Anda di halaman 1dari 7

Pada kesempatan ini saya mempostingkan tulisan tentang teori belajar, postingan ini berasal

dari makalah kelompok saya yang tentunya sudah saya edit berdasarkan selera dan gaya
bahasa saya . . . dalam postingan ini saya akan megupas empat teori belajar yaitu teori
behavioristik, kognitif, humanistik dan sedikit kupasan mengenai teori konstruktivisme. Teori
Behavioristik Secara umum teori behavouristik lebih melihat kualitas manusia dari aspek
perilaku yang dapat dilihat secara empirik atau hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan,
bakat, minat dan perasaan individu dalam pembelajaran. Perilaku dalam pandangan
behavioristik dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan melalui proses
mental. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus
dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon.
Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat
begitu pula sebaliknya. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi, perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi Thorndike tidak
dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Sehingga kelemahan teori Thorndike adalah masih mengakui adanya stimulus dan respon
yang tidak dapat diamati dan tidak bisa diukur padahal belajar seharusnya dapat diamati dan
diukur agar hasilnya benar-benar berkualitas. Watson mendefinisikan belajar sebagai proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan
mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut
tidak perlu diperhitungkan karena dia juga tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah
belajar atau belum karena tidak dapat diamati. Clark Hull juga menggunakan variabel
hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun, dia
sangat terpengaruh dengan teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama
untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Dia menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan biologis sangat penting dalam seluruh kegiatan manusia sehingga dalam
memberikan stimulus dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Jadi, dalam teori ini kepuasan
siswa dari aspek biologis khususnya kebutuhan yang bersifat material agar bisa terpenuhi
sehigga tercapai keberhasilan dalam proses belajar . Demikian juga dengan Guthrie
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan proses belajar.
Namun, dalam mengemukakan stimulus tidak dikaitkan dengan kebutuhan biologis seperti
Cark Hull dia menjelaskan bahwa stimulus dan respon hanya bersifat sementara. Oleh karena
itu, stimulus harus sering diberikan agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap.
Guthrie juga percaya bahwa dalam proses belajar perlu adanya hukuman tetapi twntu saja
hukuman yang diberikan harus sesuai dengan asumsi dan ideologi yang ada pada diri siswa.
Skinner menjelaskan lebih baik lagi tentang belajar tidak sesederhana yang dikemukakan
tokoh-tokoh sebelumya. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-
stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-
konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya
perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami
konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat
respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-
perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah
rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya. Dari berbagai penjelasan di atas dapat kita analisis bahwa dalam teori
behavioristik dijelaskan adanya penguatan dan hukuman dalam proses belajar mengajar. Bila
hal ini diterapkan dalam pembelajaran memang sangat berpengaruh terhadap siswa karena
siswa memang membutuhkan penguatan seperti “ya pekerjaan kamu bagus patut diacungi
jempol, besok lebih ditingkatkan lagi ya . . .” Adanya hukuman juga dapat membuat siswa
sadar akan kesalahannya dan tidak mengulangnya kembali namun hukuman juga bukan
berarti dalam bentuk kekerasan. Inilah salah satu keunggulan dari teori behavoristik. Adanya
pencapaian target tertentu dalam teori behavoristik membuat siswa juga tidak kreatif dan
tidak produktif inilah yang menjadi kelemahan teori tersebut.. Teori behavioristik juga
banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks,
sebab banyak hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Teori
pembelajaran behaviorisme menekankan bahwa proses pembelajaran lebih menekankankan
pada pemberian stimulus(rangsangan) dan respon yang muncul dari siswa. Pada model
pembelajaran ini kualitas manusia dilihat dari aspek kinerja/perilaku yang dapat dilihat secara
empirik(nyata). Jadi meskipun siswa sudah manguasai materi yang disampaikan apabila
perilakunya tidak berubah maka dia tetap saja dianggap belum belajar. Disini guru sebagai
pusat/titik sentral dalam pembelajran siswa bersifat pasif. Berhasil atau tidaknya
pembelajaran tergantung pada stimulus yang diberikan oleh guru. Murid hanya
memperhatikan apa yang disampaikan oleh gurunya tidak diberi kebebasan untuk
mengungkapkan gagasannya. Teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan (shaping) yang membawa siswa mencapai target tertentu sehingga
menjadikan siswa tidak bebas untuk berkreasi dan berimajinasi. Selain itu, keberhasilan
proses pembelajaran tidak hanya dilihat dari strimulus dan respons yang diberikan akan tetapi
juga ada hal penting yaitu pemberian hukuman yang diberikan kepada siswa yang bersalah
sehingga diharpkan tingkah lakunya akan berubah. Di indonesia model pembeljaran ini masih
dominan baik di Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, bahkan sampai Perguruan tinggi. Hal ini
nampak dari cara guru mengajar di kelas yang masih menenapkan sistem DDCH(datang,
duduk, catat, dan hafal), bersifat otoriter terhadap muridnya, pemberian hukuman jika
bersalah, dan lain-lain. Hal ini sungguh memprihatinkan karena adakalaya pemberian
hukuman tidak memberikan efek jera akan tetapi malah justru membuat siswa menjadi
tertekan dan pada akhirnya bisa memberontak. Hal ini mulai disadari oleh pada para pelaku
pendidikan sehingga seiring dengan perkembangan zaman perkembangan teori ini mulai
tergeserkan diganti dengan model pembelajran baru yang dianggap lebih efektif dan efisien
misalnya model pembelajaran Active Leraning yang lebih menekankan siswa untuk aktif
dalam mengembangkan potensinya. Jadi kalaupun model pembelajaran ini masih diterapkan
dalam proses pendidikan kita sudah mulai diinovasi tidak seperti dulu lagi yang masih sangat
kental dengan otoriter dan menuntut siswa untuk patuh terhadap gurunya. Sekarang sudah
mampu memberikan kesempatan kepada siswanya untuk berpikir kreatif dan
mengembangkan potensinya. Teori Kognitif Teori kognitif merupakan suatu bentuk teori
belajar yang sering disebut sebagai model perseptual, yaitu proses untuk membangun atau
membimbing siswa dalam melatih kemampuan mengoptimalkan proses pemahaman terhadap
suatu objek. Jadi, teori ini lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk
mengoptimalkan kemampuan dalam aspek rasional yang dimiliki seseorang. Tokoh-tokoh
yang mengembangkan aliran kognitif diantaranya adalah: Menurut Piaget, perkembangan
kognitif seseorang atau siswa adalah suatu proses yang bersifat genetik artinya proses belajar
didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan system syaraf. Perkembangan kognitif
anak didasarkan atas beberapa tahapan yaitu: 1. Sensorimotor (umur 0-2 tahun) 2.
Preoperasional (2-7/8 tahun) 3. Operasional Konkret (7/8-11/12 tahun) 4. Operasional Formal
(11/12-18 tahun) Guru harus memahami setiap tahap-tahap perkembangan kognitif peserta
didiknya agar dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan
tahap-tahap dan karakteristik siswa sehingga pembelajaran lebih efektif dan efisien.
Menurutnya Bruner, pembelajaran adalah suatu proses untk membangun kemampuan
mengembangkan potensi kognitif yang ada dalam diri siswa. Pembelajaran menurutnya
dipengaruhi oleh dinamika perkembangan realitas yang ada disekitar kehidupan siswa.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat dilakukan dengan cara gaya
mengajar yang dilakukan dengan menggunakan cara kerja dari yang sederhana atau kecil
kearah yang lebih rumit atau luas. Dalam istilah Bruner disebut dengan kurikulum spiral yang
konsekuensinya adalah gaya pembelajarn yang bersifat sosial atau kontekstual yang berarti
materi pelajaran dikaitkan dengan realitas kehidupan peserta didik. Teori ini dalam proses
belajar sangat berpengaruh terhadap kemajuan intelektual siswa. Namun, disisi lain
perkembangan moral kepribadian siswa menjadi sangat kurang karena teori ini hanya
mengoptimalkan kemampuan intelektual saja tidak memperhatikan aspek moral. Semestinya,
proses pembelajaran harus mampu menjaga keseimbangan antara peran kognisi dengan peran
afeksi sehingga lulusan pendidikan memiliki kualitas intelektual dan moral kepribadian yang
seimbang. Pada hekekatnya teori kognitif adalah sebuah teori pembelajaran yang cenderung
melakukan praktek yang mengarah pada kualitas intelektual peserta didik serta proses atau
upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional anak. Teori ini merupakan bentuk
teori belajar yang sering disebut sebagai model persptual, yaitu untuk membangun atau
membimbing siswa dalam melatih kemampuan mengoptimalkan proses pemahaman terhadap
sesuatu obyek. Pembelajaran di Indonesia pada umumnya lebih cenderung berorientasi pada
intelektual, artinya semua aktivitas pembelajaran yang berhubungan dengan persepsi, pikiran,
ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan,
memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang
berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan lingkungannya. Teori kognitif
berbeda dengan teori behavioristik karena teori ini lebih menekankan pada bagaimana
informasi diproses dan menghasilkan sebuah informasi sedangkan behavioristik lebih
menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan
merespon terhadap stimulus yang dating terhadap dirinya. Kebaikan dari teori ini adalah
dimana teori ini lebih menghargai proses pembelajaran dibandingkan dengan menilai hasil
pembelajaran itu sendiri, jadi apabila diterapkan dalam proses pembalajaran yang
sesungguhnya guru harus benar-benar memahami tahap-tahap perkembangan dan
kemampuan muridnya dalam menguasai materi-materi yang telah diberikan, hal ini
dimaksudkan agar pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Teori
Konstruktivisme Menurut teori ini belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan
melalui pengalaman nyata dari lapangan. Konsekuensinya pembelajaran harus mampu
memberikan pengalaman nyata bagi siswa. Sehingga disini guru lebih sebagai fasilitator
artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus ditiru dan segala ucapan dan
tindakannya selalu benar. Akan tetapi, siswa harus aktif, kreatif dan kritis. Teori ini
memberikan kebebasan bagi peserta didik untuk belajar dimanapun dan kapanpun tidak harus
di ruang kelas sehingga memberikan ruang gerak peserta didik yang luas untuk memperoleh
pengetahuan. Di sini peserta didik tidak boleh pasif karena informasi dan pengetahuan yang
di dapatkan terbatas. Untuk itu guru perlu memfasilitasi dalam proses belajar mengajar. Pada
teori konstruktivisme lebih menekankan pada pengembangana potensi siswa, dimana guru
hanya sebagai fasilitator saja sehingga siswa dituntut untuk aktif, kreatif, dan kritis.
Pembelajaran yang dilaksanakan harus mampu memberikan pengalaman nyata pada siswa.
Setelah itu diharapkan siswa dapat benar-benar memahami dan menghayati materi yang
disampaikan. Semua fasilitas dan suasana didesain senyaman mungkin agar pembelajaran
terasa menyenangkan. Di dalam pembelajaran ini guru bukan merupakan satu-satunya
sumber belajar bagi siswa. Siswa diberikan kebebasan untuk berpendapat/ mengungkapkan
gagasanya. Jadi disini proses pembelajaran bersifat demokratis. Guru dituntut untuk tidak
otoriter terhadap siswanya. Sebenarnya model pembelajaran ini sangat bagus karena
menempatkan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran bukan sebagai objek. Selain itu juga
melatih siswa untuk berpikir kreatif/ berfikir tingkat tinggi dimana bukan sekedar mengerti,
paham, dan hafal saja akan tetapi juga berfikir bagaimana cara menciptakan sesuatu yang
baru atau menginovasi apa yang sudah ada dari apa yang telah disampaikan guru. Sayangnya
jika teori ini diterapkan secara murni siswa yang berkemampuan kurang/ tidak memiliki
motivasi yang tinggi dalam belajar akan tertinggal dari teman-teman yang lainya. Seiring
dengan perkembangan zaman, dalam proses pelaksanaanya teori konstruktivisme mengalami
pergeseran dimana menglami kemajuan karena dibantu dengan perkembangan teknologi.
Sebagai contoh dengan adanya internet akan memudahkan siswa dalan mengakses segala
informasi yang dibutuhkan sehingga diharapkan siswa yang pandai memnfaatkan waktu akan
semakin menguasi apa yang disampaikan oleh gurunya dan mampu memberikan inspirasi
kepada siswa uantuk berfikir kreatif. Teori Humanistik Dalam teori ini menjelaskan bahwa
proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Teori
ini lebih menekankan bagaimana persoalan manusia dari berbagai dimensi yaitu dimensi
kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga teori ini mencakup teori-teori sebelumnya.
Konsekuensinya guru harus mampu memiliki sifat, karakter dan tampilan yang berbeda
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Menurut Kolb ada 4 tahap dalam belajar
sebagai berikut: 1. Tahap pengalaman konkret Belajar akan efektif jika desain dengan cara
memberikan pengalaman secara optimal bagi peserta didik.Karena seseorang dapat
merumuskan konsep-konsep atau prinsip-prisip bila dia mengalami dan merasakan suatu
kejadian atau peristiwa. Namun, pada tahap ini siswa belum bisa memahami dan menjelaskan
bagaimana peristiwa itu terjadi. Maka dari itu, guru harus mampu menyediakan fasilitas agar
siswa dapat mengelaborasikan pengalamannya sebagai bahan untuk mengembangkan potensi
yang dia miliki. 2. Tahap pengamatan aktif dan reflektif Dalam tahap ini siswa diberi
kebebasan untuk melakukan pengamatan secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya.
Selain itu, siswa mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi dan
mengapa hal itu bisa sehinga siswa dapat melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialami
terjadi. 3. Tahap konseptualisasi Dalam tahap siswa diberi kebebasan untuk merumuskan
hasil pengamatannya. 4. Tahap eksperimen aktif Pada tahap ini seseorang sudah mampu
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori secara nyata. Menurut Honey dan Mumford
manusia memiliki karakteristik yang berbeda, ada 4 karakteristik yang dimaksud: 1.
Kelompok Aktivis/Penggerak Dalam kegiatan belajar kelompok ini senang pada hal-hal yang
sifatnya penemuan baru, pemikiran baru, pengalaman baru dan sebagainya. 2. Kelompok
Perenung/Reflektor Kelompok ini mempunyai ciri berhati-hati dan penuh pertimbangan
dalam melakukan tindakan, tidak mudah dipengaruhi sehingga mereka cenderung konservatif
dan memiliki jiwa kemandirian dalam melakukan aktifitas. 3. Kelompok Pengganggu
Kelompok ini mempunyai karakter sangat kritis, suka menanalisis, berpikir rasional dan
mempunyai pendirian yang kuat. 4. Kelompok Pragmatis Kelompok ini mempunyai sifat
yang praktis bagi mereka yang baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Menurut Habermas belajar akan efektif jika ada proses inteaksi antara
individu dengan realitas sosial yang ada di sekitar dirinya sehigga guru harus mengkaitkan
antara materi pelajaran dengan fenomena kehidupan siswa. Kategori lingkungan belajar tidak
hanya meliputi lingkungan yang bersifat geografis tetapi juga lingkungan personal,
lingkungan sosial dan kultural. Blomm dan Krathwohl lebih menekankan pada apa yang
mesti dikuasai individu(sebagai tujuan belajar) setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar.
Tujuan belajarnya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang disebut dengan Taksonomi
Blomm. Arthur Combs dan Donald Snygg mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia
pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar
terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak
disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau
sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa
sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu
sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
tidak akan memberikan kepuasan baginya. Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa
dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah
perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak
guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu
pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya
dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti
dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah
gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh
peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya.
Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal : 1. Suatu
usaha yang positif untuk berkembang 2. Kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai
berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya,
tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan,
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi
dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self). Maslow membagi
kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat
memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan
kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang
harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa
perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa
belum terpenuhi. Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai
anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya
pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan
mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester
Society untuk mencegah kekerasan pada anak. Gelar profesor diterima di Ohio State tahun
1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara
bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy. Menurut Rogers yang terpenting
dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan
pembelajaran, yaitu: 1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.
Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya. 2. Siswa akan mempelajari
hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa 3.
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai
bagian yang bermakna bagi siswa. 4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern
berarti belajar tentang proses. Dalam teori ini lebih menekankan pada perkembangan
kepribadian individu untuk membangun hal-hal yang positif erat kaitannya dengan emosi
positif. Individu diajak untuk bertindak jujur, menghargai, menghormati orang lain dan sikap
emosi positif lainnya. Selain itu peserta didik dapat juga diajarkan tentang kemampuan
berimajinasi agar kemampuan otaknya dapat berkembang. Tugas guru lebih berat karena
harus menampilkan karakter dan sifat yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi. Sebaiknya guru tidak membawa masalah pada saat mengajar karena dapat
menganggu suasana dan jiwa peserta didik. Tujuan belajar dari teori humanistik adalah
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa dapat memahami dirinya
sendiri dan dapat memahami lingkungannya. Pada teori konstruktivisme guru adalah sebagai
fasilitator, begitu pula pada teori humanistik, guru juga sebagai fasilitator yang memberikan
arahan dan motivasi agar siswa dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Tujuan teori ini
adalah mengharapkan terciptanya manusia yang ideal. Untuk itu, motivasi dan pengalaman
emosional sangant penting dalam peristiwa belajar. Guru sebagai fasilatator harus mampu
menciptakan situasi yang kondusif agar siswa memiliki kebebasan untuk beraktualisasi,
berpikir alternative dan kebebasan untuk menemukan konsep dan prinsip. Teori humanistik
bersifat ideal yaitu memanusiakan manuasia sehingga mampu memberikan arahan terhadap
semua komponen pembelajaran, dalam prosesnya semua sarana prasarana dapat digunakan
asalkan dapat memanusiakan manusia. Teori ini mementingkan siswa agar berfikir induktif
yaitu mementingkan pengalaman serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivisme hampir sama
dengan teori humanistik, sedangkan pergeserannya adalah pada teori humanistik lebih
mementingkanterciptanya manusia yang ideal. suber materi; Saekhan
Muchith.2008.Pembelajaran Kontekstual.Semarang:Rasail Alex Sobur.2003.Psikologi
Umum.Bandung:Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai