Anda di halaman 1dari 24

TANGGUNG JAWAB NOTARIS/PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL

BELI ATAS HARTA PAILIT

Elia Cahya Putra (1807276366)

Abstrak

Dalam menjalankan kewenangannya, khususnya dalam penjualan terhadap


harta pailit berupa tanah, PPAT harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Dalam hal penerapan Pasal
185 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan PKPU mengenai penjualan atas harta
pailit yang dapat dilakukan dibawah tangan, maka hal tersebut hanya dapat
dilakukan dengan izin hakim pengawas. Sebelum dilakukan jual beli, unsur-unsur
dalam ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan PKPU harus
dipenuhi terlebih dahulu. Pejabat Pembuat Akta Tanah harus memperhatikan
dengan seksama, dokumen apa saja yang harus diperhatikan dan diperlukan
sebelum penjualan dilakukan. Pejabat Pembuat Akta Tanah harus juga
memperhatikan komparisi akta jual beli dalam hal penjualan harta pailit berupa
tanah, mengingat hilangnya hak keperdataan debitor pailit dalam mengurus dan
menguasai kekayaannya. Hal ini perlu dilakukan oleh PPAT guna melindungi

Kata Kunci : Tanggung jawab Notaris, Harta Pailit, Jual Beli

1
1. Pendahuluan

Sebagai akibat adanya pernyataan pailit berdasarkan putusan Pengadilan


Niaga, debitor pailit kehilangan hak keperdataannya untuk mengurus dan
menguasai kekayaannya 1 . Dengan demikian, sejak pernyataan putusan pailit
diucapkan harta kekayaan debitor pailit berada dibawah pengampuan. Kurator
berdasarkan putusan pengadilan akan mengurus harta kekayaan debitor pailit.
Menurut Pasal 15 ayat (1) juncto Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Kepailitan
dan PKPU, pengampu harta kekayaan debitor pailit (harta pailit) adalah kurator.
Berkenaan dengan status debitor pailit yang demikian itu dan karenanya
selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh debitor tetapi oleh
kuratornya, maka sesuai ketentuan Pasal 26 Undang-undang Kepailitan dan
PKPU tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus
diajukan oleh atau terhadap kurator

Kekayaan debitor pailit yang masuk harta pailit berada dibawah penyitaan
umum (sita umum). Menurut Pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan PKPU,
harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh debitor pailit selama kepailitan,
kecuali yang secara tegas dinyatakan oleh Undang-undang Kepailitan dan PKPU
dikecualikan dari harta pailit. Tugas pertama kurator sejak mulai
pengangkatannya adalah melakukan semua upaya untuk mengamankan harta
pailit. Selanjutnya kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat
dua hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya. Menurut Pasal 184
ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, kurator memulai pemberesan dan
penjualan semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan
debitor. Kurator tidak perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitor hanya


1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang No. 37 Tahun 2004, (Jakarta:
PT. Pustaka Utama Grafiti, Cet. IV, 2010), hal. 190.

2
apabila:

a) Usul untuk mengurus perusahaan debitor tidak dianjurkan dalam


jangka waktu sebagaimana ditetapkan Undang-undang Kepailitan dan PKPU,
atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak; atau
b) Pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan2.

Berdasarkan ketentuan Pasal 107 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan


PKPU, atas persetujuan hakim pengawas, kurator dapat menjual harta pailit
sepanjang hal itu diperlukan untuk menutupi ongkos kepailitan atau dalam hal
penahanananya atas barang tersebut akan mengakibatkan kerugian terhadap harta
pailit. Selanjutnya, Pasal 107 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan PKPU,
menyatakan bahwa, dalam hal kurator akan melakukan penjualan dimuka umum
bukan tanpa pengucualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1), maka
Pasal 185 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU berlaku. Pasal 185 ayat
(1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa, semua benda harus
dijual dimuka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Ketentuan penjualan dimuka umum bukan tanpa
pengecualian, menurut Pasal 185 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan PKPU
dalam hal penjualan dimuka umum sebagaimana dimaksud Pasal 185 ayat (1)
Undang-undang Kepailitan dan PKPU tidak tercapai maka penjualan dibawah
tangan dapat dilakukan dengan izin hakim pengawas.

Harta kekayaan debitor yang menjadi harta pailit terdiri dari harta benda
bergerak maupun harta benda yang tidak bergerak. Dalam hal harta pailit yang
akan dijual oleh kurator merupakan harta bergerak, maka ketentuan Pasal 185
ayat (2) tentang penjualan di bawah tangan selalu dapat dilaksanakan dengan
memperhatikan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Namun
demikian, hal yang demikian tidak dapat dilaksanakan dalam hal yang dijual
adalah harta tidak bergerak, khususnya yang berupa tanah. Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah menetapkan jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diberi kewenangan untuk membuat

2 Ibid, hal 191

3
alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran. Oleh
karenanya, PPAT memegang peranan penting dalam penjualan harta pailit berupa
tanah.

Dalam menjalankan kewenangannya, khususnya dalam penjualan terhadap


harta pailit berupa tanah, PPAT harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Dalam hal penerapan Pasal
185 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan PKPU mengenai penjualan atas harta
pailit yang dapat dilakukan dibawah tangan, maka hal tersebut hanya dapat
dilakukan dengan izin hakim pengawas. Sebelum dilakukan jual beli, unsur-unsur
dalam ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan PKPU harus
dipenuhi terlebih dahulu. Pejabat Pembuat Akta Tanah harus memperhatikan
dengan seksama, dokumen apa saja yang harus diperhatikan dan diperlukan
sebelum penjualan dilakukan. Pejabat Pembuat Akta Tanah harus juga
memperhatikan komparisi akta jual beli dalam hal penjualan harta pailit berupa
tanah, mengingat hilangnya hak keperdataan debitor pailit dalam mengurus dan
menguasai kekayaannya. Hal ini perlu dilakukan oleh PPAT guna melindungi
PPAT dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus melindungi pihak pembeli dari
gugatan pihak ketiga.

Adapun kewajiban Notaris dalam Peraturan Jabatan Notaris adalah sebagai


berikut:

a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga


kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum

b. Membuat akta dalam bentuk Minnuta Akta dan menyimpannya sebagai


bagian dari Protokol Notaris

c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, Atau Kutipan Akta


berdasarkan Minuta Akta

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-


Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya

4
e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang dipperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain

f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (astu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak ebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku

g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga

h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan


waktu pembuatan akta setiap bulan

i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau


daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya

j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada


setiap akhir bulan

k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik


Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan

l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling


sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditanda

m. menerima magang calon Notaris.3


3 Undang-Undang Jabatan Notaris, pasal 16 Ayat (1)

5
Pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana
yang dimaksud oleh Undang-Undang akan mengakibatkan suatu akta hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta
menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya ganti rugi, dan bunga kepada
Notaris. Dalam kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 840K/Pdt.Sus-
Pailit/2016 ini Akta yang dibuat oleh Notaris ditetapkan Batal demi hukum.

Akta notaris batal demi hukum, berbeda dengan akta yang dapat dibatalkan
karena dalam proses pembuatannya tidak memenuhi unsur subjektif sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 1320 ayat 1 dan 2 KUHPerdata. Akta yang batal demi
hukum terjadi karena mekanisme pembuatannya melanggar substansi UUJN
mengenai kewenangan notaris dalam membuat akta otentik dan pasal 1320 ayat 3
dan 4 KUHPerdata yang merupakan syarat objektif dalam melakuka suatu
perjanjian, yaitu mengenai suatu hal tertentu dan sebab atau kausa yang
diperbolehkan.

Akta notaris yang batal demi hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, hal
ini dikarenakan akta yang dibuat dengan melanggar dan tidak terpenuhinya:

1) Unsur Lahiriah akta otentik

2) Unsur Formal akta otentik

3) Unsur Materil

4) Unsur Pasal 1320 ayat 3 Kuhperdata tentan suatu hal tertentu

5) Unsur Pasal 1320 ayat 4 KUHperdata tentang kausa yang


diperbolehkan

Memperhatikan pelanggaran dalam mekanisme pembuatan akta otentik


oleh notaris, tentang tidak terpenuhinya unsur lahiriah, formal, materil dan
pelanggaran atas pasal 1320 ayat 3 KUHperdata tentunya sudah sangat jelas
bahwa pelaksanaan atas hak dan kewajiban dalam akta tersebut tidak boleh
dilaksanakan, karena bertentangan dengan hukum, dengan demikian maka akta-
akta seperti itu harus dicegah pelaksanaanya.

6
Kemampuan lahiriah akta notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otenti (acta publika probant sese
ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik, serta sesuai dengan
aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta
tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai
ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah4

Mengenai hal ini , beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal
keotentikan akta tersebut dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan dan
penggugat harus membuktikan bahwa akta tersebut bukan merupakan akta
otentik.

Akta otentik juga perlu memperhatikan unsur formal-nya, akta notaris harus
memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta
betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang
sudah ditentukan dalam pembuatan akta notaris5. Menentukan suatu akta otentik
tersebut telah memenuhi unsur formal dalam pembentukan suatu akta otentik,
untuk itu harus bisa menunjukan dan membenarkan kepastian tentang:

a) Hari, tanggal, bulan, tahun, pukul mengahadap

b) Para pihak yang menghadap notaris

c) Paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris

d) Serta membuktikan apa yang di lihat, di saksikan dan di dengar sendiri


oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara)

e) Mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada


akta pihak)

Selanjutnya pihak yang mempersalahkan akta tersebut harus melakukan


pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Begitu
juga sebaliknya, apabila pihak yang merasa keberatan tersebut tidak mampu


4 G.H.S Lumban tobing, Peraturan jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1980 hlm.56.

5 G.H.S Lumban tobing, Peraturan jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1980 hlm.57.

7
membuktikan dalil-dalilnya, maka akta tersebut harus dapat diterima oleh semua
pihak. Selanjutnya, adalah kepastian tentang materi akta, karena aspek materil
menyangkut keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta
pejabat (berita acara) atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di
hadapan notaris dan para pihak harus dinilai benar. Apabila yang diterangkan
para pihak tidak sebagaimana faktanya, maka hal yang demikian itu menjadi
tanggungjawab para pihak. Menurut annalisa yahanan, Muhammad Syaifuddin
dan Yunial Laili Mutiari mendefinisikan objek atau pokok persoalan tertentu atau
dapat ditentukan, artinya dalam pembuatan kontrak (akta notaris) apa yang
diperjanjikan harus je;as, sehingga hak dan kewajiban para pihak dapat
diterapkan6

Sedagkan Agus Yudha Hernoko berpendapat, suatu hal objek tertentu (een
onderwerp) dalam Pasal 1320 KUHperdata merupakan syarat ketiga, adalah
prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk
memastikan sifat dan luasannya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban
para pihak. Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas
kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum). Lebih lanjut
mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333
dan 1334 KUHPerdata sebagai berikut:

a) Pasal 1332 KUHperdata menegaskan bahwa hanya barang yang dapat


diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian

b) Pasal 1333 KUH perdata menegaskan bahwa suatu perjanjian harus


mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya

c) Pasal 1334 KUHPerdata menegaskan bahwa barang yang baru ada


pada waktu akan datang, dapat menjadi poko suatu perjanjian. Tetapi tidaklah
diperkenankan untuk melepas suatu warisan yang belum terbuka, atapun untuk
meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan
sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadikan
pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangin ketentuan Pasal 169, 176, dan


6 annalisa yahanan, Muhammad Syaifuddin dan Yunial laili Mutiari, Jakarta,Perjanjian Jual Beli
Berklausula perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri Publishing, 2008, halaman 23

8
178 KUHPerdata

Substansi pasal-pasal tersebut di atas memberikan pedoman bahwa dalam


berkontrak (dituangkan dalam akta otentik) harus memenuhi hal atau objek
tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak
(prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak. Bahwa “tertentu” tidak harus
dalam artian gramatikal dan sempit harus ada ketika kontrak dibuat,
dimungkinkan juga untuk gal atau objek tertentu tersebut sekedar ditentukan
jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian hari.

Tidak terpenuhinya Pasal 132 ayat 4 KUHperdata adalah mengenai


pengertian sebab atau causa/kausa yang diperbolehkan atau tidak dilarang (een
geoorlofde) tidak dijelaskan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh sebab itu,
untuk memahami pengertian sebab atau causa yang tidak dilarang atau
diperbolehkan, perlu merujuk kepada doktrin atau pendapat ahli hukum kontrak
dan yurisprudensi yang ada.

Ajaran tentang kausa sebagaimana yang dimaksud pasal 1320 KUHPerdata


syarat yang ke-empat, sampai saat ini sebenarnya tidak terlalu jelas, KUHperdata
sendiri mengadopsi syarat kausa dari Code Civil Prancis yang bersumber dari
pandangan Domat dan Pothier. Volmar memberikan pengertian sebab atau kausa
yang yang tidak dilarang sebagai maksud atau tujuan isi kontrak. Kemudian
subekti menjelaskan bahwa sebab adalah isi kontrak itu sendiri, dengan demikian
kausa merupakan prestasi dan kontraprestasi yang saling dipertukarkan oleh para
pihak.7

Herlin Budiono menjelaskan bahwa kausa dalam ilmu hukum mengandung


pengertian sebagai dasar yang melandasi ubungan hukum dibidang kekayaan.
Suatu kontrak hanya akan mempunyai akibat hukum jika memenuhi dua syarat.
Pertama, Tujuan kontrak mempunyai dasar yang pantas/patut (redelijke grond).
Kedua, tujuan kontrak mengandung sidat yang sah (een geoorloorford karakte
dragen). Kontrak yang tidak memenuhi dua syarat tersebut akan menimbulkan
akibat hukum mengikat para pihak, karena kontrak tersebut menurut undang-


7 Muhammad syaifuddin. Bandung. Hukum Kontrak, memahami kontrak dalam perspektif filsafat,
teori, dogmatic, dan praktik hukum, mandar maju, 2012, halaman 131

9
undang tidak mempunyai kausa.

Pengertian kausa yang diperbolehkan atau ada yang menterjemahkan sebab


yang halal beberapa sarjana mengajukan pemikirannya, antara lain Wirjono
Prodjodikiro yang memberikan pengertian sebab (kausa) sebagai maksud atau
tujuan perjanjian. Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) sebagaimana dimaksud
Pasal 1320 KUHPerdata harus dihibungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337
KUHPerdata.8

Pasal 1335 KUHperdata menegaskan, suatu perjanjian yang dibuat tanpa


sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai
kekuatan. Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang
hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai
itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum dan kesusilaan. Selanjutnnya dalam pasal 1337 KUHPerdata
menyatakan, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang
atau apa bila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Berdasarkan kedua pasal di atas, suatu akta notaris tidak mempunyai


kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila isi akta notaris:

a) Tidak mempunya kausa

b) Kausanya palsu

c) Kasusanya bertentangan dengan undang-undanga

d) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan

e) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum 9

Syarat subjektif dan objektik sebagaimana yang ditentukan dalam pasal


1320 KUHPerdata yang akan dituangkan ke dalam akta otentik, yaitu syarat
subjektif dicantumkan dalam awal akta atau kepala akta dan syarat objektif
dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta dan perwujudan dari Pasal 1338

8 Agus Yudha Hernoko, Jakarta. Hukum Perjanjian dan Asas Proporsionalitas dalam kontrak
komersil, Kencana, tahun 2013, halaman 194
9 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, halaman 194

10
KUHPerdata yang merefleksikan asas kebebasan berkontrak yang akan
memberikan kepastian serta perlindungan hukum terhadap para pihak mengenai
kontrak yang mereka buat sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata.

Selanjutnya jika dalam isi akta notaris tidak memenuhi syarat objektif,
maka akta tersebut batal demi hukum dan akibat hukum dari akta itu dianggap
tidak pernah ada (inexistence), dengan demikian sejak saat akta otentik
ditandatangani dan tindakan hikum yang tersebut dalam akta dianggap tidak
pernah terjadi. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan
oleh undang-undang nomor 30 tahun 2004 Jo. Undang-undang nomor 2 tahun
2014 tentang jabatan notaris. Hal ini dikarenakan telah menjadi karakter akta
notaris. Meskipun ada ketidaktepatan dalam Pasal 38 ayat (3) dengan undang-
undang tentang jabatan Notaris yang telah menempatkan syarat subjektif dan
syarat objektif sebagai bagian dari badan akta, maka kerangka akta notaris harus
menepatkan kembali syarat subjektif dan syarat objektif akta notaris yang sesuai
dengan makna dari suatu perjanjian dapat dibatalkan dan batal demi hukum.

Berdasarkan teori tanggung jawab akibat perbuatan melawan hukum,


Notaris dalam gugatan tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja dalam melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban Notaris, sebagaimana yang telah diuraikan
dalam pemeriksaan di pengadilan. Perbuatan notaris tersebut juga telah
memenuhi unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan terhadapnya dapat
dimintakan ganti kerugian. Kedudukan notaris sebagai turut tergugat dalam
gugatan perdata biasanya digunakan sebagai pihak pelengkap dalam gugatan agar
tidak terjadi error in persona, selanjutnya terhadap turut tergugat dapat
dimintakan untuk tunduk dan taat terhadap putusan. Selain itu turut tergugat juga
dapat dimintakan untuk membayar ganti kerugian secara tanggung renteng
dengan para tergugat lainnya dalam perkara perbuatan melawan hukum, apabila
diminta oleh penggugat10.

Selanjutnya sanksi yang diberikan kepada Notaris terhadap pelanggaan



10 Tri Jata Ayu Pramesti, “Kedudukan dan Konsekuensi Menjadi Turut Tergugat”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51f72fd2cc8c0/kedudukan-dan-
konsekuensimenjadi-turut-tergugat, diakses 2 April 2019

11
perdata adalah penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada pihak yang
dirugikan. Berdasarkan petitum dalam perkara tersebut, penggugat memohon
kepada majelis hakim untuk menghukum para tergugat beserta turut tergugat
untuk membayar biaya perkara, sehingga berdasarkan asas non ultra petita maka
hakim tidak boleh memutus perkara lebih dari apa yang dimintakan oleh
penggugat. Notaris sebagai pejabat umum diharuskan untuk senantiasa mematuhi
ketentuan yang melekat dalam jabatannya, baik dalam UUJN maupun kode etik
notaris, serta perundang- undangan lainnya. Ruang lingkup putusan Actio
Pauliana ini adalah sebagai putusan perdata, sehingga terhadapnya berlaku
ketentuan Hukum Acara Perdata secara umum, serta beberapa ketentuan acara
sebagaimana diatur dalam UU K-PKPU.

1.1 Pokok Permasalahan

Pokok Permasalahan yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah :



1. Bagaimana kedudukan akta Perjanjian Kerja Sama yang dibuat oleh
notaris berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 840K/Pdt.Sus-
Pailit/2016?
2. Bagaimana tanggung Jawab Notaris dalam Perjanjian dengan Prinsip
Jual Beli yang melibatkan harta Pailit?

2 .Pembahasan

2.1 Kasus Posisi

Berdasarkan kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor


840K/Pdt.Sus-Pailit/2016 ini, Notaris membuat Akta Perjanjian Kerja Sama
yang mengandung prinsip jual beli, sehingga terjadinya perbuatan hukum
berupa peralihan hak , yang dimana dikemudian hari, salah satu pihak
dinyatakan pailit, sehingga hal tersebut menyebabkan Perjanjian Kerja Sama
yang dimana didalamnya terdapat peralihan kepemilikan sebuah objek, patut
diduga sebagai harta dari debitur pailit. Namun nyata-nyatanya Notaris
membuat 2 (dua) versi Minuta Akta dengan Nomor dan tanggal yang sama,
perbuatan ini tentunya bukan merupakan perbuatan yang diperbolehkan bagi
seorang notaris. Notaris dalam hal ini tidak bertindak amanah, jujur, dan
melindung salah satu pihak, karena mencoba membantu salah satu pihak yaitu
debitur untuk meloloskan hartanya dari Boedel Pailit. Dalam kasus kepailitan,

12
Pertanggungjawaban perdata terhadap notaris baru muncul apabila terdapat
pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris yang dilakukan di luar
kewenangannya tersebut, dengan cara menggugat secara perdata pada
pengadilan.
Aset yang menjadi objek dari perjanjian Jual Beli tersebut adalah Pabrik
Kelapa Sawit tersebut merupakan aset dari CV Agro Wasita Mandiri Perkasa
yang dikuasai oleh H.T.Mufrizal sebagai Tergugat 4 berdasarkan Akta
Perjanjian Kerja Sama Nomor 05 yang dibuat di hadapan Notaris Cut Dian
Satriani, S.H.,M.Kn. Penandatanganan akta serta penguasaan objek sengketa ini
dilakukan sejak 07 Mei 2015 atau empat bulan sebelum putusan pailit. Dalam
pemeriksaannya, ternyata penggugat menemukan bahwa terdapat dua versi dari
Perjanjian Kerja Sama yang dibuat di hadapan notaris tesebut, dimana terdapat
salinan yang pada intinya menyebutkan bahwa perjanjian kerja sama tersebut
berkaitan dengan sewa menyewa pabrik kelapa sawit, sedangkan versi lain
menyebutkan bahwa perjanjian kerja sama tersebut pada intinya terkait
pengelolaan pabrik kelapa sawit.
Pada bulan Oktober 2015, atau tepatnya satu bulan setelah putusan pailit,
telah dibuat adendum atas Akta Perjanjian Kerja Sama Nomor 05. Berita acara
dalam addendum tersebut pada intinya adalah keinginan para pihak untuk
melaksanakan jual beli terhadap objek pabrik, serta tambahan ketentuan berupa
apabila dalam keadaan yang tidak terduga sehinggal jual beli pabrik tidak
terlaksana dan kepailitan tetap berlangsung, maka pembeli (dalam hal ini H.T
Mufrizal atau Tergugat 4) akan mendapatkan kompensasi sebesar Rp
6.500.000.000 (enam milyar lima ratus juta rupiah) dan melepaskan haknya
sebagai pembeli, serta menyerahkan objek pabrik sebagai boedel pailit kepada
pihak lain. Pihak yang menandatangani addendum perjanjian tersebut yaitu
pengurus CV Agro Wasita Mandiri Perkasa (dalam pailit) serta istri dari H.T
Mufrizal.
Pada tanggal delapan Januari 2016 selanjutnya telah dilaksanakan jual beli
di bawah tangan terhadap objek pabrik kelapa sawit yang ditandatangani oleh
pengurus CV Agro Wasita Mandiri Perkasa (dalam pailit) dengan anak kandung
dari H.T. Mufrizal. Kurator telah berusaha mengamankan objek pabrik yang
merupakan objek sengketa pailit dengan memohon kepada hakim pengawas
untuk dilakukan penyegelan, namun segel yang telah dipasang tersebut dirusak

13
oleh pihak lain. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh para tergugat, yaitu para
pengurus CV Agro Wasita Mandiri Perkasa (dalam pailit), H.T Mufrizal, serta
istri dan anak kandungnya serta notaris sebagai turut terugugat merupakan suatu
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada kreditur. Dalam
amar putusannya, hakim membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh
para tergugat, baik yang dilakukan sebelum putusan pailit maupun setelah
putusan pailit.
Berdasarkan kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
840K/Pdt.Sus-Pailit/2016 tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa Notaris
dalam menjalankan jabatannya telah melakukan pelanggaran. Indikasi
pelanggaran yang dilakukan Notaris tersebut dikuatkan dengan ditemukannya
dua salinan akta perjanjian kerja sama yang dibuat di hadapan notaris yang
bersangkutan, dengan nomor akta dan waktu pembuatan akta yang sama namun
dengan isi akta yang berbeda. Selanjutnya akta perjanjian kerja sama tersebut
pada intinya mengatur mengenai peralihan hak atas pabrik kelapa sawit antara
CV Agro Sawita Perkasa dengan H.T. Mufrizal Z, S.E. Selanjutnya empat bulan
setelah akta tersebut disahkan, CV Agro Sawita Perkasa dinyatakan pailit
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 07/Pdt.Sus-
Pailit/2015/PN-Niaga.Mdn. Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat
bahwa peralihan hak yang dikuatkan dengan akta perjanjian kerja sama tersebut
sebagai bentuk persekongkolan para penghadap dengan dibantu oleh Notaris
yang berdampak pada kerugian kreditur. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas,
penulis tertarik membahas dan menganalisis kedudukan perjanjian kerja sama
yang dibuat sebelum putusan pailit terhadap pembatalan perjanjian dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pdt.Sus-Pailit/2016, serta
menganalisis tanggung jawab Notaris terhadap akta perjanjian kerja sama yang
dibuat sebelum putusan pailit
Gugatan perdata dalam putusan tersebut diajukan kepada para tergugat
serta notaris sebagai turut tergugat atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukan, yaitu dengan dibuatnya Akta Perjanjian Kerja Sama Nomor 50 yang
telah terbukti memenuhi ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 42
UU K-PKPU. Actio Pauliana merupakan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang kepada kurator demi kepentingan para kreditur untuk
membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dalam jangka

14
waktu satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan yang tidak wajib dilakukan
oleh debitur serta dapat merugikan kreditur. Notaris dan Debitur dalam
melakukan perbuatan hukum tersebut juga telah mengetahui bahwa
perbuatannya dapat merugikan kreditur.

A. Analisis, Teori dan Pendapat Penulis tentang Kasus


Sebelum membahas kedudukan akta Jual beli yang melibatkan harta
debitur pailit, perlu dijelaskan terblebih dahulu terkait yang dimaksud Harta
Pailit itu sendiri. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Hakim
Pengadilan Niaga maka debitor pailit demi hikum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus harta kekayaanya. Harta kekayaan tersebut beralih
status menjadi harta pailit . Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
menjelaskan pengertia dari kekayaan debitor yaitu pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Kekayaan debitor tersebut masuk ke dalam harta pailit yang dipergunakan
sepenuhnya untuk membayar kewajiban debitor pailit terhadap para kreditornya
dengan memperhatikan kedudukan masing-masing kreditor tersebut terhadap
harta pailit debitor pailit dengan pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal
22 Undang-undang Kepailita dan PKPU.
Harta pailit berada dibawah sita umum, meliputi seluruh kekayaan debitor
pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh debitor pailit selama kepailitan kecuali yang secara tegas dinyatakan
dalam Undang-undang kepailitan dan PKPU dikuluarkan dari harta pailit demi
pertimbangan kemanusiaan terhadap debitor perorangan, Menurut Pasal 22
Undang-undangn Kepailitan dan PKPU, barang-barang atau benda-benda milik
debitor pailit yang dikecualikan dari harta pailit adalah :
a. Benda termasuk hewan yang benar-benar diutuhkan oleh debitor
sehubungan dengan perkerjaanya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitor dan keluarganya yang dipergunakan dan bahan
makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang
terdapat di tempat itu;
b. Segala sesuatu uang diperoleh debitor dari pekerjaanya sendiri sebagai
pengajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiunan, uang

15
tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim
pengawas
c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.
Sedangkan menurut Pasal 23 Undang-undangn kepailitan dan PKPU,
debitor paili termasuk juga suami atau istri yang menikah dalam persatuan
harta, yaitu suami-istri yang menikah tanpa membuat perjanjian kawin yang
menyatakan bahwa terjadi pemisahan harta antara harta suami dengan harta
istri, baik yang telah ada maupun yang akan diperoleh dikemudian hari,
sehingga dengan demikian harta suami dan harta istri bergabung dan menyatu.
Dengan demikian Berdasarkan pasal 23 Undang-undang kepailitan dan PKPU
harta kekayaan suami atau istri dari debitor pailit termasuk harta pailit.
Termasuk seluruh perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pernyataan
pailit diucapkan tidak daat lagidigunakan untuk melakukan pembayaran dari
harta pailit, kecuali perikatan itu menguntungkan harta pailit, demikian
sebagaimana dalam ketentuan Pasal 25 Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
Hal tersebut juga berlaku tidak hanya bagi perikatan yang timbul karena
perjanjian dan undang-undang, serta dari perikatan yang timbul karena putusan
hakim. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit mengenai harta
kekayaan yang termasuk harta pailit, mejadi tidak mengikat kecuali
mengakibatkan bertambahnya harta pailit.
Ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU
menyatakan bahwa :
“putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segal penetapan pelaksanaan
putusan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang
telah dimulai sebelu kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu
tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
dengan penyanderaan debitor”

Dengan demikian, penetapan pengadilan yang berkenaan dengan


pelaksanaan putuan pengadilan terhadap setiap harta kekayaan debitor harus
dihentikan seketika. Seluruh putusan pengadilan yang berkaitan dengan harta
pailit tidak dapat dalaksanakan dan dilarang melakukan penyaderaan terhadap
debitor.
Untuk mengurus harta pailit berdasarkan ketentua Pasal 15 Undang-
undang Kepailitan dan PKPU, pengadilan naiga selain mengangkat kurato juga

16
mengangkat hakim pengawas. Salah satu tugas kurator adalah membuat daftar
mengani jumlah utang dan piutang debitur dan jumlah piutang para kreditor
setelah membuat uraian harta pailit. Tugas tersebut dilakukan oleh kurator
mendahului tugasnya untuk membayar piutang atau tagihan masing-masing
kreditor.
Berdasarkan Uraian kasus beserta ketentuan di atas dapat dipahami bahwa
Notaris sebagai pejabat umum yang membuat Akta perjanjian kerja sama
dengan prinsip Jual Beli tersebut telah melanggar kewajiban sebagai mana yang
diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UUJN. Notaris disini tidak menjalankan
kewajibannya dengan jujur, dan indpenden, karena terbukti melindungi
kepentingan Debitur Pailit,
Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat menyebabkan hilangnya sifat
otentitas suatu akta Notaris menjadi akta di bawah tangan dan dapat
menimbulkan suatu sengketa di muka sidang pengadilan. Notaris akan
menghadapi permasalahan hukum menjadi tergugat atau turut tergugat, karena
pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan adanya produk akta Notaris tidak
memenuhi syarat sebagai akta otentik. Munculnya persoalan yang melibatkan
jabatan notaris menunjukkan bahwa Notaris selaku pejabat publik yang
berwenang membuat akta otentik, belum mampu bekerja sdecara profesional
sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Dalam sengketa perdata di pengadilan,
penggugat di samping menggugat terhadap pihak lain sebagai tergugat utama,
juga menggugat Notaris sebagai turut tergugat karena membuat akta Notaris
yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Adanya dua salinan akta yang berbeda juga merupakan indikasi dari
pelanggaran kewajiban yang dilakukan Notaris, diantaranya, melanggar
kewajiban untuk bertindak jujur. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN,
dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum. Dalam kasus tersebut, Notaris mengeluarkan dua versi
salinan yang berbeda yang merupakan indikasi dari perbuatan tidak jujur atau
tidak saksama. Selanjutnya pembuatan Berita Acara Adendum atas Akta
Perjanjian Kerja Sama Nomor 50 menjadi benang merah perbuatan tidak jujur
Notaris, yang di dalamnya menjelaskan “…apabila perjanjian jual-beli tidak jadi
dilaksanakan karena kepailitan atau sebab lainnya…”. Hal tersebut

17
menunjukkan bahwa Notaris mengetahui bahwa salah satu pihak dalam Akta
telah menjadi debitur pailit, namun Notaris tetap mengeluarkan Berita Acara
Adendum. Selain daripada itu, terdapat sedikitnya satu salinan akta yang tidak
sesuai dengan Minuta akta. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, dalam
menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengeluarkan Grosse Akta, Salinan
Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta. Notaris melanggar ketentuan
Pasal 15 ayat (2) huruf e, dimana Notaris tidak memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan akta. Notaris dikatakan lalai dalam
mengeluarkan salinan yang tidak sesuai dengan minuta apabila perbuatan
tersebut tidak didasari oleh adanya kehendak untuk melakukan suatu
pelanggaran, baik disadari maupun tidak disadari. Kelalaian dapat terjadi
apabila notaris tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang merupakan salah
satu kewajiban dalam jabatannya. Sedangkan apabila notaris melakukan
pelanggaran dengan unsur kesengajaan, maka perbuatan tersebut dapat
dibuktikan secara materiil atau dikaitkan dengan keadaan serta tindakan pelaku
pada waktu melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan
kepadanya.
Dalam hal kaitannya antara tanggung jawab Notaris dan Kepailitan, pada
dasarnya, kepailitan mencakup mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai
perorangan debitur. Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur
yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Ketentuan pasal 21
Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa ”Kepailitan
meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”. Walaupun
demikian pasal 22 Undang-Undang Kepailitan mengecualikan beberapa harta
kekayaan debitor dari harta pailit. Selain itu,dalam pasal 1131 dan 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata juga menerangkan tentang jaminan
pembayaran harta seorang debitor kepada kreditor. Dalam pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa ”Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan perikatan
perseorangan.”

18
Hal ini sangat memperjelas tentang obyek dari harta pailit. Namun dalam
perkembanganya, banyak debitor yang berusaha menghindari berlakunya pasal
1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan melakukan
berbagai perbuatan hukum untuk memindahkan berbagai asetnya sebelum
dijatuhkanya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga. Misalnya menjual barang-
barangnya sehingga barang tersebut tidak lagi dapat disitajaminkan oleh
kreditur. Hal ini sangat merugikan kreditur karena semakin berkurangnya harta
yang dipailitkan maka pelunasan utang kepada kreditor menjadi tidak maksimal.
Undang-Undang telah melakukan berbagai cara untuk melindungi kreditor
dengan pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pasal 41-49
Undang Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Upaya-upaya yang dilakukan oleh undang-
undang tersebut sering disebut dengan Actio Pauliana. Actio Pauliana adalah
suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitor
untuk kepentingan debitor tersebut yang dapat merugikan kepentingan
kreditornya. Perbuatan debitor tersebut dilakukan bertujuan untuk
memindahtangankan harta kekayaannya dengan maksud agar harta kekayaan
tersebut tidak dimasukkan sebagai daftar harta (boedel) pailit, perbuatan mana
bisa berupa perbuatan jual beli, hibah atau perbuatan hukum lain yang dibuat
dihadapan Notaris dan dinyatakan dalam sebuah akta otentik.

3.Penutup
3.1.Kesimpulan
Kedudukan Perjanjian Kerja Sama yang dibuat sebelum putusan pailit
dalam Putusan Nomor 840K/Pdt.Sus-Pailit/2016 adalah sah serta berkekuatan
sebagai akta autentik sampai dengan dibatalkan melalui putusan pengadilan. Hal
tersebut dikarenakan akta tersebut telah memenuhi syarat sah perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, serta syarat
keautentikan suatu akta yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata juncto
UUJN, sehingga akta tersebut merupakan alat bukti yang sempurna. Namun
kemudian putusan pengadilan menyatakan bahwa perbuatan hukum debitur
yang dinyatakan dalam akta tersebut memenuhi unsur Actio Pauliana
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata juncto Pasal 41 dan

19
Pasal 42 UU K-PKPU. Sehingga akta tersebut dinyatakan batal demi hukum
serta perbuatan hukumnya dianggap tidak pernah ada.

3.2 Saran
Dalam rangka menjalankan tugas sebagai notaris, sebagai pejabat umum
yang memiliki tugas yang penting dalam membuat suatu bukti otentik, maka
notaris harus berpegang teguh dengan Kewajiban-kewajibannya sebagaimana
yang diamanahkan Undang-undang Jabatan Notaris, Khususnya dalam kasus
ini, Notaris harus berpegang teguh dengan Pasal 16 Ayat 1 huruf a, yang
dimana menyebutkan Notaris dalam menjalankan kewenangannya sebagai
Pejabat Umum, harus dapat bertindak jujur, amanah, Independen, dalam artian
tidak mementingkan kepentingan salah satu pihak.

20
DAFTAR PUSTAKA

Habib Adjie, Hukum Notaris di Indonesia (TafsirTematik Terhadap UU No: 30 Tahun


2004 Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm.40.

G.H.S Lumban tobing, Peraturan jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1980 hlm.56.

annalisa yahanan, Muhammad Syaifuddin dan Yunial laili Mutiari, Jakarta,Perjanjian


Jual Beli Berklausula perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri Publishing, 2008,

Muhammad syaifuddin. Bandung. Hukum Kontrak, memahami kontrak dalam


perspektif filsafat, teori, dogmatic, dan praktik hukum, mandar maju, 2012

Agus Yudha Hernoko, Jakarta. Hukum Perjanjian dan Asas Proporsionalitas dalam
kontrak komersil, Kencana, tahun 2013

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2001.

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek), Cet. 2. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.

Gautama, Sudargo. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia (1988). Cet.
1. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1998.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti, 2013.

21
Hidayat, Maskur. “Hukum Perdata Progresif: Perubahan dan Kesinambungan
Penemuan Hukum di Bidang Hukum Perdata”. Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 3.
No. 3. (3 November 2014).

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek), Cet. 2. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.

Tri Jata Ayu Pramesti, “Kedudukan dan Konsekuensi Menjadi Turut


Tergugat”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51f72fd2cc8c0/kedud
ukan-dan-konsekuensimenjadi-turut-tergugat,

22

23
24

Anda mungkin juga menyukai