Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

HUKUM KETENAGAKERJAAN

DISUSUN OLEH:

DEWI ANDRIANI LESTARI

H1A118116

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puja dan Puji hanya layak tercurahkan kepada Allah SWT. , karena atas
limpahan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. Manusia istimewa yang seluruh perilakunya layak
untuk diteladani, yang seluruh ucapannya adalah kebenaran, yang seluruh getar hatinya
kebaikan. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas mandiri ini tepat pada waktunya.
Penulis sangat tertarik untuk mengajukan Judul : Hukum Ketenagakerjaan
Banyak kesulitan dan hambatan yang Penulis hadapi dalam membuat tugas mandiri ini tapi
dengan semangat dan kegigihan serta arahan, bimbingan dari berbagai pihak sehingga P
enulis mampu menyelesaikan tugas mandiri ini dengan baik, oleh karena itu pada kesempatan
ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada : Perempuan istimewa Mamah dan ayah yang
selalu menjadi inspirasiku, serta mencurahkan kasih sayang tanpa pamri

Kendari , april 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.................................................................................................i

Kata Pengantar...................................................................................................ii

Daftar Isi...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................2

BABI II PEMBAHASAN

A. Tujuan-Tujuan Utama ILO..............................................................3

Bab V PENUTUP.........................................................................................10

A.Kesimpulan .....................................................................................10

B.Saran.................................................................................................10

Daftar Putaka...................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO adalah badan Perserikatan Bangsa-


Bangsa (PBB) yang terus berupaya mendorong terciptanya peluang bagi perempuan dan
laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman
dan bermartabat. Tujuan utama ILO adalah mempromosikan hak-hak di tempat kerja,
mendorong terciptanya peluang kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial serta
memperkuat dialog untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan dunia kerja.
Tingkat kuantitas ratifikasi perjanjian internasional bukan satu-satunya tolakukur bagi
pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia yang sebaik-baiknya. Implementasi
perlindungan Hak Asas Manusia dapat saja terjadi tanpa ratifikasi, dengan catatan bahwa
kualitas perangkat hukum nasional sudah mampu menjamin pelaksanaan perlindungan
ini. Namun, apabila ternyata bahwa hukum nasional masih belum memenuhi kualitas
jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia, atau masih berjarak dengan standar
perlindungan Hak Asasi Manusia menurut hukum internasional atau asas-asas yang
diakui oleh masyarakat internasional, maka ratifikasi merupakan salah satu sarana untuk
menutup atau menjembatani kelemahan peraturan/perangkat hukum di tingkat nasional

Hal ini diperlukan karena untuk implementasinyaa kemungkinan diperlukan


berbagai kesiapan dan penyesuaian dengan kondisi, baik menyangkut perangkat materi
hukumnya, kelembagaan, aparatur pelaksanaanya maupun sarana prasarananya di tingkat
nasional. Oleh karena itulah, makadiperlukan adanya skala prioritas ratifikasi terhadap
instrumen-instrumen internasional di bidang Hak Asasi Manusia yang saat ini belum
diratifikasi atau diaksesi oleh Indonesia.Desakkan dunia internasional tentunya akan lebih
mempercepat dilakukannya upaya ratifikasi terhadap konvensi-konvensi atau instrumen-
instrumen internasional di bidang HAM oleh Indonesia, hal ini ditambah lagi dengan
situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia khususnya paska pemerintahan Orde Baru
yang cukup represif dan setelah selesainya proses jajak pendapat yang dilakukan di Timor
Timur. Pemerintah kita mempunyai komitmen yang lebih besar dari pada sebelumnya
untuk meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, hal mana dapat dilihat dengan
diterbitkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia/RANHAM Tahun 1998 yang
memprioritaskan pentahapan ratifikasi 8 (delapan) instrumen selama lima tahun, dari
tahun 1998 s/d tahun 2003 selanjutnya pada tahun 2005 Indonesia juga meratifikasi 2
(dua) instrumen HAM yang kini menjadi Undang-undang Nomor.11 Tahun 2005 tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Undang-unadang Nomor.12 Tahun 2005
tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dari ini semua dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa situasi di negara kita sekarang sudah mulai cukup kondusif untuk menerima dan
meratifikasiinstrumen-instrumen HAM internasional yang terkait, dengan Pancasila dan
UUD kita sebagai sarana penyaringan sehingga tidak menolak adanyakemungkinan
bahwa dalam kurun waktu satu mendatang sehubungan dengan penegakan HAM kita
sudah bisa sejajar dengan negara-negara lain yang kini sudah meratifikasi 17 instrumen
pokok atau lebih.

Kemudian menindaklanjuti Undang-undang Nomor.39 tahun 1999 tentang Hak


Asasi Manusia pasal 104 untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
dikeluarkankah sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Pengadilan HAM, kini
dikenal sebagai undang-undang Nomor.26 Tahun 2000, yang mengindikasi pula bahwa
Pemerintah kita telah bertambah mantap dalam kebijaksanaan tindakannya untuk
memajukan dan melindungi HAM.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan hukum dari konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi


Indonesia?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas penerapan hukum dari Konvensi-
konvensi ILO di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis penerapan hukum dari ratifikasi konvensi-konvensi ILO oleh


pemerintah Republik Indonesia selaku regulator, dan pihak-pihak yang terkait dalam
hukum perburuhan.
2. .Menganalisis faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dari ratifikasi Konvensi-
konvensi ILO di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tujuan-Tujuan Utama ILO

Tujuan-tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak-hak kerja, memperluas


kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat dialog
dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja.Organisasi ini memiliki 183
negara anggota dan bersifat unik di antara badan-badan PBB lainnya karena struktur tripartit
yang dimilikinya menempatkan pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh
pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan.

Standar-standar ILO berbentuk Konvensi dan Rekomendasi ketenagakerjaan internasional.


Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk pada ratifi kasi negara-
negara anggota. Rekomendasi tidak bersifat mengikat—kerapkali membahas masalah yang
sama dengan Konvensi—yang memberikan pola pedoman bagi kebijakan dan tindakan
nasional. Hingga akhir 2009, ILO telah mengadopsi 188 Konvensi dan 199 Rekomendasi
yang meliputi beragam subyek: kebebasan berserikat dan perundingan bersama, kesetaraan
perlakuan dan kesempatan, penghapusan kerja paksa dan pekerja anak, promosi
ketenagakerjaan dan pelatihan kerja, jaminan sosial, kondisi kerja, administrasi dan
pengawasan ketenagakerjaan, pencegahan kecelakaan kerja, perlindungan kehamilan dan
perlindungan terhadap pekerja migran serta kategori pekerja lainnya seperti para pelaut,
perawat dan pekerja perkebunan. Lebih dari 7.300 ratifi kasi Konvensi-konvensi ini telah
terdaftar. Standar ketenagakerjaan internasional memainkan peranan jipenting dalam
penyusunan peraturan, kebijakan dan keputusan nasional.

Pengawasan nasional yang dilakukan oleh pemerintah dalam penerapan konvensi yang
diratifikasi Indonesia adalah :
1. Pemerintah diminta melaporkan pelaksanaan Konvensi dan Rekomendasi ILO secara
berkala berdasarkan Konstitusi ILO dan Standar ILO ReportingObligation
2. Konvensi dan Rekomendasi ILO yang dilaporkan pelaksanaannya berdasarkan waktu
tahunan, dua tahunan dan lima tahunan
3. Pelaporan yang disampaikan kepada ILO di konsultasikan/dikomunikasikan terlebih
dahulu kepada perwakilan Tripartit Indonesia (mostrepresentative berdasarkan
Konvensi ILO No.144).

Sanksi yang diberikan ketika adanya pelanggaran dalam hal ketenagakerjaan adalah

1. Sesuai mekanisme pengawasan dan penyelesaian perselesaian hubungan industrial


(Undang-Undang No. 2 tahun 2004), pengawas ketenagakerjaan akan memberikan
nota pemeriksaan apabila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang
Ketenagakerjaan dan
2. Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan dikenakan sanksi pidana dan administrasi.

Di Indonesia undang-undang yang ada sudah cukup mengakomodasi terhadap sosial


dialog, yaitu bagaimana caranya kita melakukan negosiasi untuk kepentingan yang saling
membangun dan bermanfaat. Lalu, negara Indonesia mempertegas lagi dengan melakukan
ratifikasi untuk penyesuaian-penyesuaian dalam peraturan di bidang ketenagakejaan.Namun,
kadang kala dalam pelaksanaan yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan peraturan yang
ada sehingga menjadi tidak demokrasi.

Menurut Diana Savitri, Tripartit yang seharusnya mengusung kepentingan bersama,


namun menjadi mengusung kepentingan sendiri-sendiri. Hal ini kadang menimbulkan
sindrom pada hubungan industrial. Seperti contohnya adalah demonstrasi. Demonstrasi
memang diperbolehkan dan ada aturannya di dalam peraturan kebebasan berserikat, namun
kadang-kadang tidak melalui tindakan demonstrasi namun langusng dengan ‘mogok’. Mogok
dalam Apindo masih dkategorikan sebagai tindakan Yang ilegal. Mogok itu harus
dibicarakan secara Bipartit, atau dua pihak antara pemberi kerja/pengusaha dan pekerja,
bukan dengan mogok nasional. Mogok dapat dilakukan ketika proses perundingan tidak
berjalan atau adanya stagnasi. Kadang step-stepnya tidak dipenuhi.

Hal yang menjadi penghambatnya adalah terkadang apa yang telah disepakati dalam
forum Tripartit tidak dijalankan dengan di luarnya, tidak komitmen. Jika federasi perwakilan
yang mewakilkan federasi-federasi yang lain di Tripartit maka hasil kesepakatan-kesepakatan
di dalam forum harus komit, nyatanya tidak. Federasi Serikat Pekerja memiliki kepentingan
masing-masing dan terkadang tidak menyepakati hasil dari kesepakatan forum. Selain itu
keputusan dalam forum Tripartit tidak bisa mengikat secara hukum, jadi produknya hanya
berupa ‘rekomendasi’.

Pasal 20

1. Jika Konperensi menerima Konvensi baru yang mengubah sebagian atau seluruh
Konvensi ini, kecuali Konvensi baru menentukanlainn
(a) dengan menyimpang dari ketentuan pasal 11, ratifi kasi Konvensi baru oleh
Anggota berarti pembatalan Konvensi ini pada saat itu juga karena hukum,
jika dan pada waktu Konvensi baru itu mulai berlaku
(b) mulai pada tanggal Konvensi berlaku, Konvensi ini tidak dapat diratifi kasi
lagi oleh Anggota.
2. Bagaimana juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi yang asli bagi
Anggota yang telah meratifi kasinya, tetapi belum meratifi kasi Konvensi baru.

Dalam teori, ratifikasi adalah persetujuan Kepala Negara atau pemerintah atas
penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk
dengan sebagaimana mestinya. Dalam praktek modern, ratifikasi mempunyai arti lebih
daripada sekedar tindakan konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian pernyataan
formal oleh suatu negara mengenai persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional.

Pasal 1

1. 4 Konvensi Wina 1969 menerangkan bahwa:


2. Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional dinyatakan
dengan ratifikasi apabila:
a. perjanjian internasional menentukan demikian secara tegas
b. kecuali apabila ditemukan sebaliknya, negara yang mengadakan negosiasi
menyetujui bahwa ratifikasi adalah perlu.
c. perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan berlaku hanya kalau
sudah diratifikasi
d. kemauan negara untuk menandatangani perjanjian internasional dengan syarat
akan berlaku kalau sudah diratifikasi, nampak dalam instrumen “fullpowers”-
nya, atau dinyatakan demikian selama negosiasi.
3. Dalam praktekratio ratifikasi adalah sebagai berikut:
1. negara berhak untuk mempunyai kesempatan guna meneliti kembali dan meninjau
kembali instrumen yang telah ditandatangani oleh utusannya, sebelum negara
menjalankan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam instrumen
2. berdasarkan kedaulatannya suatu negara berhak untuk menarik diri dari partisipasi
dalam suatu perjanjian internasional, apabila negara yang bersangkutan
menghendaki demikian
3.
4. sering suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya suatu amandemen
atau penyesuaian dalam hukum nasional
5. karena prinsip demokrasi bahwa pemerintah harus berkonsultasi dengan pendapat
umum yang ada dalam parlemen atau di tempat lain, mengenai ada tidaknya
keharusan untuk mengkonfirmasi suatu perjanjian internasional.
4. Pentingnya ratifikasi semakin meningkat sehubungan dengan perkembangan sistem
konstitusi pemerintahan, yang memberikan kekuasaan membuat perjanjian
internasional kepada berbagai organ selain kepala negara. Di masing-masing negara
prosedur ratifikasi yang dianut adalah berbeda-beda. Prosedur ratifikasi tingkat
nasional pengaturannya diserahkan pada hukum nasional masing-masing
negara.Tidak ada kewajiban untuk melakukan ratifikasi bagi negara. Kekuasaan
menolak untuk melakukan ratifikasi dianggap merupakan hal yang inheren dengan
kedaulatan negara, oleh karenanya menurut hukum internasional tidak ada kewajiban
hukum atau kewajiban moral untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional. Yang
ada hanyalah kesopanan biasa untuk mengutarakan kepada negara lain yang
bersangkutan mengenai alasan-alasan yang dipakai guna menolak melakukan
ratifikasi.Suatu instrumen ratifikasi, kalau tidak ditentukan lain oleh perjanjian
internasional yang bersangkutan tidak mempunyai pengaruh dalam membentuk
persetujuan akhir untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Dapat mengikat
kalau sudah dilakukan: (1) pertukaran atau penyimpanan instrument ratifikasi atau;
(2) pemberitahuan mengenai instrumen ratifikasi kepada negara lain atau kepada
negara-negara yang bersangkutan, dan; (3) penyimpanan perjanjian
internasional.Persyaratan demikian berlaku juga bagi instrumen penerimaan atau
persetujuan. Negara yang sudah menyatakan terikat pada suatu perjanjian
internasional disebut sebagai negara pihak „stateparty‟.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional harus melalui tahap persetujuan oleh para
utusan yang berwenang, persetujuan melalui penandatanganan terhadap teks traktat,
persetujuan melalui pertukaran dokumen diantara Negara-negara untuk diikat, sampai
ke persetujuan melalui ratifikasi, adapun persetujuan dengan aksesi bila traktat
menetapkan demikian, syarat pembatas pada traktat, selanjutnya barulah
pemberlakuan suatu traktat, dan diterapkan traktat tersebut.
2. Ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Dasar 1945, Surat Persiden RI Nomor : 2826/HK/1960 dan UU Nomor 24 Tahun
2000 tentang PerjanjianInternasional, yakni pengesahan/ratifikasi dalam
bentukundang-undang dan keputusan presiden. Mekanisme ratifikasi perjanjian
internasional tersebut tidak tertera secara baku, dan tegas dalam UU No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional. Bahwa praktik mengenai ratifikasi negara
kitapun agak tidak menentu dan lambat. Lambatnya kerja ratifikasi ini dapat dilihat
pada jumlah undang- undang ratifikasi yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR
setiap tahunnya yang paling banyak hanya mencapai 7 (tujuh) ratifikasi saja. Masih
banyak pula perjanjian internasional di berbagai bidang yang belum diratifikasi oleh
Indonesia.

B. Saran
1. Perlu adanya upaya publikasi yang lebih, agar setiap perjanjian internasional yang
telah diratifikasi lebih banyak diketahui oleh hakim-hakim pengadilan, dan kepada
masyarakat sendiri.
2. Perlu dibuatnya undang-undang baru yang ketentuan praktik ratifikasinya lebih jelas,
cepat dan tegas. Selain itu, perlu dibuat suatu lembaga yang mengingatkan ratifikasi,
dan tenaga ahli yang cukup untuk mengkaji berbagai perjanjian internasional yang
dibuat yang memastikan setiap perjanjian internasional yang diratifikasi dapat
terlaksana penerapannya

Daftar pustaka

Asri Wijayanti. 2011. Hak Berserikat Buruh di Indonesia – Disertasi, Surabaya: Pascasarjana

Universitas Airlangga. _____________. 2012. Sinkronisasi Hukum Perburuhan terhadap

Konvensi ILO. Bandung: KPD.

Bahder Johan. 2004. Hukum Ketenagakerjaan – Kebebasan

Anda mungkin juga menyukai