Disusun Oleh :
KELOMPOK 11
2021
1
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2
2
2.13.1 Metode Geliat…………………………………………………………………….15
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan jenis tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan obat. Dibuktikan dengan bangsa Indonesia yang telah lama
melakukan berbagai penyembuhan penyakit secara tradisional dengan menggunakan
sebagian atau seluruh tanaman yang telahdilakukan sejak dahulu, dan diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Indonesia banyak yang menggunakan
tanaman sebagai bahan obat, karena banyak orang beranggapan bahwa obat tradisional
relatif lebih aman dibandingkan obat sintetis dan tidak memiliki efek samping yang
merugikan bila penggunaannya kurang tepat. Meskipun demikian masih perlu diketahui
mengenai informasi yang memadai tentang kelebihan dan kelemahan. Salah satu contoh
tanaman yang digunakan sebagai bahan pengobatan yaitu Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) (Afifah, E. 2003 )
Temulawak telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai pewarna,
bahan pangan, obat tradisional, memelihara kesehatan dan juga sebagai bahan obat seperti
kurang nafsu makan, sembelit, ambeien, jerawat, diare, obat kejang-kejang, untuk
menghancurkan batu empedu, untuk mengobati pengobatan penyakit ginjal dan hati, obat
pegal linu, reumatik, radang sendi, dan dalam bentuk segar, rebusan, seduhan maupun
serbuk digunakan untuk mengobati sariawan dan keputihan.( Sidik. 1985 )
Pengujian khasiat rimpang temulawak dapat diketahui melalui bukti empiris melalui
pengujian secara in vitro, pengujian praklinis kepada binatang dan uji klinis terhadap
manusia (BPOM 2004). Menurut berbagai penelitian, senyawa aktif kurkumin di dalam
temulawak memiliki efek sebagai analgetik karena dapat menghambat kerja enzim
siklooksigenase yang menyebabkan asam arakidonat tidak dapat berubah menjadi
prostaglandin . Hal ini dibuktikan pada penelitian sebelumnya, dimana kurkumin dapat
menjadi agen analgetik pada penyembuhan nyeri di sumsum tulang belakang. Selain
mengandung kurkumin, temulawak juga mengandung sejenis minyak atsiri, yaitu
phellandreen, kamfer, glukosida, turmerol, myrcene, xanthorrizol, safuranogermacrene, p-
tolyletycarbinol, dan zat tepung .( Tjay, H.T. Rahardja, K., 2007)
Temulawak adalah salah satu jenis tanaman yang dilaporkan berkhasiat sebagai
analgetika. Ekstrak metanol temulawak yang diberikan secara per oral pada tikus
percobaan, dinyatakan dapat menekan rasa sakit yang diakibatkan oleh injeksi asam asetat.
4
Minyak atsiri mampu menghambat rangsang nyeri pada SSP dan perifer yaitu sebesar
(26,85±2,73%) dan (75,08±0,86%), sedangkan kurkuminoid hanya mampu menghambat
rangsang nyeri perifer yaitu sebesar (44,80±1,46%) tanpa mampu melakukan
penghambatan nyeri di daerah SSP. Kombinasi minyak atsiri rimpang temulawak dan
kurkuminoidnya memiliki efek analgetik pada mencit. Adapun penghambatan nyerinya
pada SSP dan perifer yaitu sebesar (42,16±2,53%) dan (67,56±0,59%). Fase nyeri yang
dihambat oleh campuran (minyak atsiri dengan kurkuminoid) yaitu pada fase I (SSP) dan
II (perifer). Pada minyak atsiri penghambatan nyeri juga terjadi pada SSP dan perifer.
Kurkumin dari temulawak dapat diambil dengan menggunakan cara ekstraksi,
ekstraksiadalah istillah yang digunakan untuk operasi dimana suatu konstituen padat atau
cair dipindahkan dicairan lainnya dimana solven yang digunakan adalah etanol. Etanol
memiliki sifat yang sama seperti methanol, tetapi etanol tidak beracun seperti methanol.
Kegunaan etanol yaitu sebagai pelarut, perfume, serat sintesis, bahan bakar, untuk membuat
obat (tonikum), desinfektan, dan minuman keras. ( Tjay, HR. Rahardja.K,2007)
Berdasar penelitian yang lain, rimpang temulawak juga memiliki beberapa efek
farmakologi seperti, hepatoprotektor, antiinflamasi, antidiare, antimalaria,
imunomodulator, dan antikanker . Selain itu juga telah ditemukan efek farmakologi
rimpang temulawak sebagai antipiretik, antinoiceptive, dan analgetik. Analgetik atau obat
penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Obat analgetik yang biasa digunakan salah satunya adalah
asetosal. Asetosal merupakan obat turunan asam salisilat yang biasa digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri . Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efek analgetik dari temulawak dalam ekstrak etanol serta
membandingkan efektivitasnya dengan asetosal.
5
1.3 Batasan Masalah
6. Penelitian ini digunakan 25 kor mencit jantan yang berumur 2-3 bulan dengan bobot
20-40 gram
7. Konsentrasi pemberian pada mencit jantan berdasarkan kelompok terdiri dari kelompok
kontrol negatif yang diberi Na-CMC 1%, kelompok kontrol positif yang diberi asetosal
dengan dosis 65 mg/KgBB, kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 yang diberi ekstrak etanol
temulawak berturut-turut dengan dosis 187,5 mg/KgBB, 325 mg/KgBB, dan 750
mg/KgBB.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae.
Kelas : Monocotyledonae.
Ordo : Zingiberales.
Keluarga : Zingiberaceae.
Genus : Curcuma.
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb
( Gambar 1. Curcuma xanthorrhiza)
9. Foluymetik
10. Karbinol
Tabel 1. Komposisi Kandungan Kimia Temulawak dan Manfaatnya
8
Peningkatan penggunaan temulawak dalam industri obat-obatan memerlukan
teknik pengolahan yang baik sehingga mutunya dapat meningkat. Mutu ekstrak
dipengaruhi oleh teknik ekstraksi, kehalusan bahan, jenis pelarut, lama ekstraksi,
konsentrasi pelarut, nisbah bahan dengan pelarut, proses penguapan pelarut, pemurnian
dan pengeringan (Bombaderlli, 1991; Vijesekera, 1991 dalam Sembiring dkk., 2006).
Dan menurut Srijanto dkk., 2004 kandungan rimpang temulawak kering adalah sebagai
berikut :
Komposisi Senyawa Kadar (%)
Air 15,59
Abu 3,77
Kurkumin 2,43
Lemak 7,74
Minyak atsiri Tr
Protein 10,87
Pati 60,09
Tabel 2. Kandungan Rimpang temulawak Kering
2.4 Senyawa Kurkuminoid
Kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri dari campuran
komponen senyawa yang bernama kurkumin dan desmetoksi kurkumin, mempunyai
warna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, larut dalam
aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkumin tidak larut dalam
air dan dietileter. Kurkuminoid mempunyai aroma khas, tidak bersifat toksik (Kiso, 1985
dalam Kiswanto, 2009) Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 (Bobot molekul
= 368).
9
Sifat kimia kurkuminoid yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat
perubahan pH lingkungan. Dalam susana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau
kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Keunikan lain terjadi
pada sifat kurkumin dalam suasana basa, karena selain terjadi proses disosiasi, pada
suasana basa kurkumin dapat mengalami degradasi membentuk asam ferulat dan
ferulloilmetan. Degradasi ini terjadi bila kurkumin berada dalam lingkungan pH 8,5 –
10,0 dalam waktu yang relatif lama, walaupun hal ini tidak berarti bahwa dalam waktu
yang relatif singkat tidak terjadi degradasi kurkumin, karena proses degradasi sangat
dipengaruhi juga oleh suhu lingkungan. Salah satu hasil degradasi, yaitu feruloilmetan
mempunyai warna kuning coklat yang akan mempengaruhi warna merah yang
seharusnya terjadi. Sifat krukuminoid lain yang penting adalah aktivitasnya terhadap
cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi
kurkumin atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karsen, 1985 dalam Kiswanto,
2009).
Kurkuminoid merupakan unsur non zat gizi yang mempunyai sifat atau
karakteristik yaitu senyawa khas dari kurkumin (flavour) yang berwarna kuning dan
bersifat aromatik, terdiri dari campuran kurkumin, desmetoksikurkumin, dan
bidesmetoksikurkumin sehingga apabila digunakan dalam makanan atau minuman dapat
berfungsi sebagai pewarna makanan atau minuman yaitu memberikan warna kuning
sekaligus aroma, bau dan rasa khas pada makanan dan minuman. Sedangkan dalam
bidang kesehatan, kurkuminoid bermanfaat sebagai senyawa antioksidan yang dapat
menangkal atau melokalisir radikal bebas (karsinogenik) akibat mengkonsumsi makanan
yang kurang sehat, sehingga kurkuminoid mempunyai efek antirematik dalam
pengobatan secara tradisional. (Istafid, 2006 dalam Kiswanto, 2009).
Menurut Bone, K. dan Mills, S. (2000), dalam rimpang kunyit terdapat kurkumin
yang mempunyai kemampuan menghambat produksi prostaglandin dan leukotrien
sebagai mediator nyeri. Berdasarkan penelitian Bengmark, S. (2006) diperoleh bahwa
kurkumin memiliki kemampuan untuk menghambat aktivasi mediator nyeri yaitu
melalui ikatan dengan enzim siklooksigenase-2 dan lipooksigenase, sehingga perubahan
asam arakhidonat menjadi eicosanoid sebagai mediator kimiawi tidak terjadi. Oleh
karena itu, rangsang nyeri dapat dihambat dan rasa nyeri dapat ditekan.
2.5 Pengeringan
Pengeringan dilakukan manusia sebagai suatu usaha pengawetan dalam tahapan
proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air
10
yang terkandung dalam bahan pangan sekaligus menurunkan aktivitas air (aw). Dengan
menurunnya jumlah air bebas hingga mendekati nol, maka pertumbuhan
mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan terhenti.
Sehingga umur simpan (shelf life) bahan pangan akan lebih panjang (Ananingsih, 2007).
Pengeringan rimpang temulawak secara langsung dengan sinar matahari dilakukan
selama 3 - 5 hari, atau setelah kadar airnya maksimum 12 %. Pengeringan dapat
dilakukan diatas tikar atau rangka pengering, dan rimpang tidak boleh saling menumpuk.
Selama pengeringan harus dibolak-balik kira-kira setiap 4 jam sekali agar pengeringan
merata. Lindungi rimpang tersebut dari air, udara yang lembab dan dari bahan-bahan
disekitarnya yang bisa mengkontaminasi. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang
yang dihasilkan.
Perajangan dapat dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Menurut
Nugroho dkk., 2008 ketebalan rimpang temulawak yang digunakan untuk pengeringan
sekitar 5 -7 mm dan menurut Sembiring dkk., 2006, rimpang yang digunakan untuk
proses pengeringan memiliki ketebalan sekitar 6-7 mm. Sedangkan menurut Rahardjo
dan Otih Rostiana 2005, rimpang yang digunakan untuk proses pengeringan diiris
membujur dengan ketebalan 2 -3 mm.
2.6 Metode Pemisahan Kurkuminoid
2.6.1. Ekstraksi Maserasi
Prinsip maserasi yaitu perendaman serbuk simplisia ke dalam cairan
pelarut. Dinding sel tanaman yang mengandung zat aktif akan ditembus oleh
pelarut mengakibatkan perbedaan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel
sehingga larutan terpekat berupa filtrat hasil maserasi akan didesak ke luar.
Larutan di dalam dan di luar sel akan terjadi keseimbangan konsentrasi setelah
terjadi perbedaan konsentrasi secara berulang. Keseimbangan dan derajat
perbedaan konsentrasi yang kecil antara larutan di dalam dan di luar sel dilakukan
pengadukan (Baraja, 2008). Syarat pemilihan jenis pelarut yaitu tidak berbahaya
atau beracun, mempunyai daya larut yang tinggi, dan titik didih kedua bahan tidak
boleh terlalu dekat (Bernasconi, dkk., 1995). Penelitian Oktaviani (2010)
menunjukkan ekstraksi temulawak menggunakan metode maserasi dengan
pelarut etanol 96% menunjukkan kadar kurkuminoid sebesar 0,422%.
2.6.2. Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair–cair atau partisi merupakan metode ekstraksi yang
didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua
11
pelarut yang tidak saling bercampur, sebagian komponen larut pada fase pertama
dan sebagian larut pada fase kedua. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah
memiliki kepolaran yang sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah
secara pengocokan yang ditandai dengan terbentuknya dua lapisan yang tidak
saling campur (Khopkar, 2008). Dewi, dkk. (2010) menyatakan bahwa
penggunaan ekstraksi cair-cair mempunyai beberapa kelebihan yaitu komponen
bioaktif dapat diperoleh secara spesifik dan waktu yang secara singkat. Penelitian
Nurcholis, dkk. (2015) menunjukkan kurkuminoid diperoleh dengan ekstraksi
secara bertahap menggunakan ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksana
menggunakan perbandingan 1:1. Penelitian Sari, dkk. (2013) menunjukkan kadar
total kurkuminoid lebih besar yaitu sebesar 22,14%, sedangkan tanpa defatisasi
sebesar 14,29% dengan menggunakan pelarut n-heksana untuk menghilangkan
lemak dan senyawa non polar lainnya. Penelitian Rismayani, dkk. (2016)
menunjukkan bahwa kurkuminoid dapat diperoleh menggunakan metode
maserasi 96% kemudian difraksinasi bertingkat menggunakan pelarut air dan
kloroform.
2.6.3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi planar yang mempunyai lapisan seragam dengan penyerap
berukuran kecil disebut Kromatografi Lapis Tipis. Penyerap tersebut merupakan
fase diam dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Ukuran penyerap yang
semakin kecil menunjukkan kinerja KLT yang semakin baik dengan ditunjukkan
hasil resolusinya. Silika gel dan serbuk selulosa merupakan contoh penyerap yang
menggunakan mekanisme adsorpsi dan partisi (Rohman, 2007).
Eluen (fase gerak) merupakan pelarut pengembang dengan kemurnian yang
sangat tinggi untuk memaksimalkan pemisahan, sehingga akan mempengaruhi daya
elusi fase gerak (Rf) pada rentang 0,2-0,8. Identifikasi pemisahan komponen dapat
dilakukan dengan radiasi UV, fluoresensi atau pereaksi warna. Bercak yang
terbentuk merupakan penentuan komponen yang akan ditentukan (Rohman, 2007).
Penelitian Ati, dkk. (2006) isolasi kurkuminoid menggunakan pelarut aseton dan
etanol dengan perbandingan (3:7) menunjukkan adanya kurkuminoid. Hasil nilai Rf
pada isolat kurkumin sebesar 0,29-0,37 yang ditandai dengan warna kuning,
bisdemethoxycurcumin 0,09-0,10 yang ditandai dengan warna kuning kecoklatan,
demethoxycurcumin 0,11-0,15 yang ditandai dengan warna kuning muda.
12
2.7 Uji Fitokimia Kurkuminoid
Uji fitokimia merupakan uji senyawa aktif dalam tumbuhan. Senyawa aktif
yang terkandung dalam tumbuhan dapat dalam bentuk metabolit sekunder seperti
flavonoid, tanin, alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin, dan lain-lain. Penelitian
Rinanto, dkk. (2009) Uji kurkuminoid menggunakan reaksi warna dengan
penambahan NaOH 5% dan pereaksi asam sulfat: alkohol 95% (1:1) menunjukkan
adanya kurkuminoid yang ditandai dengan warna merah dan merah jingga.
Penelitian Rismayani, dkk. (2016) menunjukkan adanya kurkuminoid menggunakan
pereaksi asam HCl dan pereaksi basa boraks didapatkan warna kuning dan merah
kecoklatan.
2.8 Identifikasi Kurkuminoid dengan Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis adalah suatu alat atau instrumen untuk mengukur
transmisi atau absorben dengan prinsip interaksi antara sinar UV atau visible,
sehingga terjadi transisi tingkat elektronik suatu molekul antara orbital ikatan
(bonding) dengan orbital non ikatan (anti bonding) yang dapat diukur dengan energi
yang merambat berupa panjang gelombang dengan satuan nanometer (nm) (Panji,
2012). Penelitian Revathy, dkk. (2011). Identifikasi kurkuminoid pada temulawak
menggunakan panjang gelombang 420 nm menunjukkan adanya kurkumin,
demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Penelitian Ati, dkk. (2006)
menunjukkan bahwa kurkuminoid mempunyai panjang gelombang maksimum
masing-masing 426 nm pada kurkumin, 424 nm pada demetoksikurkumin, dan 416
nm pada bisdemetoksikurkumin.
2.9 Tinjauan Tentang Nyeri
Menurut Roach, S. S. (2004), nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional
yang tidak enak dan berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri bersifat individu
dan ambang nyeri pada setiap orang berbeda-beda. Nyeri timbul jika rangsang
mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai
ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan
mediator nyeri yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri (Mutschler, 1999).
2.10 Tinjauan Tentang Mekanisme Nyeri
Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui
suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). karena itu menyebabkan
kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri (mediator
13
nyeri) dan menyebabkan perangsang reseptor nyeri.
Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin (5- HT),
bradikinin, prostaglandin (PG) dan ion kalsium. Zat-zat ini dapat menyebabkan
reaksi radang dan kejang dari jaringan otot yang selanjutnya mengaktifkan reseptor
nyeri. Sinyal elektrokimia ini lalu merangsang reseptor yang letaknya pada ujung-
ujung sarafbebas di kulit, selaput lendir dalam jaringan lain, dan ujung saraf. Pintu
ini mengatur sinyal yang masuk dan meneruskannya ke bagian otak yang berkaitan
dengan emosi, memori dan pusat nyeri di dalam otak besar,yaitu nukleus amigdalus,
hipothalamus, thalamus dan korteks, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri.
Melalui lintasan balik, otak kemudian mengatur proses sinyal nyeri di sumsum
tulang belakang dan melepaskan analgetik inter yang disebut endorfin
(Rahman,1996).
2.11 Tinjauan Tentang Analgetik
14
2.12. Asetosal
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
merupakan analgesik, anti inflamasi, antipiretik, dan inhibitor agregasi platelet.
Aspirin menghambat sintesis prostaglandin, melalui asetilasi. Asetosal menghambat
enzim siklooksigenase dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan akan
terganggu, sehingga rasa nyeri dapat berkurang (Dollery, C., 1999)
2.13. Metode Pengujian Daya Analgesik
Pengujian daya analgesik dapat menggunakan berbagai metode. Menurut
Turner (1965) metode pengujian daya analgesik berdasarkan jenis analgesiknya ada
dua golongan, yaitu golongan analgesik narkotika dan analgesik non narkotika.
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi
pada hewan uji (mencit, tikus, marmot) (Anonim, 1991).
2.13.1 Metode Geliat ( Metode Rangsang Kimia )
Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang diberikan
secara intraperitoneal pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada
selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk menimbulkan rasa
nyeri yaitu fenilkuinon. Respon mencit terhadap rangsang nyeri ini berupa geliat
yaitu kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki ke belakang dan perut menempel
pada lantai. Metode ini peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgesik non
narkotik. Selain itu, metode ini cukup sederhana, mudah dilakukan, dan cukup
peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah.
Daya analgesik dihitung dengan persamaan menurut Handershot dan Forsaith
(1959) sebagai berikut:
% penghambatan terhadap geliat = 100 – (P/K x 100%)
Keterangan:
P : jumlah geliat mencit pada kelompok perlakuan
K : rata-rata jumlah geliat mencit pada kelompok control
2.14 Kerangka Berpikir
16
BAB III
METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah aktivitas analgetik senyawa kurkuminoid dari ekstrak etanol
rimpang temulawak (curcuma xanthorrhiza.) yang diuji pada mencit jantan menggunakan
metode galiat.
3.2 Subjek Penelitian
Sampel yang digunakan pada penelitian kali ini adalah ekstrak kurkumin dari
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang diambil bagian rimpangnya. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan yaitu acak sederhana, yang berarti pengambilan
sampel dengan cara memilih langsung dari populasi dan setiap unsur mempunyai
probabilitas yang sama untuk dijadikan sampel.
3.4 Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas
Variabel bebas yaitu variabel yang dipilih dan diukur untuk menentukan adanya
suatu hubungan pada keadaan yang diteliti, variable bebas dapat mempengaruhi
variabel yang lain. Variabel bebas dalam penelitian kali ini yaitu pemberian
dosis/konsentrasi kurkuminoid dari ekstrak temulawak pada mencit yang diujikan.
b. Variabel Terikat
17
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data kuantitatif diperoleh dari penurunan jumlah geliat mencit yang telah diberi ekstak
etanol temulawak dan kurva hubungan antara dosis dan persen proteksi sehingga dihasilkan
nilai IC50. Data kualitatif digunakan untuk mengetahui efek analgetik dari ekstrak etanol
temulawak dan membandingkan dengan asetosal.
3.6 Lokasi Penelitian
a. Alat
Alat yang diperlukan pada penelitian ini adalah gunting, blender, ayakan 80 mesh,
oven, Loyang, cawan penguap, desikator, neraca analitik (kenko), penjepit kayu, gelas
arloji, erlenmeyer 500 mL (iwaki), aluminium foil, shaker incubator, gelas ukur 100
mL, beaker glass 100 mL, kertas saring, klem dan statif, pengaduk gelas, corong
Buchner, rotary evaporator, botol vial, corong pisah, pipet ukur 10 mL, bola hisap,
spatula, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet tetes, vortex, pipet ukur 5 mL, tabung
reaksi kecil, rak tabung kecil, plat silika gel F254, bejana pengembang, lampu UV 254
dan 366 nm, spektrofotometer UV-Vis
b. Bahan
Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah temulawak, etanol 70%, Na-CMC,
aquadest, asetosal, dan asam asetat, n-heksana, NaOH 5%, Kloroform , asam asetat
glacial. Hewan uji berupa mencit jantan yang berumur 2-3 bulan dengan bobot 20-
40 gram yang dibagimenjadi 5 kelompok.
18
3.8 Prosedur dan Tata Cara Penelitian
a adalah berat konstan cawan kosong; b adalah berat cawan + sampel sebelum
dikeringkan; c adalah berat konstan cawan + sampel setelah dikeringkan.
19
Serbuk rimpang temulawak ditimbang sebanyak 80 gram, lalu dimasukkan
dalam 3 Erlenmeyer 500 mL yang berbeda. Hasil penimbangan diekstraksi dengan
menggunakan 200 mL pelarut etanol 70%, tiap erlenmeyer selama 24 jam pada suhu
kamar. Pengadukan dengan bantuan shaker berkecepatan 100 rpm selama 4 jam,
kemudian disaring dengan corong buchner dan ampas yang diperoleh dimaserasi
kembali dengan pelarut yang sama sebanyak 3 kali pengulangan sampai filtrat berwarna
bening agar senyawa organik dapat terekstrak secara sempurna. Filtrat yang diperoleh
digabung menjadi satu dan dipekatkan dengan rotary evaporator vaccum untuk
menghilangkan pelarut dalam ekstrak dengan suhu 50ºC. Ekstrak etanol dipartisi
dengan metode ekstraksi cair-cair menggunakan n-heksana dengan perbandingan 1:1 (
3 x 25 mL) dengan corong pisah, didiamkan beberapa saat sampai terbentuk 2 lapisan.
Lapisan fraksi n-heksana (atas) dipisahkan dan fraksi etanol (bawah) yang diduga
mengandung senyawa kurkuminoid dipekatkan dengan rotary evaporator vaccum pada
suhu 50ºC. Ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etanol (ekstrak kasar) diuji
kualitatif kurkuminoid menggunakan reagen. Fraksi etanol kemudian ditimbang dan
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu untuk sampel uji dan sampel pemurnian. Fraksi etanol
dapat dihitung randemennya menggunakan Persamaan
Fraksi etanol yang digunakan sebagai sampel uji, disimpan dalam lemari pendingin
pada suhu 4ºC agar ekstrak tidak menjadi rusak. Kemudian fraksi etanol (ekstrak kasar
kurkuminoid) diuji aktivitas analgetiknya.
Ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etanol (ekstrak kasar) dibuat larutan
10.000 ppm. Filtrat ekstrak etanol hasil maserasi dan partisi masing-masing
dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi yang berbeda sebanyak 0,5 mL. Ekstrak hasil
maserasi pada tabung pertama, fraksi n-heksana pada tabung kedua dan ekstrak kasar
kurkuminoid pada tabung ketiga direaksikan dengan 2-3 tetes NaOH 5%. Jika ekstrak
mengandung senyawa kurkuminoid akan menghasilkan warna merah (Rinanto, dkk.,
2009).
20
Plat KLT yang digunakan adalah plat silika G 60 F254 sebagai fase diamnya
dengan ukuran 1 x 10 cm. Kemudian tepi atas bawah plat diberi penanda garis
dengan jarak 1 cm sebagai posisi penotolan sampel, dan tepi atas plat untuk
menunjukkan batas dari proses elusi. Plat silika diaktivasi dengan cara di oven pada
suhu 100 C selama 30 menit. Bejana ditambahkan masing-masing eluen Kloroform
: etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1) dengan dilakukan penjenuhan selama 1
jam dalam keadaan tertutup rapat. Ekstrak pekat fraksi etanol (ekstrak kasar)
dibuat larutan 10.000 ppm. Larutan fraksi etanol ditotolkan pada plat KLT dengan
jarak 1 cm dari tepi bawah plat. Larutan ekstrak ditotolkan menggunakan pipa
kapiler sebanyak 10 kali penotolan pada tempat yang sama, kemudian dikering
anginkan. Plat KLT yang telah ditotolkan ekstrak dilakukan elusi. Fase gerak
dalam chamber yang telah jenuh dimasukkan Plat KLT dan ditutup. Plat KLT
diangkat dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Noda-noda yang
terbentuk pada plat silika diperiksa dibawah sinar UV pada panjang gelombang
254 dan 366 nm. Noda yang tampak ditandai dengan pensil. Jika terbentuk warna
kuning atau kuning pekat, maka isolat tersebut positif kurkuminoid (Yusuf, dkk.,
2015; Azizah, dkk., 2013; Cahyono, dkk., 2011). Kemudian noda yang terbentuk
masing-masing diukur jarak tempuhnya, kemudian dihitung nilai Rf dan
resolusinya. Eluen yang menghasilkan pemisahan terbaik dengan nilai resolusi >
1,25 selanjutnya digunakan untuk keperluan preparatif.
Pemisahan pada plat KLTP menggunakan plat silika G60 F254 dengan
ukuran 10 x 20 cm. Ekstrak kurkuminoid dibuat 10.000 ppm dan ditotolkan
sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah menggunakan pipa kapiler
sebanyak 10 kali penotolan, selanjutnya dielusi menggunakan eluen pemisahan
terbaik pada plat KLTA. Noda yang berbentuk pita dihitung Rf-nya dan
dibandingkan dengan Rf hasil KLTA. Spot yang terbentuk pada permukaan plat
disinari dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm, kemudian
diamati pada masing-masing hasil nodanya kemudian dikerok dan dilarutkan
dalam etanol, selanjutnya disentrifugasi untuk mengendapkan silikanya,
dilarutkan sampai plat silika berwarna putih. Supernatan yang diperoleh diuapkan
pelarutnya dengan didiamkan dalam suhu kamar. Isolat kurkuminoid yang
diperoleh, diuji aktivitas analgetiknya.
21
3.8.6. Identifikasi Isolat Kurkuminoid Menggunakan Instrument UV-Vis
Larutan uji kurkumin dalam etanol p.a, dibuat seri kadar hingga diperoleh
serapan yang mendekati serapan larutan uji.
3.8.7.3 Penentuan Kadar Kurkumin
Kromatografi Lapis Tipis yang digunakan yaitu fase diam Silika gel 60 F254
dengan fase gerak Kloroform : etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1) dan
dideteksi di bawah lampu UV pada panjang gelombang 366 nm. Masing-masing
5 μl larutan uji dan larutan standar ditotolkan pada lempeng fasediam dan dielusi
dengan fase gerak diukur KLT-Densitometri, padapanjang gelombang 425 nm
22
geliat. Penentuan dosis asam asetat bertujuan untuk menentukan dosis efektif asam
asetat yang dapat memberikan jumlah geliat yang cukup dan mudah untuk diamati.
3.8.8.3. Pembuatan suspensi asetosal dalam CMC Na 1%
Asetosal yang akan digunakan sebagai kontrol positif dibuat dengan
menimbang secara seksama sejumlah asetosal dan disuspensikan dalam CMC Na
1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.
3.8.8.2. Penyiapan Bahan Uji
Pada proses induksi digunakan asam asetat 1 % dengan dosis 0,2 ml/20 gBB
Hewan uji berupa mencit jantan galur Swiss sebanyak 25 ekor. Hewan uji
ditimbang dengan bobot 20 – 40 gram , berumur 2-3 bulan, dan dibagi menjadi 5
kelompok, untuk setiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit yang diambil secara
acak. Kelompok tersebut terdiri dari kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan 1,
perlakuan 2, dan perlakuan Perlakuan 1, 2, dan 3 tersebut berturut-turut merupakan
kelompok hewan uji yangdiberi ekstrak temulawak dengan variasi dosis 187,5
mg/KgBB, 325 mg/KgBB, dan 750 mg/KgBB. Semua hewan uji dipelihara
dengan kondisi dan perlakuan yang sama meliputi pakan, minum, dan kandang.
Sebelum diberi perlakuan, semua hewan uji diadaptasikan terlebih dahulu dengan
kondisi yang sama dan dipuasakan terlebih dahulu selama 18-22 jam tanpa diberi
makan, hanya diberi minum saja. Hal ini bertujuan untuk mengurangi variasi
akibat adanya makanan.
3.8.8.4. Penetapan Kriteria Geliat
Respon yang diamati pada uji daya analgesik ini berupa geliat. Kriteria
geliat perlu ditetapkan untuk mendapatkan geliat yang hampir sama. Gerakan
mencit yang dianggap sebagai geliat adalah kedua kakinya ditarik ke belakang
dan tubuhnya memanjang serta pada bagian perutnya menempel pada alas tempat
berpijak
23
3.8.8.5 Penetapan selang waktu pemberian rangsang
Selang waktu pemberian rangsang ditetapkan untuk mengetahui rentang
waktu antara pemberian rangsang nyeri dengan pemberian larutan uji yang
digunakan sebagai analgesik. Diharapkan pada selang waktu tersebut, larutan uji
yang diberikan secara per oral telah mengalami absorbsi dan bila diberikan
rangsang nyeri berupa asam asetat, larutan uji dapat menimbulkan efek dan
respon geliat hewan uji akan berkurang. Rentang waktu yang diujikan adalah 5,
10, 15 menit ( interval 5 menit selama 1 jam.)
3.8.8.6 Prosedur Uji Analgetik
24
3.9 Analisis Data
Dari hasil uji fitokimia dapat diketahui kandungan dari ekstrak etanol rimpang
temulawak yang menimbulkan efek analgetik. Hasil data berupa jumlah geliat dihitung
rerata jumlah geliat untuk melihat kelompok perlakuan dalam menurunkan geliat ( Geliat
yang dihitung adalah geliat dengan ciri-ciri terjadinya kontraksi otot perut dengan
gerakan peregangan dari anggota badan ke belakang yaitu tarikan kaki ke belakang, serta
terjadinya perluasan seluruh tubuh ) , menghitung persen proteksi (dihitung dengan cara
membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok uji terhadap kelompok kontrol
negative ) dan menghitung persentase efektivitas analgetik bahan uji (dengan
membandingkan persen proteksi kelompok bahan uji terhadap persen proteksi kelompok
kontrol positif yaitu asetosal) dan menghitung nilai IC50 dengan menggunakan kurva
persamaan antara dosis vs rerata jumlahgeliat. Setelah itu data dianalisis menggunakan
uji normalitas,homogenitas, Jika data terdistribusi normal dan variansi homogen maka
dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% dan uji
independent- T test untuk melihat perbedaan antar kelompok tersebut bermakna (p<0,05)
atau tidak bermakna (p > 0,05). Suatu obat dikatakan mempunyai aktivitas analgetik bila
mampu menurunkan jumlah geliat mencit ≥ 50 % dari jumlah geliat pada perlakuan
kontrol negative, semakin besar persen proteksi dan persen efektivitas maka efek
analgetik semakin besar (KKI, 1991)
25
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia Pustaka
Susila, K.A., Tellu, A.T., Tangge, L. 2017. Jenis dan Pemanfaatan Tanaman Obat di
Desa Tinading dan Pengembangannya sebagai Media Pembelajaran. e-JIP
BIOL, 5 (2), 60-70.
Tjay, H.T. Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting,Khasiat, penggunaan dan Efek-efek
sampingnya, Edisi IV, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
27