(NAD)
KELAS. : X MIA 2
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis:
Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa
Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh
Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa
Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa
Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo
untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur
lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada
bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa
Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi
dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar,
di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret,
dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara
(Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara
lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal
dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi
(Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur
ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai
banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah
Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di
negeri Belanda.
Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku
Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera
di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut
sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat
kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa
Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah
Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.
Budaya
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau
disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa
purba yakni;
Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai
penduduk asli.
Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang
beragama Hindu.
Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari
berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya
telah memeluk agama Islam.
Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai
Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.
Sejarah awal
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah
disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah
kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai
Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik,
Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan
nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam
sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam
buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada
dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra
dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera
Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau
Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.
Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang
memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan
yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan pelabuhan dan
pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan
Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya
menggunakan alur sungai Musi dimana dalam hegemoni alur perdagangan ini kerajaan
mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada
dari raja Rajendra Chola dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan
serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam
(Lamuri) dan Takuapa (Kedah) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan
dalam prasasti Tanjore 1030 di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan
sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang
sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya
dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu
manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya
Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian
dilepas setelah mengaku takluk, tak lama kemudian armada Chola kembali kenegerinya
sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau
pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah
merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah
pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah karena lebih
tertuju pada perkembangan perdagangan. Sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan
Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan
yang dahulu berada dibawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh
kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada
tahun 1377.
Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera
Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera,
kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan
oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir
dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan
Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan
pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang
disebut dengan sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum
seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan
dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan
melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350
Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah mencapai
kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit
dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya
digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yang berpusat di
Palembang ini.
Kesultanan Aceh
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan
pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan
Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan
dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali
(Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena
memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit.
Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga
saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan
Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537).
Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573).
Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum
mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat
ditangkisnya.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
“ Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas
tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam. ”
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk
Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama
Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda.
Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal
sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku
Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di
Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang
Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara
agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang
Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut
baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam
ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini
dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah
mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi
Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari
benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan
Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut
Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua
kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh,
kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang
mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan
untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini
hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Perang Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail
menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal
daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi
perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya
mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat
perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena
memang Belanda bersalah.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi
sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris
memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus
menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas
berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura,
Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan
Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan
meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin
Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun
dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah,
yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10
April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana
sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan
oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi’sabilillah dikobarkan, di
mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada
perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad
dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga
mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah
Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan
Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para
pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan
menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang
Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan
Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku
Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894
bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua
tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa
pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak
Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar
siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal
merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada
para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang
menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan
ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De
Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh
adalah:
Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala)
beserta pengikutnya.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar,
masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh
pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan
bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut
sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh
akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian
diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama
Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan
marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya
yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh
untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku
Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya,
Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten
dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri,
tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara
perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan
senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak
penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuto
Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan
1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan
ke Sumedang, Jawa Barat.
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama
dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis
dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta
pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi
sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam
di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939,
Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik
pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad
(parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak
Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad
Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut
kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena
Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan
Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang
untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini
menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama
dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di
Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di
Pandrah dan Jeunieb, pada tahun 1944.
Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang
meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:
Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
Negara Indonesia Timur.
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung,
Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara dan Kalimantan Timur.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik
Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Sehingga
dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat,
meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan
Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949
Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana
Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada
tanggal 20 Desember 1949.
Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang
Lautan Mr. Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan
tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara
pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di
Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada
hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius
Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan
tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-
1949, Sekretariat Negara RI, 1986).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden
RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan
Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
“ Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja,
maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh
pemerintah dari Negara Islam.Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa
asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi
bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2
supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa,
Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik,
merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat
mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan
dihukum dengan hukuman Militer.
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban
tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah
bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk,
karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti
melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan
masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti
biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
”
Daud Beureueh menyerah
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII
tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-
kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah
kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
4 Desember 1976″
Akhir konflik
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai
kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda
sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian
ratusan ribu jiwa.
Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian
barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi
baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah,
Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang
terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan
Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta
yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan
dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia hingga saat ini hanya empat satuan daerah yang
dinyatakan berstatus sebagai Daerah Khusus yaitu Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta,
dan Provinsi Papua serta Papua Barat.
Kekhususan Aceh telah diatur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633) pada hakikatnya manifestasi dari UUD Tahun 1945. Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan
Aceh (UU-PA), Sebagai daerah Khusus, saat ini sudah memiliki 26 Kewenangan Khusus. Dengan
demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di
Aceh. Oleh karena itu Aceh terdapat 2 (dua) sebutan yaitu daerah istimewa dan daerah khusus,
sehingga nama Aceh dapat disebutkan sebagai daerah khusus provinsi Daerah Istimewa Aceh.
UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang
ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki dan merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh
secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan
UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan
Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam
UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban
konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
Aceh
Aceh Darussalam
Atjeh
D.I. Aceh
Provinsi di Indonesia
bahasa Aceh Transkripsi
Bendera
Lambang
Julukan:
Serambi Mekkah
Tanah Rencong
Motto:
"Pancacita"
(dari bahasa Sanskerta yang artinya "Lima cita-cita")
Negara Indonesia
Ibu kota
Banda Aceh
Jumlah Daftar
satuan
Kabupaten: 18
pemerintah
Kota: 5
an[2][3]
Kecamatan: 289
Desa: 6514
Pemerintahan
• Wakil Lowong
Gubernur
Luas
• Total 57.956,00 km2 (2,237,700 sq mi)
Populasi
(2020)[7]
• Total 5,459,891
• Peringka 14
t
• Kepadat 96/km2 (250/sq mi)
an
Demografi
• Agama Islam 98,48%
Kristen 1,36%
— Protestan 1,26%
— Katolik 0,10%
Buddha 0,15%
Lain-lain 0,01%[2]
• Suku Aceh 70,65%
bangsa Jawa 8,94%
Gayo 7,22%
Batak 3,29%
Alas 2,13%
Simeulue 1,49%
Aneuk Jamee 1,40%
Melayu Tamiang 1,11%
Singkil 1,04%
Minangkabau 0,74%
Tionghoa Aceh 0,10%[8]
• Bahasa Indonesia (resmi)
Aceh (utama)
Melayu, Gayo, Alas, Aneuk
Jamee, Devayan, Singkil, Kluet, Tamiang,
Lekon, Sigulai, Haloban.
Nomor TN BL
KB
APBD Rp16.763.469.972.136
PAD Rp 14.183.394.212.942,-
DAU Rp 2.010.367.360,00
DAK Rp 2.580.075.759.194,00
Senjata Rencong
tradisional