Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

I. Landasan Teori
1.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex yang dapat menyerang paru dan organ
lainnya. Umumnya M. tuberculosis menyerang paru-paru (disebut TB paru) tetapi
juga dapat mempengaruhi organ lainnya seperti kelenjer limfe, tulang, kulit,
meningens (disebut TB ekstrapulmonal). Di dalam jaringan, bakteri batang
tuburkel berbentuk tipis, berbatang lurus dengan ukuran 0,4 x 3 µm sehingga
dapat dengan mudah masuk ke saluran pernafasan bawah. Komponen dinding
selnya sangat kompleks, hampir 60% terdiri asam lemak mikolat, wax D,
fosfatida, sulfatida dan trehalosa dimikolat yang menyebabkan bakteri ini lebih
tahan terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid yang
tinggi pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam pada
pemeriksaan atau biasa disebut Basil Tahan Asam (BTA)1.
Tuberculosis (TBC) adalah penyebab kematian utama kedua dari penyakit
infeksi setelah HIV diseluruh dunia1. Laporan WHO dalam Global Tuberculosis
Report 2016, pada tahun 2015 diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru di seluruh
dunia, dimana 5,9 juta (5,6%) adalah laki-laki, 3,5 juta (34%) diantaranya adalah
perempuan dan 1 juta (10%) diantaranya adalah anak-anak. Enam Negara di
Dunia menyumbang 60% kasus baru diantaranya : India, Cina, Nigeria, Indonesia,
Pakistan dan Afrika Selatan1. Angka insidensi yang begitu tinggi tersebut
berbanding lurus dengan angka kematian. Angka kematian akibat TBC
diperkirakan 8000 kasus setiap harinya. Karena data tersebut, WHO menjadikan
TBC sebagai “Global Emergency” dengan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-Course) sebagai penanggulangannya2.
Diagnosis TBC ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya2. Gejala klinis yang dapat timbul dibagi menjadi dua, yaitu gejala lokal

1
dan gejala sistemik. Pada pasien TB paru, gejala local yang timbul yaitu gejala
respiratorik terdiri dari batuk ≥ 3 minggu, terkadang disertai darah, sesak nafas
dan nyeri dada. Gejala klinis yang timbul berupa demam, malaise, keringat
malam, anoreksia dan penurunan berat badan1. Pada pemeriksaan fisik, kelainan
dijumpai yaitu suara nafas amforik, suara nafas melemah, rhonki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pemeriksaan bakteriologik
merupakan pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis TB yaitu menemukan
bakteri M. Tuberculosis. Bahan pemeriksaannya berasal dari dahak dengan cara
pengambilan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu). Pemeriksaan radiologis yang dapat
ditemukan pada pasien TB yaitu dapat memberikan gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
adanya bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah : kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi
oleh bayangan opak berawan atau nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura
unilateral (umumnya) dan efusi pleura bilateral (jarang)1.

1.2 Pengobatan Tuberculosis


Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian
dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien.
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut1 :
a. Obat anti tuberculosis harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

2
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT
Jenis OAT Dosis Yang Direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3X Seminggu
Rifampisin 10 10
(8-12) (8-12)
Isoniazid 5 10
(4-6) (8-12)
Pirazinamid 25 35
(20-30) (30-40)
Etambutol 15 30
(12-20) (20-35)
Streptomisin 15 15
(12-18) (12-18)

1) Tahap Awal (Intensif)


Pada tahap awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negative (konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease)1 :
Kategori 1 : 2RHZE/4H3R3 atau 2RHZE/4HR atau 2HRZE/6HE
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosa klinis

3
 Pasien TB ekstra paru

Kategori 2 : 2RHZES/HRZE/5H3R3E3 atau 2HREZS/HRZE/5HRE


Panduan OAT ini diberikan pada pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus obat

1.3 Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun, sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantaun kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dapat diatasi dengan obat simptomatik maka OAT tetap
dilanjutkan1.
a. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada saraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar dikaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin 100mg/hari atau dengan vitamin B complex. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan
OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
b. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatik ialah : sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang,
sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang diare,
sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan. Rifampisin dapat menyebabkan
warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut
terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.

4
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : hepatitis imbas obat atau
ikterik, bila terjadi OAT harus stop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus.
c. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat. Nyeri sendi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangna ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang terjadi
reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
d. Etambutol
Efek samping dapat berupa gagguan penglihatan berupa berkurangnya
kerajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Efek samping terjadi
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25
mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
e. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejala efek samping yang dirasakan
ialah telinga mendenging (tinnitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segeraa dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

1.4 Hepatitis Imbas OAT (Drug Induce Hepatitis)


Hepatitis Imbas OAT (drug Induce Hepatitis) adalah suatu peradangan pada
hati yang diakibatkan oleh reaksi merugikan dari obat 1. Hepatitis Imbas OAT
sendiri memiliki definisi beragam menurut beberapa penelitian, tetapi secara
umum definisi hepatoksisitas adalah peningkatan kadar ALT 2 kali dari kadar
normal yang muncul setelah terapi minimal 4 minggu. Masing-masing dari OAT
itu sendiri dapat mengakibatkan hepatitis imbas OAT, tetapi tingkat kemampuan
masing-masing obat berbeda2.

5
Tabel 2. Tingkat Kemampuan OAT dalam Menimbulkan Hepatitis
Imbas OAT
Tingkat Kemampuan OAT Nama Obat
Tinggi Isoniazid, Rifampisin. Pirazinamid
Rendah Streptomisin, Etambutol
Sumber : Drug Induced Hepatitis With Anti-Tuberculosis Chemotherapy

1.4.1 Epidemiologi Hepatitis Imbas OAT


Hepatitis Imbas OAT lebih sering terjadi pada Negara berkembang. Pada
penelitian yang dilakukan di Nepal ditemukan insidensi hepatitis inbas OAT
mencapai 38%. Penelitian lain yang dilakukan di Malaysia menbutkan bahwa
prevalensi kejadian hepatitis imbas OAT mencapai 9,7%2.
Pada sebuah survey yang dilakukan oleh The U.S Public Health Service
dilaporkan bahwa seseorang yang mengkonsumsi alcohol memiliki risiko 2 kali
lipat untuk terkena hepatitis akibat obat isoniazid dan risiko akan semakin
meningkat hingga 4-5 kali lipat pada seseorang yang mengkonsumsi alcohol
setiap hari2.

1.4.2 Faktor Risiko Hepatitis Imbas OAT


Faktor risiko untuk hepatitis imbas OAT selama pengobatan tuberculosis
meliputi usia lanjut, penyakit tuberkulosis yang luas, malnutrisi, alkoholisme,
infeksi kronis akibat penyakit hepatitis B atau C sebelumnya, serta infeksi HIV2.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan merupakan
salah satu faktor risiko yang dapat mengakibatkan hepatotoksitas akibat OAT,
tetapi hingga kini mekanisme jelas yang mendasari hal tersebut masih dalam
penelitian. Pasien yang sebelumnya mendapatkan transplantasi organ juga
beresiko, efek toksisitasnya juga akan semakin meningkat akibat pemberian obat
immunosupresif juga yang diberikan bersamaan dengan OAT.

1.4.3 Patofisiologi Hepatitis Imbas OAT


Mekanisme hepatitis imbas OAT tidak bisa ditinjau hanya dari satu sisi.
Teradapat beberapa mekanisme penyebab, yaitu :

6
1. Ikatan kovalen antara enzim P-450 dan obat dikenali oleh sistem imun
sebagai antigen, sehingga timbul reaksi imun berupa pengaktifan sel T
sitolitik. Akibat reaksi tersebut terjadi kematian sel.
2. Karena ikatan kovalen obat dengan protein intraseluler, kadar ATP akan turun
dan menyebabkan gangguan pada aktin. Kerusakan pada fibrin aktin
mengakibatkan membrane sel rupture
3. Metabolit obat yang toksik akan merusak sel epitel saluran empedu, sehingga
pengeluaran empedu akan terganggu
4. Produksi energy beta-oksidasi dan penghambatan sintesis nicotamide adenine
dinucleotide serta flavin adenine dinucleotide menyebabkan penurunan
produksi ATP, penurunan ATP tersebut dapat menganggu fungsi
mitokondria.
5. Obat yang mempengaruhi transport protein pada kanalikuli dapat
menyebabkan terganggunya aliran empedu.
Hepatotoksik akibat pemberian OAT terjadi melalui berbagai mekanisme. Di
dalam hepar, isoniazid diasetilasi menjadi acetylisoniazid kemudian dihidrolisis
menjadi acetylhydrazine dan dihidrolisis kembali membentuk hydrazine.
Diketahui bahwa hydrazine merupakan metabolit toksik isoniazid yang
mempunyai efek merusak sel hepar. Hydrazine mengaktivasi sitpkrom P450
sehingga membentuk ikatan kovalen enzim obat. Ikatan ini dikenal sebagai
antigen oleh sel T sitolitik dan berakibat kematian sel3.
Mekanisme hepatotoksik rifampisin belum diketahui secara pasti. Namun
beberapa pendapat bahwa mekanisme hepatotoksik terjadi melalui pengaktifan
sitokrom P450. Begitu pula mekanisme hepatotoksik pirazinamid sampai saat ini
belum diketahui. Pirazinamid diketahui menyebabkan iskemik sel hepar.

1.4.4 Manifestasi Klinis Hepatitis Imbas OAT


Gejala klinis yang timbul biasanya sulit dibedakan dengan hepatitis viral
baik secara klinis, biokimia, dan histologi. Gejala dan tanda akan timbul setelah
pasien mengkonsumsi OAT 1 hingga 2 bulan. Gejala klinis yang akan timbul
biasanya adalah nausea, ikterik, muntah dan asthenia. Semua gejala tidak

7
menunjukkan kespesifikan yang dapat membedakan sebab dari gangguan hati.
Oleh karena itu pengecekan pada laboratorium sangat diperlukan guna
menegakkan diagnosis yang benar dan menyingkirkan hal-hal lain yang dapat
membuat rancu dalam mendiagnosis.

1.4.5 Diagnosis Hepatitis Imbas OAT


Pasien TB bisa dikatakan mengalami hepatitis imbas OAT jika :
1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan terapi OAT
2. Tidak mengkonsumsi alcohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari sebelum
pengobatan TB
3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin dalam
dosis normal baik itu sendiri maupun kombinasi minimal 5 hari sebelum
ditemukan nilai fungsi hati yang abnormal
4. Ketika sedang mendapatkan terapi OAT terjadi peningkatan nilai fungsi hati
di luar batas normal dan atau terjadi peningkatan bilirubin total > 3x normal.
5. Tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat
6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati menjadi normal atau menurun dari
nilai yang sebelumnya meningkat.
Hepatitis imbas OAT dapat diklasifikasikan menurut derajat keparahannya
yang dinilai berdasarkan kenaikan SGOT dan SGPT serum menurut WHO
Adverse drug reaction terminology :

Tabel 3. Derajat Keparahan Hepatitis Imbas OAT


Derajat Hepatitis Imbas OAT Nilai Acuan
Stadium 1 Meningkat >2 kali dari nilai normal
(ALT 51-125 U/L)

8
Stadium 2 Meningkat 2,5-5 kali dari nilai normal
(ALT 126-250 U/L)
Stadium 3 Meningkat 5-10 kali dari nilai normal
(ALT 251-500 U/L)
Stadium 4 Meningkat lebih dari 10 kali dari nilai
normal (ALT >500 U/L)

1.4.6 Penatalaksanaan Hepatitis Imbas OAT


OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah H,
R, Z. sebagai tambahan, rifampisin dapat menimbulkan icterus tanpa ada bukti
gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor
penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi yang terjadi disebabkan oleh
karena OAT.
Penatalaksaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan
TB tergantung dari :
- Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
- Berat ringannya gangguan fungsi hati
- Berat ringannya TB
- Kemampuan faskes untuk menatalaksana efek samping obat
Langkah-langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi4 :
1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena
OAT, pemberian semua OAT yang bersifat hepatoksik harus dihentikan.
Pengobatan yang diberikan streptomisin dan etambutol sambil menunggu
fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan
rifampisin dengan dosis bertahap, selanjutnya isoniazid bertahap.
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien,
dapat diberikan panduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari S, E dan
salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon.
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati
kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb) telah hilang sebelum
memulai pengobatan kembali.

9
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk
menunggu sampai 2 minggu setelah icterus atau mual dan lemas serta
pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali
pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat,
panduan pengobatan non hepatoksik terdiri dari S, E dan salah satu golongan
fluorokuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, panduan pengobatan OAT semula dapat
dimulai kembali satu per satu. Jika kemudia keluhan dan gejala gangguan
fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak
normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran
untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid
dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami icterus akan tetapi
dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan
untuk menghindari penggunaan pirazinamid.
7. Panduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan
fungsi hati.
- Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian : 2HES/10HE
- Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan 6-9 RZE
- Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan
tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan
sampai 9 bulan.
- Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, panduan pengobatan OAT
non hepatotoksik terdiri dari S,E dan salah satu golongan kuinolon
harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan icterus terjadi pada saat pengobatan tahap
awal dengan H,R,Z,E (kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk
menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberia H dan R selama 6
bulan

10
9. Apabila gangguan fungsi hati dan icterus pada saat pengobatan tahap lanjutan
(kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
Menurut PDPI5, penatalaksanaan pasien dengan hepatitis imbas OAT yaitu :
Bila klinik (+) (ikterik (+), gejala mual, muntah (+)  OAT stop
Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan :
Bilirubin total >2  OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 5 kali  OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 kali, gejala (+)  OAT stop
SGOT, SGPT ≥ 3 kali, gejala (-)  teruskan pengobatan, dengan
pengawasan
Panduan OAT yang dianjurkan :
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium
normal kembali (bilirubin, SGOT,SGPT) maka tambahkan H desensitisasi
sampai dengan dosis penuh (300 mg). selama itu perhatikan klinik dan
periksa laboratorium saat H dosis penuh, bila klinik dan laboratorium
normal tambahkan rifampisin desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai BB). Sehingga panduan obat menjadi RHES.
Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.

1.4.7 Diagnosis Banding Hepatitis Imbas OAT


1. Hepatitis virus akut
2. Cholecistitis
3. TB Paru Milier

1.4.8 Komplikasi
1. Sirosis Hepatis
2. Destroyed Lung

11
BAB 1I STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 59th

12
Alamat : Jl. Agus Salim
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 02 Desember 2019
Tanggal Keluar : 06 Desember 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Batuk berdarah sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien baru masuk dengan keluhan batuk berdarah sejak 3 hari SMRS.
Dan semakin terasa memberat sejak hari ini. Pasien mengeluhkan nyeri dada
saat batuk. Pasien tidak mengeluhkan demam. Pasien diketahui memiliki
riwayat minum OAT baru 1 bulan ini dan pasien mengaku merasakan mual
dan muntah setelah mengkonsumsi OAT. Selain itu pasien juga merasakan
lemas dan nyeri pada ulu hati.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien diketahui menderita TB 1 bulan yang lalu dan dalam masa
pengobatan. Pasien telah mengkonsumsi OAT selama 1 bulan ini. Riwayat
hipertensi disangkal dan riwayat DM juga disangkal.

Riwayat Pengobatan :
Pasien mengkonsumsi OAT.

Resume Anamnesis :
Pasien baru masuk dengan keluhan batuk berdarah sejak 3 hari SMRS.
Dan semakin terasa memberat sejak hari ini. Pasien mengeluhkan nyeri dada
saat batuk. Pasien tidak mengeluhkan demam. Pasien diketahui memiliki
riwayat minum OAT baru 1 bulan ini dan pasien mengaku merasakan mual

13
dan muntah setelah mengkonsumsi OAT. Selain itu pasien juga merasakan
lemas dan nyeri pada ulu hati. Pasien diketahui menderita TB 1 bulan yang
lalu dan dalam masa pengobatan. Pasien telah mengkonsumsi OAT selama 1
bulan ini. Riwayat hipertensi disangkal dan riwayat DM juga disangkal.

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg
Status Gizi : 18,3 (normoweight)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Denyut Nadi : 84 x/menit
Suhu Tubuh : 370C
Frekuensi Nafas : 26 x/menit

IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


Pemeriksaan Kepala
- Ukuran dan Bentuk Kepala : Normal
- Simetrisitas Muka : Simetris
- Rambut : Hitam

Pemeriksaan Mata
- Kelopak : tanda-tanda radang (-), ptosis (-)
- Konjungtiva : konjungtiva anemis -/-
- Sclera : sclera sub ikterik +/+
- Kornea : jernih
- Pupil : isokor

Pemeriksaan Leher

14
- Inspeksi : tanda-tanda radang (-)
- Palpasi : pembesaran kgb (-)
- Pemeriksaan Trakea : deviasi trakea (+) ke kanan
- Pemeriksaan Tiroid : pembesaran (-)

Pemeriksaan Thoraks
- Inspeksi : Statis : bentuk diding dada simetris kanan dan kiri
Dinamis : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor
- Palpasi : Fremitus taktil sama kanan dan kiri
- Auskultasi : bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-

Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus 5x/menit
- Perkusi : tympani
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
- Pemeriksaan hepar : teraba : lobus kanan ICS VII linea
midclavicula dextra, lobus kiri teraba 2 jari dibawah processus xypoideus
dengan permukaan rata, konsistensi keras, pinggirnya tumpul, nyeri tekan
(+).

Resume Pemeriksaan Fisik


Dari pemeriksaan ditemukan sklera sub ikterik (+/+), pada leher
ditemukan deviasi trakea ke kanan. Dan pada pemeriksaan thoraks ditemukan
suara napas bronkovesikuler, rhonki pada lapangan atas paru. Pada
pemeriksaan hepar lobus kiri teraba 2 jari dibawah processus xyphoideus

15
dengan permukaan rata, konsistensi keras, pinggir tumpul, nyeri tekan (+).
Dan pada pemeriksaan abdomen, ditemukan nyeri tekan pada epigastrium
(+).

V. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis : TB paru dengan DIH + hiponatremia + hemoptisis

VI. RENCANA
 Rontgen Thoraks

16
Thoraks : tampak infiltrat pada apeks paru kanan dan kiri serta tampak
disertai kavitas dan tampak adanya penarikan trakea ke kanan.

COR : dalam batas normal

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi

17
Tanggal 2/12/2019
Darah Lengkap
Hemoglobin : 12.5 g% (13-18)
LED :-
Eritrosit :-
Leukosit : 15.2 10 ̂ 3/mm ̂ 3 (5-11)
Hematokrit : 36 % (37-47)
MCV : 75 fl (80-96)
MCH : 26 pg (27-32)
RDW :-
Trombosit : 235 10 ̂ 3/mm ̂ 3 (150-450)
Hitung Jenis Leukosit : -
Dibetes
Glukosa Darah Stick : 114 mg/dL (< = 150)
Pemeriksaan Elektrolit
Chlorida : 85 mEq/L (96-106)
Kalium : 3.4 mEq/L (3.5-5.2)
Natrium : 121 mEq/L (135-145)

Pemeriksaan Fungsi Hati


Bilirubin Direk : 3.1 mg/dL (< 0.25)
Bilirubin Indirek : 1.5 mg/dL (0.1-1.0)
Bilirubin Total : 4.6 mg/dL (< 1)
Albumin : 3.8 U/L (3.5-5.1)
SGOT : 136 U/L (< 40)
SGPT : 138 U/L (< 42)

Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Ureum : 12 mg/dL (10-50)

18
Creatinin : 0.8 mg/dL (0.5-1.4)

Tanggal 5/12/2019
Pemeriksaan Fungsi Hati
Bilirubin Direk : 0.2 mg/dL (< 0.25)
Bilirubin Indirek : 0.09 mg/dL (0.1-1.0)
Bilirubin Total : 0.29 mg/dL (< 1)
Albumin : 3.2 U/L (3.5-5.1)
SGOT : 45 U/L (< 40)
SGPT : 62 U/L (< 42)

VII. Tindakan Terapi


Tanggal 02/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- OAT stop sementara

Tanggal 03/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1

19
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- OAT stop sementara

Tanggal 04/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- OAT stop sementara

Tanggal 05/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- INH 300 1x1
- Etambutol 500 1x1
- B6 1x1

20
Tanggal 06/12/2019
- IVFD Nacl 0.9 % drip crome 1 amp/12 jam/kolf
- IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
- Inj. ODR 4 mg 2x1
- Inj. As. Tranexamat 3x1
- Inj. Vit. K 3x1
- Inj. Lansoprazole 1x1
- Inj. Ketorolac 3x1
- Sucralfat syr
- Proliver 3x1
- INH 300 1x1
- Etambutol 750 1x1
- B6 1x1
Pasien boleh pulang.

BAB 1II PEMBAHASAN

21
Diagnosis Hepatitis Imbas OAT atau Drug Induce Hepatitis ditegakkan
apabila terdapat :
1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan terapi OAT
2. Tidak mengkonsumsi alcohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari
sebelum pengobatan TB
3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin
dalam dosis normal baik itu sendiri maupun kombinasi minimal 5 hari
sebelum ditemukan nilai fungsi hati yang abnormal
4. Ketika sedang mendapatkan terapi OAT terjadi peningkatan nilai fungsi
hati di luar batas normal dan atau terjadi peningkatan bilirubin total > 3x
normal.
5. Tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat
6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati menjadi normal atau menurun dari
nilai yang sebelumnya meningkat.
Gejala dan tanda DIH akan timbul setelah pasien mengkonsumsi OAT 1
hingga 2 bulan. Gejala klinis yang akan timbul biasanya adalah nausea, ikterik,
muntah dan asthenia (badan lemas).
Pada pasien ditemukan gejala berupa badan lemas, mual disertai muntah.
Pasien juga merupakan pasien dengan diagnosis TB aktif dalam pengobatan. Dari
pemeriksaan fisik leher ditemukan deviasi trakea ke kanan. Dan pada pemeriksaan
thoraks ditemukan suara napas bronkovesikuler, rhonki pada lapangan atas paru.
Pada pemeriksaan hepar lobus kiri teraba 2 jari dibawah processus xyphoideus
dengan permukaan rata, konsistensi keras, pinggir tumpul, nyeri tekan (+). Dan
pada pemeriksaan abdomen, ditemukan nyeri tekan pada epigastrium (+).
Pada pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen thoraks PA ditemukan
infiltrat pada apeks paru kanan dan kiri serta tampak disertai kavitas dan tampak
adanya penarikan trakea ke kanan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
hasil pemeriksaan fungsi hati; bilirubin total 0.29 mg/dL, SGOT 45 dan SGPT 62.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Soeroso L et al. 2017. Buku Ajar Respirasi. Departemen Pulmonologi Dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedekteran Universitas Sumatera Utara.
Medan: USU Press
2. Alwi N. 2013. Prevalensi Pasien TB Paru Yang Mengalami Hepatitis Imbas
OAT Dan Faktor Risiko Yang berhubungan Di RSUP Persahabatan Jakarta
Dan RSPG Cisarua Pada Tahun 2012
3. Setiati S, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Jilid II). Jakarta :
InternaPublishing
4. Sutton, David. 2019. Pulmonology And Respiratory medicine.
5. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.

23

Anda mungkin juga menyukai