Anda di halaman 1dari 16

Aqidah Islam

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tuga mata kuliah Tauhid

Oleh:

Kelas A2/ Kelompok 2

1. Muchammad Rizki Syahroni (0704012079)


2. Muhammad Abid Dharmawan (07010120012)
3. Ibnu Tri Atmojo

Dosen Pengampu:
Zainal Mukhlis, M. Fil. I

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal fikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam dengan judul Aqidah Islam

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu kami di mata kuliah ini atas
materi yang telah beliau sampaikan, sehingga kami dapat memahami materi untuk pembuatan
makalah ini dengan baik. Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Surabaya, Maret 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang ………………………………………………………………


b. Rumusan Masalah…………………………………………………………….
c. Tujuan………………………………………………………………………...

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………........

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-
Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman
itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan
kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen
kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang
diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis.
keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya
keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada
pembenaran yang bersifat pasti .
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung
perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil
keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia
didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli
juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan
melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan
sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya
disandarkan pada metode aqliyah.

Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi
seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti
berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir
tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada
ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu
keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”

B. Rumusan Masalah

1. Pegertian Aqidah Islam

2. Ruang Lingkup dan Sumber Aqidah

3. Hubungan Aqidah dan Amal

4. Hubungan Aqidah dan Ilmu

5. Klasifikasi Manusia Menurut Aqidah


C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pegertian Aqidah Islam

2. Mengetahui Ruang Lingkup dan Sumber Aqidah

3. Mengetahui Hubungan Aqidah dan Amal

4. Mengetahui Hubungan Aqidah dan Ilmu

5. Mengetahui Klasifikasi Manusia Menurut Aqidah


PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqidah Islam


ْ yang artinya ikatan.
Secara bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yakni (ُ‫)ال َع ْقد‬
Secara istilah aqidah adalah kepercayaan, keyakinan atau keteguhan hati yang pasti tidak ada
keraguan sedikitpun. Istilah aqidah dapat digunakan dalam Islam dan biasa disebut juga dengan
tauhid.
Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-
Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman
itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan
kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen
kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang
diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis.
keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya
keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada
pembenaran yang bersifat pasti .
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung
perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil
keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia
didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli
juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan
melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan
sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya
disandarkan pada metode aqliyah.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang
mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir
adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut
dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat
terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu
keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”

B. Ruang Lingkup dan Sumber Aqidah


Ruang lingkup aqidah menyangkut keyakinan umat Islam atau iman. Karena itulah,
secara formal, ajaran dasar tersebut terangkum dalam rukun iman yang enam. Oleh sebab itu,
sebagian para ulama dalam pembahasan atau kajian aqidah, mereka mengikuti sistematika rukun
iman yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk
ruhani seperti jin, iblis, dan setan), iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan rasul
Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar Allah swt. Sementara Ulama
dalam kajiannya tentang aqidah islam menggunakan sistematika sebagai berikut:
1. Ilahiyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah
(Tuhan, Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah,perbuatan-
perbuatan (af’al) Allah dan sebagainya.
2. Nubuwat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi
dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, karamat dan
sebagainya.
3. Ruhaniyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik seperyi Malaikat, Jin, Iblis, Setan, Roh dan lain sebaginya.
4. Sam’iyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
sama’, yaitu dalil naqli berupa al-qur’an dan as-sunnah, seperti alam barzakh, akhirat,
azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan sebaginya.
Sumber Aqidah Islam ada , yaitu:
- Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi
Muhammad yang merupakan mu’jizat utama dan sebagai rahmat dan petunjuk bagi
manusia dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini dibuktikan oleh gaya bahasa, isi serta
keluarbiasaan caranya diwahyukan, diajarkan, oleh keselarasannya dengan kebenaran di
masa lampau, di masa sekarang dan di masa yang akan datang oleh sifat-sifatnya yang
transenden, karena di dalamnya tidak didapati kesan seorang tertentu atau jaman yang
khas di muka bumi ini. Al-Qur’an merupakan suatu kenyataan yang kekal dan abadi yang
tidak akan berubah-ubah dan akan selalu merupakan bahan perenungan yang
mengagumkan bagi seluruh ummat manusia.
- Sunnah
Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah swt. walaupun lafalnya
bukan dari Allah, tetapi maknanya datang dari-Nya. Menjadi persoalan kemudian adalah
kebingungan yang terjadi di tengah umat, karena begitu banyaknya hadis lemah yang
dianggap kuat dan sebaliknya, hadis yang shahih terkadang diabaikan, bahkan tidak
jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah saw. dinisbatkan
kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-
musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah
yang telah menjaga kemurnian Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam
menjaga dan membela Sunnah-sunnah Rasulullah saw., dari usaha-usaha penyimpangan.
Ini tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga
Sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam
meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahl al-Sunnah.
Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka, agar tidak
terseret ke dalam jurang penyimpangan. Selain melakukan penjagaan terhadap Sunnah,
Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan Sunnah dalam
menetapkan syariat, termasuk perkara aqidah, telah ditegaskan dalam banyak ayat al-
Qur’an.
- Ijma’
Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat
Muhammad saw., setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah
orang yang sekedar tahu masalah ilmu, tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu.
Berkaitan dengan ijma’.
Di dalam pengambilan Ijma’, terdapat juga-juga beberapa kaidah-kaidah penting
yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus berdasarkan kepada
dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, karena perkara akidah adalah perkara
tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah
menguatkan al-Qur’an dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam dalil yang zhanniy, sehingga menjadi qatha’iy.
- Akal

Akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam sangat memuliakan akal
serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap
akal, juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak
ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akalyang
memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula
membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia. Syeikh al-Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu memahami ilmu
dan kesempurnaan alam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna.
Hanya saja, ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber
kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya
iman dan al-Qur’an, ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia
berdiri sendiri, ia akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali
dihilangkan, ia akan menjadi sesuatu yang berunsur “kebinatangan”.
C. Hubungan Aqidah dan Amal
Aqidah merupakan fondasi utama ajaran Islam yang di atasnya berdiri amal shalih.
Keimanan (aqidah) dan amal shalih dalam al-Qur'an sering ditempatkan secara beriringan. Hal
ini karena keduanya ibarat sebuah bangunan, aqidah adalah fondasinya dan amal shalih adalah
bangunan yang berdiri di atasnya. Fondasi keimanan yang kokoh tanpa amal shalih tidak berarti,
begitu pula amal shalih tanpa keimanan. Aqidah yang benar adalah yang tercermin dari
kemurnian seluruh amal perbuatan manusia dan ibadahnya semata-mata hanya untuk Allah Swt
semata.
D. Hubungan Aqidah dan Ilmu
Aqidah islam sebagai dasar kurikulum bukan berarti setiap ilmu pengetahuan wajib
bersumber dari aqidah Islam. Islam tidak memerintahkan demikian, lagi pula hal itu sangat
bertentangan dengan kenyataan, Karena tidak semua ilmu pengetahuan bersumber dari Aqidah
Islam . Misal : Ilmu Bahasa ,sains dan teknologi dan lainnya. Aqidah islam hanya menyangkut
doktrin dan hukum islam , sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang lain. Akan tetapi
setiap pengetahuan yang dengan keimanan dan hukum harus bersumber dari Aqidah Islam ,
Karena aqidah muncul dengan membawa dua unsur ini ( keimanan dan hukum ).
Adapun yang dimaksud dengan meletakkan aqidah islam sebagai dasar dari ilmu
pengetahuan selain menyangkut masalah keimanan dan hukum ialah agar aqidah islam dijadikan
standar penilaian . Adapun yang bertentangan dengan aqidah islam tidak boleh diambil atau
diyakini. Sedangkan yang tidak bertentangan dengan aqidah islam boleh diambil. Aqidah
menjadi tolak ukur apakah sesuatu itu boleh diambil atau tidak. Oleh karena itu mempelajari
segala macam ilmu pengetahuan bukan merupakan penghalang karena dalil - dalil yang
menganjurkan menuntut ilmu pengetahuan bersifat umum.
Rasulullah SAW bersabda :

" Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu , Maka Allah memudahkan jalan
baginya menuju surga ." ( HR Muslim , Tirmidzi dan Abu Hurairah ).
Ilmu yang dimaksud mencakup segalam macam ilmu pengetahuan. Oleh Karena itu tidak
terdapat larangan di dalam islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan apapun, selama ia tidak
bertentangan dengan aqidah islamiyah. Al qur'an Misalnya mengandung beberapa pemikiran dan
keyakinan tentang berbagai macam agama dan golongan yang terdapat di masa Nabi SAW
Jadi jelas bahwa mempelajari pengetahuan yang bertentangan dengan Aqidah Islam
dengan syarat tidak dijadikan pegangan dan keyakinan adalah boleh hukumnya yang dilarang
adalah mengambil pemikiran yang terkandung di dalam suatu pengetahuan tertentu yang
betentangan dengan Aqidah islam dan dijadikan pegangan.
E. Klasifikasi Manusia Menurut Aqidah

1. Mukmin

Mukmin adalah orang yang beriman (percaya) kepada Allah


seorang mukmin yang taat akan selalu menjalankan perintah agama Mu’min (‫ؤمن‬QQ‫ )م‬adalah
istilah Islam-Arab, sering dirujuk dalam Quran, secara harfiah berarti “percaya”, dan
menandakan seseorang yang memiliki penyerahan sepenuhnya kepada kehendak Allah dan
memiliki iman di hatinya, yaitu “orang Muslim yang beriman”.

Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa iman itu mempunyai tujuhpuluh cabang, artinya
indikator seorang mu'min itu ada tujuhpuluh variabel. Di antara tujuh puluh indikator itu antara
lain; (1) seorang mukmin hanya berbicara yang baik, (2) jika mendapati sesuatu yang
mengganggu orang lewat ketika ia melewati suatu jalan maka ia tidak akan meneruskan
perjalanannya sebelum menyingkirkan sesuatu yang mengganggu itu, (3) merasa sependeritaan
dengan mukmin yang lain, dan sebagainya.

Allah ta’ala berfirman ,

Qَ ُ ‫ َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكل‬Q‫ت َعلَ ْي ِه ْم آَيَاتُه ُ زَ ا َد ْته ُ ْم إِي َمانًا َو َعلَى‬


  ‫ون‬ ْ َ‫ت قُلُوبُه ُ ْم َوإِ َذا تُلِي‬ Qَ ُ ‫ ْال ُم ْؤ ِمن‬Q‫إِن َّ َما‬
ْ َ‫ون ال َّ ِذينَ إِ َذا ُذ ِك َر هَّللا ُ َو ِجل‬

“Orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah
maka bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka
bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka .” (QS.
Al-Anfal: 2)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dari ayat di atas bisa
disimpulkan bahwa ciri-ciri orang beriman itu antara lain:

1. Merasa takut kepada-Nya ketika mengingat-Nya, yang dengan sebab itulah maka dia
akan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
2. Bertambahnya keimanan mereka tatkala mendengar dibacakannya al-Qur’an
3. Menyerahkan segala urusan dan bersandar kepada Allah semata (lihat al-Mulakhkhash
fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 269)

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa salah satu ciri utama orang beriman adalah
bertawakal kepada Allah saja. Hatinya tidak bergantung kepada selain-Nya. Karena hanya
Allah saja yang menguasai segala manfaat dan madharat. Dan tawakal inilah yang menentukan
kuat lemahnya iman seorang hamba. Semakin kuat tawakalnya, semakin kuat pula imannya

2. Kafir

Dalam bahasa Indonesia, kafir adaah orang yang tidak percaya kepada Allah Swt. dan
rasul-Nya (KBBI). Dalam bahasa Arab, kāfir ( ‫افر‬QQ‫ )ك‬artinya adalah menutup kebenaran,
menolak kebenaran, atau mengetahui kesalahan tapi tetap menjalankannya. Kata kafir
merupakan ism fa'il (kata pelaku) dari kata kafara-yakfuru-kufr.

Dalam al-Qur’an, kata "kafir" (plural: kafirin, kafirun) ini disebutkan sebanyak 525 kali
dengan makna a.l. menutupi, melepaskan diri, menghapus, dan denda karena melanggar salah
satu ketentuan Allah swt.

Dari beberapa arti di atas, menurut al-Asfahani dan Ibn Manzur, yang dekat kepada arti
secara istilah adalah menutupi dan menyembunyikan. Ensiklopedia al-Qur’an menyebutkan,
"kafir" adalah lawan daripada "iman". Kafir yaitu pengingkaran terhadap Allah Swt.,
pengingkaran kepada para Nabi dan Rasul, serta semua ajaran yang mereka bawa, dan
pengingkaran kepada hari akhir.

Menurut Eksiklopedia al-Qur’an, jenis-jenis orang kafir ada lima yaitu.

a. Kufur Juhud

Kufur Juhud adalah orang yang ada pengakuan terhadap Tuhan di dalam hati, tetapi
tidak diringi dengan ucapan. Kekafiran seperti ini, telah ada sebelum kerasulan Muhammad
Saw seperti yang terdapat di dalam kisah Fir’aun.

"Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah
mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. maka perhatikanlah
betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (QS An-Naml:13-14)

Kekafiran semacam itu, juga ada pada kafir Mekkah dan Yahudi di Madinah, misalnya
menceritakan kaum Yahudi yang mengingkari kerasulan Muhammad karena bukan dari
keturunan mereka.

b. Kafir Ingkar

Kufur ingkar yakni kafir terhadap Allah Swt., para Nabi dan Rasul, serta semua ajaran-
Nya, dan hari akhir. Kafir seperti ini sama dengan zalim dan fasik. Sebab siksaan untuk mereka
terkait dengan prilaku zalim dan fasik yang mereka lakukan sebagaimana dalam QS al-
Ahqaf/46: 20.

"Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka
dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja)
dan kamu telah bersenang-senang dengannya; Maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab
yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
karena kamu telah fasik". (QS al-Ahqaf 46: 20)

Ciri yang dominan pada kekafiran ini adalah pendustaan ayat-ayat Allah Swt., sombong,
mempertuhankan hawa nafsu, dan tidak mempercayai mukjizat.
Pada dasarnya Kufur Ingkar mempunyai persamaan dengan Kufur Juhud, terutama pada
penolakan terhadap kebenaran Tuhan. perbedaannya terletak pada posisi pelakunya, kafir
Juhud karna kesombongannya, sedangkan kafir Ingkar karna ketidakyakinannya akan
kebenaran.

c. Kafir Nifaq

Yang dimkasud Kufur Nifaq adalah pembenaran dengan ucapan namun diingkari
dengan hati. Kekafiran seperti ini, merupakan kebalikan dari kafir Juhud. Imam al-Asfahani
mengartikannya masuk agama melalui pintu yang satu, dan keluar dari pintu yang lain. Imam
al-Tabatabai mengartikannya dengan menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran.

Munafik digolongkan kafir karena pengingkarannya secara terselubung. gejala ini


terlihat pada priode sebelum hijrah dan menonjol setelah hijrah ke Madinah. orang kafir yang
seperti ini ketika shalat selalu bermalas-malasan dan tidak khusyu’.

d. Kafir Syirik

Kafir Syirik yakni mempersekutukan Allah dengan makhluk atau menyembah selain
Allah Swt (mengingkari keesaan Allah atau tauhid).

Mereka tidak menampik adanya Tuhan sebagai pencipta Alam, tetapi mempercayai
bahwa ada Tuhan selain Allah Swt baik itu berbentuk materi atau nonmateri. yang menurut
mereka dapat mendatangkan manfaat bagi manusia. Berbuat Syirik merupakan dosa besar dan
tidak diampuni dosanya oleh Allah swt. firman-Nya dalam QS al-Nisa’/4: 48.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS al-Nisa’4: 48.)

e. Kafir al-Irtidad

Yakni kafir yang keluar dari agama Islam dan menjadi kafir (Murtad) karena
sebelumnya mereka juga telah Kafir. Dalam al-Qur’an disebutkan, kafir yang seperti ini jika
meninggal, maka akan mati dalam kekafiran. Sebagaimana dalam QS al-Baqarah/2:217.

"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. katakanlah: "berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir
kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid al-Haram dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka. Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS al-Baqarah 2:217)
3. Munafik
Secara bahasa, kata Munafik berasal dari kata Nafaqa ( ‫ق‬ َ Q َ‫)نَف‬, Nifaqon (‫ )نِفَاقًا‬yang
mengandung arti Mengadakan, mengambil bagian dalam, membicarakan sesuatu yang dalam
pandangan keagamaan. Pengakuannya dari satu orang berbeda-beda dengan yang lainnya.
Adapun dalam pengertian syara’, Munafik adalah orang yang lahirnya beriman padahal hatinya
kufur.
Ciri-ciri orang munafik sangat banyak tersebut didalam al Qur’an, dan Rasulullah SAW
juga menyebutkan sebagian diantaranya guna memperingatkan umatnya dari ciri-ciri tersebut,
jangan sampai mereka terjatuh kedalamnya sehingga mereka akhirnya menjadi mirip seperti
mereka. Padahal sungguh Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam telah menyatakan bahwa
barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut. Diantaranya
ciri-ciri orang munafik yang dijelaskan dalam al Qur’an adalah :
1. Bermuka Dua
Bermuka dua adalah ciri orang yang membentuk penampilan lahiriyah dan melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Misalnya : seseorang mungkin
memberikan kesan persahabatan dan kasih sayang serta bersikap tulus dan simpatik,
padahal dalam hatinya ia menyembunyikan perasaan yang sebaliknya.
2. Berlidah Dua
Berlidah dua adalah sifat orang yang memuji dan menjunjung orang lain ketika ia
berhadapan dengannya, tetapi mencela dan mengumpatnya bila ia tidak ada.
3. Berdusta
Berdusta atau berkata bohong merupakan ciri-ciri kemunafikan yang sangat menonjol.
Orang yang munafik selalu berkhianat, tidak dapat dipercaya atas segala apapun yang
diamanatkan kepadanya, berdusta bila berbicara, dan tidak dapat dipercayai setiap
perkataan yang keluar dari penuturannya.
4. Sumpah Palsu
Orang-orang munafik tidak segan-segan bersumpah palsu untuk menguatkan
kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan, sumpahnya hanya sebagai perisai untuk
menyelamatkan diri.
4. Musyrik
Musyrik adalah pelaku atau orang yang melakukan sifat syirik atau yang
mempersekutukan Allah SWT. Pelaku syirik (musyrik) disini ada yang dilakukan secara
terang-terangan, dan ada juga yang dilakukan secara tertutup. Hanya di dalam hati, persoalan
ini yang mengetahuinya hanyalah Allah SWT. Dalam dua kategori jenis syirik, terbagi atas
beberapa macam. Adapun penjelasannya dari pembagian syirik ialah:

Pertama-tama pembagian syirik menurut kuantitas diketahui terbagi atas 3


bagian yaitu syirik uluhiiya, syirik rububiyah, syirik ‘ubudiyyah. Adapun
penjelasannya adalah:
1. Syirik Uluhiiya adalah syirik yang menyukutukan Allah SWT yang menyakini ada selain
dia sebagai pencipta dari alam semesta.
2. Sedangkan untuk Syirik Rububiyyah berarti meyakini bahwa selain Dia, ada pemelihara
dan pengatur alam semesta.
3. Syirik Ubudiyyah adalah syirik yang menyakini ada tuhan selian dia yang disembah. Bisa
dikatakan menyembah juga tuhan-tuhan yang lainnya.
Sedangkan untuk pembagian syirik secara kualitas pada dasarnya terbagi
atas dua yaitu syirik besar dan syirik kecil. Apasih yang dimaksud dengan kedua
jenis syirik ini?. arti dari keduanya bisa dilihat dibawah ini:
1. Syirik besar (Al Syirk Al Akbar) adalah menyakini kalau ada tuhan selain Allah SWT.
2. Syirik kecil (Al Syirk Al Asghar) adalah melakukan sembahyang bukan karena Alla SWT
melainkan hanya karena manusia.

Perlu diketahui pula bahwa dampak dari syirik sangat luar biasa bagi orang-
orang yang berperilaku syirik. Orang-orang musyrik tidak akan mendapat
ampunan. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam surah An-Nisa yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia
mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-
jauhnya.” (QS. An-Nisa 4:116)
Kesimpulan

Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya,
hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu
sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan,
yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen
kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang
diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis.
keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya
keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada
pembenaran yang bersifat pasti .
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung
perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil
keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia
didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli
juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan
melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan
sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya
disandarkan pada metode aqliyah.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Tauhid 1, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan.

Fiqhul Akbar, Imam Syafi’i hal. 16

Aris Kurniawan, https://www.gurupendidikan.co.id/aqidah diakses 20 Maret 2021

Mannan Audah, Aqidah Islamiyah, Makassar: Alauddin University Press, 2012.

Anwar Rosihon, Akidah Akhlak, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Masdar Abu Yafie, http://indahnyadakwah.blogspot.com/2010/04/aqidah-dan-ilmu


pengetahuan.html diakses 20 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai