Anda di halaman 1dari 21

AKHLAK DALAM KELUARGA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Al Islam dan
Kemuhammadiyahan Semester II

Dosen Pengampu : Drs. Fajri zaini,M.pd 

oleh :

1. Fhadilla Sahara 200204002


2. Eldias Ferdiansyah 200204014
3. Robby Irawan A. 200204015
4. Riswandi 200204018

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul AKHLAK DALAM
KELUARGA ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Drs. Fajri zaini,M.pd pada mata kuliah Al- Islam dan kemuhammadiyahan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang akhlak kita didalam
keluarga bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Drs. Fajri zaini,M.pd, selaku Dosen mata
kuliah Al- Islam dan kemuhammadiyahan  yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

i
Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
LATAR BELAKANG.............................................................................................................................1
RUMUSAN PERMASALAHAN............................................................................................................2
TUJUAN.................................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................3
URGENSI KELUARGA DALAM HIDUP MANUSIA.........................................................................3
AKHLAK SUAMI ISTRI........................................................................................................................4
AKHLAK SEORANG SUAMI...............................................................................................................5
AKHLAK SEORANG ISTRI..................................................................................................................6
AKHLAK ORANG TUA TERHADAP ANAK......................................................................................6
AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA......................................................................................7
PERKATAAN NABI TENTANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA...........................................10
KISAH ULAMA YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA.........................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad adalah sosok manusia yang
sempurna. Beliau adalah orang terpilih untuk dijadikan panutan bagi umat manusia. Beliau
mempunyai sifat-sifat yang Arif dan Bijaksana. Sifat-sifat baiknya itu ditunjukkan pada semua
umat manusia, baik pada kalangan keluarga, sahabat maupun semua penduduk disekitar. Dalam
lingkungan keluarga, Nabi mendapat rahmat yang diperuntukkan bagi keluarganya.

Hidup berkeluarga, menurut islam, harus diawali dengan pernikahan. Pernikahan itu
sendiri merupakan upacara suci yang harus di lakukan oleh kedua calon pengantin, harus ada
penyerahan dari pihak wali pengantin putri (Ijab), harus ada penerimaan dari pihak pengantin
putra (Qabul) dan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.

Sebelum membentuk keluarga melalui upacara pernikahan, calon suami istri hendaknya


memahami hukum berkeluarga. Dengan mengetahui dan memahami hukum berkeluarga,
pasangan suami istri akan mampu menempatkan dirinya pada hukum yang benar. Apakah
dirinya sudah diwajibkan oleh agama untuk menikah. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan
akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang
ada orang yg bisa bersopan santun berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar
rumah namun hal yg sama sulit ia lakukan di dalam rumah tangganya, maka dari itu akhlak
mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas
kebaikan, Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi
seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yg bisa bersopan santun
berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumah namun hal yg sama sulit ia
lakukan di dlm rumah tangganya,Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada keluarga maka hal ini tdk hanya berlaku kepada para suami sehingga para istri merasa
suami sajalah yg tertuntut utk berakhlak mulia kepada istrinya,Karena akhlak mulia ini harus ada
pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang
suamilah yg paling utama harus menunjukkan budi pekerti yg baik dlm rumah tangga karena dia
sebagai sebagai pimpinan. Kemudian ia diharuskan  untuk mendidik anak istri di atas kebaikan
sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka sebagaimana di firmankan Allah SWT

َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوا قُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْهلِ ْي ُك ْم نَارًا َوقُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْيهَا َمالَئِ َكةٌ ِغالَظٌ ِشدَا ٌد الَ يَ ْعصُوْ نَ هللاَ َما أَ َم َرهُ ْم َويَ ْف َعلُوْ ن‬
َ‫َما ي ُْؤ َمرُوْ ن‬

1
“Wahai orang–orang  yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaga malaikat-malaikat yg kasar, yang
keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yg diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yg diperintahkan.”

Hidup berkeluarga akan mendatangkan berbagai hikmah yang dapat dirasakan oleh para
pelakunya. Hidup berkeluarga berarti mengamalkan ajaran yang disyari’atkan. Setelah
berkeluarga, seseorang akan lebih serius dalam beribadah. Fikiran tidak lagi memikirkan calon
kekasih atau terganggu.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, maka penulis memperoleh beberapa


perumusan masalah.rumusan masalah itu antara lain adalah :

1. Bagaimana Urgensi  Keluarga dalam Hidup Manusia?


2. Bagaimana Akhlak Suami Isteri ?
3. Bagaimana Akhlak Suami atau Isteri?
4. Bagaimana Akhlak Orang Tua Kepada Anak?
5. Bagaimana Akhlak anak terhadap Orang Tua?
6. Bagaimana Perkataan Nabi Tentang Berbakti Kepada Orang Tua?
7. Bagaimana Kisah Ulama Yang Berbakti Kepada Orang Tua?

C. TUJUAN

Tujuan penyusun makalah ini antara lain :

1. Untuk Mengetahui Urgensi  Keluarga dalam Hidup Manusia


2. Untuk Mengetahui Akhlakul Karimah dalam Rumah Tangga
3. Untuk Mengetahui Akhlak Suami atau Isteri
4. Untuk Mengetahui Akhlak Orang Tua Kepada Anak
5. Untuk Mengetahui Akhlak anak terhadap Orang Tua
6. Untuk Mengetahui Membangun Keluarga Sakinah
7. Untuk Mengetahui Larangan kekerasan dalam rumah tangga

2
3
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Urgensi  Keluarga Dalam Hidup Manusia

Secara sosiologis keluarga merupakan golongan masyarakat terkecil yang terdiri atas
suami-isteri-anak. Pengertian demikian mengandung dimensi hubungan darah dan juga
hubungan sosial. Dalam hubungan darah keluarga bisa dibedakan menjadi keluarga besar dan
keluarga inti, sedangkan dalam dimensi sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang
diikat oleh saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi, sekalipun antara satu
dengan lainnya tidak terdapat hubungan darah.

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari perspektif psikologis dan sosiologis. Secara


Psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal
bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan pengertian
secara sosiologis, keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara
pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, dengan maksud untuk saling
menyempurnakan diri, saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Dalam suatu keluarga keutuhan sangat diharapkan oleh seorang anak, saling
membutuhkan, saling membantu dan lain-lain, dapat mengembangkan potensi diri dan
kepercayaan pada diri anak. Dengan demikian diharapkan upaya orang tua untuk membantu anak
menginternalisasi nilai-nilai moral dapat terwujud dengan baik.

Keluarga yang seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh adanya keharmonisan
hubungan atau relasi antara ayah dan ibu serta anak-anak dengan saling menghormati dan saling
memberi tanpa harus diminta. Pada saat ini orang tua berprilaku proaktif dan sebagai pengawas
tertinggi yang lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lainnya.
Sikap orang tua lebih banyak pada upaya memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis pedoman
sebagai rujukan setiap kegiatan anak dengan diiringi contoh teladan, secara praktis anak harus
mendapatkan bimbingan, asuhan, arahan serta pendidikan dari orang tuanya, sehingga dapat
mengantarkan seorang anak menjadi berkepribadian yang sejati sesuai dengan ajaran agama
yang diberikan kepadanya. Lingkungan keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya proses
pendidikan, sebab di sinilah anak pertama kali menerima sejumlah nilai pendidikan.

Tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan oleh orang tua dirasakan oleh


anak dan akan menjadi dasar peniruan dan identifikasi diri untuk berperilaku. Nilai moral yang
ditanamkan sebagai landasan utama bagi anak pertama kali diterimanya dari orang tua, dan juga
tidak kalah pentingnya komunikasi dialogis sangat diperlukan oleh anak untuk memahami

4
berbagai persoalan-persoalan yang tentunya dalam tingkatan rasional, yang dapat melahirkan
kesadaran diri untuk senantiasa berprilaku taat terhadap nilai moral dan agama yang sudah
digariskan.

Sentralisasi nilai-nilai agama dalam proses internalisasi pendidikan agama pada


anak mutlak dijadikan sebagai sumber pertama dan sandaran utama dalam mengartikulasikan
nilai-nilai moral agama yang dijabarkan dalam kehidupan kesehariannya. Nilai-nilai agama
sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan keluarga, agama yang ditanamkan oleh orang
tua sejak kecil kepada anak akan membawa dampak besar dimasa dewasanya, karena nilai-nilai
agama yang diberikan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.

Didalam keluarga anak pertama kali mengikuti irama pergaulan sosial. Suasana seperti
ini disebut dengan situasi domestik, tempat lingkungan pergaulan anak hanya terbatas dengan
sejumlah orang yang terdapat di dalam keluarga tersebut, seperti ibu, ayah, kakak, adik atau
nenek/kakek.

Di dalam keluarga inilah pertama kali anak terlibat dalam interaksi edukatif. Anak
belajar berdiri, berbicara, bermain, berpakaian, mandi, menyikat gigi dan lain-lain. Keluarga
bertugas meneruskan dan mewariskan sejumlah nilai baik berkaitan dengan kultural, sosial
maupun moral kepada anak-anak yang baru tumbuh di dalam rumah tangga. Di sini pula anak
diajar mengenal siapa dirinya dan lingkungannya.

Di dalam keluarga, kebutuhan pribadi anak seperti yang disampaikan oleh Abraham
Maslow juga berlangsung. Pada tahap awal, anak memerlukan kebutuhan dasar seperti makan
dan minum, kemudian meningkat kepada kebutuhan akan kasih sayang dan penghargaan, lalu
meningkat lagi menjadi kebutuhan terhadap keamanan dan kesehatan serta pada waktunya anak
memerlukan self actualization (mencari pemaknaan terhadap siapa dirinya).

Keluarga juga berperan menjadi benteng pertahanan dari sejumlah pengaruh yang
datang dari luar. Tidak jarang anak menanyakan sesuatu problem yang datang dari luar yang dia
sendiri canggung untuk menjawab atau mengatasinya. Karena itu, rujukan utama anak adalah
keluarga. Di sinilah diperlukan hadirnya sosok orang tua yang bijaksana dan memiliki wawasan
yang cukup untuk menerangkan kepada anak tentang apa yang dihadapinya. Dengan demikian,
anak tidak mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menyesatkan dirinya.

Di samping menjadi institusi domestik, keluarga juga dapat menjadi institusi sosialisasi
sekunder. Maksudnya adalah bahwa keluarga berperan menghantarkan anak-anak untuk
memasuki wilayah sosial yang lebih besar, seperti lingkungan sosial. Dalam konteks ini,
keluarga menjadi pengatur dan designer anak untuk memilih lingkungan mana yang tepat dan
baik dalam menumbuhkan kepribadian. Keluarga bertanggung jawab untuk mengarahkan anak-

5
anaknya memasuki lingkungan sosial yang baik agar anak terhindari dari pengaruh lingkungan
yang tidak sehat.

B. AKHLAK SUAMI ISTRI

a. Menjadikan Pasangan sebagai pusat perhatian (sejak awal tidur sampai bangun tidur
yang   lihat hanya pasangan).
b. Menempatkan kepribadian sebagai seorang suami atau istri (istri pakaian untuk suami
dan begitu juga sebaliknya).
c. Jangan menabur benih keraguan/kecurigaan.
d. Merasakan tanggung jawab bersama baik suami maupun istri (saling mengingatkan dan
jangan selalu menuntut).
e. Selalu bermusyawarah (berdialog), lakukan komunikasi dengan baik, instospeksi masing-
masing.
f. Menyiapkan diri untuk melakukan peranan sebagai suami atau isteri.
g. Nampakkan cinta dan kebanggaan dengan pasangannya/jangan kikir memberi pujian.
h. Adanya keseimbangan ekonomi dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan.
i. Jangan melupakan dengan keluarga besar masing-masing (ortu).
j. Menjaga hubungan dengan pihak lain.

Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam:

 Hak Bersama Suami Istri


Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum:
21)
 Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-
Nisa’: 19 - Al-Hujuraat: 10)
 Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
 Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan.

C. AKHLAK SEORANG SUAMI

Hal-hal yang  harus diperhatikan  oleh Suami

a. Memberi nafkah zahir dan batin, Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah   suatu
ujian dalam menjalankan agama. (At-Taubah: 24).

6
b. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. (At-
Taghabun: 14).
c. Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (Al  Furqan:
74).
d. Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi.
e. Nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik,  ( AI-Ghazali).
f. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini   secara
berurutan: (1) Memberi nasehat, (2) Pisah kamar, (3) Memukul dengan  (4).  pukulan
yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada
suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
g. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik  akhlaknya  dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi).
h. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan     anaknya. (Ath-
Thalaq: 7).
i. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34,   At-
Tahrim : 6,  Muttafaqun Alaih).
j. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-
hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali).
k. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3).
l. Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i).
m. Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami
wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa.
(AIGhazali)

Jadilah kau raja di rumahmu. Cintailah isterimu dengan tulus dan jadikanlah ia sebagai
ratumu. Buat ia bangga menjadi permaisuri di kerajaanmu dengan berlandaskan cinta kasih dan
ketaatan kepada Allah SWT. Berikanlah dirinya makanan yang cukup dan persembahkan
untuknya beragam jenis pakaian. Belikan untuknya minyak wangi karena wanita menyukai
minyak wangi. Buatlah dirinya bahagia selama kau hidup dan berilah nafkah yang baik dan halal
untuk isteri dan anak–anakmu. Sesungguhnya seorang istri laksana cermin bagi suaminya dan
menjadi bukti akan apa yang diusahakannya dalam mencapai kebahagiaan ataupun kesengsaraan.
Engkau adalah laksana pakaian baginya yang mampu menampakkan kecantikan diri dan
pribadinya serta menutupi setiap kekurangannya. Jangan terlalu keras dalam rumah tanggamu
karena isteri diciptakan dari tulang rusukmu, bagian dari dirimu. Tulang rusuk berada di tempat
yang terlindung sehingga isterimu pun ada untuk kau lindungi. Sebagaimana tulang rusuk yang
bengkok, berwasiatlah yang baik terhadap isterimu karena jika engkau keras dalam meluruskan
maka ia akan patah dan jika engkau biarkan maka selamanya ia akan bengkok.

7
D. AKHLAK SEORANG ISTRI

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Istri

a. Berbakti kepada suami  baik dikala suka maupun duka, diwaktu kaya maupun miskin.
b. Patuh dan taat pada suami, menghormatinya dalam batas-batas tertentu sesuai dengan
ajaran Islam.
c. Selalu menyenangkan hati dan perasaan suami, serta dapat menentramkan pikirannya.
d. Menghargai usaha atau jerih payah suami dan bahkan membantu suami dalam
menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya.
e. Isteri menyadari dan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-laki adalah   pemimpin
kaum wanita. (An-Nisa’: 34).
f. Isteri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-
Baqarah: 228).
g. Isteri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39).
h. Isteri menyerahkan dirinya, mentaati suami, tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami, menggauli suami dengan baik,  dan
bersifat  jujur (Al-Ghazali).

E. AKHLAK ORANG TUA TERHADAP ANAK

Dalam ajaran Islam diatur bagaimana hubungan antara anak-anaknya serta hak dan
kewajiban mnasing-masing. Orang tua harus mengikat hubungan yang harmonis dan penuh kasih
sayang dengan anak-anaknya. Sebaik-baik orang tua adalah orang tua yang mampu membuat
anaknya menjadi generasi rabbani, yang memiliki akhlak dan adab seperti Rasulullah SAW. Poin
yang  terpenting adalah teladan dari orang tuanya.

Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Akhlak sangat berkaitan dengan adab. Untuk itulah beliau mengajarkan kita
adab sejak bangun tidur hingga tidur. Semua ada tuntunannya. Termasuk adab anak kepada
orang tuanya, murid  kepada gurunya, pendidik kepada peserta didik.

Para pakar pendidikan sering mengatakan bahwa ketika orang tua mengajarkan adab


kepada anaknya, walaupun sebelumnya ia juga belum melakukan adab itu, dengan belajar adab
tersebut bersama anaknya, maka hal itu bisa berubah menjadi kebiasaan dalam beradab. Hal ini
akan berujung pada terbentuknya karakter yang bagus.

8
Keberhasilan anak bukan karena guru, tapi dengan orang tuanya. Anak berprestasi
bukan karena gurunya, tapi karena orang tuanya  sudah mencetak generasi yang seperti itu.
Sebaik-baik orang tua adalah orang tua yang mampu membuat anaknya menjadi generasi
rabbani, yang memiliki akhlak dan adab seperti Rasulullah SAW. Semoga dengan informasi
tentang cara mengajarkan akhlak yang baik kepada anak ini, kita bisa menjadikan anak  menjadi
generasi rabbani dan beradab. Orang tua harus lebih memperhatikan, membimbing, dan
mendidik anak dengan baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa :9:

۟ ُ‫وا ٱهَّلل َ َو ْليَقُول‬


‫وا قَوْ اًل َس ِديدًا‬ ۟ ُ‫وا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّق‬
۟ ُ‫ض ٰ َعفًا خَ اف‬ ۟ ‫ش ٱلَّ ِذينَ َلوْ تَ َر ُك‬
ِ ً‫وا ِم ْن َخ ْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬ َ ‫َو ْليَ ْخ‬

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)-nya.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar”. (QS. An-Nisa’:9)

Ayat di atas mengisyaratkan kepada orang tua agar tidak meninggalkan anak dalam
keadaan lemah. Lemah dalam hal ini adalah lemah dalam segala aspek kehidupan, seperti lemah
mental, psikis, pendidikan, ekonomi terutama lemah iman (spiritual). Anak yang lemah iman
akan menjadi generasi tanpa kepribadian. Jadi, semua orang tua harus memperhatikan semua
aspek perkembangan anak, baik dari segi perhatian, kasih sayang, pendidikan mental, maupun
masalah akidah atau keimananya. Oleh karena itu, para orang tua hendaklah bertakwa kepada
Allah, berlaku lemah lembut kepada anak, karena sangat membantu dalam menanamkan
kecerdasan spiritual pada anak. Keadaan anak ditentukan oleh cara-cara orang tua mendidik dan
membesarkannya.

Ada beberapa langkah yang dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam peranannya
mendidik anak, antara lain:

a. Orang tua sebagai panutan.


b. Orang tua sebagai motivator anak.
c. Orang tua sebagai cermin utama anak.
d. Orang tua sebagai fasilitator anak.

9
F. AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA

Orang tua adalah perantara perwujudan kita. Kalaulah mereka itu tidak ada, kitapun
tidak akan pernah ada. Kita tahu bahwa perwujudan itu disertai dengan kebaikan dan kenikmatan
yang tak terhingga banyaknya, berbagai rizki yang kita peroleh dan kedudukan yang kita raih.
Orang tua sering kali mengerahkan segenap jerih paya mereka untuk menghindarkan bahaya dari
diri kita. Mereka bersedia kurang tidur agar kita bisa beristirahat. Mereka memberikan
kesenangan-kesenangan kepada kita yang tidak bisa kita raih sendiri. Mereka memikul berbagai
penderitaan dan mesti berkorban dalam bentuk yang sulit kita bayangkan.

Menghardik kedua orang tua dan berbuat buruk kepada mereka tidak mungkin terjadi
kecuali dari jiwa yang bengis dan kotor, berkurang dosa, dan tidak bisa diharap menjadi baik.
Sebab, seandainya seseorang tahu bahwa kebaikan dan petunjuk Allah SWT mempunyai peranan
yang sangat besar,  berbuat baik kepada orang adalah kewajiban dan semestinya  mereka
diperlakukan dengan baik, bersikap mulia terhadap orang yang telah membimbing, berterima
kasih kepada orang yang telah memberikan kenikmatan sebelum dia sendiri bisa
mendapatkannya, dan yang telah melimpahinya dengan berbagai kebaikan yang tak mungkin
bisa di balas. Orang tua adalah orang-orang yang bersedia berkorban demi anaknya, tanpa
memperdulikan apa balasan yang akan diterimanya.

a. Kewajiban kepada ibu

Kalau ibu merawat jasmani dan rohaninya sejak kecil secara langsung, maka bapak pun
merawatnya, mencari nafkahnya, membesarkannya, mendidiknya dan menyekolahkannya,
disanping usaha ibu. Kalau mulai mengandung sampai masa muhariq (masa dapat membedakan
mana yang baik dan buruk), seorang ibu sangat berperan, maka setelah mulai memasuki masa
belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidiknya dan mempertumbuhkannya menjadi
dewasa, namun apabila dibandingkan antara berat tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung
sampai dewasa dan sebagaimana perasaan ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara
perbandingan, tidaklah keliru apabila dikatakan lebih berat tugas ibu dari pada tugas ayah. Coba
bandingkan, banyak sekali yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang
hanya seorang ibu saja yang dapat mengatasinya tetapi sebaliknya banyak tugas ayah yang bisa
dikerjakan oleh seorang ibu. Barangkali karena demikian inilah maka penghargaan kepada
ibunya. Walaupun bukan berarti ayahnya tidak dimuliakan, melainkan hendaknya mendahulukan
ibu daripada mendahulukan ayahnya dalam cara memuliakan orang tua

10
b. Berbuat baik kepada ibu dan bapak

Seorang anak menurut ajaran Islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya,
dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan orang
tuanya, walaupun seandainya orang tua berbuat zalim kepada anaknya, dengan melakukan yang
tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas,
mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada anaknya, Allah SWT tidak meridhainya sehingga
orang tua itu meridhainya. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al-Luqman : 14

ِ ‫ي ْال َم‬
‫صي ُر‬ َّ َ‫ك إِل‬ َ ِ‫ص ْينَا اإْل ِ ْن َسانَ بِ َوالِ َد ْي ِه َح َملَ ْتهُ أُ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَى َو ْه ٍن َوف‬
َ ‫صالُهُ فِي عَا َم ْي ِن أَ ِن ا ْش ُكرْ لِي َولِ َوالِ َد ْي‬ َّ ‫َو َو‬

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah
kembalimu” (QS.Al-Luqman:14)

Menurut ukuran secara umum, si orang tua tidak sampai akan menganiaya kepada
anaknya. Kalaulah itu terjadi penaniayaan orang tua kepada anaknya adalah disebakan perbuatan
si anak itu sendiri yang menyebabkan marah dan penganiayaan orang tua kepada anaknya.
Didalam kasus demikian seandainya si orang tua marah kepada anaknya dan berbuat aniaya
sehingga ia tiada ridha kepada anaknya, Allah SWT pun tidak meridhai si anak tersebut lantaran
orang tua

c. Berkata halus dan mulia kepada ibu dan ayah

Segala sikap orang tua terutama ibu memberikan refleksi yang kuat terhadap sikap si
anak. Dalam hal berkata pun demikian. Apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus
kepada anaknya, si anak pun akan berkata halus. Kalau si ibu atau ayah sering mempergunakan
kata-kata yang kasar, si anakpun akan mempergunakan kata-kata kasar, sesuai yang digunakan
oleh ibu dan ayahnya. Sebab si anak mempunyai insting menir yang lebih mudah ditiru adalah
orang yang terdekat dengannya, yaitu orang tua, terutama ibunya. Agar anak berlaku lemah
lembut dan sopan kepada orang tuanya, harus dididik dan diberi contoh sehari-hari oleh orang

11
tuanya bagaimana sianak  berbuat, bersikap, dan berbicara. Kewajiban anak kepada orang tuanya
menurut ajaran  Islam harus berbicara sopan, lemah-lembut dan mempergunakan kata-kata
mulia. Sebagai pedoman dalam memberikan perlakuan yang baik kepada kedua orang tua,
ingatlah Firman Allah dalam surah Al Isra ayat 23 dan 24 yang Artinya : Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

d. Berbuat baik kepada ibu dan ayah yang sudah meninggal dunia

Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ibu dan ayahnya yang sudah tiada. Dalam
hal ini menurut tuntunan ajaran Islam sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW, yang
diriwayatkan oleh Abu Usaid yang artinya: 

”Kami pernah berada pada suatu majelis bersama Nabi, seorang bertanya kepada
Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya meninggal
dunia yang aku untuk berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku. “Rasulullah SAW
bersabda: ”Ya, ada empat hal: ”Mendoakan dan memintakan ampun untuk keduanya,
menempati/melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman kedua orang tua, dan
bersilaturrahim yang engkau tiada mendapatkan kasih sayang kecuali karena kedua orang tua”.

Hadist ini menunjukkan cara kita berbuat baik kepada ibu dan ayah kita, apabila beliau-
beliau itu sudah tiada yaitu:

a. Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan meminta ampun kepada Alloh SWT dari
segala dosa orang tua kita.
b. Menepati janji kedua ibu bapak. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada
seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut.
Umpamanya beliau akan naik haj, yang belum sampai melaksanakannya, maka
kewajiban anaknya menunaikan haji orang tua tersebut.

12
c. Memuliakan teman-teman kedua orang tua. Diwaktu hidupnya ibu atau ayah mempunyai
teman akrab, ibu atau ayah saling tolong-menolong dengan temannya dalam
bermasyarakat. Maka untuk berbuat kebajikan kepada kedua orang tua kita yang telah
tiada, selain tersebut di atas, kita harus memuliakan teman ayah dan ibu semasa ia masih
hidup.
d. Bersilalaturrahmi kepada orang yang kita mempunyai hubungan karena kedua orang tua.
Maka terhadap orang yang dipertemukan oleh ayah atau ibu sewaktu masih hidup, maka
hal itu termasuk berbuat baik kepada ibu dan bapak kita yang sudah meninggal dunia.

Akhlak anak terhadap kedua orang tua menurut al-Ghazali masih relevan bagi
pemuda Islam pada masa sekarang, karena berdasarkan atas al-Qur'an dan Hadits. Akan
tetapi anak yang diterlantarkan orang tua sejak kecil, membuat mereka tidak dapat
menghayati tanggung jawab orang tua terhadapnya, tanggung jawab anak terhadap orang tua
terhadap anak dan akan menyebabkan mereka tidak berbuat baik kepada orang tua.
Sayangilah, cintailah, hormatilah, patuhlah kepadanya rendahkan dirimu, sopanlah
kepadanya. Oleh karena itu orang tua dan anak harus sama-sama memperhatikan tanggung
jawab dan haknya masing-masing, antara hak-hak orang tua terhadap anak dan sebaliknya,
supaya akhlak atau etika anak terhadap kedua orang tua berjalan dengan baik dan sesuai
dengan ajaran agama.

G. PERKATAAN NABI TENTANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


Birul Walidain atau berbakti pada orang tua, ayah dan ibu sudah selayaknya dilakukan
semua anak. Setiap anak tentu ingin melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik. Namun, ada
saja godaan anak untuk tak memenuhi kewajiban tersebut. Misalnya saat anak mengalami
konflik dengan orang tua. Gejolak emosi kerap mengakibatkan anak ingin berkata kasar atau
melakukan hal yang mungkin tidak disukai orang tua. Ketika momen itu terjadi, ada baiknya
kembali membaca 5 hadist. Hadist ini bisa mengingatkan kembali pentingnya berbakti dan
memperlakukan orang tua dengan baik.

a. Surga di telapak kaki ibu

Hadist ini mengingatkan selalu menghormati, mencintai, dan berbakti pada ibu.


Beberapa hadist lain juga mengingatkan hal serupa.

"Bahwasannya ia (Mu'awiyah bin Jahimah) datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata,
"Wahai Rasulullah, aku ingin berperang, dan aku datang untuk meminta petunjukmu." Nabi saw.
bersabda, "Apakah engkau memiliki ibu?", "Iya" "Menetaplah dengannya, karena sungguh surga
di bawah kedua kakinya." (HR. Ibnu Majah, An-Nasa'i, Ahmad, Ath-Thabarani).

b. Nama Ibu disebut sampai tiga kali

Dalam hadits ini, pentingnya berbakti pada ibu disebutkan sampai tiga kali. Berbakti
pada ayah memang hanya disebutkan sekali, namun bukan berarti tidak lebih penting
dibandingkan ibu.

13
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai
Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam
menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi
shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian
siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,'
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Wajib berlaku baik, meski orang tua telah meninggal

Dalam sebuah hadis disebutkan, anak tetap harus berlaku baik dan berbakti pada orang
tua meski telah berpulang. Hal ini dilakukan dengan memenuhi harapan, menjaga silaturahim,
dan mohon ampun pada Allah SWT.

"Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika
itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, "Wahai Rasulullah, apakah masih ada
bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?" Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya,
pen.). (Bentuknya adalah) mendo'akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi
janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan
keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya."
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

d. Tidak taat orang tua adalah dosa terbesar

Durhaka anak pada orang tua ternyata menjadi salah satu dosa terbesar. Dosa lainnya
adalah pembunuhan dan menyembah selain Allah SWT.

"Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka
kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu." (HR. Bukhari dan Muslim).

e. Tetap baik meski berbeda keyakinan

Perlakuan baik anak terhadap orang tua tetap haus diterapkan dalam berbagai kondisi.
Termasuk ketika anak dan orang tua berbeda keyakinan.

Dari Asma' binti Abi Bakar RA, ia berkata, "Ibuku mengunjungiku, ia ingin
menyambung silatirahim dengan ku di zaman Nabi saw., lalu aku bertanya kepada Nabi saw.
"Apakah aku (tetap) menyambung tali silaturahim dengannya?" "Iya." (HR. Bukhari dan
Muslim).

14
H. KISAH ULAMA YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

a. Iyas bin Mu’awiyyah

Ketika ibu beliau meninggal, beliaupun menangis. Orang yang mengetahui hal itupun
bertanya kepada beliau yang mungkin didorong rasa heran karena melihat seorang yang ‘alim
di antara mereka tak mampu menahan airmatanya tatkala mendapati ibunya telah meninggal.
“Mengapa Anda menangis?”. Maka Iyas bin Mu’awiyyah menjawab,”Dahulu aku memiliki
dua pintu yang terbuka untuk menuju surga, namun kini salah satunya telah terkunci.”

Wahai Saudariku, lihatlah betapa sedihnya salah seorang ulama kita ini ketika ibunya
meninggal dunia. Lalu bagaimana kiranya dengan kita, adakah rasa sedih kehilangan pintu
surga sebagaimana yang dirasakan Iyas bin Mu’awiyyah tatkala salah satu dari keduanya
meninggal? Lalu tak lebih bersedihkah kita tatkala tak lagi mendapati dua pintu surga karena
kedua orangtua kita telah tiada?

b. Abu Hanifah

Sesungguhnya ibu dari Abu Hanifah pernah bersumpah dengan satu sumpah,
kemudian dia melanggarnya. Maka sang ibu pun meminta fatwa kepada anaknya, Abu
Hanifah. Namun ternyata ibunya merasa tidak mantap dengan fatwa yang diberikan anaknya.
Ibunya berkata,”Aku tidak merasa ridha, kecuali dengan mendengar langsung fatwa dari
Zur’ah Al-Qash!” Maka Abu Hanifah pun mengantar ibunya untuk meminta fatwa kepada
Zur’ah. Namun Zur’ah Al-Qash mengatakan,”Wahai Ibu, engkau meminta fatwa kepadaku,
sementara di depanku ada seorang yang paling alim di kota Kuffah?!”Abu Hanifah pun berkata
dengan berbisik kepada Zur’ah, “Berilah fatwa kepadanya demikian dan demikian”
(sebagaimana fatwa Abu Hanifah kepada ibunya), kemudian Zur’ahpun memberikan fatwa
hingga ibu Abu Hanifah merasa ridha!

Wahai saudariku, inilah sikap bakti Abu Hanifah kepada ibunya. Rasa cinta dan
baktinya kepada sang ibu tidaklah membuatnya merasa gengsi tatkala sang ibu menginginkan
fatwa dari orang lain yang tingkatan ilmunya justru lebih rendah dari Abu Hanifah. Dan
lihatlah, beliau sama sekali tak merasa sombong dan angkuh di hadapan ibunya meski orang
lain telah mengakui kefaqihannya dalam memahami ilmu syar’i.

Dalam kisah yang lain, Abu Yusuf menyampaikan, “Aku menyaksikan Abu
Hanifah rahimahullahu ta’ala menggendong ibunya naik ke atas keledai untuk menuju
majelisnya ‘Umar bin Dzar, dikarenakan ia tak ingin menolak perintah ibunya.” Adapun yang
dimaksud adalah Ibu Abu Hanifah menyuruh beliau untuk bertanya kepada ‘Umar bin Dzar
tentang kepentingan ibunya.

c. Manshur bin Al-Mu’tamar

15
Muhammad bin Bisyr Al-Aslami berkata,”Tidaklah didapati orang yang paling
berbakti kepada ibunya di kota Kuffah ini selain Manshur bin Al-Mu’tamar dan Abu Hanifah.
Adapun Manshur sering mencari kutu di kepala ibunya, dan menjalin rambut ibunya.”

Wahai saudariku, perhatikanlah bakti Manshur kepada ibunya, yang menyempatkan


dirinya untuk mencari kutu dan menjalin rambut sang ibu. Betapa amalan itu mungkin remeh
di mata kita, namun begitu besar di mata Manshur. Bahkan perbuatannya tersebut tidaklah
membuatnya merasa turun harga dirinya disebabkan beliau seorang laki-laki.

Lalu bagaimana denganmu wahai saudariku, yang tentu engkau lebih layak untuk
mengerjakannya karena engkau adalah seorang wanita? Tidakkah kau lihat rambut ibumu yang
mulai kusut dan tak tertata karena tak mampu merawatnya, sementara engkau hanya diam
terpaku membiarkannya begitu saja?

d. Haiwah bin Syarih

Suatu hari Haiwah bin Syarih, beliau salah seorang imam kaum muslimin yang duduk
dalam majelis untuk mengajarkan ilmu kepada manusia. Lalu ibunya berteriak memanggil
beliau, “Berdirilah wahai Haiwah, beri makan ayam-ayam itu!”. Lalu beliaupun berdiri dan
meninggalkan majelisnya untuk memberi makan ayam.

Kembali kita bercermin kepada Haiwah bin Syarih, panggilan ibunya untuk memberi
makan ayam tidaklah membuat beliau malu dan merasa turun derajatnya di hadapan murid-
murid beliau. Justru saat itulah beliau memberikan keteladanan yang besar kepada murid-
muridnya akan kewajiban berbakti kepada orangtua dan lebih mendahulukan orangtua
dibandingkan dengan orang lain. Bagaimana seandainya hal itu terjadi pada dirimu wahai
saudariku? Akankah engkau bergegas untuk menyambut perintah orangtuamu?

e. Muhammad bin Al-Munkadir

Muhammad bin Al-Munkadir pernah menceritakan, “Umar (saudara beliau)


menghabiskan malam dengan mengerjakan sholat malam, sedangkan aku menghabiskan
malamku untuk memijat kaki ibuku. Dan aku tidaklah ingin malamku itu diganti dengan
malamnya ‘Umar.”

Melalui nukilan ini, Muhammad bin Al-Munkadir telah memberikan petuah secara tak
langsung kepada kita, bahwa bakti kepada orangtua itu lebih besar pahalanya dari pada
mengerjakan amalan sunnah. Bahkan meskipun amalan sunnah itu adalah sholat malam yang
dilakukan semalam suntuk yang engkau pasti tahu sholat malam merupakan sholat sunnah
yang paling utama. Oleh karena itu, tatkala orangtuamu menyuruhmu melakukan sesuatu yang
tidak melanggar aturan syariat, sementara engkau dalam keadaan melakukan amalan sunnah,
maka segera sambut mereka, dan batalkan amalan sunnah tersebut untuk sementara.

f. Imam Ibnu ‘Asakir

16
Al-Imam Ibnu ‘Asakir pernah ditanya tentang sebab mengapa beliau terlambat dalam
menuntut ilmu di Asbahan, maka beliau menjawab,”Ibuku tidak mengizinkanku.”

g. Imam Adz-Dzahabi

Beliau pernah mengisahkan bahwa beliau membaca Al-Qur’an kepada Syaikhnya


yang bernama Syaikh al-Fadhili. Kemudian beliau berkata,”Ketika guru kami (Al-Fadhili)
meninggal, sementara aku belum selesai membaca Al-Qur’an dengannya, akupun merasa
sedih. Kemudian ada orang yang menyampaikan kepadaku bahwa Abu Muhammad Al-Makin
Al-Asmar yang tinggal di Iskandariyah memiliki sanad yang lebih tinggi daripada Al-Fadhili.”
Imam Adz-Dzahabi berkata,”Maka semakin bertambahlah kesedihanku karena ayahku tidak
mengizinkanku melakukan safar ke kota Iskandariyah.

Adz-Dzahabi menyampaikan dalam biografi ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Latif Al-


Baghdadi, “Aku merasa sedih ketika bepergian kepadanya, tidaklah aku menyeberangi
jembatan, karena khawatir dengan ayahku. Sesungguhnya dia telah melarangku.”

Adz-Dzahabi pernah mengadakan perjalanan menuju salah seorang imam dan tinggal
di tempat imam tersebut selama beberapa waktu, lalu beliau berkata,”Aku telah berjanji dan
bersumpah kepada ayahku, bahwa aku tidak akan tinggal dalam perjalanan ini lebih dari 4
bulan, sehingga aku khawatir menjadi anak durhaka.”

Lihatlah bagaimana sikap Imam Ibnu ‘Asakir dan Adz-Dzahabi yang begitu perhatian
dengan izin dari orangtuanya. Begitu beratnya mereka untuk pergi, bahkan untuk menuntut
ilmu sekalipun, ketika orangtuanya tak memberikan izin kepada mereka. Betapa takutnya
mereka menjadi anak durhaka, hanya karena melanggar sedikit dari janji yang sudah disepakati
dengan orangtuanya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, Jakarta: Rineka Cipta, 2000

Barsihannor, Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi. Makassar: UIN Press, 2010.

A.Syifaul Qulub, Pendidikan Agama Islam untuk Pendidikan Perguruan Tinggi, Jakarta, Laros,
2010

Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta, Belukar; 2004

Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya

Ma’allim Fith-Thariiq Thalabil ‘Ilm bab Thalibul ‘Ilm wa Birrul Walidain, ‘Abdul ‘Aziz
Muhammad bin ‘Abdillah As-Sadhan, Darul ‘Ashimah.

Birrul Walidain Berbakti kepada Kedua Orang Tua, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka At-
Taqwa.

18

Anda mungkin juga menyukai