Anda di halaman 1dari 5

Bait tentang Isra' & Mi'raj dalam Kitab Aqidatul Awam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuqi Al-

Makky :

‫س يُ ْد َرى‬ ٍ ‫ ِم ْن َّم َّك ٍة لَ ْيالً لِقُ ْد‬- ‫َوقَ ْب َل ِهجْ َر ِة النَّبِ ِّي اإْل ِ ْس َرا‬
‫ـي َربـ ًّــا َكلَّــ َما‬ُّ ِ‫َوبَ ْع َد إِ ْس َرا ٍء ُعرُوْ ٌج لِل َّس َما – َحــتَّى َرأَى النَّب‬
ْ‫ار َوا ْفت ََرضْ – َعلَ ْي ِه خَ ْمسًا بَ ْع َد خَ ْم ِس ْينَ فَ َرض‬ ٍ ‫ص‬ َ ‫ْف َوا ْن ِح‬
ٍ ‫ِم ْن َغي ِْر َكي‬
ُ َّ
‫ض خَ ْم َس ٍة بِاَل ا ْمتِ َرا ٍء‬ ِ ْ‫َوبَل َغ اأْل َّمةَ بِاإْل ِ س َْرا ِء – َوفَر‬
ُ‫ق َوافَى أَ ْهلَه‬ ُ ‫ج الصِّ ْد‬ ِ ْ‫ق لَهُ – َوبِ ْال ُعرُو‬ ٍ ‫ق بِتَصْ ِد ْي‬ ِ َ‫قَ ْد فَاز‬
ٌ ‫ص ِّد ْي‬
"Nabi Muhammad Isra' sebelum Hijrah, dari Mekah ke Baitul Maqdis pada malam hari".

"Setelah Isra beliau Mi'raj ke langit, sehingga beliau melihat Tuhan berkata (kepadanya)".

"Tidak dengan cara (percakapan pada umumnya) dan tanpa batasan tempat. Kemudian Allah
mewajibkannya 5 waktu Sholat setelah sebelumnya (diwajibkan) dalam 50 waktu".

"Kemudian beliau menyampaikan (Kabar) Isra' dan kewajiban Sholat 5 waktu kepada Ummat
Islam tanpa adanya keraguan".

"Telah beruntung Ash-Shiddiq (Abu Bakar) dengan membenarkannya, maka dengan Mi'raj ini
beliau menjaga keluarganya (dengan Iman yang sempurna)".

Syeikh Muhammad Bin Ali Ba'athiyyah dalam Kitabnya Mujazul Kalam ketika mengomentari
bait ke 46-50 dari Nadzom Aqidatul Awam tersebut menuturkan:  Di antara hal yang wajib
diyakini oleh setiap Muslim dengan keyakinan yang teguh adalah peristiwa Isra' (perjalanan di
malam hari) Nabi Muhammad SAW dari Mekah Al-Mukarromah ke Baitul Maqdis sebelum
Hijrah ke Madinah.

Sedangkan dalam hal ini, meyakini Peristiwa Isra' merupakan hal yang harus diketahui dalam
Agama Islam. Sehingga barang siapa yang mengingkarinya akan Kafir, karena Peristiwa ini telah
termaktub dalam Firman Allah SWT :

َ ‫ُسب َْحانَ الَّ ِذيْ أَس َْرى بِ َع ْب ِد ِـه لَ ْيالً ِّمنَ ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َم ْس ِج ِد اأْل َ ْق‬
َ َ‫صى الَّ ِذيْ ب‬
)1 : ‫ (اإلسراء‬.ُ‫ار ْكنَا َحوْ لَه‬
"Maha suci Dzat yang telah memperjalankan hambanya pada malam hari dari Masjidi Al-Haram
ke Masjid Al-Aqsho yang telah kami berkahi sekitarnya". (QS. Al-Isra' : 1)

Kemudian setelah Isra', Nabi Muhammad SAW dimi'rajkan (dinaikkan) ke langit dengan Ruh
dan Jasadnya dalam keadaan sadar (bukan mimpi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Mu'awiyah bahwasannya Nabi Muhammad SAW itu Mi'raj dalam keadaan mimpi. Atau Riwayat
dari Sayyidah Aisyah r.a. :

"ُ‫ فِ َرا َشه‬-‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ – ‫" َما فَقَ َد َج َس ُد ُم َح َّم ٍد‬.
"Sungguh jasad Nabi Muhammad SAW tidak pergi dari tempat tidurnya".

Akan tetapi menurut Ulama' mengenai riwayat dari Sayyidah Aisyah r.a. ini ketika Nabi
Muhammad SAW sudah menetap di Madinah, atau kemungkinan pernah terjadi Mi'raj yang
serupa tapi hanya dengan Ruhnya saja, dan inilah yang dikabarkan oleh Sayyidah Aisyah r.a.
Sedangkan Mi'raj yang terjadi ketika Nabi SAW di Mekkah umur Sayyidah Aisyah r.a. masih
terlampau kecil sekitar 4 tahun sehingga beliau tidak mengetahuinya.

Sedangkan dalam hal ini para pendahulu dari kalangan Sahabat bahkan telah menjadi Ijma'
(kesepakatan bersama) semua Ulama di abad ke 2 Hijriyah sesugguhnya Mi'rajnya Nabi
Muhammad SAW itu dengan Ruh dan Jasadnya dalam keadaan terjaga (sadar), dan barang siapa
yang mengingkarinya maka ia dianggap Fasiq.

Kemudian Ulama' berpeda pendapat tentang tempat sampainya Nabi Muhammad SAW dalam
peristiwa Mi'raj ini dalam beberapa pendapat di antaranya ada yang menyatakan sampai ke
Surga, ada pula yang menyatakan sampai ke 'Arsy bahkan jauh lebih itu di atasnya 'Arsy sampai
di batas Jagat Raya (Sidratul Muntaha). (Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyah karya Syeikh
Abdul Ghoni Al-Hanafi Ad-Dimasyqi halaman 75)
Setelah Nabi Muhammad SAW sampai di tempat Mi'raj tersebut beliau melihat Allah SWT,
kemudian Allah berfirman secara langsung kepadanya. Dan hal ini (melihat Allah) termasuk hal
yang Khusus yang tidak terjadi kepada siapapun di dunia ini kecuali Nabi Muhammad SAW.
(Silahkan merujuk pada Kitab Al-Bajuri 'Ala Al-Jauharah)

Imam Al-Qurthubi didalam Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an Juz 7 Halaman 156 berkata :

" ‫ ثم قال‬.‫ أما نحن بنو هاشم فنقول رأى ربه مرتين‬:‫ فقال ابن عباس‬,‫ اجتمع ابن عباس وأبي بن كعب‬: ‫قال عبد هللا بن الحارث‬
: ‫ قال‬.‫ وآله وسلم وعليهم أجمعين‬ ‫ والرؤية لمحمد صلى هللا عليه‬,‫ والكالم لموسى‬,‫ أتعجبون أن الخلة تكون إلبراهيم‬: ‫ابن عباس‬
‫ فكلم موسى ورآه‬,‫ إن هللا قسم رؤيته وكالمه بين محمد وموسى عليهما السالم‬: ‫ ثم قال‬,‫فكبر أبي بن كعب حتى جاوبته الجبال‬
‫ وحكاه أبو عمر الطلمنكي عن‬.‫ أن الحسن كان يحلف باهلل لقد رأى محمد ربه‬: ‫ وحكى عبد الرزاق‬.‫محمد صلى هللا عليه وسلم‬
‫ هل رأى‬: ‫ وحكى ابن إسحاق أن مروان سأل أبا هريرة‬.‫عكرمة وحكاه بعض المتكلمين عن ابن مسعود واألول عنه أشهر‬
‫ حتى انقطع‬... ‫ بعينه رآه رآه‬: ‫ أنا أقول بحديث ابن عباس‬: ‫ وحكى عن النقاش عن أحمد بن حنبل أنه قال‬.‫ نعم‬: ‫محمد ربه؟ فقال‬
7/156 ‫ إهـ الجامع ألحكام القرآن للقرطبي ج‬.‫نفسه يعني نفس أحمد‬.   
"Abdullah Bin Al-Harits berkata : Telah berkumpul Ibnu Abbas dan Ubay Bin Ka'ab, kemudian
Ibnu Abbas berkata : Adapun kami Bani Hasyim berkata bahwasannya Nabi Muhammad SAW
telah melihat Tuhannya dua kali. Kemudian Ibnu Abbas berkata lagi : Tidakkah kalian kagum
sesungguhnya gelar Al-Khalil (Sang Kekasih) diperoleh Nabi Ibrahim a.s., kemudian gelar Al-
kalim (Yang diajak bicara) diperoleh Nabi Musa a.s., sedangkan melihat Allah SWT diperoleh
Nabi Muhammad SAW. Al-Harits berkata : Maka bertakbirlah Ubay Bin Ka'ab seraya berkata :
Sesungguhnya Allah telah membagi Ru'yah & Kalamnya antara Nabi Muhammad SAW dan
Nabi Musa a.s., Allah berbicara pada Nabi Musa a.s. dan memperlihatkan Nabi Muhammad
SAW kepadaNya".

"Abdurrazzaq berkata : Sesungguhnya Al-Hasan telah bersumpah atas Nama Allah bahwa
sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhannya. Abu Umar Ath-Tholamanki
meriwayatkan dari Ikrimah, dari sebagian Mutakallimin (Ulama' Ahli Kalam/Aqidah) dari Ibnu
Mas'ud r.a. sedangkan yang riwayat yang pertama lebih masyhur".

"Ibnu Ishaq meriwayatkan sesungguhnya Marwan bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah
Nabi Muhammad SAW telaj melihat Tuhannya? Maka Abu hurairah menjawab : Benar".

"An-Naqqosy telah meriwayatkan dari Imam Ahmad Bin Hanbal, sesungguhnya beliau berkata :
Aku berkata dengan Haditsnya Ibnu Abbas : Dengan matanya sungguh (Nabi Muhammad SAW)
telah melihatNya. Sampai-sampai nafas Imam Ahmad terputus ketika mengucapkannya".

Adapun Dalil secara Akal tentang diperbolehkannya melihat Allah SWT adalah : Sesungguhnya
Allah itu Dzat yang wujud (ada), dan setiap yang wujud itu boleh/bisa untuk dilihat. Sehingga
pada kesimpulannya Allah bisa dilihat. Sedangkan menurut Ahlussunnah Wal Jama'ah melihat
Allah SWT di akherat itu diperoleh juga bagi orang-orang yang beriman berdasarkan dalil dari
Al-Qur'an dan Hadits.

Dalil dari Al-Qur'an :

)23-22 : ‫ (القيامة‬.ٌ‫ ِإلَى َربِّهَا نَا ِظ َرة‬.ٌ‫ض َرة‬ ِ ‫ُوجُوْ هٌ يَّوْ َمئِ ٍـذ نَا‬
"Wajah-wajah (orang-orang Mu'min) pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya".
(QS. Al-Qiyamah : 22-23)
 
)26 : ‫ (يونس‬...ٌ‫لِلَّ ِذ ْينَ أَحْ َسنُوْ ا ْال ُح ْسنَى َو ِزيَا َدة‬
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya
(kenikmatan melihat Allah)".  (QS. Yunus : 26)   

Kata (‫ ْال ُح ْسنَى‬: Al-Husna) dalam ayat ini diterjemahkan oleh kebanyakan Ahli Tafsir dengan
makna "Surga", sedangkan kata (ٌ‫زيَا َدة‬:ِ Ziyadah) diterjemahkan dengan makna "Melihat Allah".

Dalil dari Hadits :

"‫" رواه الترمذي‬... ‫إِنَّ ُك ْم َستَ َروْ نَ َربَّ ُك ْم َك َما تَ َروْ نَ ْالقَ َم َر فِي لَ ْيلَ ِة ْالبَ ْد ِر‬
"Sungguh kalian (Mu'minin) akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat Bulan pada
malam Purnama…" (HR. Imam Tirmidzi)

Kemudian ada pula do'a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah SAW :
ْ َّ‫ َوارْ ُز ْقنَا الن‬..."
"‫ظ َر إِلَى َوجْ ِهكَ ْال َك ِري ِْم‬
"Dan anugrahilah kami untuk melihat Dzat-Mu yang mulia…"

Dari Ijma' :
Sesungguhnya Para Sahabat Nabi Muhammad SAW telah bersepakat (Ijma') tentang bolehnya
melihat Dzat Allah kelak di Akherat. Imam Malik r.a. berkata : "Ketika Allah menutup para
musuh-Nya maka mereka tidak bisa melihatNya".

Andai kata Orang Mu'min itu tidak bisa melihat Tuhan mereka di Akherat niscaya allah tidak
akan mencela orang-orang kafir dari keterhalangan mereka untuk melihat Dzat-Nya.
Sebagaimana Firman Allah SWT yang berikut ini :

)15 : ‫ (المطففين‬. َ‫َكاَّل إِنَّهُ ْم ع َْن َّربِّ ِه ْم يَوْ َمئِ ٍذ لَّ َمحْ جُوْ بُوْ ن‬
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat)
Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)

Imam Syafi'i r.a. berkata :

"‫ دل على أن قوما يرونه بالرضا‬,‫"لما حجب قوما بالسخط‬.


"Ketika suatu kaum (Kafir) dihalangi karena kemaran (Allah) hal ini menunjukkan kaum lainnya
(Mu'minin) melihatNya dengan Ridha".

Sedangkan Ru'yah (melihat) ini terjadi tidak seperti kita melihat teman kita, tidak pula serupa
dengan cara penglihatan yang terjadi pada Mahluk lainnya dengan saling berhadapan dan
menempati arah dan tempat. Serta tanpa batasan bagi yang terlihat dari yang melihatnya
sekiranya diliputi. Karena bagi Allah itu sangat Mustahil jika dibatasi dengan tempat, ruang dan
arah. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an :

")103 : ‫ (األنعام‬."ُ‫ار َوهُ َو اللَّ ِطيْفُ ْالخَ بِ ْير‬ َ ‫ك اأْل َب‬


َ ‫ْص‬ َ ‫اَل تُ ْد ِر ُكهُ اأْل َ ْب‬
ُ ‫صا ُر َوهُ َو يُ ْد ِر‬
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dialah yang Maha Lembut lagi Maha teliti." (QS. Al-An'am : 103)

Melihat Dzat Allah SWT ini bisa didapat oleh semua orang yang beriman baik dari kalangan
Manusia maupun kalangan Jin, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan Ahli Fatroh (orang
yang hidup di antara masa dua Rasul, tidak menemui yang pertama dan tidak pula menemui yang
ke dua seperti masa antara Nabi Isa a.s dan nabi Muhammad SAW) dan Malaikat juga bisa
melihat Allah. Sedangkan orang-orang yang Munafik dan Kafir tidak bisa melihatNya
sebagaimana Firman Allah SWT :

)15 : ‫ (المطففين‬. َ‫َكاَّل إِنَّهُ ْم ع َْن َّربِّ ِه ْم يَوْ َمئِ ٍذ لَّ َمحْ جُوْ بُوْ ن‬
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat)
Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)

Sebab mereka (Munafik & Kafir) tidak termasuk dari orang-orang yang dimuliakan oleh Allah.
Jadi pada kesimpulannya melihat Allah SWT itu sesuatu yang mungkin terjadi sebagaimana
Firman Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. di saat beliau meminta kepada Allah untuk
melihatnya :

") 143 : ‫ (األعراف‬."‫ قَا َل َل ْن تَ َرىنِ ْي َولَ ِك ِن ا ْنظُرْ إِلَى ْال َجبَ ِل فَإ ِ ِن ا ْستَقَ َّر َم َكانَهُ فَ َسوْ فَ تَ َرىنِ ْي‬,َ‫َربِّ أَ ِرنِ ْي أَ ْنظُ ُر إِلَ ْيك‬
"Wahai Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku bisa melihat Engkau, (Allah)
berfirman : "Engkau tidak akan melihat-Ku, akan tetapi lihat kepada Gunung itu apabila ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku". (QS. Al-A'raf 143)

Dalam ayat ini terdapat 2 pembahasan, yang pertama : Apabila melihat Allah SWT itu terlarang
di dunia niscaya Nabi Musa a.s. tidak akan meminta hal tersebut, sebab beliau adalah Nabi yang
mengetahui apa saja yang Wajib, yang Mustahil dan yang Jaiz (boleh) bagi Allah SWT.
Sedangkan tidak boleh (tidak mungkin) bagi seorang Nabi untuk tidak mengetahui tentang
urusan Ketuhanan.

Yang kedua adalah : Sesungguhnya melihat Allah SWT dalam konteks ayat tersebut
dikaitkan/digantungkan dengan sesuatu yang mungkin terjadi yaitu "Tetapnya Gunung tersebut
pada tempatnya", sedangkan sesuatu yang digantungkan dengan sesuatu yang mungkin itu bisa
saja terjadi.

Kemudian ada pengingkaran dari Kalangan Mu'tazilah tentang kebolehan melihatnya seorang
hamba kepada Tuhanya berdasarkan ayat tadi dengan dalih kata (‫" )لَ ْن تَ َرىنِ ْي‬Engkau tidak akan
melihat-Ku" menunjukkan ketidak-mampuan untuk melihat selamanya. Akan tetapi argument
mereka telah dibantah bahwasannya Ayat tersebut tidak menunjukkan terkecuali untuk
menafikan adanya Ru'yah di masa mendatang saja, tidak pula menafikan Ru'yah untuk
selamanya. Andai kata melihat Allah itu terlarang, niscaya Allah akan berfirman kepada Nabi
Musa dengan redkasi kata (‫ )لَ ْن أُ َرى‬yang artinya : "Selamanya Aku tidak dapat dilihat".

Nah, ketika Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, kemudian Tuhan berfirman dengannya
seraya mewajibkan Sholat di 5 waktu yaitu Dzuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh yang
pada awalnya diwajibkan dalam 50 waktu. Ketika beliau bertemu dengan Nabi Musa a.s., Nabi
Musa berkata : "Kembalilah ke Tuhanmu, sungguh Ummatmu tidak akan mampu atas hal
tersebut (Sholat di 50 waktu)". Sampai pada akhirnya Nabi Muhammad mondar-mandir antara
Nabi Musa dan Tuhannya hingga Allah SWT meringankan beban Sholat menjadi 5 waktu
sebagaimana yang diriwayatkan oleh banyak Imam Hadits dalam kitab-kitab mereka seperti
Shohih Al-Bukhari, Shohih Muslim, Sunan al-Bayhaqi, Sunan Ibnu Majah,  Shohih Ibnu Hibban
dll.

Catatan Tambahan : Ketika Nabi Muhammad SAW naik turun dari tempatnya berdialog
dengan Allah SWT ke langit tempat menemui Nabi Musa a.s. banyak orang beranggapan
bahwasannya Allah berada di langit, hal ini sangat salah besar. Sidratul Muntaha hanyalah
tempat mulia yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW berbicara dengan-Nya,
sebagaimana Allah SWT mengajak bicara Nabi Musa a.s. di Lembah Sinai. Sebab Allah tidak
butuh pada tempat dan arah sebagaimana yang diyakini dalam Aqidah Ahlussunnah Wal
Jama'ah-Red).

Kemudian, di antara hal yang wajib diyakini pula oleh orang Mu'min adalah sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW menyampaikan kabar tentang Isra' dan Mi'raj serta kewajiban Sholat di 5
waktu. Sedangkan Sholat yang pertama kali nampak dalam Agama Islam adalah Sholat Dzuhur,
sebab ini adalah Sholat yang pertama kali diajarkan oleh Malaikat Jibril a.s. kepada Nabi
Muhammad SAW. Adapun alas an belum diwajibkannya Sholat Shubuh (setelah mendapatkan
perintah Sholat di malam harinya) itu dikarenakan ketidaktahuan dalam pelaksanaannya,
sedangkan Sholat 5 waktu tersebut baru dijelaskan ketika sudah memasuki waktu Dzuhur.

Keadaan Manusia Dalam Menanggapi Kabar Isra' & Mi'raj


Keesokan harinya, setelah Rasulullah SAW mengalami peristiwa Isra' & Mi'raj pada malam hari
beliau mengumpulkan orang-orang untuk menyampaikan tentang kabar tersebut. Bahkan pada
waktu itu Orang Kafir Quraisy ingin menguji kebenaran peristiwa Isra' & Mi'raj dengan harapan
Nabi Muhammad SAW terbungkam dengan ucapannya sendiri. Akhirnya Rasulullah SAW
menunjukkan kepada mereka dengan beberapa pertanda, di antaranya : Sampainya Kafilah
mereka sebelum terbenamnya Matahari, akan tetapi kala itu kedatangan Kafilah terlambat
sehingga ditahanlah Matahari tersebut (oleh Malaikat Jibril) hingga akhirnya mereka sampai.

Pertanda lain yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Hadits dan Siroh adalah penggambaran tentang
Masjid Al-Aqsha dan pintu-pintunya. Kala itu Rasulullah SAW memasuki Masjid Al-Aqsha di
malam hari sehingga tidak bisa menggambarkan (menyifati) sebab belum melihat sebelumnya.
Manakala orang-orang Kafir meminta agar Rasulullah menceritakan tentang Sifat/Bentuk Masjid
Al-Aqsha, maka Allah mengangkat Masjid Al-Aqsha ke penglihatan Nabi Muhammad SAW
sehingga bisa memberikan gambaran detail tentang Masjid tersebut.

Di saat sebagian orang ingkar akan kabar Isra' dan Mi'raj bahkan menjadi murtad karena
lemahnya Iman mereka, maka tampillah Abu Bakar r.a. untuk membenarkan kabar tersebut.
Maka sejak itulah Abu Bakar mendapat julukan "Ash-Shiddiq" yang artinya adalah "Yang
Membenarkan". Dan dengan kabar ini beliau telah menjaga keluarganya dengan Iman yang
sempurna, sebab barang siapa yang mendustakan akan kabar Isra' maka ia telah kafir, sedangkan
yang mendustakan Mi'raj ia dianggap Fasiq seperti pada awal penjelasan.

Wallahu A'lam Bish-showab.


Ditulis di Tarim, 27 Rajab 1436 H / 16 Mei 2015
Oleh : Imam Abdullah El-Rashied, Alumni PP. AL-BAHJAH Cirebon Pimpinan Buya Yahya
dan sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Syariah di Ribath & Fakultas Imam Syafi'i,
Hadramaut – Yaman Pimpinan Syeikh Muhammad Bin Ali Ba'athiyyah.

Sumber : http://www.muslimedianews.com/2015/05/peristiwa-isra-miraj-perspektif-
ulama.html#ixzz5CYiIBwPH

Anda mungkin juga menyukai