Anda di halaman 1dari 16

POLEMIK REAKTUALISASI AJARAN ISLAM

REVIEW BUKU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Ulya, M.Ag

Oleh :

Anis Maghfiroh : MPI-B-18022

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

TAHUN 2018
POLEMIK REAKTUALISASI AJARAN ISLAM

A. Identitas Buku :
- Judul : Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam
- Pengarang : Munawir Syadzali, Syafruddin P,dkk
- Penerbit : Pustaka Panjimas
- Kota Penerbit : Jakarta
- Tahun : 1988
- Halaman : 196
- Ukuran : 145x 210 mm
- Berat : 210 gr
- ISBN : 979-8066-32-4
B. Latar Belakang Buku Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam di Tulis
Berawal dari ceramah K.H Munawir Syadzali, MA dalam sebuah forum
paramadina yang membahas tentang ceramah yang bertema “Reaktualisasi Ajaran
Islam”. K.H Munawir Syadzali, MA melontarkan gagasan “Reaktualisasi Ajaran Islam”
mengenai maslah hukum waris, perbudakan dan bunga bank. Dalam berbagai
kesempatan di beberapa tempat timbul reaksi yang bernada emosi dalam khutbah atau
surat kiriman yang dimuat dalam berbagai media. Diantaranya Majalah Panji Masyarakat
yang memang banyak melaporkan berita-berita keislaman.
Sebelum ceramah beliau di paramadina, beliau juga pernah ceramah dengan tema
yang sama yakni tentang Reaktualisasi Ajaran Islam diantaranya di Seminar Hukum
Islam yang diselenggarakan oleh IAIN Imam Bonjol Padang, Bahtsul Masail Syuriyah
NU Jawa Timur di Tambak Beras Jombang, Seminar Kompilasi Hukum Islam yang
diselenggarakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta, Penataran Pemuda
Ansor Tingkat Propinsi Seluruh Indonesia di Malang, dua kali Latihan Kader Tarjih
Muhammadiyah di Yogyakarta, mahasiswa Indonesia di Kairo, dan masih banyak lagi
ceramah yang beliau bawakan dengan menggunakan tema Reaktualisasi Ajaran Islam.
Namun ceramah yang dibawakan oleh K.H Munawir Syadzali, MA mendapatkan
reaksi-reaksi yang kurang bersahabat ketika beliau bawakan di forum Paramadina.
Berdasarkan pertimbangan bahwa pembahasan Reaktualisasi Ajaran Islam adalah bidang
yang harus dibahas oleh para ahlinya agar jauh dari sifat emosional maka pemimpin
umum Majalah Panji Masyarakat meminta kesediaan Mentri Agama K.H Munawir
Syadzali, MA menulis artikel yang lebih komrehensif agar diketahui secara menyeluruh

1
oleh masyarakat. Dalam hal ini beliau harus siap menerima reaksi pro kontra yang tak
dapat dihindarkan.
C. Masalah Reaktualisasi Ajaran Islam
1. Bunga bank
Banyak yang berpanggapan bahwa bunga dalam bank itu riba. Riba hukumnya
adalah haram. Tetapi banyak sekali masyarakat sekarang hidup dengan bunga
deposito dan juga mempergunakan jasa bank. Bahkan ada yang mendirikan bank
dengan sistem bunga, dengan alasan darururat. Padahal seperti yang kita ketahui
bahwa didalam Al-Qur’an sangat jelas Allah mengharamkan riba.
2. Pembagian Harta Warisan (Faraid)
Pembagian harta warisan telah di atur dalam ilmu faraid dan di dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 11 dengan jelas menyatakan bahwa hak anak laki-laki
adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut
sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Sementara itu, yang telah membudaya pada masyarakat sekarang adalah
banyak kepala keluarga yang mengambil kebijakan-kebijakan premetive. Semasa
masih hidup mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaan mereka untuk
anak-anak mereka. Masing-masing mendapatkan bagian yang sama besar tanpa
membedakan jenis kelamin sebagai hibah.
3. Perbudakan
Al-Qur’an menyebutkan paling sedikit ada empat ayat yang berisi tentang
pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi
kebutuhan biologi kaum pria di samping istri. Yaitu pada surat An-Nisa ayat 3, Al-
Mu’minuin ayat 6, Al-Ahzab ayat 52 dan Al-Ma’arij ayat 30. Memang dari dulu
nabi Muhammad selalu menghimbau pada para pemilik budak untuk berlaku lebih
manusiawi dengan budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali.
Tetapi yang jelas, sampai nabi wafat dan wahyu terakhir sudah turun, tidak ada
ayat Al-Qur’an yang menghapus perbudakan. Kita sekarang hidup dimasa abad 20
dimana semua umat manusia mengutuk adanya perbudakan sebagai musuh
kemanusiaan.
4. Harta rampasan perang (Ghanimah)
Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, beliau telah banyak mengambil
kebijakan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ayat-ayat Al-

2
Qur’an. Kasus yang paling terkenal adalah beliau menempuh kebijakan dalam
pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan surat Al-Anfal ayat 41.
Khalifah Umar tidak membagikan tanah-tanah takhlukan perang yaitu berupa tanah-
tanah pertanian beserta garapan-garapannya di negeri Sham (Syria Raya, meliputi
keseluruhan kawasan pantai Timur Laut Tengah), Irak, Persi dan Mesir.
Kebijakan tersebut banyak ditentang oleh para sahabat senior nabi seperti Bilal
(muazzinurrasul), Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam. Mereka menuduh
khalifah Umar telah meninggalkan kitab Allah dengan mengambil kebijakan
tersebut. Tetapi yang menarik adalah para sahabatpun ada yang mendukung
kebijakan yang diambil oleh khalifah Umar. Diantara sahabat yang mendukung
kebijakan khalifah Umar adalah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib.
D. Kerangka Teori
1. Reaktualisasi Hukum Islam
Kata dasar dari reaktualisasi adalah “aktual”. Kata tersebut merupakan kata
serapan dari bahasa inggris actual yang mempunyai arti sebenarnya atau
sesungguhnya, kata actual kemudian dengan tambahan ize (actualize) yang berarti
melaksanakan atau mewujudkan. Apabila kata tersebut ditambah awalan re dan
actualize menjadi kata benda reactualization yang berarti membangun kembali atau
menghidupkan kembali.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata aktual mempunyai arti betul-betul
terjadi, sedang menjadi pembicaraan orang banyak atau baru saja terjadi. Kata
“aktualisasi” prihal mengaktualkan atau pengaktualan. Kata aktualisasi dengan
tambahan awalan “re” menjadi reaktualisasi mempunyai arti perbuatan
mengaktualisasikan kembali atau penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai kehidupan
masyarakat.
Pemikiran reaktualisasi dapat diartikan sebuah proses dinamis dalam rangka
pembentukan karakter baru tentang sesuatu sebagai akibat logis dari adanya
perubahan situasi dan kondisi. Artinya perubahan itu harus terus dilakukan sepanjang
situasi dan kondisi itu tidak berhenti berubah dan berkembang. Apabila kata
reaktualisasi dihubungkan dengan kata hukum Islam, (reaktualisasi hukum Islam),
maka mempunyai arti menghidupkan kembali ajaran atau hukum Islam yang selama
ini dianggap kurang sesuai dengan kenyataan sosial yang ada, sehingga diperlukan
usaha-usaha melalui reformasi metodologi ijtihad baru dan pemikiran revolusioner
agar hukum Islam benar-benar menjadi solusi bagi perkembangan zaman.

3
Reaktualisasi hukum Islam Munawir Sjadzali yang ditawarkan sekitar tahun
1985 barangkat dari sebuah kenyataan faktual dan problem empiris, karena menurut
Munawir banyak masyarakat Islam Indonesia dalam melaksanakan ajaran Islam
masih bersifat ambivalen. Di satu sisi, mereka sebenarnya paham apa yang sudah
banyak tertulis dalam kitab-kitab fikih klasik, namun di sisi lain tidak menyukai
doktrin lama tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan nyata pada saat
ini, akibatnya secara sembunyi-sembunyi mencoba mencari cela aman bagi persoalan
keagamaan yang dihadapinya dengan sedikit memaksakan kehendak suatu aturan
hukum yang ada.
2. Bunga Bank
Bunga bank yang oleh umat islam biasa disebut riba, mempunyai arti
tambahan, baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam
membayar selain jumlah uang yang dipinjam, pada hari jatuh waktu mengembalikan
uang pinjaman tersebut. Seperti dalam Surat al-Baqarah ayat 278 disebutkan:

yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râ‘sŒur $tB u’Å+t/ z`ÏB$


(##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷s•B ÇËÐÑÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Sampai sekarang banyak para ulama yang mengharamkan pemungutan bunga
bank tapi tidak ada pencegahan terhadap penggunaan jasa bank. Termasuk umat Islam
di Indonesia saat ini, dari berbagai kalangan sudah terbiasa hidup dengan sistem
bunga bank bahkan ketergantungan terhadap jasa bank tidak ada bedanya dengan
umat yang lain. Menurut Sayyid Sabiq, ada empat alasan mengapa riba diharamkan
yakitu: 
a. Riba merupakan penyebab timbulnya permusuhan antar masyarakat.
b. Riba cenderung melahirkan perbedaan kelas dalam masyarakat.
c. Riba merupakan penyebab terjadinya penjajahan, wewenang untuk lebih
menguasai yang lain.
d. Islam menghimbau untuk memberikan pinjaman untuk menolong,bukan
memberatkan dengan tambahan.

4
3. Pembagian Harta Warisan (Faraid)
Pembagian berasal dari kata “bagi” yang mempunyai arti memisah-misah
menjadi beberapa bagian, sedangkan pembagian adalah seuatu proses memisah-
misahkan antara satu dengan yang lain hingga menjadi beberapa bagian.
Harta warisan adalah segala sesuatu yang dimiliki pewaris, baik hasil yang ia
usahakan ketika ia masih hidup, harta yang ia dapatkan akibat kematiannya maupun
harta yang ia miliki sesudah ia meninggal. Dengan demikian harta warisan adalah
segala sesuatu yang bernilai yang diwariskan oleh seseorang kepada ahli warisnya
untuk dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan ahli waris tersebut. Pembagian
warisan dalam ilmu faraid adalah 1/2, 1/3, 1/6, 1/8 dan 2/3, dalam hukum faraid
bagian anak laki-laki terhadap perempuan yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 11
adalah 2:1.

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$#


4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR
%x. Zoy‰Ïmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB
â¨ß‰¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur
ÿ¼çmrO͑urur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=›W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ)
ÏmÏiBT|sù â¨ß‰¡9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!
$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâ‘ô‰s? öNßg•ƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4
ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
4. Perbudakan

5
Al-Quran dan Rasulullah tidak melarang adanya budak bahkan Al-Qur’an
menyebutkan paling sedikit ada empat ayat yang berisi tentang pemberian izin
penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologi
kaum pria di samping istri. Yaitu pada surat An-Nisa ayat 3, Al-Mu’minuin ayat 6,
Al-Ahzab ayat 52 dan Al-Ma’arij ayat 30.
Surat An-Nisa ayat 3 :

bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ


Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr&
(#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ
#’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
5. Harta Rampasan Perang (Ghanimah)
Berkenaan dengan ghanimah Allah SWT berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya
apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Anfal: 41).
Tata cara pembagian ghanimah sudah diatur di dalam Alquran pada surah Al-
Anfal ayat 41 seperti tersebut di atas. Harta ghanimah itu pertama-tama dibagi
menjadi lima bagian. Seperlima menjadi hak Allah SWT. Adapun sisanya yang
berjumlah empat perlima dibagi-bagikan kepada tentara, sesuai dengan hadis Nabi
SAW, "Seperlima untuk Allah dan empat perlima lainnya untuk tentara." (HR.
Bukhari). Hal ini dianut oleh jumhur ulama.
E. Metode Penyelesaian Masalah
Disini Munawir menawarkan tiga kerangka metodologi dalam berijtihad yakni:
adat, nasakh dan maslahah.
1. Adat (Kebiasaan)
Munawir mengutip pendapat Abu Yusuf yang mengatakan bahwa nash
diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jika adat berubah, maka gugur pula dalil

6
hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Bagi Munawir nash hanyalah sebuah
tawaran bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam
kondisisosial masyarakat tertentu.
Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat, dan ternyata adat lebih
menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka adat dapat diterima.
Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh umat
Islam, maka dianggap baik di sisi Allah. Penolakan terhadap nash karena adanya adat
baru yang dipandang sebagai illat pembatalan hukum yang terkandung dalam nash
adalah sesuai dengan kaidah yang mengatakan : “ al-hukmu yajri ma’al ‘illati
wujudan wa’adaman” “Tagoyyurul ahkam bitagoyyuril amkinat wal ‘azminah”.
Hal ini tidak otomatis bisa dipandang sebagai pengabaian nash, namun
merupakan cara lain untuk menafsir-ta’wilkan kandungan maslahah yang terdapat
dalam nash. Teori ini masih sangat layak digunakan dalam pengembangan hukum
Islam. Teori adat yang disiapkan dalam kerangka metodologi hukum Islam ini
merupakan langkah untuk mengantisipasi perubahan dalam masyarakat, karena
kebutuhan hukum masyarakat tidak akan pernah mati dan akan terus berkembang.
Untuk itu adat ini digunakan sebagai salah satu alat yang memberikan jaminan bahwa
Islam shalih li kulli makan wa zaman.
2. Nasakh
Dalam pandangan Munawir, nasakh adalah pergeseran atau pembatalan
hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat yang diterima oleh
Rasul pada masa sebelumnya. Munawir mengutip pendapat Mufassir besar seperti Ibn
Katsir, al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut para
mufassir tersebut, nasakh merupakan suatu perubahan hukum sangat erat kaitannya
dengan perubahan tempat dan waktu.

3. Maslahah
Pengertian maslahah sendiri menurut Abdul Wahab Khallaf adalah
menetapkan hukum suatu masalah yang tidak disebut ketentuannya dalam al-Quran
dan Sunah. Penetapan semata-mata dimaksudkan dalam rangka mencari kemaslahatan
dan menolak kerusakan dalam kehidupan manusia. Bila dilihat dari konsep maslahah

7
at-Thufi, bahwa jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash
dan ijma’, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma’.
Pemikiran at-Thufi ini dibangun atas empat prinsip dasar yakni : “istiqlalul
uquli bi idraqil masholihi wal mafasid” (Kebebasan akal untuk menentukan baik dan
buruk tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu). Namun disini kebebasan akal
hanya dalam hal muamalat dan adat istiadat, bukan dalam hal ibadah. “Al-maslahatu
dalilu syar’i mustaqilun anin nushush” Maslahah adalah dalil syara’ yang tidak terikat
dengan ketentuan nash. Bagi ath-Thufy, untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atau
tidak didasarkan pada ada istiadat dan eksperimen, bukan pada nash. “Majallul amal
fil mashlahah huwa mu’amalat dunal ibadah” Maslahah hanya dapat dijadikan dalil
syara’ dalam bidang mu’amalah, tidak dalam bidang ibadah. “Al-mashlahatu aqwa
dalilu al-syar’i” Maslahah adalah dalil syara’ yang terkuat.
Disini ath-Thufi berpendapat bahwa maslahah adalah dalil yang terkuat
mengingat sabda nabi: “Tidak memadlaratkan dan tidak dimadlaratkan”. Adapun teori
Abu Yusuf yang dijadikan rujukan oleh Munawir adalah kaidah ushuliyah yang
berbunyi : Al-Hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan wa adaman, yaitu bahwa hukum
itu beredar menurut illat baik ada maupun tidak adanya. Begitu juga dengan kaidah:
Taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinat wal azman.
Kaidah ushuliyah ini masih bisa dikembangkan dalam rangka reaktualisasi hukum
Islam sekarang ini. Adat, nasakhh dan maslahah yang menjadi landasan metodologis
Munawir dalam melakukan ijtihad, kadang diterapkan secara terpisah, namun juga tidak
jarang digunakan secara bersamaan. Penangguhan pemberlakuan ayat waris dalam al-
Qur’an, atau mempertimbangkan kembali sistem bunga bank dalam kondisi Indonesia
saat ini, akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebih memperjuangkan nilai
kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
F. Sistematika Bab
Bab pertama Reaktualisasi Ajaran Islam (H. Munawir Syadzali) pada bab ini
menerangkan tentang reaksi ketika H. Munawir Syadzali ceramah di forum paramadina
yang tidak bersahabat dibandingkan dengan ceramah-ceramah beliau di forum lain.
Bab kedua Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna Dan Semangat
Ketentuan Keagamaan : Kasus Umar Ibn Al Khattab (Nurcholish Madjid) pada bab ini
Nurcholish Madjid menyampaikan tentang ijtihad Umar r.a.

8
Bab tiga Reinterpretasi Sebagai Dasar Reaktualisasi Ajaran-Ajaran Islam
(Syafruddin Prawiranegara) pada bab ini berisi tentang tanggapan pemikiran H. Munawir
Syadzali.
Bab empat Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar r.a (jalaluddin Rakhmat) berisi
tentang ijtihad Umar r.a yang kontroversi dengan nash Al-Qur’an dan hadits nabi.
Bab lima Bawalah Kepada Kami Al-Qur’an Yang Lain, Atau Gantilah (Rifyal
Ka’bah) berisi tentang tanggapan mengenai gagasan “reaktualisasi ajaran Islam” yang
disampaikan oleh H. Munawir Syadzali.
Bab enam Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar Yang Wajar (K.H Ali
Darokah) pada bab ini berisi tentang tanggapan dari pimpinan Panjimas terhadap
pemikiran H. Munawir Syadzali.
Bab tujuh Antara Ketentuan Dan Kenyataan? (K.H Ali Yafie) pada bab ini berisi
tentang tanggapan K.H Ali Yafie terhadap pemikiran H. Munawir Syadzali.
Bab delapan Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan (K.H
Ahmad Azhar Basyir) berisi tentang tanggapan terhadap ijtihad Umar r.a dan berisi
tanggapan terhadap pemikiran reaktualisasi hukum Islam H. Munawir Syadzali.
Bab sembilan Jangan Sampai Energi Terbuang Percuma (Kamaluddin Marzuki)
bab ini berisi tentang artikel yang ditulis oleh Kamaluddin Marzuki tentang sunnah
rasulullah yang diubah.
Bab sepuluh Praktek Hukum Waris Tidak Pantas Membuat Generalisasi(M Yahya
Harahap) berisi tentang ajakan “reaktualisasi hukum Islam” yang dikemukakan oleh H.
Munawir Syadzali. Namun bukan menanggapi pemikiran beliau melainkan lebih
diarahkan pada penyampaian informasi mengenai masalah perkembangan nilai-nilai
hukum waris di Indonesia.
Bab sebelas Menelusuri Pemikiran Maslahat Dalam Hukum Islam (H. Peunoh
Dadi) berisi tentang adanya maslahat dalam sistem pemikiran hukum Islam,
perkembangan hukum Islam dapat tumbuh terus dengan wajar.
Bab dua belas Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan Dalam Semangat Reaktualisasi
Ajaran Islam (Aminullah HM) berisi tentang tanggapan Aminullah HM terhadap hukum
waris Islam.
Bab tiga belas Memahami Ajaran Suci Dengan Pendekatan Transformasi (Masdar
F Mas’udi) berisi tentang pendekatan masing-masing pihak terhadap ayat 2:1.
G. Jawaban Singkat Masalah Reaktualisasi Ajaran Islam
1. Bunga bank

9
Kebanyakan umat Islam berpendirian bahwa bunga bank (interest) adalah riba,
dan oleh karenanya hukumnya haram. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari
bunga deposito, melainkan dalam kehidupan sehari-hari juga banyak mempergunakan
jasa bank dengan sistem bunga dengan alasan darurat.
Melihat problema tersebut, Munawir berpendapat bahwa sistem bunga bank dalam
bank itu tidak termasuk riba yang otomatis tidak haram. Ia memberikan dua alasan.
Pertama, Kita mengakui bahwa sistem bunga bank dalam bank itu
pelaksanaannya tidak selalu baik dan dapat mencelakakan para nasabah yang
meminjam uang dari bank. Tetapi jumlah nasabah yang merasa tertolong oleh sistem
bunga yang diperlakukan oleh bank konvensional itu jauh lebih banyak dari pada
mereka yang dirugikan. Maka dengan demikian, menurut Munawir, hukum bunga
dalam bank konvensional itu tidak haram.
Kedua, dalam kaidah fiqhiyah terdapat satu qaidah yang menyatakan “suatu
hal yang pelaksanaan sesuatu yang wajib tidak akan sempurna tanpanya, itu juga
menjadi wajib”. Pemikir politik seperti al-Ghazali berpendapat bahwa
penyelenggaraan negara termasuk tata ekonominya itu hukumnya wajib. Dan sejauh
ini, untuk bank, mutlak perlu dan bank konvensional yang memperlakukan sistem
bunga ternyata merupakan lembaga keuangan yang paling andal dan teruji.
Lebih tegas lagi Munawir menjelaskan bahwa kata kuncinya adalah tidak
merugikan orang lain atau tidak ada pihak yang dirugikan. Bank adalah suatu lembaga
terhormat, dan sistem bunga adalah suatu mekanisme pengelolaan bank untuk
peredaran modal masyarakat.
Berdasarkan prinsip jangan ada pihak yang dirugikan, tidak adil kalau pemilik
modal kehilangan daya beli modal yang dititipkan untuk jangka waktu tertentu,
sementara peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan
mendapatkan untung tidak harus membagi keuntungannya dengan pemilik asli modal.

Salah satu keberatan yang dikemukakan orang terhadap sistem bunga bank ialah
karena jumlah prosentase bunga sudah ditetapkan lebih dahulu. Maka, sebagai
alternatif ditawarkan sistem bagi hasil yang berarti akan dihitung untung dan rugi
perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik dan pengguna modal, baik keuntungan
maupun kerugiannya. 
2. Pembagian Harta Warisan (Faraid)

10
Ketentuan pembagian warisan yang sesuai dengan Al-Qur’an yaitu antara laki-
laki dan perempuan mendapatkan 2:1 sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat
Islam Indonesia. Hal itu diketahui oleh Munawir ketika mendapatkan kepercayaan
menjabat sebagai menteri agama. Ketika menjadi menteri agama, Munawir banyak
mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-
daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang
banyaknya penyimpangan dari ketentuan Al-Qur’an tersebut. Para hakim agama
menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli warisnya meminta fatwa
kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai dengan waris atau faraid.
Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh masyarakat tetapi meminta
kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang tidak
sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi
juga tokoh organisasi Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. Sementara itu,
banyak kepala keluarga mengambil kebijaksanaan preemptive, mereka tidak
memberlakukan 2:1, tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada
anak-anaknya sama rata sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin,
dengan alasan sebagai hibah. Munawir mengemukakan gagasannya tentang
reaktualisasi hukum Islam dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh
masyarakat Islam tersebut, baik terpelajar maupun awam.
Beliau mengemukakan bahwa Alquran menganut nasakh (pembatalan).
Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau dibatalkan hukumnya. Hal ini
didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat, maka hukum tersebut dapat
digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu terakhir (adat baru). Seperti
yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab
mereka sudah mampu bekerja sendiri (menjadi mitra).
3. Perbudakan
Perbudakan adalah adat istiadat purbakala yang sangat keji, merusak citra
manusia, melanggar hak asasi manusia tetapi merata diseluruh dunia. Agama Islam
adalah agama yang suci maka sudah pasti agama menentang perbudakan. Islam
berusaha mengikis habis dengan cara dan jaln yang bermacam-macam untuk
menyelamatkan dan mengeluarkan korban perbudakan menjadi manusia merdeka.
Al-Quran dan Rasulullah tidak melarang dan memberantas adanya budak
sekaligus dikarenakan keadaan pada masa tersebut belum memungkinkan karena

11
kejahatan masih sangat kuat. Selain itu, sumber perbudakan juga masih kuat yakni
dari perang dan penjajahan.
Sebenarnya Rasulullah sudah berusaha keras dan juga sukses melepaskan
perbudakan dari beberapa sahabat misalnya Zaid bin Haritsh, Bilal, Amir, Umu
Unais, Siti Zunairah, dan masih banyak lagi. Setelah mereka merdeka ternyata
mereka menjadi orang-orang yang memegang peranan penting, sebagai panglima,
guru besar ilmu Al-Qur’an dan Hadits. Pada zaman sahabatpun ketika Rasulullah
sudah wafat banyak budak dimerdekakan kemudian menjadi orang-orang penting
dalam masyarakat. seperti Imam Mujtahid, Imam Atta’, Imam Ikramah, dan lain-
lain.Pada permulaan abad ke 20 setelah perang dunia pertama, PBB telah
memutuskan hapusnya perbudakan diseluruh dunia. Keputusan ini sangat di dukung
dan di terima oleh dunia.
Menurut Munawir dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang berisi
pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi
kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun demikian, secara tidak
langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil tersebut adalah nash
sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak memungkinkan lagi dimana umat
manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai musuh kemanusiaan, maka
perbudakan tersebut harus dihapuskan. Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum
menerima wahyu untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi
Muhammad Saw selalu menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih
manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. 
Beliau juga mengemukakan bahwa benar Nabi belum menerima wahyu yang
menghapuskan perbudakan yang sangat berakar di masyarakat sehingga tidak dapat
dihapuskan sama sekali. Artinya, adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat
serta tempat. Dengan munculnya adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan,
maka soal budak ini dengan sendirinya menjadi hilang pula. 
Apabila alur pendapat itu kita terima bahwa sedangkan hal-hal yang mendasar
seperti perbudakan, nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat,
maka apakah sebagai umatnya kita tidak seharusnya belajar dari kebijaksanaan
panutan agung kita itu ? Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak yang masih
menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara tekstual,
sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran Islam.
Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan dipertahankan

12
sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia
(HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai manusia
merdeka. 
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin
menghapuskan perbudakan, sebab perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi
manusia dan tidak sesuai dengan kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya
Nabi tidak khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya
perbudakan, maka beliau sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan. 
4. Harta rampasan perang (Ghanimah)
Mengenai ijtihad Umar tentang harta rampasan perang dari harta benda musuh
yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak yang jatuh sebagai harta rampasan
perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang. Selain itu, ada juga yang
berupa tanah-tanah pertanian.
Berkenaan dengan harta yang bergerak, maka umar telah melaksanakan
hukum Allah mengenainya. Beliau mengambil seperlima untuk Allah dan
membagikan empat perlima dibagikan kepada tentara perang yang ikut dalam
perang. Tetapi mengenai tanah-tanah pertanian Umar berpendapat lain. Pendiriannya
adalah bahwa tanah-tanah itu harus di sita dan tidak dibagi-bagikan. Tanah-tanah
tersebut menjadi milik negara dan pemilik aslinya diberi kelonggaran untuk
menggarapnya tetapi harus membayar pajak (kharaj). Dan hasil pajak itu dibagikan
kepada orang-orang muslim setelah disisihkan gaji tentara yang ditempatkan di pos-
pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri
yang terbebaskan.
Tetapi kebanyakan para sahabat menolak dengan kebijakan yang diambil oleh
Umar. Mereka menginginkan tanah-tanah tersebut dibagikankarena mereka
beranggapan bahwa tanah-tanah tersebut adalah harta kekayaan yang di karuniakan
Allah dari rampasan perang kepada mereka.
Adapun pandangan Umar adalah negeri-negeri yang dibebaskan tersebut
memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana dan tentara tersebut tentu
memerlukan ongkos. Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi-bagi, maka tidak ada
sumber dana untuk membiayai tentara yang menjaga tanah takhlukan tersebut. Dan
jika tanah-tanah pertanian yang luas di sham,mesir,irak dan persi habis dibagi-bagi
kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan ditangan mereka dan
tidak lagi tersisa untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari. Dan

13
terjadilah kekayaan yang menumpuk disatu pihak dan kemiskinan yang mendesak
dipihak lain.
Mengenai ijtihad yang diambil oleh Umar bukanlah berarti meninggalkan
sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah. Melaikan justru berpegang teguh pada
sunnah dengan dalil nash lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah
membagikan harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada
waktu itu tanpa menyisakan untuk generasi yang datang, hal itu dikarenakan
kemaslahatan pada masa itu (al-maslahat al-zamaniyah) karena sesuai dengan situasi
yang ada. Khususnya untuk menolong nasib-nasib kaum Muhajirin dari Makkah
yang diusir dari tempat tinggal dan harta kekayaan mereka. Jika pada masa khalifah
Umar tidak membagikannya, maka hal itupun karena kemaslahatan pada saat itu.
H. Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam Dikaitkan
Dengan Pendekatan Sosiologi
Pertama, masalah tentang bunga bank. Jika masalah ini dilihat dari sisi
pendekatan sosiologi, maka dengan adanya bank jumlah nasabah yang merasa
tertolong oleh sistem bunga yang diperlakukan oleh bank konvensional itu jauh lebih
banyak dari pada mereka yang dirugikan. Maka dengan demikian, menurut Munawir,
hukum bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.
Kedua, Pembagian Harta Warisan (Faraid). Jika masalah ini dilihat dari sisi
pendekatan sosiologi, pembagaian harta warisan dengan sistem 2:1 bisa jadi tidak
berlaku dan tidak tepat jika diterapkan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada budaya
dan adat Arab yang berbeda dengan budaya di Indonesia. Seperti yang terjadi di
Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah
mampu bekerja sendiri (menjadi mitra).
Ketiga, masalah tentang perbudakan. Jika masalah ini dilihat dari sisi
pendekatan sosiologi jelas sangat menyalahi aturan khususnya menyalahi HAM. jika
sistem perbudakan dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam
kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi
atau hak untuk hidup sebagai manusia merdeka. Maka dari itu, seluruh dunia sepakat
menghapus perbudakan.
Keempat, Harta rampasan perang (Ghanimah). Jika masalah ini dilihat dari sisi
pendekatan sosiologi, ijtihad yang dilakukan oleh Umar sanagatlah tepat, karena
mengedepankan kemaslahatan umat. Dan juga untuk sumber dana untuk membiayai
tentara yang menjaga tanah takhlukan tersebut.

14
15

Anda mungkin juga menyukai