Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi trauma spinal


Cedera medula spinalis yang disebut juga cedera spinal, trauma spinal,
spinal cord injury (SCI) adalah trauma pada medula spinalis dan atau struktur di
sekitarnya yang dapat menyebabkan perubahan sementara atau permanen
terhadap fungsi motorik, sensorik, dan atau otonom.
B. Penyebab
SCI pada dewasa disebabkan oleh kecelakaan bermotor, sedangkan pada
orang tua penyebab terseringnya adalah jatuh.Tatalaksana pasien SCI
memerlukan penanganan multidisiplin yang meliputi dokter bedah saraf atau
bedah ortopedi, dokter saraf, dan fisioterapi. Cedera medula spinalis terjadi
setelah trauma awal, baik pada saat transportasi atau tatalaksana awal. Meskipun
hingga saat ini belum ada rekomendasi kelas satu ataupun dua mengenai collar
neck yang kaku, namun penggunaan collar neck yang kaku dapat memberikan
keuntungan dengan membatasi pergerakan leher.
C. Patofisiologi
Proses biologi pada SCI dapat dibagi menjadi cedera primer dan sekunder.
Cedera primer merupakan kerusakan seluler dan ektraseluler akibat energi
destruktif, sedangkan cedera sekunder merupakan akibat berbagai mekanisme
yang terjadi pada fase akut ataupun subakut. Pada SCI fase akut (beberapa menit
sampai beberapa. meliputi fase inisial primer, diikuti dengan mekanisme
sekunder. Manifestasi kelainan primer yang terjadi disebabkan oleh proses
kompresi langsung dan kontusi/memar pada spinal cord yang terjadi secara
cepat, yang menginisiasi proses inflamasi dan selanjutnya menimbulkan
gejala/manifestasi sekunder. Cedera primer ini bersifat irreversible, dan diikuti
dengan kaskade inflamasi yang memicu cedera lebih lanjut. Dibandingkan
dengan cedera primer, cedera sekunder bersifat reversible dan disebabkan oleh
pelepasan sitokin dari berbagai sel. Hal itu berakibat pada terjadinya kerusakan
traktus spinal lebih lanjut karena hipoksia, vasospasme, apoptosis, dan deposisi
jaringan granulasi .
D. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan SCI penatalaksaannya berupa ABC, yaitu airway dan c-
spine control, breathing, dan circulation and bleeding control, kemudian
dilanjutkan dengan evaluasi disabilitas dan paparan/lingkungan (disability and
exposure/environment) .
Pemeriksaan jalan nafas (airway = A) dilakukan bersamaan dengan
pengaturan vertebra servikal (c-spine control). Bila dicurigai ada trauma servikal
dapat dipasang rigid cervical collar. Bila tidak ada, lakukan fiksasi leher
semaksimal mungkin misalnya dengan menyangga kedua sisi kepala dan leher
pasien dengan bantal pasir. Pada orang dewasa, untuk membebaskan jalan nafas
lakukan manuver jaw thrust bukan head tilt-chin lift. Bila harus melakukan
penatalaksanaan jalan nafas dengan melakukan sapuan jari (finger swipe),
pengisapan (suction), intubasi, atau trakeostomi, pertahankan kesegarisan
kepala-leher-punggung, demikian pula jika harus melakukan elevasi kepala 30 o.
Jangan lakukan pemeriksaan kaku kuduk atau manipulasi leher lainnya pada
kecurigaan cedera servikal. Jangan lakukan manipulasi punggung pada
kecurigaan cedera medula spinalis di bawah level servikal. Pada pasien dengan
SCI servikal atas dapat mengalami kesulitan bernafas. Pasien perlu diberikan
oksigen 4-6 liter/menit dan dilakukan pemeriksaan AGD. Jika terjadi tanda-
tanda syok pada kasus SCI, perlu dibedakan apakah syok tersebut merupakan
syok hipovolemik atau neurogenik.
Pada syok hipovolemik didapatkan tanda berupa takikardi dan ekstremitas
yang dingin bersama dengan hipotensi, sedangkan pada syok neurogenik
didapatkan tanda bradikardi dan ekstremitas yang hangat yang menyertai
hipotensi. Kita juga dapat membedakan kedua jenis syok tersebut dengan
memberikan cairan isotonis seperti asering, NaCl 0,9%, atau ringer laktat
sebanyak dua liter. Jika tidak ditemukan perbaikan, maka perlu dicurigai adanya
syok neurogenik. Koreksi cairan yang berlebihan pada syok neurogenik
berbahaya karena mampu menyebabkan edema paru. Sering kali koreksi syok
neurogenik membutuhkan pemberian vasopresor seperti dopamine atau
norepinephrine. Pasien SCI dapat diberikan cairan kristaloid dan koloid.
Kristaloid yang biasa diberikan adalah NaCl 0,9% atau ringer solution. Koloid
yang biasa diberikan adalah gelatin atau HES (200/0,5 atau 300/0,4). Cairan
yang digunakan jangan mengandung glukosa karena setidaknya terdapat dua hal
yang dapat ditimbulkan. Pertama, metabolisme glukosa secara cepat dapat
menghasilkan cairan “bebas” sehingga menyebabkan terjadinya edema. Kedua,
terdapat risiko terjadinya hiperglikemia dengan peningkatan laju glikolisis
anaerob sehingga kadar laktat akan meningkat dan menurunkan pH. American
Spine Injury Association (ASIA)/International Medical Society of Paraplegia
(IMSOP) telah menerbitkan suatu sistem klasifikasi bernama International
Standards for Neurological and Functional Classification of Spinal Cord Injury
untuk menilai derajat SCI.
E. Klasifikasi ASIA/IMSOP :

Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik


dan sensorik di bawah
level cedera, khususnya
pada segmen S4 – S5
Grade B Inkomplit Hanya fungsi sensorik
yang ada di bawah level
neurologik memanjang
sampai di segmen S4 – S5
Grade C Inkomplit Beberapa fungsi motorik
masih ada di bawah level
cedera dan lebih dari
setengah otot di bawah
level memiliki
mempunyai kekuatan otot
kurang dari 3
Grade D Inkomplit Fungsi motorik ada di
bawah level cedera dan
kebanyakan otot
kekuatannya lebih dari
atau sama dengan 3
Grade E Normal Fungsi motorik dan
sensorik normal
Tidak semua pasien dengan cedera medula spinalis memerlukan pemeriksaan
pencitraan yang sama.
The Joint Section on Disorder of the Spine and Peripheral Nerves of the
American Association of Neurological Surgeons and the Congress of
Neurological Surgeons membagi kondisi pasien menjadi tiga kelompok, yaitu
pasien tanpa gejala yang sadar penuh, pasien dengan gejala namun sadar penuh,
dan pasien tidak sadar. Penentuan pencitraan ini berdasarkan pada National
Emergency X-Radiography Utilization Study Group (NEXUS).
1. Pasien tanpa gejala yang sadar penuh tidak memerlukan
pemeriksaan pencitraan maupun imobilisasi tulang belakang
servikal. Terdapat lima kriteria untuk pasien ini, yaitu tidak ada
nyeri tekan pada cervical, tidak ada defisit neurologis, sadar penuh,
tidak terdapat intoksikasi, dan tidak terdapat nyeri.
2. Pada pasien yang sadar penuh namun mempunyai gejala, CT-scan
tulang belakang servikal merupakan pencitraan awal yang harus
dilakukan. Jika hasil CT-scan tersebut normal dan pasiennya masih
mempunyai keluhan, perlu dilakukan pemeriksaan MRI, terutama
pada short T1 inversion recovery (STIR). Jika tidak terdapat fasilitas
CT-scan dan MRI, maka perlu dilakukan pencitraan rontgen tiga
posisi, yaitu anteroposterior, lateral, dan open mouth odontoid view).
Instabilitas tulang belakang servikal dapat dievaluasi dengan
pencitraan servikal potongan lateral pada posisi fleksi – ekstensi.
Pencitraan ini perlu dilakukan dengan pengawasan dan memastikan
pasien tidak menggerakan lehernya melewati posisi yang
menimbulkan nyeri atau memperberat keluhan. Pencitraan harus
mencakup diskus intervertebralis C7-T1 untuk memastikan seluruh
tulang belakang servikal tervisualisasi Pasien yang tidak sadar
mempunyai tantangan tersendiri. Kriteria NEXUS tidak dapat
diaplikasikan pada pasien ini. CT-scan seluruh tulang belakang perlu
dilakukan mengingat terdapat kemungkinan terjadinya trauma yang
tidak berurutan. Jika pada CT-scan didapatkan hasil normal, maka
perlu dilakukan pemeriksaan MRI dalam 48 jam. Jika MRI tidak
dapat dilakukan atau didapatkan hasil normal, maka klinis harus
menentukan apakah pasien tersebut tetap memerlukan penggunaan
collar neck.

Adapun menurut jurnal tatalaksana trauma spinal dapat di lakukan dengan


langkah langkah berikut :
Airway atau saluran udara :
 Proteksi jalan nafas
 Tambahan jalan nafas jika tersedia
 Mengamankan jalan nafas dengan menggunakan sarana yang tersedia
 Pertahankan kewaspadaan tulang belakang penuh

Breathing atau pernafasan :


 Mengidentifikasi dan menangani ancaman apapun ( seperti pneuomonia)
 Menggunaan oksigen : nasal canul diberikan 4-6 liter/mnt
 Berikan ventilasi sesuai kebutuhan
 Monitoring SPO2
 Monitoring ETCO2
Sirkulasi :
 Mengontrol perdarahan yang mengancam nyawa
 Memasukkan 2x lange bore IV cannulas
 Menilai HR/BP/Shock Index
 Ambil darah
 Mengidentifikasi sumber perdarahan
 Pemantauan EKG terus Menerus
Disability atau disabilitas :
 Menilai tingkat kesadaran
 Cek pupil
 Cek Bsl ( biosavety level )

Eksprosur/ lingkungan
 Lepaskan pakaian pasien untuk memungkinkan pemeriksaan lengkap.
 Pasien terekspos sepenuhnya
 Memastikan suhu

F. Manajemen awal
a) Manajemen jalan nafas
Kaji kecukupan oksigenasi dan ventilasi. Penilaian ulang pasien yang
sering harus dilakukan karena gejala sisa cedera dapat menyebabkan
gangguan saluran napas lebih lanjut. Pada pasien yang diintubasi, karbon
dioksida pasang surut akhir (ETCO2) pemantauan (jika tersedia) harus
digunakan untuk menilai status pernapasan dan kecukupan ventilasi.
Selalu siapkan peralatan jalan napas darurat oleh samping tempat tidur .

b) Resusitasi cairan
Berikan cairan intravena (IV), biasanya saline normal pada awalnya
(sampai trauma lain disingkirkan) kemudian pindahkan ke cairan
rumatan. Hindari kelebihan cairan saat terjadi syok neurogenik - gunakan
keluaran urin sebagai indikator dan pantau keseimbangan cairan.
c) Pemantauan
Pemantauan detak jantung, laju pernapasan, tekanan darah dan saturasi
oksigen harus dilakukan dengan interval 15 menit atau lebih sering jika
diindikasikan. Pantau terus menerus melalui pemantauan elektronik jika
fasilitas tersedia. Semua pemantauan harus dipertahankan sampai tim
pengambilan tiba.
d) Pencitraan medis
Pemeriksaan radiologi sangat penting untuk diagnosis SCI X -‐ ray biasa
dapat memberikan informasi awal tentang cedera tulang belakang,
namun, tidak digunakan untuk membersihkan pasien trauma dari cedera.
Pasien harus dirawat karena kemungkinan cedera vertebral serviks. CT
scan / MRI harus dilakukan jika kriteria NEXUS untuk pembersihan
tulang belakang leher belum terpenuhi, atau pasien tidak sadar.
e) Perawatan Luka
Semua luka harus ditutup dengan balutan oklusif atau kering yang sesuai
dan aman
f) Perawatan area tekanan
perawatan area tekanan dan pengawasan dengan mempertimbangkan
lamanya waktu pasien tulang belakang dapat tetap terlentang dengan
ekstrication / hard collar in situ. Yang penting jika peralatan tersedia,
busa yang kaku, kerah lembut yang berukuran tepat, idealnya harus
dipasang sesegera mungkin atau dalam waktu 6 jam setelah cedera.
g) Analgesik
Morfin adalah obat pilihan pada fase manajemen SCI akut. Pemberian IV
adalah rute yang paling efektif karena penyerapannya yang cepat, baik
untuk orang dewasa maupun anak-anak
h) Mencegah hipotermia
Pasien dengan SCI tinggi datang dengan poikilothermia, di mana
termoregulasi normal terganggu dan hipotermia menjadi perhatian.
i) Skala GlasgowComa
Penilaian neurologis terfokus menggunakan Skala Koma Glasgow harus
dilakukan.
Jalan nafas dengan pelindung tulang belakang leher
 Kaji stabilitas jalan napas
Berusaha mengumpulkan tanggapan dari pasien. Cari tanda-tanda
obstruksi jalan napas (penggunaan otot aksesori, gerakan dada paradoks,
dan pernapasan jungkat-jungkit).
 Coba manuver jalan napas sederhana jika diperlukan
Buka jalan napas menggunakan chin lift atau jaw thrust. Hisap jalan
napas jika ditemukan sekresi yang berlebihan atau jika pasien tidak dapat
membersihkannya sendiri. Masukkan jalan napas orofaringeal (OPA) /
nasofaringeal jalan napas (NPA) jika diperlukan.
 Amankan jalan nafas jika perlu (obati obstruksi jalan nafas sebagai
darurat medis)
Pertimbangkan intubasi dini jika ada tanda-tanda: • penurunan tingkat
kesadaran, jalan napas yang tidak terlindungi, pasien yang tidak
kooperatif / agresif yang menyebabkan distres dan risiko cedera lebih
lanjut • obstruksi jalan napas tertunda: stridor, suara serak • apnea atau
gagal napas akibat kelumpuhan.
 Nilai dada
Kaji ventilasi pasien dengan memantau laju pernapasan dan saturasi
oksigen mereka. Lakukan auskultasi untuk mengidentifikasi suara napas
yang abnormal dan menilai entri udara bilateral mereka
Sirkulasi dengan kontrol perdarahan
Akses intravena harus diperoleh lebih awal untuk memungkinkan
pemberian cairan. Penatalaksanaan volume resusitasi penting pada pasien
spinal dan hipotensi harus dihindari; panduan umum adalah menjaga
tekanan darah sistolik di atas 90 mmHg. Penting untuk tidak berasumsi
bahwa hipotensi pada pasien SCI hanya sebagai akibat dari cedera tali
pusat tanpa mengecualikan penyebab lain seperti perdarahan.
G. Survei secondary
a) History/ sejarah
 Mengambil riwayat yang memadai dari pasien, pengamat, dan
personel darurat tentang kejadian seputar cedera dapat membantu
memahami tingkat cedera dan kemungkinan cedera lainnya.
 Gunakan akronim AMPLE untuk membantu mengumpulkan
informasi antara lain sebagai berikut:
A: Alergi
M: Medikasi(Obat yang diminum sebelumnya)
P : past illness (Penyakit sebelumnya)
L : Last Meal (makan terakhir jam berapa)
E : Event (Kejadiannya bagaimana)

b) Pemeriksaan kepala sampai ujung kaki


Motor : Kelompok otot harus dinilai. Seringkali sulit untuk menguji
beberapa segmen karena cedera traumatis, oleh karena itu
tungkai atas seringkali paling mudah dinilai. Kekuatan yang
dinilai 1/5 sampai 5/5 harus didokumentasikan sebagai
tambahan dari defisit respon kiri atau kanan.
Indrawi : Sensasi harus dinilai secara sistematis dengan tes awal
menggunakan sentuhan ringan. Jika tidak ada respon maka
tingkatkan stimulasi yang tajam. Saraf trigeminal, keluar di
atas sumsum tulang belakang, adalah titik referensi yang
berguna untuk menilai SCI primer di mana sensasi wajah utuh
diharapkan.
Refleks : Respons refleks harus diperoleh dengan praktik penilaian
biasa.

c) Kepala dan wajah


Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan pasien tetap terlentang.
Periksa wajah dan kulit kepala. Cari adanya laserasi dan memar
termasuk memar mastoid atau periorbital, yang merupakan indikasi dari
fraktur dasar tengkorak. Lakukan palpasi dengan hati-hati untuk melihat
adanya cekungan atau penyimpangan di tengkorak.
Kaji telinga untuk setiap tanda kebocoran cairan serebrospinal,
perdarahan atau darah di belakang membran timpani. Periksa hidung
apakah ada kelainan bentuk, perdarahan, hematoma septum, atau
kebocoran cairan serebrospinal.
Periksa mulut apakah ada luka pada gusi, bibir, lidah, atau langit-langit.
Perhatikan setiap pembengkakan, yang mungkin mengindikasikan cedera
lebih lanjut. Periksa gigi, perhatikan apakah ada gigi yang lepas, retak,
atau hilang. Uji gerakan mata, refleks pupil, penglihatan dan
pendengaran. Palpasi margin tulang orbit, rahang atas, hidung, dan
rahang. Periksa rahang apakah ada nyeri atau trismus.
d) Leher
Kriteria NEXUS
Semua pasien trauma mayor yang diduga mengalami cedera tulang
belakang leher akan tiba di unit gawat darurat dengan kerah kaku yang
dipasang oleh kru ambulan . Pemeriksaan klinis dengan kriteria risiko
rendah NEXUS harus dilakukan, namun hal ini hanya dapat terjadi
empat jam setelah pemberian narkotika terakhir.
1. Nyeri tulang belakang leher bagian tengah
Hadir jika pasien menunjukkan adanya nyeri leher saat palpasi di
daerah garis tengah posterior leher dari nuchal ridge ke toraks ketiga
menonjol, atau palpasi proses spinosus serviks
2. Defisit neurologis fokal
Pemeriksaan motorik atau sensorik menunjukkan adanya defisit
neurologis fokal misalnya. kelemahan segmental, mati rasa atau
paresthesia
3. Intoksikasi
bukti adanya keracunan pada pemeriksaan fisik misalnya. bau
minuman beralkohol, ataksia, bicara cadel, dismetria, tanda
cerebellar lainnya atau perilaku apa pun yang menunjukkan
keracunan.
4. Cedera mengganggu yang menyakitkan
5. Status mental yang berubah
Pasien dianggap berisiko sangat rendah mengalami cedera tulang
belakang leher jika SEMUA kriteria berikut terpenuhi:
1. Tidak ada nyeri tekan pada tulang belakang leher bagian tengah
2. Tidak ada defisit neurologis fokal
3. Tidak ada bukti keracunan
4. Tidak ada cedera mengganggu yang menyakitkan
5. Tidak ada status mental yang berubah
e) Dada
Periksa dada, amati gerakan. Perhatikan apakah ada memar, robekan,
atau cedera tembus.
Palpasi untuk nyeri klavikula atau tulang rusuk. Perhatikan ekspansi
dada bilateral. Lakukan auskultasi bidang paru-paru; perhatikan setiap
perubahan pada perkusi, kurang bunyi napas, mengi atau krepitasi.
Periksa suara jantung: detak puncak dan keberadaan serta kualitas suara
jantung
f) Anggota badan
Periksa semua anggota tubuh dan persendian. Perhatikan adanya memar
atau laserasi dan kerusakan otot, saraf atau tendon. Carilah kelainan
bentuk, luka tembus atau fraktur terbuka.
Palpasi untuk nyeri tulang dan jaringan lunak dan periksa gerakan sendi,
stabilitas dan kekuatan otot. Periksa fungsi sensorik dan motorik akar
saraf atau saraf tepi yang mungkin terluka. Kaji perfusi distal untuk
pengisian kapiler, denyut nadi, dan hangat.
g). Log roll pasien.
Pertahankan stabilisasi in-line di seluruh. Periksa seluruh panjang
punggung dan bokong untuk melihat adanya memar dan laserasi. Palpasi
tulang belakang untuk mencari nyeri atau langkah di antara tulang
belakang. Lakukan pemeriksaan serviks pada tahap ini. Banyak pasien
SCI mengalami cedera tulang belakang di lebih dari satu tingkat. Jangan
mendudukkan pasien. Pemeriksaan digital harus dilakukan pada SCI
yang dicurigai. Perhatikan nada atau sensasi yang hilang.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai