Lapkas Dih Paru 2020
Lapkas Dih Paru 2020
I. Landasan Teori
1.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex yang dapat menyerang paru dan organ
lainnya. Umumnya M. tuberculosis menyerang paru-paru (disebut TB paru) tetapi
juga dapat mempengaruhi organ lainnya seperti kelenjer limfe, tulang, kulit,
meningens (disebut TB ekstrapulmonal). Di dalam jaringan, bakteri batang
tuburkel berbentuk tipis, berbatang lurus dengan ukuran 0,4 x 3 µm sehingga
dapat dengan mudah masuk ke saluran pernafasan bawah. Komponen dinding
selnya sangat kompleks, hampir 60% terdiri asam lemak mikolat, wax D,
fosfatida, sulfatida dan trehalosa dimikolat yang menyebabkan bakteri ini lebih
tahan terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid yang
tinggi pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam pada
pemeriksaan atau biasa disebut Basil Tahan Asam (BTA)1.
Tuberculosis (TBC) adalah penyebab kematian utama kedua dari penyakit
infeksi setelah HIV diseluruh dunia1. Laporan WHO dalam Global Tuberculosis
Report 2016, pada tahun 2015 diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru di seluruh
dunia, dimana 5,9 juta (5,6%) adalah laki-laki, 3,5 juta (34%) diantaranya adalah
perempuan dan 1 juta (10%) diantaranya adalah anak-anak. Enam Negara di
Dunia menyumbang 60% kasus baru diantaranya : India, Cina, Nigeria, Indonesia,
Pakistan dan Afrika Selatan1. Angka insidensi yang begitu tinggi tersebut
berbanding lurus dengan angka kematian. Angka kematian akibat TBC
diperkirakan 8000 kasus setiap harinya. Karena data tersebut, WHO menjadikan
TBC sebagai “Global Emergency” dengan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-Course) sebagai penanggulangannya2.
Diagnosis TBC ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya2. Gejala klinis yang dapat timbul dibagi menjadi dua, yaitu gejala lokal
1
dan gejala sistemik. Pada pasien TB paru, gejala local yang timbul yaitu gejala
respiratorik terdiri dari batuk ≥ 3 minggu, terkadang disertai darah, sesak nafas
dan nyeri dada. Gejala klinis yang timbul berupa demam, malaise, keringat
malam, anoreksia dan penurunan berat badan1. Pada pemeriksaan fisik, kelainan
dijumpai yaitu suara nafas amforik, suara nafas melemah, rhonki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pemeriksaan bakteriologik
merupakan pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis TB yaitu menemukan
bakteri M. Tuberculosis. Bahan pemeriksaannya berasal dari dahak dengan cara
pengambilan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu). Pemeriksaan radiologis yang dapat
ditemukan pada pasien TB yaitu dapat memberikan gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
adanya bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah : kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi
oleh bayangan opak berawan atau nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura
unilateral (umumnya) dan efusi pleura bilateral (jarang)1.
2
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT
Jenis OAT Dosis Yang Direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3X Seminggu
Rifampisin 10 10
(8-12) (8-12)
Isoniazid 5 10
(4-6) (8-12)
Pirazinamid 25 35
(20-30) (30-40)
Etambutol 15 30
(12-20) (20-35)
Streptomisin 15 15
(12-18) (12-18)
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease)1 :
Kategori 1 : 2RHZE/4H3R3 atau 2RHZE/4HR atau 2HRZE/6HE
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
Pasien TB paru terdiagnosa klinis
3
Pasien TB ekstra paru
4
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : hepatitis imbas obat atau
ikterik, bila terjadi OAT harus stop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus.
c. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat. Nyeri sendi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangna ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang terjadi
reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
d. Etambutol
Efek samping dapat berupa gagguan penglihatan berupa berkurangnya
kerajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Efek samping terjadi
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25
mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
e. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejala efek samping yang dirasakan
ialah telinga mendenging (tinnitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segeraa dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
5
Tabel 2. Tingkat Kemampuan OAT dalam Menimbulkan Hepatitis
Imbas OAT
Tingkat Kemampuan OAT Nama Obat
Tinggi Isoniazid, Rifampisin. Pirazinamid
Rendah Streptomisin, Etambutol
Sumber : Drug Induced Hepatitis With Anti-Tuberculosis Chemotherapy
6
1. Ikatan kovalen antara enzim P-450 dan obat dikenali oleh sistem imun
sebagai antigen, sehingga timbul reaksi imun berupa pengaktifan sel T
sitolitik. Akibat reaksi tersebut terjadi kematian sel.
2. Karena ikatan kovalen obat dengan protein intraseluler, kadar ATP akan turun
dan menyebabkan gangguan pada aktin. Kerusakan pada fibrin aktin
mengakibatkan membrane sel rupture
3. Metabolit obat yang toksik akan merusak sel epitel saluran empedu, sehingga
pengeluaran empedu akan terganggu
4. Produksi energy beta-oksidasi dan penghambatan sintesis nicotamide adenine
dinucleotide serta flavin adenine dinucleotide menyebabkan penurunan
produksi ATP, penurunan ATP tersebut dapat menganggu fungsi
mitokondria.
5. Obat yang mempengaruhi transport protein pada kanalikuli dapat
menyebabkan terganggunya aliran empedu.
Hepatotoksik akibat pemberian OAT terjadi melalui berbagai mekanisme. Di
dalam hepar, isoniazid diasetilasi menjadi acetylisoniazid kemudian dihidrolisis
menjadi acetylhydrazine dan dihidrolisis kembali membentuk hydrazine.
Diketahui bahwa hydrazine merupakan metabolit toksik isoniazid yang
mempunyai efek merusak sel hepar. Hydrazine mengaktivasi sitpkrom P450
sehingga membentuk ikatan kovalen enzim obat. Ikatan ini dikenal sebagai
antigen oleh sel T sitolitik dan berakibat kematian sel3.
Mekanisme hepatotoksik rifampisin belum diketahui secara pasti. Namun
beberapa pendapat bahwa mekanisme hepatotoksik terjadi melalui pengaktifan
sitokrom P450. Begitu pula mekanisme hepatotoksik pirazinamid sampai saat ini
belum diketahui. Pirazinamid diketahui menyebabkan iskemik sel hepar.
7
menunjukkan kespesifikan yang dapat membedakan sebab dari gangguan hati.
Oleh karena itu pengecekan pada laboratorium sangat diperlukan guna
menegakkan diagnosis yang benar dan menyingkirkan hal-hal lain yang dapat
membuat rancu dalam mendiagnosis.
8
Stadium 2 Meningkat 2,5-5 kali dari nilai normal
(ALT 126-250 U/L)
Stadium 3 Meningkat 5-10 kali dari nilai normal
(ALT 251-500 U/L)
Stadium 4 Meningkat lebih dari 10 kali dari nilai
normal (ALT >500 U/L)
9
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk
menunggu sampai 2 minggu setelah icterus atau mual dan lemas serta
pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali
pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat,
panduan pengobatan non hepatoksik terdiri dari S, E dan salah satu golongan
fluorokuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, panduan pengobatan OAT semula dapat
dimulai kembali satu per satu. Jika kemudia keluhan dan gejala gangguan
fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak
normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran
untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid
dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami icterus akan tetapi
dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan
untuk menghindari penggunaan pirazinamid.
7. Panduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan
fungsi hati.
- Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian : 2HES/10HE
- Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan 6-9 RZE
- Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan
tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan
sampai 9 bulan.
- Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, panduan pengobatan OAT
non hepatotoksik terdiri dari S,E dan salah satu golongan kuinolon
harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan icterus terjadi pada saat pengobatan tahap
awal dengan H,R,Z,E (kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk
menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberia H dan R selama 6
bulan
10
9. Apabila gangguan fungsi hati dan icterus pada saat pengobatan tahap lanjutan
(kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
Menurut PDPI5, penatalaksanaan pasien dengan hepatitis imbas OAT yaitu :
Bila klinik (+) (ikterik (+), gejala mual, muntah (+) OAT stop
Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan :
Bilirubin total >2 OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 5 kali OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 kali, gejala (+) OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 kali, gejala (-) teruskan pengobatan, dengan
pengawasan
Panduan OAT yang dianjurkan :
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium
normal kembali (bilirubin, SGOT,SGPT) maka tambahkan H desensitisasi
sampai dengan dosis penuh (300 mg). selama itu perhatikan klinik dan
periksa laboratorium saat H dosis penuh, bila klinik dan laboratorium
normal tambahkan rifampisin desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai BB). Sehingga panduan obat menjadi RHES.
Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.
1.4.8 Komplikasi
1. Sirosis Hepatis
2. Destroyed Lung
11
BAB 1I STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 59th
12
Alamat : Jl. Agus Salim
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 02 Desember 2019
Tanggal Keluar : 06 Desember 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Batuk berdarah sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengkonsumsi OAT.
Resume Anamnesis :
Pasien baru masuk dengan keluhan batuk berdarah sejak 3 hari SMRS.
Dan semakin terasa memberat sejak hari ini. Pasien mengeluhkan nyeri dada
saat batuk. Pasien tidak mengeluhkan demam. Pasien diketahui memiliki
riwayat minum OAT baru 1 bulan ini dan pasien mengaku merasakan mual
13
dan muntah setelah mengkonsumsi OAT. Selain itu pasien juga merasakan
lemas dan nyeri pada ulu hati. Pasien diketahui menderita TB 1 bulan yang
lalu dan dalam masa pengobatan. Pasien telah mengkonsumsi OAT selama 1
bulan ini. Riwayat hipertensi disangkal dan riwayat DM juga disangkal.
Pemeriksaan Mata
- Kelopak : tanda-tanda radang (-), ptosis (-)
- Konjungtiva : konjungtiva anemis -/-
- Sclera : sclera sub ikterik +/+
- Kornea : jernih
- Pupil : isokor
Pemeriksaan Leher
14
- Inspeksi : tanda-tanda radang (-)
- Palpasi : pembesaran kgb (-)
- Pemeriksaan Trakea : deviasi trakea (+) ke kanan
- Pemeriksaan Tiroid : pembesaran (-)
Pemeriksaan Thoraks
- Inspeksi : Statis : bentuk diding dada simetris kanan dan kiri
Dinamis : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor
- Palpasi : Fremitus taktil sama kanan dan kiri
- Auskultasi : bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus 5x/menit
- Perkusi : tympani
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
- Pemeriksaan hepar : teraba : lobus kanan ICS VII linea
midclavicula dextra, lobus kiri teraba 2 jari dibawah processus xypoideus
dengan permukaan rata, konsistensi keras, pinggirnya tumpul, nyeri tekan
(+).
15
dengan permukaan rata, konsistensi keras, pinggir tumpul, nyeri tekan (+).
Dan pada pemeriksaan abdomen, ditemukan nyeri tekan pada epigastrium
(+).
VI. RENCANA
Rontgen Thoraks
16
Thoraks : tampak infiltrat pada apeks paru kanan dan kiri serta tampak
disertai kavitas dan tampak adanya penarikan trakea ke kanan.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi
17
Tanggal 2/12/2019
Darah Lengkap
Hemoglobin : 12.5 g% (13-18)
LED :-
Eritrosit :-
Leukosit : 15.2 10 ̂ 3/mm ̂ 3 (5-11)
Hematokrit : 36 % (37-47)
MCV : 75 fl (80-96)
MCH : 26 pg (27-32)
RDW :-
Trombosit : 235 10 ̂ 3/mm ̂ 3 (150-450)
Hitung Jenis Leukosit : -
Dibetes
Glukosa Darah Stick : 114 mg/dL (< = 150)
Pemeriksaan Elektrolit
Chlorida : 85 mEq/L (96-106)
Kalium : 3.4 mEq/L (3.5-5.2)
Natrium : 121 mEq/L (135-145)
18
Creatinin : 0.8 mg/dL (0.5-1.4)
Tanggal 5/12/2019
Pemeriksaan Fungsi Hati
Bilirubin Direk : 0.2 mg/dL (< 0.25)
Bilirubin Indirek : 0.09 mg/dL (0.1-1.0)
Bilirubin Total : 0.29 mg/dL (< 1)
Albumin : 3.2 U/L (3.5-5.1)
SGOT : 45 U/L (< 40)
SGPT : 62 U/L (< 42)
Tanggal 03/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
19
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- OAT stop sementara
Tanggal 04/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- OAT stop sementara
Tanggal 05/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- INH 300 1x1
- Etambutol 500 1x1
- B6 1x1
20
Tanggal 06/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- INH 300 1x1
- Etambutol 750 1x1
- B6 1x1
Pasien boleh pulang.
21
Diagnosis Hepatitis Imbas OAT atau Drug Induce Hepatitis ditegakkan
apabila terdapat :
1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan terapi OAT
2. Tidak mengkonsumsi alcohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari
sebelum pengobatan TB
3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin
dalam dosis normal baik itu sendiri maupun kombinasi minimal 5 hari
sebelum ditemukan nilai fungsi hati yang abnormal
4. Ketika sedang mendapatkan terapi OAT terjadi peningkatan nilai fungsi
hati di luar batas normal dan atau terjadi peningkatan bilirubin total > 3x
normal.
5. Tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat
6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati menjadi normal atau menurun dari
nilai yang sebelumnya meningkat.
Gejala dan tanda DIH akan timbul setelah pasien mengkonsumsi OAT 1
hingga 2 bulan. Gejala klinis yang akan timbul biasanya adalah nausea, ikterik,
muntah dan asthenia (badan lemas).
Pada pasien ditemukan gejala berupa badan lemas, mual disertai muntah.
Pasien juga merupakan pasien dengan diagnosis TB aktif dalam pengobatan. Dari
pemeriksaan fisik leher ditemukan deviasi trakea ke kanan. Dan pada pemeriksaan
thoraks ditemukan suara napas bronkovesikuler, rhonki pada lapangan atas paru.
Pada pemeriksaan hepar lobus kiri teraba 2 jari dibawah processus xyphoideus
dengan permukaan rata, konsistensi keras, pinggir tumpul, nyeri tekan (+). Dan
pada pemeriksaan abdomen, ditemukan nyeri tekan pada epigastrium (+).
Pada pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen thoraks PA ditemukan
infiltrat pada apeks paru kanan dan kiri serta tampak disertai kavitas dan tampak
adanya penarikan trakea ke kanan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
hasil pemeriksaan fungsi hati; bilirubin total 0.29 mg/dL, SGOT 45 dan SGPT 62.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Soeroso L et al. 2017. Buku Ajar Respirasi. Departemen Pulmonologi Dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedekteran Universitas Sumatera Utara.
Medan: USU Press
2. Alwi N. 2013. Prevalensi Pasien TB Paru Yang Mengalami Hepatitis Imbas
OAT Dan Faktor Risiko Yang berhubungan Di RSUP Persahabatan Jakarta
Dan RSPG Cisarua Pada Tahun 2012
3. Setiati S, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Jilid II). Jakarta :
InternaPublishing
4. Sutton, David. 2019. Pulmonology And Respiratory medicine.
5. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
23