Anda di halaman 1dari 22

DAERAH KHUSUS, DAERAH ISTIMEWA, DAN OTONOMI DAERAH

(NAD)

Nanggroe Aceh Darussalam

NAMA : Ferdina Atma Santi

KELAS. : X MIA 2

MATA PELAJARAN : PPKN

GURU PEMBIMBING : Bu Eka Merry S.pd


1.SEJARAH TERBENTUK DAERAH/ LATAR BELAKANG DAERAH TERSEBUT SAMPAI
SEKARANG

 Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis:
Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa
Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh
Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa
Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa
Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo
untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur
lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada
bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa
Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi
dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar,
di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret,
dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara
(Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara
lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal
dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi
(Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur
ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai
banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah
Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di
negeri Belanda.

 Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku
Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera
di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut
sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat
kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa
Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah
Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

 Budaya
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau
disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa
purba yakni;

 Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai
penduduk asli.
Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang
beragama Hindu.
Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari
berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya
telah memeluk agama Islam.
Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai
Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.

 Sejarah awal
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah
disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah
kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai
Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik,
Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan
nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam
sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam
buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada
dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra
dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera
Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau
Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.

 Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang
memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan
yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan pelabuhan dan
pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan
Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya
menggunakan alur sungai Musi dimana dalam hegemoni alur perdagangan ini kerajaan
mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada
dari raja Rajendra Chola dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan
serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam
(Lamuri) dan Takuapa (Kedah) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan
dalam prasasti Tanjore 1030 di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan
sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang
sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya
dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu
manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya
Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian
dilepas setelah mengaku takluk, tak lama kemudian armada Chola kembali kenegerinya
sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau
pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah
merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah
pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah karena lebih
tertuju pada perkembangan perdagangan. Sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan
Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan
yang dahulu berada dibawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh
kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada
tahun 1377.
 Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera
Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera,
kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan
oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir
dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan
Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan
pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.

 Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq


(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir
Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa
Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan.
Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.
Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan
sebagai bahan kajian sejarah.

 Era Malik Al Saleh


Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan
dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia
bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh
yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang
segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal
pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-
Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh.

 Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada


Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh Jayanagara dari
Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit
yang diangkat oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.

 Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang
disebut dengan sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum
seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan
dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan
melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350
Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah mencapai
kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit
dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya
digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yang berpusat di
Palembang ini.

 Kesultanan Aceh
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.

 Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan
pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan
Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.

 Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan
dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali
(Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena
memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit.
Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga
saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

 Aceh melawan Portugis


Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul
dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan
panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511
ketika Portugis dibawah pimpinan Afonso d’Albuquerque dengan armadanya menaklukan
Malaka.

 Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan
Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537).
Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573).
Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum
mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat
ditangkisnya.

 Hubungan dengan Barat


Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris
untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim
hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang
ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar
“Orang Kaya Putih”.

 Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

 “ Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas
tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam. ”
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk
Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama
Meriam Raja James.

 Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda.
Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal
sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku
Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di
Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang
Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara
agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang
Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

 Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut
baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam
ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini
dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah
mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

 Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi
Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari
benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan
Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut
Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua
kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh,
kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang
mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan
untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini
hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

 Pasca-Sultan Iskandar Thani


Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus
menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga
membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul
Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah
seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri
Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu,
Arab, dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di
antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang
fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita
yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

 Datangnya pihak kolonial


Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-
16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan
Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan
Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

 Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan


wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah
koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan
Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan
kekuasaan di kawasan tersebut.

 Perang Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

 Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail
menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal
daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi
perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya
mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat
perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena
memang Belanda bersalah.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi
sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris
memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus
menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas
berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura,
Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan
Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan
meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin
Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun
dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah,
yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10
April 1873.

 Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana
sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan
oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi’sabilillah dikobarkan, di
mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

 Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada
perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad
dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga
mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah
Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan
Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

 Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para
pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan
menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang
Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan
Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku
Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894
bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua
tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa
pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak
Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar
siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

 Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal
merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada
para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang
menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan
ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De
Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

 Isi nasehat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh
adalah:
 Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala)
beserta pengikutnya.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar,
masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh
pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan
bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut
sebagian besar Aceh.

 Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh
akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian
diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama
Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

 Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan
marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya
yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh
untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

 Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku
Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya,
Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten
dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri,
tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara
perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan
senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak
penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

 Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuto
Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan
1149 perempuan.

 Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan
ke Sumedang, Jawa Barat.

 Surat tanda penyerahan


Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh
para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan)
mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja berjanji tidak akan
mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah
Nasional, 1987)

 Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama
dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis
dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta
pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi
sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam
di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939,
Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik
pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

 Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad
(parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak
Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad
Hasan).

 Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut
kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena
Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan
Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang
untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini
menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama
dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di
Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di
Pandrah dan Jeunieb, pada tahun 1944.

 Masa Republik Indonesia


Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari
cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan
negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).

 Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang
meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:

 Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
Negara Indonesia Timur.
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung,
Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara dan Kalimantan Timur.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik
Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Sehingga
dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat,
meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.

 Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan
Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949
Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana
Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada
tanggal 20 Desember 1949.

 Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang
Lautan Mr. Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan
tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara
pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di
Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada
hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius
Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan
tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-
1949, Sekretariat Negara RI, 1986).

 Kembali ke Negara Kesatuan


Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat
RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara
Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa
negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal
hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara
Indonesia Timur).

 Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

 Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden
RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan
Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).

 Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh


3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh
memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
 Isi Maklumat NII di Aceh adalah:

 “ Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja,
maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh
pemerintah dari Negara Islam.Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa
asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi
bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2
supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa,
Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik,
merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat
mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan
dihukum dengan hukuman Militer.
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban
tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah
bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk,
karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti
melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan
masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti
biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

 ”
Daud Beureueh menyerah
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII
tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-
kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah
kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).

 Hasan Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh Sumatera


14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro pada tanggal 4
Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi
kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.

 “ “Kepada rakyat di seluruh dunia:Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak


menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara
kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik
pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.

 Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

 Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,

 4 Desember 1976″


Akhir konflik
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai
kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.

 Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda
sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian
ratusan ribu jiwa.

 Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian
barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi
baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah,
Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang
terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan
Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta
yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan
dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.

 Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani


persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah
berlangsung selama hampir 30 tahun.

2.DASAR HUKUM (NAD)

 Yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di Aceh adalah Undang-Undang Nomor


11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (“UU 11/2006”). Salah satu pertimbangan
dibentuknya UU ini adalah Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.[
 Hukum Islam di Aceh ditetapkan melalui qanun yang memiliki status sebagai peraturan
daerah. Landasan hukumnya adalah undang-undang yang mengizinkan perda serta Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Untuk mengesahkan suatu qanun,
diperlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan gubernur. Walaupun
hukum nasional Indonesia masih berlaku di Aceh, qanun ini mengatur hal-hal yang tidak
ditetapkan dalam undang-undang nasional, dan kadang-kadang juga menetapkan hukuman yang
berbeda. Qanun di Aceh tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan hukum nasional, dan juga dapat ditinjau oleh Mahkamah
Agung atau Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, tidak semua hukum Islam diberlakukan di
Aceh, tetapi hanya unsur-unsur tertentu yang telah diundangkan. Selain itu, tanggung jawab
pembuatan qanun berada di tangan DPRA dan gubernur, bukan para ulama

3.PENJELASAN KEKHUSUSAN /KEISTIMEWAAN

 Aceh sebagai daerah istimewa


Saat ini satuan pemerintahan daerah yang berstatus Daerah Istimewa di Indonesia hanya dua
provinsi yaitu Aceh (UU Nomor 44 Tahun 1999) dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (UU 13
Tahun 2012). Berdasarkan status pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, UU Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Daerah Provinsi Istimewa Aceh telah
memberikan legitimasi secara yuridis formal keistimewaan.[26]

Kabupaten dan Kota di Aceh

Penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi:

1. Penyelenggaraan kehidupan beragama;[27]


2. Penyelenggaraan kehidupan adat;

3. Penyelenggaraan pendidikan; dan

4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.[28]

Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at


Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama,
meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan
pembelaan Islam. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali
Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda).
Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta
menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan
madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah. Keistimewaan di bidang peran ulama
meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas
dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap
perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.

 Aceh sebagai daerah khusus

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia hingga saat ini hanya empat satuan daerah yang
dinyatakan berstatus sebagai Daerah Khusus yaitu Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta,
dan Provinsi Papua serta Papua Barat.
Kekhususan Aceh telah diatur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633) pada hakikatnya manifestasi dari UUD Tahun 1945. Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan
Aceh (UU-PA), Sebagai daerah Khusus, saat ini sudah memiliki 26 Kewenangan Khusus. Dengan
demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di
Aceh. Oleh karena itu Aceh terdapat 2 (dua) sebutan yaitu daerah istimewa dan daerah khusus,
sehingga nama Aceh dapat disebutkan sebagai daerah khusus provinsi Daerah Istimewa Aceh.
UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang
ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki dan merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh
secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan
UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan
Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.

3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam
UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban
konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.

4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian


kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.

5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman


terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan,
kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Aceh.
Nama (nomenklatur) yang digunakan menurut Pasal 1 angka 2 UU 11/2006 adalah Aceh; tanpa ada
kata "provinsi" maupun frasa "daerah istimewa", Aceh merupakan daerah khusus (dan juga
daerah istimewa) karena Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang bersifat istimewa
dan diberi otonomi khusus; "Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur. " Pasal 1 angka 2 UU 11/2006
4.KONDISI UMUM (NAD)

Aceh (abjad Jawoë: ‫ )اچيه دارالسالم‬adalah sebuah provinsi di Indonesia yang ibu kotanya berada


di Banda Aceh. Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai
daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus. Aceh terletak di ujung utara
pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Menurut hasil sensus Badan
Pusat Statistik tahun 2020, jumlah penduduk provinsi ini sekitar 5.459.891Jiwa. Letaknya dekat
dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat
Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Aceh

Aceh Darussalam
 Atjeh

 D.I. Aceh

 Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi di Indonesia

bahasa Aceh Transkripsi

 • Abjad ‫اچيه دارالسالم‬


Jawoë
Dari kiri atas: Masjid Raya Baiturrahman, Danau Laut
Tawar, Sabang, Taman Nasional Gunung Leuser, Gunung
Seulawah Agam, Museum Tsunami Aceh, Taman Sari
Gunongan, Pesawat RI 001 Seulawah

Bendera
Lambang

Julukan: 

 Serambi Mekkah

 Tanah Rencong

 Negeri Sultan Iskandar Muda

Motto: 
"Pancacita"
(dari bahasa Sanskerta yang artinya "Lima cita-cita")

Lagu: Aceh Mulia (himne resmi) [1]


Peta

Negara  Indonesia

Hari jadi 7 Desember 1956

Ibu kota
 Banda Aceh

Kota besar Lhokseumawe, Kota


lainnya Langsa, Subulussalam, Sabang

Jumlah Daftar
satuan
 Kabupaten: 18
pemerintah
 Kota: 5
an[2][3]
 Kecamatan: 289
 Desa: 6514

Pemerintahan

 • Gubernu Nova Iriansyah 


r

 • Wakil Lowong
Gubernur

 • Sekreta dr. Taqwallah, M.Kes. 


ris Daerah

 • Ketua H. Dahlan Jamaluddin, S.I.P 


DPRD

Luas
 • Total 57.956,00 km2 (2,237,700 sq mi)

Populasi

 (2020)[7]

 • Total 5,459,891

 • Peringka 14
t

 • Kepadat 96/km2 (250/sq mi)
an

Demografi

 • Agama Islam 98,48%
Kristen 1,36%
— Protestan 1,26%
— Katolik 0,10%
Buddha 0,15%
Lain-lain 0,01%[2]

 • Suku Aceh 70,65%
bangsa Jawa 8,94%
Gayo 7,22%
Batak 3,29%
Alas 2,13%
Simeulue 1,49%
Aneuk Jamee 1,40%
Melayu Tamiang 1,11%
Singkil 1,04%
Minangkabau 0,74%
Tionghoa Aceh 0,10%[8]

 • Bahasa Indonesia (resmi)
Aceh (utama)
Melayu, Gayo, Alas, Aneuk
Jamee, Devayan, Singkil, Kluet, Tamiang, 
Lekon, Sigulai, Haloban.

 • IPM ▲ 71,99 (2020)


( Tinggi )[9]
Zona waktu UTC+07:00 (WIB)

Kode pos 23xxx-24xxx

Kode area Daftar


telepon
 0627 - Kota Subulussalam
 0629 - Kutacane (Kabupaten
Aceh Tenggara)
 0641 - Kota Langsa
 0642 - Blang Kejeren (Kabupaten
Gayo Lues)
 0643 - Takengon (Kabupaten
Aceh Tengah)
 0644 - Bireuen (Kabupaten
Bireuen)
 0645 - Lhoksukon (Kabupaten
Aceh Utara) - Kota
Lhokseumawe
 0646 - Idi (Kabupaten Aceh
Timur)
 0650 - Sinabang (Kabupaten
Simeulue)
 0651 - Kota Banda Aceh -
Jantho (Kabupaten Aceh Besar)
- Lamno (Kabupaten Aceh Jaya)
 0652 - Kota Sabang
 0653 - Sigli (Kabupaten Pidie)
 0654 - Calang (Kabupaten Aceh
Jaya)
 0655 - Meulaboh (Kabupaten
Aceh Barat)
 0656 - Tapaktuan (Kabupaten
Aceh Selatan)
 0657 - Bakongan (Kabupaten
Aceh Selatan)
 0658 - Singkil (Kabupaten Aceh
Singkil)
 0659 - Blangpidie

ISO 3166 ID-AC


code

Nomor TN BL
KB

Dasar UU Nomor 24 Tahun 1956


hukum UU Nomor 11 Tahun 2006
pendirian

APBD Rp16.763.469.972.136 

PAD Rp 14.183.394.212.942,- 

DAU Rp 2.010.367.360,00 

DAK Rp 2.580.075.759.194,00

Lagu Bungong Jeumpa


daerah

Rumah Rumoh Aceh , Umah Pitu Ruang


adat

Senjata Rencong
tradisional

Flora Bunga Jeumpa

Fauna Cicempala Kuneng

Situs web acehprov.go.id

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran


penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah
negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh
kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas
penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya,
Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase
penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup
sesuai syariah Islam Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki
otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah
analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia Aceh juga terkenal
dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh
Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004.
Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar
170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebu. Bencana ini juga mendorong
terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).

Anda mungkin juga menyukai