi hal ini dapat memperlambat konversi VT dan kombinasi dengan
hidroksiklorokuin dan azitrmoisin
harus dihindari. Keuntungan terapi harus seimbagn dengan meningkatnya
resiko proaritmia karena pemanjangan interval QT
● Pada pasien dengan rekuren VF ( VT storm ) intravena amiodarone
dipilih sebagai obat antiaritmia. Akan tetapi, kombinasi dengan
hidroksiklorokuin dan azitromisin harus dihindari dan Keuntungan
terapi harus seimbagn dengan meningkatnya rsiko proaritmia
karenapemanjangan interval QT
● Lidokain intravena dapat dipertimbangkan karena lebih aman tapi
kurang efektif dibandingkan amiodaron, terutama jika dicurigai terdapat
iskemia:
o Penambahan penghambat simpatetis (contoh esmolol) perlu
dipertimbangkan
o Intubasi (dengan resiko penularan virus), sedasi dan ventilasi bisa
dipertimbangkan untuk menghentikan VT storm
o Pacu jantung temporer untuk terminasi overdrive perlu
dipertimbangkan , melihat keseimbangan antara manfaat terapi
invasive dengan risiko terhadap personel.
● Pada pasien dengan gangguan respiratorik akut, koreksi pemicu yang
mendasari harus dipertimbangkan seperti hipoksia, hipovolemia,
gangguan elektrolit seperti hipokalemia dan hypomagnesemia, asidosis
metabolic, infus katekolamin, kelebihan cairan, peningkatan tonus
simpatis, tamponade, pneumothoraks, iskemia, superinfeksi
bacterial,dan obat proaritmia;

56
● Perhatian khusus harus dilakukan untuk mencegah VT TdP pada
keadaan infeksi COVID-19;
o TdP adalah VT polimorfik dengan pemanjangan QT dan dipicu oleh
obat antiviral yang menyebabkan pemanjangan QT
(hidroksiklorokuin dan azitrmoisin), terutama dengan kombinasi
obat antiaritmia (terutama sotalol), gangguan elektrolit (terutama K+
dan Mg2+), gangguan ginjal, dan/atau bradikardi, terutama pada
perempuan dap pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri atau gangguan
fungsi ventrikel kiri
o Terapi TdP terdiri dari:
▪ Menghentikan semua obat-obat yang memperpanjang QT interval
▪ Mengembalikan level potassium (target > 4.5 mEq/L)
▪ Suplementasi magnesium intravena
▪Meningkatkan denyut jantung, dengan menghentikan obat
bradikardi jika perlu isoproterenol intravena atau pacu jantung
temporer (menimbang manfaat dan risiko terhadap personel).
Isopreterenol dikontraindikasikan pada pasien sindrom
pemanjangan QT kongenital.
● VT polimorfik tanpa pemanjangan QT bukan TdP tapi biasanya sinyal
iskemia atau injuri miokardium akut
● EkokardiografI sebaiknya dieprtimbangkan pada semua pasien dengan
ventriker aritmia malignan yang tidka terkait pemanjangan QT utnuk
menilai fungsi ventriken dan keterlibatan miokardial
● Setelah sembuh dari infeksi COVID-19 yang membutuhkan ICD sebagai
profilaksis, ablasi kateter, atau defibrillator yang dapat digunakan (pada
kecurigaan kardiomiopati transien karena miokarditis) perlu dievaluasi
kembali.

57
Kanalopati
Tidak ada laporan spesifik terhadap kejadian pada pasien COVID-19
dengan kanalopati. Akan tetapi,infeksi COVID-19 dapat terjadi pada
pasien yang diketahui kongenital LQTS, sindrom Brugada,
atecholaminergic polymorphic ventricular tachycardia (CPVT), dan
sindrom pemendekkan QT dengan risiko proaritmia. Spesifik interaksi
pada kanalopati ini telah ditinjau pada beberapa tinjauan pustaka.

58
Pertimbangan khusus pada kongenital LQTS dengan infeksi COVID-19
adalah kombinasi obat antiviral (hidroksiklorokuin dan azitrmoisin) dan
faktor stress (gangguan elektrolit dan gangguan ginjal) yang dapat
memperpanjang QTc. QTc harus dipantau ketat. Semua obat yang
membuat QT memanjang yang tidak perlu harus dihentikan, dan jika QTc
> 500 ms atau jika QTc meningkat ≥ 60 ms dari dasar, sebaiknya obat
antiviral perlu ditinjau kembali dan batas potassium harus tetap > 4.5
mEq/L. Pada sindrom Brugada dengan infeksi COVID-19, perhatian
utama ada demam yang memicu aritmia ventrikel maligna. Oleh karena
itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan parasetamol. Seperti
yang telah dilaporkan pada laporan kasus terbaru, demam COVID-19
dapat menimbulkan gejala pada pasien ini. EKG harus dipantau jika terapi
antipiretik tidak efektif dan suhu > 38.5 C pada risiko tinggi pasien dengan
Brugada. Pada pasien dengan CPVT dan infeksi COVID-19, penyekat beta
dan flekainid harus dilanjutkan dengan pemantauan interaksi obat dengan
obat antiviral dan pasien dengan kondisi kritis, infus katekolamin harus
diberikan harus dengan hati-hati dan butuh pemantauan terus menerus

59
Bradiaritmia
Tidak ada laporan khusus kejadian bradikardi pada infeksi COVID-19.
Secara teori, eksaserbasi sistem konduksi atau gangguan nodus sinus atau
blok AV derajat tinggi yang baru atau disfungsi nodus sinus dapat terjadi
pada infeksi COVID-19, terutama pada keterlibatan miokardium. Studi
eksperimen dari 1999 menunjukkan kelinci yang terinfeksi coronavirus
memiliki abnormalitas EKG termasuk AV blok derajat dua karena
miokarditis dan gagal jantung. Pada pasien kritis di ICU, bradikardia
transien dan asistol dapat terjadi karena kecenderungan respirasi, intubasi,
atau pengisapan trakea sehingga meningkatkan reflek tonus vagal. 189
Hipoksemia harus disingkirkan. Laju jantung/selisih temperatur
diobservasi pada pasien dengan COVID-19. Laju jantung pada perawatan
sekitar 80x/m, semakin pelan di banding pasien dengan demam. Hal ini
juga diobservasi pada penyakit infeksi lain seperti tifoid.

60
Pertimbangan khusus pada pemasangan pacu jantung permanen pada
pasien dengan COVID-19 memiliki prognosis buruk pada pasien dengan
ventilasi mekanik, meningkatkan risiko superinfeksi bakterial dan infeksi
alat pada pasien kritis, risiko infeksi nosokomial pada saat pemasangan
pasien tanpa COVID-19 dan efek bradiaritmia transient karena terapi
antiviral.
● Beberapa terapi untuk COVID-19 dapat meningkatkan kemungkinan
AV blok atau bundle branch block , seperti klorokuin (berkurang pada
hidroksiklorokuin) atau fingolimod . Beberapa efek mungkin muncul
setelah beberapa minggu; Oleh karena itu, pasien yang sudah sembuh
dari COVID-19 harus diperingati gejala seperti pusing, presinkop atau
sinkop, dan diinstruksikan untuk ke pusat kesehatan jika muncul gejala
tersebut;
● Untuk menghindari bradikardi sebagai hasil dari interaksi obat-obat,
pemantauan kadar obat dan dosis harus disesuaikan kembali Pada kasus
bradikardi simtomatik persisten karena AV blok atau disfungsi nodus
sinus yang berulang dengan pause:
o Semua obat karena bradikardi harus dihentikan
o Isoprenalin dan atropine harus diberikan
o Pacu jantung temporer harus dipikirkan dan dievaluasi kembali
Tata laksana infeksi SARS-CoV-2 infection
Pokok Utama
● Terdapat kelangkaan bukti ilmiah terkait efikasi dan risiko dari berbagai
strategi tata laksana pada pasien dengan COVID-19
● Semua pasien diberikan terapi antiviral, hal ini yang penting dalam
faktor predisposes pemanjangan QTc: gangguan elektrolit, obat-obat
penyerta, dan bradikardia;
● EKG awal mungkin tidak perlu sebelum terapi antiviral, terutama jika
EKG sebelumnya sudah ada dan tidak ada indikasi klinis (seperti
sinkop). Hal ini menyelamatkan tenaga kerja kesehatan dari waktu dan
penyebaran nosokomial;

61
● Pada saat pemberian terapi, EKG direkomendasikan untuk
menyingkirkan adanya pemanjangan QTc (>500ms atau >60 ms dari
EKG awal)
● Alokasi sumber daya harus dipertimbangkan secara local tergantung
ketersediaan. Dalam hal ini bisa dipertimbangkan alternative monitor
EKG lainnya
● Pada pasien COVID-19 dengan indikasi terapi antikoagulan oral, fungsi
ginjal dan liver, dan interaksi obat antara obat antikoagulan dan terapi
COVID-19 harus dipertimbangkan untuk mengurangi risiko perdarahan
dan komplikasi tromboemboli;
● Pada pasien yang dapat diberikan NOAC (tanpa katup mekanik, mitral
stenosis sedang-berat atau sindrom antifosfolipid), NOAC lebih dipilih
dibanding VKA karena lebih aman dan dosis tetap tanpa butuh
monitoring lab dari efek antikoagulan
● Apoxaban, rivaroxaban, atau edoxaban dapat diberikan secara solusio
oral atau dihancurkan melalui selang intubasi, pasien kritis berat dapat
diberikan antikoagulan secara parenteral yang secara klinis tidak ada
interaksi obat dengan terapi COVID-19 (kecuali dengan azitromisin
tidak bisa digabung dengan UFH)
Aritmogenik dan Pertimbangan QTc pada Terapi COVID-19
Strategi tatalaksana SARS-CoV-2 dapat menggunakan kombinasi
beberapa obat untuk memiliki efek sinergis. Oleh karena kurangnya bukti
ilmiah untuk efikasinya, obat yang dipikirkan memiliki efek virisida yang
digunakan dianggap ‘ off-label ’ termasuk klorokuin/hidroksiklorokuin,
inhibitor protease (seperti lopinavir-ritonavir atau beberapa kasus
darunavir-kobisistat), remdesivir, dan azitromisin. Pada kasus spesifik,
interferon dan untuk ARD diberikan glukokortikoid dan/atau tocilizumab.
Chloroquine banyak digunakan sebagai obat antimalaria dan tatalaksana
reumatologi seperti SLE dan artritis rheumatoid dan ditemukan dapat
menghambat pertumbuhan SARS-CoV-2 secara in vitro.

62
Hydroxychloroquine adalah analog klorokuin dengan kurangnya
intoleransi gastrik dan kurang interaksi obat. Secara in vitro,
hidroksiklorokuin lebih poten dibanding klorokuin. Suatu studi klinis
kecil, menunjukkan sekresi nasofaringeal yang positif SARS-CoV-2 secara
signifikan berkurang pada hari ke-6 setelah inklusi (hari kesepuluh setelah
onset gejala) pada pasien terinfeksi COVID-19 yang diterapi (26 pasien)
dibanding terapi suportif saja (16 pasien). Akan tetapi, keterbatasan utama
(jumlah sampel yang sedikit; grup yang tidak homogen dengan perbedaaan
viral load , jumlah hari setelah simptom muncul, dan kualitas pemantauan;
dan administrasi obat-obatan yang terlambat sehingga mungkin mendekati
waktu pembersihan virus yang ada), menyebabkan keraguan dari hasil
penelitian ini. Bukti terbaru tidak menunjukkan translasi hidroksiklorokuin
in vitro secara klinis berkaitan dengan dengan luaran. Hasil dari uji klinis
efikasi klorokuin/hidroksiklorokuin pada terapi SARS-CoV-2 harus
menunggu rekomendasi definit yang disediakan. Perhatian utama pada
obat ini adalah risiko pemanjangan QTc yang sangat jarang dan TdP/
kematian mendadak. Metaanalisis terbaru pada kardiotoksisitas
aritmogenik pada kuinolon dan secara struktural berkaitan pada obat
antimalaria risiko ini minimal (tidak ada kejadian kematian jantung
mendadak dan VF yang terdokumentasi TdP pada 35558 individu, 1207
konsumsi klorokuin). Akan tetapi, selama infeksi COVID-19, risiko QT
dapat meningkat karena obat-obat lain dan gangguan elektrolit
(hipokalemia, hypomagnesemia, dan atau hipokalsemia). Perhatian kedua
dengan klorokuin/hidroksiklrokuin adalah terjadinya gangguan konduksi
walaupun sangat jarang dang biasanya berkaitan dengan terapi jangka
panjang. Inhibitor protease lopinavir-ritonavir menunjukkan efektif
melawan SARS-coronavirus dan MERS-coronavirus in vitro pada model
hewan. Suatu studi randomized controlled menunjukkan pasien dirawat
dengan COVID-19 berat, kombinasi lopinavir-ritonavir tidak memberikan
manfaat tambahan dibandingkan terapi standar. 208 Kritik utama pada
penelitian ini adanya keterlambatan dari onset penyakit terhadap

63
pemberian terapi (median 13 hari). Hal yang penting, tidak ada kejadian
efek samping utama dengan proaritmia di kedua grup dan hanya ada satu
kejadian pemanjangan QTc pada grup lopinavir-ritonavir (tidak ada detail
pada derajat adanya faktor konkomitan lainnya berkaitan dengan interval
QT). Akan tetapi, interaksi obat-obat dijelaskan (terutama karena adanya
poten inhibitor CYP3A4 dengan metabolisme (hidroksiklorokuin) yang
harus dipertimbangkan. Pada beberapa kombinasi, dosis dinilai ulang atau
berubah jika perlu. Ketika lopinovir-ritonivir tidak tersedia dan/atau pasien
tidak bisa, darunavir-cobicistat dapat diberikan sebagai alternative. Studi
animal dan in vitro menunjukkan bahwa remdesivir efektif melawan
zoonotic dan SARS-coronavirus and MERS-coronavirus pandemik.
Beberapa studi randomized controlled saat ini masih berjalan di pandemik
SARS-CoV-2 saat ini, Studi in vitro menunjukkan efikasi yang lebih baik
pada remdesivir dibanding lopinavir-ritonavir. Keuntungan obat ini tidak
ada interaksi obat yang signifikan dan tidak berpengaruh terhadap QT.
Akan tetapi, belum ada secara global masih dalam penelitian. Penggunaan
azithromycin (inhibitor CYP3A4 lemah) muncul karena ada penelitian
studi non-randomisasi dari pasien COVID-19 dengan pemberian
hidroksiklorokuin dan pasien dengan terapi suportif. Sebanyak 6 pasien,
ditambahkan dengan azitromisin menunjukkan reduksi signifikan pada
SARS-CoV-2 di sekresi nasofaring. Azitromisin dilaporkan terdapat kasus
yang berkaitan dengan pemanjangan QT dan TdP terutama pada pasien
berisiko. Dua studi telah mengevaluasi hubungan adanya asosiasi antara
klorokuin dan azitromisin untuk pencegahan dan tata laksana malaria di
Afrika dengan 144 dari 1445 individu, pada grup dengan kombinasi.
Hubungan antaraklorokuin dan azitromisin menunjukkan aman dalam
profilnya.

Evaluasi QTc untuk Mencegah Proaritmia karena Obat


Pemanjangan QT karena beberapa obat secara teori dapat menyebabkan
VT polimorfik (TdP). Hal ini merupakan komplikasi yang sangat jarang

64
dan dipertimbangkan keseimbangan antara manfaat dan resiko dari terapi
pasien COVID-19. Gambar.19 menunjukkan alur grafik untuk pasien
dalam mencegah TdP sebagai panduan waktu dan pengulangan EKG dan
penilaian QTc. Secara singkat, berikut tahap yang dapat dilakukan:
1. Identifikasi faktor risiko yang berkaitan dengan QTc
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi: kongenital LQTS,
pemanjangan QT sebelumnya pada obat yang menyebabkan
pemanjangan QT, perempuan, usia>65 tahun, penyakit jantung
struktural (SKA, gagal jantung yang tidak dapat dikompensasi,
HOCM), gangguan ginjal, gangguan liver;
b. Risiko yang dapat dimodifikasi: hipokalsemia, hypokalemia,
hypomagnesemia, dan obat-obatan.
2. Identifikasi dan perbaiki faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Kalium
harus batas atas ( ≥ 4.5mEq/L)
3. Lakukan EKG awal. Pasien dengan awal EKG QT ≥ 500 ms memiliki
risiko tinggi Td Patau kematian jantung mendadak. Hal in harus
memperitmbangkan untung rugi untuk pasien.
4. EKG dilakukan ketika dalam terapi. Jika QTc ≥ 500 ms atau ΔQTc ≥ 60
ms, peritmbangkan perubahan obat dengan risiko pemanjangan QT
yang lebih rendah, mengurangi dosis obat, atau lanjut
terapi.Pemantauan ketat dan keseimbangan elektrolit harus
dipertahankan.

Bradikardi memperpanjang QT dan memicu TdP. Ketika obat COVID-


19 memiliki efek bradikardi lemah, konkomitan penggunaan BB, CCB,
ivabradine dan digoxin harus dievaluasi. Jika digoxin dibutuhkan untuk
pasien, perlu dicek kadar plasma darah.

65
Aspek Teknis Penilaian QT
Untuk pasien dengan QRS lebar ((≥ 120 ms) karena bundle branch block
atau ventricular pacing ,penyesuaian QTc dibutuhkan. Ada formula yang
bisa dilakukan, tapi dengan lebih mudah batas QTC menjadi 550ms.
Beberapa menyarankan menggunakan a rule of thumb untuk menilai
minus QT (lebar QRS 100 ms) Standar 12-lead EKG mungkin tidak
mudah dikerjakan karena meningkatkan risiko kontak tenaga kesehatan.
Penggunaan EKG modern genggam dan dipertimbagkan untuk
mengurangi EKG tradisional. Pada studi terbaru, QTc pada lead-I dan
lead-II dibanding EKG tradisional dan KEG gagal pada 99 orang sehat dan
20 pasien perawatan dengan irama sinus diberikan dofetilide atau sotalol.
QT pada EKG genggam menunjukkan sangat sesuai dibanding EKG 12-
lead. EKG genggam ini memiliki spesifitas yang tinggi mendeteksi QTc >
450 ms dan harus dipikirkan efektif pada pasien rawat jalan untuk monitor
pasien dengan pemanjangan QTc.

66
Pertimbangan Terapi Antikoagulan pada Pasien COVID- 19
Banyak pasien kardiak atau pasien dengan riwayat kardiovaskular
memiliki indikasi untuk antikoagulan. Pasien COVID-19 dalam
penggunaan antikoagulan oral dapat diubah menjadi parenteral
antikoagulan LMWH dan UFH ketika perawatn ICU dengan presentasi
klinis yang berat. Kami akan menjelaskan kembali disini reduksi dosis
konvensional untuk NOAC, untuk pasien yang dapat diberikan secara oral.
Untuk lebih lanjut, termasuk penilaian fungsi renal dan liver serta
peritmbangan lain pada pasien dengan NOAC, harap dilihat di Panduan
Praktikal 2018 EHRA pada pasien AF.
● Apixaban: dosis standar (2 x 5 mg) harus dikurangi menjadi 2 x 2.5 mg
jika terdapat dua dari tiga kriteria (berat badan < 60 kg, usia > 80 tahun,
kreatinin > 133 μmol/l [1.5 mg/dL] atau creatinine clearance [CrCl]
15–29 mL/min);
● Dabigatran: dosis standar 2 x 150 mg and 2 x 110 mg. Tidak ada kriteria
reduksi yang spesifik tapi, sesuai tabel obat, 2 x 110 mg harus diberikan
pada usia > 80 years, bersamaan dengan verapamil, meningkatkan risiko
bleeding;
● Edoxaban: dosis standar (1 x 60 mg) harus dikurangi menjadi 1 x 30 mg
jika berat badan < 60 kg, CrCl < 50 mL/min, bersamaan dengan obat
dengan penghambat P-gp yang kuat;
● Rivaroxaban: the standard dose (1 x 20 mg) harus dikurangi menjadi 1 x
15mg jika CrCl < 50 mL/min. Pada pasien yang sulit menelan, NOAC
dapat diberikan dengan cara:
● Dihancurkan (lewat selang nasogastric) tidak mengubah bioavailabilitas
apixaban, edoxaban, dan rivaroxaban .
● Apixaban dapat diberikan secara solusio oral atau selang nasogastric
ataupun gastrik pada perut kosong (makanan mengganggu
bioavailabilitas pada tablet yang dihancurkan). Solusio oral apixaban 5
mg (12.5 mL dari 0.4mg/mL oral solusio lewat oral syringe dengan 240
mL air) telah tersedia;

67
● Rivaroxaban dapat diberikan solusio oral atau via selang nasogastric
dengan suplementasi nutrisi (tiba enteral tidak boleh di distal lambung);
● Kapsul dabigatran sebaiknya tidak dibuka karena meningkatkan
bioavailabilitas sebanyak 75%.

68
BAB V

KESIMPULAN

Tatalaksana akut pada aritmia seharusnya tidak berbeda signifikan dari


tatalaksana pasien non-COVID dan harus sesuai dengan panduan ESC,
European Heart Rhythm Association dan panduan lainnya yang terkait.
Hanya saja diperlukan pemantauan efek terhadap efek obat-obatan anti
viral pada covid 19 untuk mencegah gangguan irama jantung.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Firdaus Isman, Sukmawan Renan, dkk. Panduan Diagnosis dan

Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular pada Pandemi Covid 19

( Terjemahan dokumen European Society of Cardiology 21 April

2020). Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Kardiovaskular

Indonesia. Jakarta. 2020

2. Khatib Sama, Stevenson William, dkk. AHA/ACC/HRS Guidline of

Patients With Ventricular Arrhytmias and The Preffention of

Sudden Cardiac Death .2017

3. Cruischkank Jaysen. Initial Management of Cardiac

Arrythmia.2018

4. Susilo Aditya, Rumende Martin,dkk. Coronavirus Disease 2019 :

Tinjauan Literatur Terkini. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS

Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2019

5. Burlan Herlina, Dwi Susanto Agus, dkk. Protokol Tatalaksana

Covid 19. Jakarta. 2019.

6. Isbaniyah Fathiyah, Kusumowardhani Dhiyani, dkk. Pedoman

Pencegahan dan Pengendalian Covid 19. Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia. 2020.

7. Subuh Muhammad, Slamed, dkk. Pedoman Penanganan cepat

medis dan Kesehatan Masyarakat Covid 19 di Indonesia. Jakarta.

2020.

70
8. I Wu Cheng. Postema Pieter, dkk. SARS- CoV 2- Covid 19 and

Inherited Aryhtmia Syndromes. 2020

9. American Collage of Cardiology. Covid 19 Clinical Guidance For

The Cardiovaskular Care Team. 2020.

71

Anda mungkin juga menyukai