Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL TEKNOLOGI SEDIAAN BAHAN ALAM

EFEKTIVITAS KURKUMINOID DARI EKSTRAK ETANOL 70%


RIMPANG TEMULAWAK (CURCUMA XANTHORRHIZA.)
TERHADAP EFEK ANALGETIK PADA MENCIT JANTAN DENGAN
METODE GELIAT

Disusun Oleh :

1. Rian Wahyu Fitriana (1041811103)


2. Rike Yuni Melati (1041811108)

3. Salsiyah Romdoni (1041811116)


4. Septi Kumala Dewi (1041811117)

KELOMPOK 11

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI


SEMARANG

2021
1
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 5

1.3 Batasan Masalah ................................................................................................................. 6

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 6

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................... 8

2.1 Tinjauan Tanaman Temulawak .......................................................................................... 8

2.2 Pemanfaatan Temulawak Secara Empiris .......................................................................... 8

2.3 Senyawa Kimia Pada Temulawak...................................................................................... 8

2.4 Senyawa Kurkuminoid .................................................................................................... ..9

2.5 Pengeringan ................................................................................................................... 10

2.6 Metode Pemisahan Senyawa Kurkuminoid .................................................................... 11

2.6.2 Ekstraksi Maserasi……………………………………………………………….11

2.6.2 Ekstraksi Cair-Cair…………………………………………………………...…11

2.6.3 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ………………………………………………12


2.7 Uji Fitokimia Kurkuminoid .............................................................................................. 13

2.8 Uji Identifikasi Senyawa Kurkuminoid Dengan Spektrofotometri Uv-Vis ...................... 13

2.9 Tinjauan Tentang Nyeri .................................................................................................... 13

2.10 Tinjauan Tentang Mekanisme Nyeri……………………………………………………13

2.11 Tinjauan Tentang Analgetik…………………………………………………………….14

2.12 Tinjauan Tentang Asetosal………………………………………………………...…....15

2.13 Metode Pengujian Daya Analgesik……………………………………………………..15

2
2.13.1 Metode Geliat…………………………………………………………………….15

2.14 Kerangka Berpikir ............................................................................................................ 15

2.15 Hipotesis .......................................................................................................................... 16

BAB 3 METODELOGI PENELITIAN ............................................................................... 17

3.1 Objek Penelitian ................................................................................................................. 17

3.2 Subjek Penelitian .............................................................................................................. 17

3.3 Sampel dan Teknik Sampling ............................................................................................ 17


3.4 Variabel Penelitian ............................................................................................................. 17

3.5 Teknik Pengumpulan Data................................................................................................. 18

3.6 Lokasi Penelitian................................................................................................................ 18

3.7 Alat dan Bahan................................................................................................................... 18

3.8 Prosedur Dan Tata Cara Penelitian .................................................................................... 19

3.8.1 Preparasi Sampel…………………………………………………………....…...…19

3.8.2 Pengujian Parameter Non Spesifik……………………………...……………….....19

3.8.3 Prosedur Ekstraksi Denga Metode Maserasi Dan Ekstraksi Cair-Cair…......…...…19

3.8.4 Uji Fitokimia Ekstrak Temulawak………………………………………...……….20

3.8.5 Pemisahan Senyawa Kurkuminoid dengan KLT………………………………..…21

3.8.5 Identifikasi Isolat Kurkuminoid Dengan Spektrofotometri Uv-Vis………………..22

3.8.6 Penetapan Kadar Kurkumin ……………………………………………..……....…22

3.8.7 Uji Aktivitas Analgetic………………………………………..……………………22

3.9 Analisis Data ...................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 26

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan jenis tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan obat. Dibuktikan dengan bangsa Indonesia yang telah lama
melakukan berbagai penyembuhan penyakit secara tradisional dengan menggunakan
sebagian atau seluruh tanaman yang telahdilakukan sejak dahulu, dan diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Indonesia banyak yang menggunakan
tanaman sebagai bahan obat, karena banyak orang beranggapan bahwa obat tradisional
relatif lebih aman dibandingkan obat sintetis dan tidak memiliki efek samping yang
merugikan bila penggunaannya kurang tepat. Meskipun demikian masih perlu diketahui
mengenai informasi yang memadai tentang kelebihan dan kelemahan. Salah satu contoh
tanaman yang digunakan sebagai bahan pengobatan yaitu Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) (Afifah, E. 2003 )
Temulawak telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai pewarna,
bahan pangan, obat tradisional, memelihara kesehatan dan juga sebagai bahan obat seperti
kurang nafsu makan, sembelit, ambeien, jerawat, diare, obat kejang-kejang, untuk
menghancurkan batu empedu, untuk mengobati pengobatan penyakit ginjal dan hati, obat
pegal linu, reumatik, radang sendi, dan dalam bentuk segar, rebusan, seduhan maupun
serbuk digunakan untuk mengobati sariawan dan keputihan.( Sidik. 1985 )
Pengujian khasiat rimpang temulawak dapat diketahui melalui bukti empiris melalui
pengujian secara in vitro, pengujian praklinis kepada binatang dan uji klinis terhadap
manusia (BPOM 2004). Menurut berbagai penelitian, senyawa aktif kurkumin di dalam
temulawak memiliki efek sebagai analgetik karena dapat menghambat kerja enzim
siklooksigenase yang menyebabkan asam arakidonat tidak dapat berubah menjadi
prostaglandin . Hal ini dibuktikan pada penelitian sebelumnya, dimana kurkumin dapat
menjadi agen analgetik pada penyembuhan nyeri di sumsum tulang belakang. Selain
mengandung kurkumin, temulawak juga mengandung sejenis minyak atsiri, yaitu
phellandreen, kamfer, glukosida, turmerol, myrcene, xanthorrizol, safuranogermacrene, p-
tolyletycarbinol, dan zat tepung .( Tjay, H.T. Rahardja, K., 2007)
Temulawak adalah salah satu jenis tanaman yang dilaporkan berkhasiat sebagai
analgetika. Ekstrak metanol temulawak yang diberikan secara per oral pada tikus
percobaan, dinyatakan dapat menekan rasa sakit yang diakibatkan oleh injeksi asam asetat.
4
Minyak atsiri mampu menghambat rangsang nyeri pada SSP dan perifer yaitu sebesar
(26,85±2,73%) dan (75,08±0,86%), sedangkan kurkuminoid hanya mampu menghambat
rangsang nyeri perifer yaitu sebesar (44,80±1,46%) tanpa mampu melakukan
penghambatan nyeri di daerah SSP. Kombinasi minyak atsiri rimpang temulawak dan
kurkuminoidnya memiliki efek analgetik pada mencit. Adapun penghambatan nyerinya
pada SSP dan perifer yaitu sebesar (42,16±2,53%) dan (67,56±0,59%). Fase nyeri yang
dihambat oleh campuran (minyak atsiri dengan kurkuminoid) yaitu pada fase I (SSP) dan
II (perifer). Pada minyak atsiri penghambatan nyeri juga terjadi pada SSP dan perifer.
Kurkumin dari temulawak dapat diambil dengan menggunakan cara ekstraksi,
ekstraksiadalah istillah yang digunakan untuk operasi dimana suatu konstituen padat atau
cair dipindahkan dicairan lainnya dimana solven yang digunakan adalah etanol. Etanol
memiliki sifat yang sama seperti methanol, tetapi etanol tidak beracun seperti methanol.
Kegunaan etanol yaitu sebagai pelarut, perfume, serat sintesis, bahan bakar, untuk membuat
obat (tonikum), desinfektan, dan minuman keras. ( Tjay, HR. Rahardja.K,2007)
Berdasar penelitian yang lain, rimpang temulawak juga memiliki beberapa efek
farmakologi seperti, hepatoprotektor, antiinflamasi, antidiare, antimalaria,
imunomodulator, dan antikanker . Selain itu juga telah ditemukan efek farmakologi
rimpang temulawak sebagai antipiretik, antinoiceptive, dan analgetik. Analgetik atau obat
penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Obat analgetik yang biasa digunakan salah satunya adalah
asetosal. Asetosal merupakan obat turunan asam salisilat yang biasa digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri . Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efek analgetik dari temulawak dalam ekstrak etanol serta
membandingkan efektivitasnya dengan asetosal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut :
1. Apakah kurkumidoid dalam ekstrak etanol 70% rimpang temulawak (curcuma
xanthorrhiza) memiliki aktivitas analgetik ?
2. Berapa dosis efektif ekstrak etanol 70% rimpang temulawak dan seberapa efektifnya
bila dibandingkan dengan asetosal ?

5
1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dapat dirumuskan


permasalahan sebagai berikut :
1. Waktu untuk ekstraksi kurkumin dalam tanaman temulawak adalah selama 2 jam

2. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 70%

3. Rasio perbandingan 50 gram temulawak parut (halus) : 100 ml etanol, karena


kemampuan solven untuk melarutkan semakin besar.
4. Melakukan pengujian analgetik dengan metode geliat pada mencit jantan

5. Menggunakan temulawak halus, karena luas permukannya besar

6. Penelitian ini digunakan 25 kor mencit jantan yang berumur 2-3 bulan dengan bobot
20-40 gram
7. Konsentrasi pemberian pada mencit jantan berdasarkan kelompok terdiri dari kelompok
kontrol negatif yang diberi Na-CMC 1%, kelompok kontrol positif yang diberi asetosal
dengan dosis 65 mg/KgBB, kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 yang diberi ekstrak etanol
temulawak berturut-turut dengan dosis 187,5 mg/KgBB, 325 mg/KgBB, dan 750
mg/KgBB.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas kurkuminoid dari ekstrak etanol 70% rimpangtemulawak


(Curcuma xanthoriza Roxb) terhadap efek analgetik pada mencit jantan
2. Untuk mengetahui dosis efektif ekstrak etanol 70% rimpang temulawak (Curcuma
xanthoriza Roxb) dan seberapa efektifnya bila dibandingkan dengan asetosal.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa ekstrak etanol temulawak

(Curcuma xanthoriza Roxb) mempunyai aktivitas analgesik.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta


memperkaya data ilmiah tentang penggunaan analgetik alami dari tumbuhan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada para penderita nyeri untuk
menggunakan tanaman temulawak sebagai salah satu pilihan dalam pengobatannya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tanaman Temulawak

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Temulawak

Klasifikasi Temulawak antara lain sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae.
Kelas : Monocotyledonae.

Ordo : Zingiberales.
Keluarga : Zingiberaceae.
Genus : Curcuma.
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb
( Gambar 1. Curcuma xanthorrhiza)

2.1.2 Morfologi Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) termasuk dalam suku temu-temuan


(Zingiberacea) yang banyak ditemukan daerah tropis. Temulawak juga berkembang
biak terutama pada tanah yang gembur agar menjadi besar. Selain di dataran rendah,
temulawak juga dapat tumbuh sampai pada ketinggian tanah 1.500 meter di atas
permukaan laut. Temulawak adalah bahan baku obat tradisional yang banyak
digunakan dari keluarga Zingiberaceae.
Temulawak merupakan tanaman berbatang semu dengan bunga yang eksotis
berwarna putih kemerahan dan memiliki rimpang relatif besar dengan warna irisan
rimpang kuning cerah. Temulawak dapat tumbuh di daerah tanah gembur hutan tropis
dengan ketinggian 5-1500 mreter dpl, tanah kering, perkarangan, ladang, dan padang
alang-alang (Kementrian Kesehatan RI, 2011)
Tinggi tanaman temulawak dapat mencapai 2 meter. Temulawak memiliki daun
2-9 helai, berwarna hijau, berbentuk bulat memanjang, panjang 31- 84 cm, dan lebar
10-18 cm. Bunga temulawak termasuk tipe majemuk berbentuk bulir, bulat panjang,
panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, perbungaan termasuk tipe exantha (bunga keluar
langsung dari rimpang), mahkota bunga berwarna merah, dan bunga mekar pada pagi
hari dan pada sore hari layu (Dalimartha, S,2000).
7
2.2 Pemanfaatan Temulawak Secara Empiris

Temulawak telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai


pewarna,bahan pangan, obat tradisionaL (Hartati F,K., Djauhari A,B.,2017)
memelihara kesehatan dan juga sebagai bahan obat seperti kurang nafsu makan,
sembelit, ambeien, jerawat, diare, obat kejang-kejang (Sudarsi E,1993), untuk
menghancurkan batu empedu (De Haan, 1949), untuk mengobati pengobatan penyakit
ginjal dan hati (Heyne, K, 1987), obat pegal linu, reumatik, radang sendi (Susila, K.A.,
dkk,2017) dan dalam bentuk segar, rebusan, seduhan maupun serbuk digunakan untuk
mengobati sariawan dan keputihan (Adila, R., Nurmiati., Agustien,
A.,2013).Temulawak bersama dengan brotowali dan sambiloto digunakan dapat juga
digunakan sebagai obat lambung (Sari, N., Wahidah, B.F., Gaffar, N. (2017).
2.3 Senyawa Kimia pada Temulawak
Temulawak terdiri dari beberapa komponen metabolit baik primer maupun
sekunder. Komponen utama yang terkandung dalam rimpang temulawak yaitu 48-59,64
% zat tepung, 1,6-2,2 % kurkumin dan 1,48- 1,63 % minyak asiri dan dipercaya dapat
meningkatkan kerja ginjal serta antiinflamasi (Anonim, 2004 dalam Istafid 2006).
Berikut table komposisi kandungan kimia pada rimpang temulawak dan khasiat untuk
kesehatan :
No. Kandungan Khasiat untuk Kesehatan
Kimia
1. Zat tepung Meningkatkan kerja ginjal,
2. Kurkumin acnevulgaris,antiinflamasi (antiradang),

3. Minyak asiri antihepatotoksik (antikeracunan empedu),


antikolestrol, anemia, antioksidan,
4. Kurkuminoid
antikanker, antimikroba, sakit limpa, asma,
5. Fellandrean
produksi ASI, meningkatkan nafsu makan,
6. Turmerol obat jerawat, sakit pinggang, sakit kepala,
7. Kamfer sakit cangkrang, cacar air, sariawan, asma,

8. Glukosida sakit perut waktu haid.

9. Foluymetik

10. Karbinol
Tabel 1. Komposisi Kandungan Kimia Temulawak dan Manfaatnya

8
Peningkatan penggunaan temulawak dalam industri obat-obatan memerlukan
teknik pengolahan yang baik sehingga mutunya dapat meningkat. Mutu ekstrak
dipengaruhi oleh teknik ekstraksi, kehalusan bahan, jenis pelarut, lama ekstraksi,
konsentrasi pelarut, nisbah bahan dengan pelarut, proses penguapan pelarut, pemurnian
dan pengeringan (Bombaderlli, 1991; Vijesekera, 1991 dalam Sembiring dkk., 2006).
Dan menurut Srijanto dkk., 2004 kandungan rimpang temulawak kering adalah sebagai
berikut :
Komposisi Senyawa Kadar (%)
Air 15,59
Abu 3,77
Kurkumin 2,43
Lemak 7,74

Minyak atsiri Tr
Protein 10,87
Pati 60,09
Tabel 2. Kandungan Rimpang temulawak Kering
2.4 Senyawa Kurkuminoid
Kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri dari campuran
komponen senyawa yang bernama kurkumin dan desmetoksi kurkumin, mempunyai
warna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, larut dalam
aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkumin tidak larut dalam
air dan dietileter. Kurkuminoid mempunyai aroma khas, tidak bersifat toksik (Kiso, 1985
dalam Kiswanto, 2009) Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 (Bobot molekul
= 368).

Gambar 2. Struktur Kurkumin

9
Sifat kimia kurkuminoid yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat
perubahan pH lingkungan. Dalam susana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau
kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa berwarna merah. Keunikan lain terjadi
pada sifat kurkumin dalam suasana basa, karena selain terjadi proses disosiasi, pada
suasana basa kurkumin dapat mengalami degradasi membentuk asam ferulat dan
ferulloilmetan. Degradasi ini terjadi bila kurkumin berada dalam lingkungan pH 8,5 –
10,0 dalam waktu yang relatif lama, walaupun hal ini tidak berarti bahwa dalam waktu
yang relatif singkat tidak terjadi degradasi kurkumin, karena proses degradasi sangat
dipengaruhi juga oleh suhu lingkungan. Salah satu hasil degradasi, yaitu feruloilmetan
mempunyai warna kuning coklat yang akan mempengaruhi warna merah yang
seharusnya terjadi. Sifat krukuminoid lain yang penting adalah aktivitasnya terhadap
cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi
kurkumin atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karsen, 1985 dalam Kiswanto,
2009).
Kurkuminoid merupakan unsur non zat gizi yang mempunyai sifat atau
karakteristik yaitu senyawa khas dari kurkumin (flavour) yang berwarna kuning dan
bersifat aromatik, terdiri dari campuran kurkumin, desmetoksikurkumin, dan
bidesmetoksikurkumin sehingga apabila digunakan dalam makanan atau minuman dapat
berfungsi sebagai pewarna makanan atau minuman yaitu memberikan warna kuning
sekaligus aroma, bau dan rasa khas pada makanan dan minuman. Sedangkan dalam
bidang kesehatan, kurkuminoid bermanfaat sebagai senyawa antioksidan yang dapat
menangkal atau melokalisir radikal bebas (karsinogenik) akibat mengkonsumsi makanan
yang kurang sehat, sehingga kurkuminoid mempunyai efek antirematik dalam
pengobatan secara tradisional. (Istafid, 2006 dalam Kiswanto, 2009).
Menurut Bone, K. dan Mills, S. (2000), dalam rimpang kunyit terdapat kurkumin
yang mempunyai kemampuan menghambat produksi prostaglandin dan leukotrien
sebagai mediator nyeri. Berdasarkan penelitian Bengmark, S. (2006) diperoleh bahwa
kurkumin memiliki kemampuan untuk menghambat aktivasi mediator nyeri yaitu
melalui ikatan dengan enzim siklooksigenase-2 dan lipooksigenase, sehingga perubahan
asam arakhidonat menjadi eicosanoid sebagai mediator kimiawi tidak terjadi. Oleh
karena itu, rangsang nyeri dapat dihambat dan rasa nyeri dapat ditekan.
2.5 Pengeringan
Pengeringan dilakukan manusia sebagai suatu usaha pengawetan dalam tahapan
proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air

10
yang terkandung dalam bahan pangan sekaligus menurunkan aktivitas air (aw). Dengan
menurunnya jumlah air bebas hingga mendekati nol, maka pertumbuhan
mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan terhenti.
Sehingga umur simpan (shelf life) bahan pangan akan lebih panjang (Ananingsih, 2007).
Pengeringan rimpang temulawak secara langsung dengan sinar matahari dilakukan
selama 3 - 5 hari, atau setelah kadar airnya maksimum 12 %. Pengeringan dapat
dilakukan diatas tikar atau rangka pengering, dan rimpang tidak boleh saling menumpuk.
Selama pengeringan harus dibolak-balik kira-kira setiap 4 jam sekali agar pengeringan
merata. Lindungi rimpang tersebut dari air, udara yang lembab dan dari bahan-bahan
disekitarnya yang bisa mengkontaminasi. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang
yang dihasilkan.
Perajangan dapat dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Menurut
Nugroho dkk., 2008 ketebalan rimpang temulawak yang digunakan untuk pengeringan
sekitar 5 -7 mm dan menurut Sembiring dkk., 2006, rimpang yang digunakan untuk
proses pengeringan memiliki ketebalan sekitar 6-7 mm. Sedangkan menurut Rahardjo
dan Otih Rostiana 2005, rimpang yang digunakan untuk proses pengeringan diiris
membujur dengan ketebalan 2 -3 mm.
2.6 Metode Pemisahan Kurkuminoid
2.6.1. Ekstraksi Maserasi
Prinsip maserasi yaitu perendaman serbuk simplisia ke dalam cairan
pelarut. Dinding sel tanaman yang mengandung zat aktif akan ditembus oleh
pelarut mengakibatkan perbedaan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel
sehingga larutan terpekat berupa filtrat hasil maserasi akan didesak ke luar.
Larutan di dalam dan di luar sel akan terjadi keseimbangan konsentrasi setelah
terjadi perbedaan konsentrasi secara berulang. Keseimbangan dan derajat
perbedaan konsentrasi yang kecil antara larutan di dalam dan di luar sel dilakukan
pengadukan (Baraja, 2008). Syarat pemilihan jenis pelarut yaitu tidak berbahaya
atau beracun, mempunyai daya larut yang tinggi, dan titik didih kedua bahan tidak
boleh terlalu dekat (Bernasconi, dkk., 1995). Penelitian Oktaviani (2010)
menunjukkan ekstraksi temulawak menggunakan metode maserasi dengan
pelarut etanol 96% menunjukkan kadar kurkuminoid sebesar 0,422%.
2.6.2. Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair–cair atau partisi merupakan metode ekstraksi yang
didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua

11
pelarut yang tidak saling bercampur, sebagian komponen larut pada fase pertama
dan sebagian larut pada fase kedua. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah
memiliki kepolaran yang sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah
secara pengocokan yang ditandai dengan terbentuknya dua lapisan yang tidak
saling campur (Khopkar, 2008). Dewi, dkk. (2010) menyatakan bahwa
penggunaan ekstraksi cair-cair mempunyai beberapa kelebihan yaitu komponen
bioaktif dapat diperoleh secara spesifik dan waktu yang secara singkat. Penelitian
Nurcholis, dkk. (2015) menunjukkan kurkuminoid diperoleh dengan ekstraksi
secara bertahap menggunakan ekstraksi cair-cair dengan pelarut n-heksana
menggunakan perbandingan 1:1. Penelitian Sari, dkk. (2013) menunjukkan kadar
total kurkuminoid lebih besar yaitu sebesar 22,14%, sedangkan tanpa defatisasi
sebesar 14,29% dengan menggunakan pelarut n-heksana untuk menghilangkan
lemak dan senyawa non polar lainnya. Penelitian Rismayani, dkk. (2016)
menunjukkan bahwa kurkuminoid dapat diperoleh menggunakan metode
maserasi 96% kemudian difraksinasi bertingkat menggunakan pelarut air dan
kloroform.
2.6.3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi planar yang mempunyai lapisan seragam dengan penyerap
berukuran kecil disebut Kromatografi Lapis Tipis. Penyerap tersebut merupakan
fase diam dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Ukuran penyerap yang
semakin kecil menunjukkan kinerja KLT yang semakin baik dengan ditunjukkan
hasil resolusinya. Silika gel dan serbuk selulosa merupakan contoh penyerap yang
menggunakan mekanisme adsorpsi dan partisi (Rohman, 2007).
Eluen (fase gerak) merupakan pelarut pengembang dengan kemurnian yang
sangat tinggi untuk memaksimalkan pemisahan, sehingga akan mempengaruhi daya
elusi fase gerak (Rf) pada rentang 0,2-0,8. Identifikasi pemisahan komponen dapat
dilakukan dengan radiasi UV, fluoresensi atau pereaksi warna. Bercak yang
terbentuk merupakan penentuan komponen yang akan ditentukan (Rohman, 2007).
Penelitian Ati, dkk. (2006) isolasi kurkuminoid menggunakan pelarut aseton dan
etanol dengan perbandingan (3:7) menunjukkan adanya kurkuminoid. Hasil nilai Rf
pada isolat kurkumin sebesar 0,29-0,37 yang ditandai dengan warna kuning,
bisdemethoxycurcumin 0,09-0,10 yang ditandai dengan warna kuning kecoklatan,
demethoxycurcumin 0,11-0,15 yang ditandai dengan warna kuning muda.

12
2.7 Uji Fitokimia Kurkuminoid
Uji fitokimia merupakan uji senyawa aktif dalam tumbuhan. Senyawa aktif
yang terkandung dalam tumbuhan dapat dalam bentuk metabolit sekunder seperti
flavonoid, tanin, alkaloid, triterpenoid, steroid, saponin, dan lain-lain. Penelitian
Rinanto, dkk. (2009) Uji kurkuminoid menggunakan reaksi warna dengan
penambahan NaOH 5% dan pereaksi asam sulfat: alkohol 95% (1:1) menunjukkan
adanya kurkuminoid yang ditandai dengan warna merah dan merah jingga.
Penelitian Rismayani, dkk. (2016) menunjukkan adanya kurkuminoid menggunakan
pereaksi asam HCl dan pereaksi basa boraks didapatkan warna kuning dan merah
kecoklatan.
2.8 Identifikasi Kurkuminoid dengan Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis adalah suatu alat atau instrumen untuk mengukur
transmisi atau absorben dengan prinsip interaksi antara sinar UV atau visible,
sehingga terjadi transisi tingkat elektronik suatu molekul antara orbital ikatan
(bonding) dengan orbital non ikatan (anti bonding) yang dapat diukur dengan energi
yang merambat berupa panjang gelombang dengan satuan nanometer (nm) (Panji,
2012). Penelitian Revathy, dkk. (2011). Identifikasi kurkuminoid pada temulawak
menggunakan panjang gelombang 420 nm menunjukkan adanya kurkumin,
demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Penelitian Ati, dkk. (2006)
menunjukkan bahwa kurkuminoid mempunyai panjang gelombang maksimum
masing-masing 426 nm pada kurkumin, 424 nm pada demetoksikurkumin, dan 416
nm pada bisdemetoksikurkumin.
2.9 Tinjauan Tentang Nyeri
Menurut Roach, S. S. (2004), nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional
yang tidak enak dan berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri bersifat individu
dan ambang nyeri pada setiap orang berbeda-beda. Nyeri timbul jika rangsang
mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai
ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan
mediator nyeri yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri (Mutschler, 1999).
2.10 Tinjauan Tentang Mekanisme Nyeri

Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui
suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). karena itu menyebabkan
kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri (mediator
13
nyeri) dan menyebabkan perangsang reseptor nyeri.
Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin (5- HT),
bradikinin, prostaglandin (PG) dan ion kalsium. Zat-zat ini dapat menyebabkan
reaksi radang dan kejang dari jaringan otot yang selanjutnya mengaktifkan reseptor
nyeri. Sinyal elektrokimia ini lalu merangsang reseptor yang letaknya pada ujung-
ujung sarafbebas di kulit, selaput lendir dalam jaringan lain, dan ujung saraf. Pintu
ini mengatur sinyal yang masuk dan meneruskannya ke bagian otak yang berkaitan
dengan emosi, memori dan pusat nyeri di dalam otak besar,yaitu nukleus amigdalus,
hipothalamus, thalamus dan korteks, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri.
Melalui lintasan balik, otak kemudian mengatur proses sinyal nyeri di sumsum
tulang belakang dan melepaskan analgetik inter yang disebut endorfin
(Rahman,1996).
2.11 Tinjauan Tentang Analgetik

Analgetik atau obat-obat penghilang nyeri adalah obat-obat yang mengurangi


atau melenyapkan rasa tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay,1986). Analgetik
adalahsenyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau menekan rasa nyeri,
tanpa memiliki kerja anestesi umum.

Menurut Roach, S. S. (2004), obat yang digunakan dalam mengatasi nyeri


terdiri dari dua kelompok yaitu analgetika non-narkotik dan analgetika narkotik.
1. Analgetika non-narkotik
Obat-obat ini meringankan rasa nyeri tanpa menurunkan kesadaran dan
tidak menyebabkan ketergantungan seperti penggunaan analgetika
narkotik. Analgetika non-narkotik terdiri dari senyawa golongan salisilat,
non-salisilat (seperti asetaminophen), dan nonsteroidal anti-inflamatory
drugs (NSAIDs). Obat ini digunakan untuk mengatasi nyeri ringan hingga
sedang (Roach, S. S., 2004). Tinjauan Tentang Penggolongan Analgetik
2. Analgetika narkotik
Analgetik narkotik disebut juga opioida, adalah zat yang bekerja
terhadap reseptor opioid khas di sistem saraf pusat, hingga persepsi nyeri
dan respons emosional terhadap nyeri berkurang (Tjay dan Rahardja,
2002).

14
2.12. Asetosal
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
merupakan analgesik, anti inflamasi, antipiretik, dan inhibitor agregasi platelet.
Aspirin menghambat sintesis prostaglandin, melalui asetilasi. Asetosal menghambat
enzim siklooksigenase dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan akan
terganggu, sehingga rasa nyeri dapat berkurang (Dollery, C., 1999)
2.13. Metode Pengujian Daya Analgesik
Pengujian daya analgesik dapat menggunakan berbagai metode. Menurut
Turner (1965) metode pengujian daya analgesik berdasarkan jenis analgesiknya ada
dua golongan, yaitu golongan analgesik narkotika dan analgesik non narkotika.
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi
pada hewan uji (mencit, tikus, marmot) (Anonim, 1991).
2.13.1 Metode Geliat ( Metode Rangsang Kimia )
Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang diberikan
secara intraperitoneal pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada
selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk menimbulkan rasa
nyeri yaitu fenilkuinon. Respon mencit terhadap rangsang nyeri ini berupa geliat
yaitu kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki ke belakang dan perut menempel
pada lantai. Metode ini peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgesik non
narkotik. Selain itu, metode ini cukup sederhana, mudah dilakukan, dan cukup
peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah.
Daya analgesik dihitung dengan persamaan menurut Handershot dan Forsaith
(1959) sebagai berikut:
% penghambatan terhadap geliat = 100 – (P/K x 100%)
Keterangan:
P : jumlah geliat mencit pada kelompok perlakuan
K : rata-rata jumlah geliat mencit pada kelompok control
2.14 Kerangka Berpikir

Rimpang temulawak memiliki banyak khasiat bagi tubuh baik


berdasarkan pengalaman maupun hasil penelitian. Salah satu khasiat tersebut
yaitu analgetik.
Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau
15
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi
kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetik dibedakan dalam dua
kelompok yaitu analgetik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat
(hipoanalgetika, kelompok opiat) dan analgetik yang bersifat lemah (sampai
sedang) bekerja terutama pada perifer (Mutscher, 1991).
2.15. Hipotesis

1. Ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza) memiliki


potensisebagai analgetik.
2. Terdapat senyawa metabolit sekunder dalam rimpang temulawak (Curcuma
xanthorrhiza) yang dapat memberikan efek analgetik.
3. Ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza) memiliki
potensianalgesik yang setara dengan asetosal.

16
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah aktivitas analgetik senyawa kurkuminoid dari ekstrak etanol
rimpang temulawak (curcuma xanthorrhiza.) yang diuji pada mencit jantan menggunakan
metode galiat.
3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mencit jantan


3.3 Sampel dan Teknik Sampling

Sampel yang digunakan pada penelitian kali ini adalah ekstrak kurkumin dari
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang diambil bagian rimpangnya. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan yaitu acak sederhana, yang berarti pengambilan
sampel dengan cara memilih langsung dari populasi dan setiap unsur mempunyai
probabilitas yang sama untuk dijadikan sampel.
3.4 Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

Variabel bebas yaitu variabel yang dipilih dan diukur untuk menentukan adanya
suatu hubungan pada keadaan yang diteliti, variable bebas dapat mempengaruhi
variabel yang lain. Variabel bebas dalam penelitian kali ini yaitu pemberian
dosis/konsentrasi kurkuminoid dari ekstrak temulawak pada mencit yang diujikan.
b. Variabel Terikat

Variabel bebas yaitu variabel yang diteliti apakah menunjukkan adanya


pengaruh dari perlakuan variable bebas. Variabel terikat pada penelitian kali ini adalah
efek analgetik senyawa kurkuminoid rimpang temulawak (curcuma xanthorrhiza.)
c. Variabel Terkontrol
Variabel terkontrol yaitu variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan
sehingga hubungan antara variable bebas dan terikat tidak dipengaruhi oleh factor luar
yang tidak diteliti (digunakan untuk membandingkan melalui penelitian eksperimen).
Variabel terkontrol yang digunakan pada penelitian kali ini adalah mencit jantan
berumur 2-3 bulan dengan bobot 20-40 gram.

17
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data kuantitatif diperoleh dari penurunan jumlah geliat mencit yang telah diberi ekstak
etanol temulawak dan kurva hubungan antara dosis dan persen proteksi sehingga dihasilkan
nilai IC50. Data kualitatif digunakan untuk mengetahui efek analgetik dari ekstrak etanol
temulawak dan membandingkan dengan asetosal.
3.6 Lokasi Penelitian

Dalam penulisan proposal penelitian ini penulis melakukan penelitian di Laboratorium


Sekolah Tinggi IlmuFarmasi Yayasan Pharmasi Semarang.

3.7 Alat dan Bahan

a. Alat

Alat yang diperlukan pada penelitian ini adalah gunting, blender, ayakan 80 mesh,
oven, Loyang, cawan penguap, desikator, neraca analitik (kenko), penjepit kayu, gelas
arloji, erlenmeyer 500 mL (iwaki), aluminium foil, shaker incubator, gelas ukur 100
mL, beaker glass 100 mL, kertas saring, klem dan statif, pengaduk gelas, corong
Buchner, rotary evaporator, botol vial, corong pisah, pipet ukur 10 mL, bola hisap,
spatula, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet tetes, vortex, pipet ukur 5 mL, tabung
reaksi kecil, rak tabung kecil, plat silika gel F254, bejana pengembang, lampu UV 254
dan 366 nm, spektrofotometer UV-Vis

b. Bahan

Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah temulawak, etanol 70%, Na-CMC,
aquadest, asetosal, dan asam asetat, n-heksana, NaOH 5%, Kloroform , asam asetat
glacial. Hewan uji berupa mencit jantan yang berumur 2-3 bulan dengan bobot 20-
40 gram yang dibagimenjadi 5 kelompok.

18
3.8 Prosedur dan Tata Cara Penelitian

3.8.1 Preparasi Sampel

Sampel rimpang temulawak ±1,5 kg diambil, dicuci hingga bersih, dipotong


kecil-kecil lalu dikeringkan. Sampel dikeringkan dengan pemanasan menggunakan
oven pada suhu 60 C selama 5 jam. Kemudian menghaluskan sampel yang sudah
kering menggunakan dengan blender hingga halus (serbuk) dan diayak dengan
ukuran 60 mesh agar terbentuk serbuk yang seragam. Serbuk yang diperoleh
merupakan sampel penelitian yang kemudian ditentukan kadar airnya
3.8.2 Pengujian Parameter Non-Spesifik Ekstrak
Pengujian parameter standard ekstrak dilakukan sesuai acuan Badan POM dan
hasilnya dibandingkan dengan persyaratan yang tertera pada buku Monografi
Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia yang bertujuan untuk membandingkan hasil
pengujian parameter non spesifik antara ekstrak etanol dan ekstrak terpurifikasi.
Kadar Abu Total

Sampel ditimbang sebanyak 2 g kemudian dimasukkan ke dalam krus silikat


yang telah dipijar dan ditara.Bahan uji dipijar perlahan hingga arang habis,
dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur pada suhu 600 oC sampai
pengabuan sempurna, didinginkan, dan ditimbang.Tahap pembakaran dalam
tanur diulang hingga didapatkan berat konstan.
a. Kadar air

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 60 menit.


Selanjutnya cawan didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, kemudian
ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam cawan
dan dikeringkan di dalam oven selama 3 jam pada suhu 105 oC. Setelah itu,
cawan didinginkan dalam eksikator sekitar 30 menit kemudian ditimbang
sampai diperoleh bobot konstan. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan (triplo).
Kadar air = (b-a) / (b-c) x 100

a adalah berat konstan cawan kosong; b adalah berat cawan + sampel sebelum
dikeringkan; c adalah berat konstan cawan + sampel setelah dikeringkan.

3.8.3. Prosedur Ekstraksi Dengan Metode Maserasi Dan Ekstraksi Cair-Cair

19
Serbuk rimpang temulawak ditimbang sebanyak 80 gram, lalu dimasukkan
dalam 3 Erlenmeyer 500 mL yang berbeda. Hasil penimbangan diekstraksi dengan
menggunakan 200 mL pelarut etanol 70%, tiap erlenmeyer selama 24 jam pada suhu
kamar. Pengadukan dengan bantuan shaker berkecepatan 100 rpm selama 4 jam,
kemudian disaring dengan corong buchner dan ampas yang diperoleh dimaserasi
kembali dengan pelarut yang sama sebanyak 3 kali pengulangan sampai filtrat berwarna
bening agar senyawa organik dapat terekstrak secara sempurna. Filtrat yang diperoleh
digabung menjadi satu dan dipekatkan dengan rotary evaporator vaccum untuk
menghilangkan pelarut dalam ekstrak dengan suhu 50ºC. Ekstrak etanol dipartisi
dengan metode ekstraksi cair-cair menggunakan n-heksana dengan perbandingan 1:1 (
3 x 25 mL) dengan corong pisah, didiamkan beberapa saat sampai terbentuk 2 lapisan.
Lapisan fraksi n-heksana (atas) dipisahkan dan fraksi etanol (bawah) yang diduga
mengandung senyawa kurkuminoid dipekatkan dengan rotary evaporator vaccum pada
suhu 50ºC. Ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etanol (ekstrak kasar) diuji
kualitatif kurkuminoid menggunakan reagen. Fraksi etanol kemudian ditimbang dan
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu untuk sampel uji dan sampel pemurnian. Fraksi etanol
dapat dihitung randemennya menggunakan Persamaan

% Randemen = berat ekstrak / berat sampel x 100%.

Fraksi etanol yang digunakan sebagai sampel uji, disimpan dalam lemari pendingin
pada suhu 4ºC agar ekstrak tidak menjadi rusak. Kemudian fraksi etanol (ekstrak kasar
kurkuminoid) diuji aktivitas analgetiknya.

3.8.4. Uji Fitokimia Ekstrak Temulawak dengan Reagen NaOH 5%

Ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etanol (ekstrak kasar) dibuat larutan
10.000 ppm. Filtrat ekstrak etanol hasil maserasi dan partisi masing-masing
dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi yang berbeda sebanyak 0,5 mL. Ekstrak hasil
maserasi pada tabung pertama, fraksi n-heksana pada tabung kedua dan ekstrak kasar
kurkuminoid pada tabung ketiga direaksikan dengan 2-3 tetes NaOH 5%. Jika ekstrak
mengandung senyawa kurkuminoid akan menghasilkan warna merah (Rinanto, dkk.,
2009).

3.8.5. Pemisahan Senyawa Kurkuminoid Dengan KLT

3.8.5.1 Pemisahan Senyawa Kurkuminoid dengan KLT Analitik (KLTA)

20
Plat KLT yang digunakan adalah plat silika G 60 F254 sebagai fase diamnya
dengan ukuran 1 x 10 cm. Kemudian tepi atas bawah plat diberi penanda garis
dengan jarak 1 cm sebagai posisi penotolan sampel, dan tepi atas plat untuk
menunjukkan batas dari proses elusi. Plat silika diaktivasi dengan cara di oven pada
suhu 100 C selama 30 menit. Bejana ditambahkan masing-masing eluen Kloroform
: etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1) dengan dilakukan penjenuhan selama 1
jam dalam keadaan tertutup rapat. Ekstrak pekat fraksi etanol (ekstrak kasar)
dibuat larutan 10.000 ppm. Larutan fraksi etanol ditotolkan pada plat KLT dengan
jarak 1 cm dari tepi bawah plat. Larutan ekstrak ditotolkan menggunakan pipa
kapiler sebanyak 10 kali penotolan pada tempat yang sama, kemudian dikering
anginkan. Plat KLT yang telah ditotolkan ekstrak dilakukan elusi. Fase gerak
dalam chamber yang telah jenuh dimasukkan Plat KLT dan ditutup. Plat KLT
diangkat dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Noda-noda yang
terbentuk pada plat silika diperiksa dibawah sinar UV pada panjang gelombang
254 dan 366 nm. Noda yang tampak ditandai dengan pensil. Jika terbentuk warna
kuning atau kuning pekat, maka isolat tersebut positif kurkuminoid (Yusuf, dkk.,
2015; Azizah, dkk., 2013; Cahyono, dkk., 2011). Kemudian noda yang terbentuk
masing-masing diukur jarak tempuhnya, kemudian dihitung nilai Rf dan
resolusinya. Eluen yang menghasilkan pemisahan terbaik dengan nilai resolusi >
1,25 selanjutnya digunakan untuk keperluan preparatif.

3.8.5.2. Pemisahan Senyawa Kurkuminoid dengan KLT Preparatif (KLTP)

Pemisahan pada plat KLTP menggunakan plat silika G60 F254 dengan
ukuran 10 x 20 cm. Ekstrak kurkuminoid dibuat 10.000 ppm dan ditotolkan
sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah menggunakan pipa kapiler
sebanyak 10 kali penotolan, selanjutnya dielusi menggunakan eluen pemisahan
terbaik pada plat KLTA. Noda yang berbentuk pita dihitung Rf-nya dan
dibandingkan dengan Rf hasil KLTA. Spot yang terbentuk pada permukaan plat
disinari dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm, kemudian
diamati pada masing-masing hasil nodanya kemudian dikerok dan dilarutkan
dalam etanol, selanjutnya disentrifugasi untuk mengendapkan silikanya,
dilarutkan sampai plat silika berwarna putih. Supernatan yang diperoleh diuapkan
pelarutnya dengan didiamkan dalam suhu kamar. Isolat kurkuminoid yang
diperoleh, diuji aktivitas analgetiknya.

21
3.8.6. Identifikasi Isolat Kurkuminoid Menggunakan Instrument UV-Vis

Identifikasi kurkuminoid menggunakan Spektrofotometer UV-Vis bertujuan


untuk mengetahui panjang gelombang maksimum pada isolat kurkuminoid. Isolat
kurkuminoid (isolat 1, 2 dan 5) hasil KLTP dilarutkan dengan metanol p.a,
kemudian dimasukkan ke dalam kuvet dan diidentifikasi dengan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 200-800 nm. Spektra dan hasil absorbansi yang
diperoleh dicatat dan dianalisis.

3.8.7 Penetapan Kadar Kurkumin

3.8.7.1 Pembuatan Larutan Uji

Sebanyak 10,0 mg ekstrak etanol temulawak dilarutkan dalam 10,0 ml etanol


p.a dalam labu ukur 10,0 ml.

3.8.7.2 Pembuatan Larutan Standar

Larutan uji kurkumin dalam etanol p.a, dibuat seri kadar hingga diperoleh
serapan yang mendekati serapan larutan uji.
3.8.7.3 Penentuan Kadar Kurkumin
Kromatografi Lapis Tipis yang digunakan yaitu fase diam Silika gel 60 F254
dengan fase gerak Kloroform : etanol : asam asetat glacial (94 : 5 : 1) dan
dideteksi di bawah lampu UV pada panjang gelombang 366 nm. Masing-masing
5 μl larutan uji dan larutan standar ditotolkan pada lempeng fasediam dan dielusi
dengan fase gerak diukur KLT-Densitometri, padapanjang gelombang 425 nm

3.8.8. Uji Aktivitas Analgesic


3.8.8.1. Pembuatan larutan CMC Na 1 %
Larutan CMC Na 1 % dibuat dengan cara menimbang secara seksama 1 gram
CMC Na dan ditaburkan sedikit demi sedikit diatas air panas sambil diaduk hingga
mengembang. Lalu dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambah air
hingga 100 ml.
3.8.8.2. Pembuatan larutan asam asetat 1%
Larutan asam asetat dibuat dari asam asetat glacial (100%) dengan cara
pengenceran menggunakan rumus V1 C1 = V2 C2. Menurut Williamson, E. M.,
Okpako, D. T., dan Evans, F. J. (1996) asam asetat kadar 1-3 % digunakan sebagai
iritant yang menyebabkan nyeri pada pengujian daya analgesik dengan metode

22
geliat. Penentuan dosis asam asetat bertujuan untuk menentukan dosis efektif asam
asetat yang dapat memberikan jumlah geliat yang cukup dan mudah untuk diamati.
3.8.8.3. Pembuatan suspensi asetosal dalam CMC Na 1%
Asetosal yang akan digunakan sebagai kontrol positif dibuat dengan
menimbang secara seksama sejumlah asetosal dan disuspensikan dalam CMC Na
1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.
3.8.8.2. Penyiapan Bahan Uji

 Disiapkan larutan uji ekstrak etanol temulawak dengan dosis 187,5


mg/KgBB,325 mg/KgBB, dan 750 mg/KgBB.
 Sebagai kontrol positif digunakan analgetik aspirin dengan dosis 65
mg/KgBB

 Sebagai kontrol negatif digunakan Na-CMC 1%

 Pada proses induksi digunakan asam asetat 1 % dengan dosis 0,2 ml/20 gBB

3.8.8.3. Penyiapan Hewan Uji ( Uji Pendahuluan )

Hewan uji berupa mencit jantan galur Swiss sebanyak 25 ekor. Hewan uji
ditimbang dengan bobot 20 – 40 gram , berumur 2-3 bulan, dan dibagi menjadi 5
kelompok, untuk setiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit yang diambil secara
acak. Kelompok tersebut terdiri dari kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan 1,
perlakuan 2, dan perlakuan Perlakuan 1, 2, dan 3 tersebut berturut-turut merupakan
kelompok hewan uji yangdiberi ekstrak temulawak dengan variasi dosis 187,5
mg/KgBB, 325 mg/KgBB, dan 750 mg/KgBB. Semua hewan uji dipelihara
dengan kondisi dan perlakuan yang sama meliputi pakan, minum, dan kandang.
Sebelum diberi perlakuan, semua hewan uji diadaptasikan terlebih dahulu dengan
kondisi yang sama dan dipuasakan terlebih dahulu selama 18-22 jam tanpa diberi
makan, hanya diberi minum saja. Hal ini bertujuan untuk mengurangi variasi
akibat adanya makanan.
3.8.8.4. Penetapan Kriteria Geliat
Respon yang diamati pada uji daya analgesik ini berupa geliat. Kriteria
geliat perlu ditetapkan untuk mendapatkan geliat yang hampir sama. Gerakan
mencit yang dianggap sebagai geliat adalah kedua kakinya ditarik ke belakang
dan tubuhnya memanjang serta pada bagian perutnya menempel pada alas tempat
berpijak
23
3.8.8.5 Penetapan selang waktu pemberian rangsang
Selang waktu pemberian rangsang ditetapkan untuk mengetahui rentang
waktu antara pemberian rangsang nyeri dengan pemberian larutan uji yang
digunakan sebagai analgesik. Diharapkan pada selang waktu tersebut, larutan uji
yang diberikan secara per oral telah mengalami absorbsi dan bila diberikan
rangsang nyeri berupa asam asetat, larutan uji dapat menimbulkan efek dan
respon geliat hewan uji akan berkurang. Rentang waktu yang diujikan adalah 5,
10, 15 menit ( interval 5 menit selama 1 jam.)
3.8.8.6 Prosedur Uji Analgetik

 Sebelum dilakukan uji, mencit dipuasakan terlebih dahulu

 Ditimbang masing-masing mencit dan dicatat beratnya

 Mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok dengan pengambilan


secara acak

 Kelompok 1 sebagai kontrol negatif, diberikan Na-CMC 1% secara


oral dan ditunggu selama 5 menit kemudian di induksi dengan asam
asetan 1 % dengan dosis 0,2 ml/20 gBB secara intraperitonial dan
ditunggu 5 menit
 Kelompok 2 sebagai kontrol positif, diberikan asetosal dengan dosis 65
mg/KgBB secara oral dan ditunggu selama 5 menit kemudian di induksi
dengan asam asetan 1 % dengan dosis 0,2 ml/20 gBB secara
intraperitonial dan ditunggu 5 menit
 Kelompok 3, 4, dan 5 sebagai kelompok perlakuan, diberikan diberi
ekstrak etanol temulawak berturut-turut dengan dosis 187,5 mg/KgBB,
325 mg/KgBB, dan 750 mg/KgBB secara oral dan ditunggu selama 5
menit kemudian di induksidengan asam asetan 1 % dengan dosis 0,2
ml/20 gBB secara intraperitonial danditunggu 5 menit
 Diamati banyaknya geliat dan dihitung setelah 5 menit pemberian
induksi dengan interval 5 menit selama 1 jam.

24
3.9 Analisis Data
Dari hasil uji fitokimia dapat diketahui kandungan dari ekstrak etanol rimpang
temulawak yang menimbulkan efek analgetik. Hasil data berupa jumlah geliat dihitung
rerata jumlah geliat untuk melihat kelompok perlakuan dalam menurunkan geliat ( Geliat
yang dihitung adalah geliat dengan ciri-ciri terjadinya kontraksi otot perut dengan
gerakan peregangan dari anggota badan ke belakang yaitu tarikan kaki ke belakang, serta
terjadinya perluasan seluruh tubuh ) , menghitung persen proteksi (dihitung dengan cara
membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok uji terhadap kelompok kontrol
negative ) dan menghitung persentase efektivitas analgetik bahan uji (dengan
membandingkan persen proteksi kelompok bahan uji terhadap persen proteksi kelompok
kontrol positif yaitu asetosal) dan menghitung nilai IC50 dengan menggunakan kurva
persamaan antara dosis vs rerata jumlahgeliat. Setelah itu data dianalisis menggunakan
uji normalitas,homogenitas, Jika data terdistribusi normal dan variansi homogen maka
dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% dan uji
independent- T test untuk melihat perbedaan antar kelompok tersebut bermakna (p<0,05)
atau tidak bermakna (p > 0,05). Suatu obat dikatakan mempunyai aktivitas analgetik bila
mampu menurunkan jumlah geliat mencit ≥ 50 % dari jumlah geliat pada perlakuan
kontrol negative, semakin besar persen proteksi dan persen efektivitas maka efek
analgetik semakin besar (KKI, 1991)

25
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S. A., 2007, Tumbuhan- Tumbuhan Obat Indonesia, ITB, Bandung.

Adila, R., Nurmiati., Agustien, A. 2013. Uji Antimikroba Curcuma Spp.terhadap


Pertumbuhan Candida Albicans, Staphylococcus Aureusdan Escherichia Coli.
Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(1),1-7
Akram, M., Shahab-uddin, Ahmed, A., Usmanghani, K., Hannan, A., Mohiuddin, E.,
Asif, M. 2010.Curcuma Longa and Curcumin; a Review Article. Romanian
Journal of Biology – Plant Biolgy,55 (2), 65-77.
Afifah, E. 2003. Khasiat & Manfaat Temulawak: Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit.

Agromedia Pustaka

Alam, G. Rahim A., 2006. Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia I . Laboratoriu


Farmakognosi-Fitokimia. Makassar: Universitas islam Negeri Alauddin.
BPOM. (2004). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor : HK.00.05.5.1.4547 Tentang Persyaratan Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Jakarta: BPOM RI.
Depkes RI, 1986. Sediaan Galenik. 2 &10. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Trubus Agriwidya.
De Haan. 1949. Therapie Compendium, Vierde Druk, D.B., Centen’s Uitgevers -ij.,
NV, hal.158
Dianto, I., Anam, S., Khumaidi, A.. 2015. Studi Etnofarmasi Tumbuhan Berkhasiat
Obat Pada Suku Kaili Ledo di Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal
Farmasi, 1 (2), 85-91.
Dewi, M., Aries, M., Hardinsyah, Dwiriani, C. M., Januwati, N. 2012. Pengetahuan
Tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza.) Serta Uji
Klinis Pengaruhnya Pada Sistem Imun Humoral Pada Dewasa Obes. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (Jipi), 17 (3), 166-171.
Hartati F,K., Djauhari A,B. 2017. Pengembangan Produk Jelly Drink Temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.) sebagai Bahan Fungsional. Jurnal Teknik
Industri HEURISTIC. 14(2): 107-122

Hayani, E. 2006. Analisis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Balai Penelitlan


Tanarnan Rempah dan Obat. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga
Fungsional Pertanian: 309-312
26
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I, terjemahan Badan Litbang
Kehutanan. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan. Jakarta Pusat.
Kementerian Kesehatan RI; Badan Litbang Kesehatan; Balai Besar Litbang Tanaman
Obat dan Obat Tradisional. (2011). 100 Top Tanaman Obat Tradisional .
Kementerian Kesehatan RI; Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat
Tradisional . Jakarta
Kuntorini ME. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae sebagai Obat Tradisional
Oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. Bioscientiae, 2 (1),25-36.
Mutschler, E., 1991. Dinamika Obat, Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi,
Terjemahan oleh Mathilda B.W, Anna S.R, Bandung : ITB.
Nelwan R.H.H. 2006. Demam: Tipe dan Pendekatan, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I.
Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp : 407-408.
Rahman, K., 1996. Uji Efek Analgetik Perasan Rimpang Lempuyang Wangi(Zingiber
Aromaticum Val) pada Mencit dengan Metode Induksi Panas, Skripsi F-MIPA
UNHAS, Ujung Pandang
Sari, N., Wahidah, B.F., Gaffar, N. 2017. Etnobotani Tumbuhan Yang Digunakan
Dalam Pengobatan Tradisional di Kecamatan Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai
Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Biology for Life. ISBN: 978-
60272245-2-0
Sidik. 1985. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Rox). Jakarta: Yayasan
Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam
Sudarsi E. 1993. Serat Primbon Djampi-djampi Djawi. hal 13-14.

Susila, K.A., Tellu, A.T., Tangge, L. 2017. Jenis dan Pemanfaatan Tanaman Obat di
Desa Tinading dan Pengembangannya sebagai Media Pembelajaran. e-JIP
BIOL, 5 (2), 60-70.
Tjay, H.T. Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting,Khasiat, penggunaan dan Efek-efek
sampingnya, Edisi IV, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI

27

Anda mungkin juga menyukai