Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PKN

10 KASUS KORUPSI DI INDONESIA

GURU MAPEL : NUR QOMARIYAH S.Pd


KELAS : XII BPM 1
DISUSUN OLEH : ERIK

SMK YAPERBEL 2 TANJUNGPANDAN


TAHUN AJARAN 2021 / 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tanjungpandan, 29 Oktober  2021

2
DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………………............................. 1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………. 2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………… 3

MATERI : 10 KASUS KORUPSI DI INDONESIA

1. Kasus korupsi masjid….…………………………………………….…………………………….. 4

2. Kasus korupsi BLBI……………………….……………...…………………………………….. 5

3. Kasus korupsi Suap Ekspor Benih Lobster …….………………..………………………………. 6

4. Kasus korupsi Bank Century ……………………………………………………………………. 7

5. Kasus korupsi Suap 5 Tahun……….………………………………………………………………… 8

6. Kasus korupsi Imam Nahrawi……………………………... ………………………………………… 9

7. Kasus Korupsi Bupati Muara Enim…………………………………………………………………… 11

8. Kasus Korupsi Mantan Anggota DPR………………………………………………………………… 12

9. Kasus Korupsi Gubernur Kepulauan Riau……………………………………………………………. 14

10. Kasus korupsi Mantan Anggota DPR Sukiman…...…………………….…………………………… 15

PENUTUP………………………………………………………………………………………………... 16

3
1). 4 Terdakwa Korupsi Masjid yang Menjerat Alex Noerdin Dituntut 19 Tahun Penjara

Keputusan vonis di Pengadilan Tipikor Palembang [Suara.com/Welly Jasrial Tanjung]

SuaraSumsel.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU)  menuntut empat terdakwa kasus dugaan korupsi dana
hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Jilid I, Eddy Hermanto, Syarifuddin, Dwi Kridayani dan Yudi
Arminto dituntut  hukuman 19 tahun penjara.
Hal tersebut diketahui dalam sidang virtual diketuai oleh hakim Sahlan Effendi SH MH di Pengadilan Tipikor
PN  Palembang Klas I,

Dalam agenda sidang tuntutan, Jaksa Penuntut Umum Kejati Sumsel membacakan tuntutan kepada keempat
terdakwa secara bergantian.

Yang mana dalam tuntutannya, keempat terdakwa dituntut melanggar Pasal 2, Pasal 3, tentang tindak pidana
tipikor. Pada amar tuntutannya, Eddy Hermanto dituntut dengan hukuman 19 tahun penjara, denda Rp750 juta
Subsider 6 bulan.

Serta terdakwa diwajibkan membayar uang penganti kerugian negara sebesar Rp684 juta l, bila  tidak dapat
dibayar, maka harta bendanya disita, dan dilelang.

"Jika terdakwa tidak memiliki harta yang cukup maka, diganti dengan hukuman 9 Tahun 6 bulan penjara," ujar
hakim ketua,

Terdakwa Syarifudin dituntut dengan hukuman 19 tahun penjara, denda Rp750 juta  dengan subsidair 6 bulan. 

Serta terdakwa diwajibkan membayar uang penganti kerugian negara sebesar Rp.1.392.748.080, yang mana jika
tidak dapat dibayar diganti dengan hukuman 9 Tahun 6 bulan penjara.

Untuk terdakwa Dwi Kridayani dituntut dengan hukuman 19 tahun, denda Rp750 juta dengan subsidair 6 bulan.

Serta terdakwa diwajibkan membayar uang penganti kerugian negara sebesar Rp.2.500.000.000, yang mana jika
tidak dapat dibayar diganti dengan hukuman 9 Tahun 6 bulan penjara.

Terakhir, terdakwa Yudi Arminto dengan hukuman 19 tahun, denda Rp750 juta  dengan subsidair 6 bulan. Serta
terdakwa diwajibkan membayar uang penganti kerugian negara sebesar Rp.22.446.427.564, yang mana jika
tidak dapat dibayar diganti dengan hukuman 9 Tahun 6 bulan penjara.

Dikonfirmasi pada masing-masing kuasa hukum, pihaknya mengaku tidak menduga jika tuntutan pada para
terdakwa setinggi itu.

4
"Kami tidak menyangka dengan tuntutan JPU. Padahal jika dilihat pada perkara lain yang lebih besar dari ini,
tuntutan hukumnya tidak mencapai hukuman hampir maksimal," ujar kuasa hukum terdakwa Syarifuddin, Fauzi
Helmi SH. 

Sementara itu, Kasi Penkum Kejati Sumsel, Khaidirman mengatakan pada tuntutan  ada hal yang menjadi
pertimbangan Jaksa Penuntut Umum.

"Seperti yang memberatkan diantaranya, kasus ini terjadi pada masjid yang merupakan rumah ibadah umat, dan
para terdakwa tidak menyesali perbuatannya," ujar Khaidirman.

Pembangunan masjid Raya Sriwijaya dan Islamic Center digadang-gadang menjadi pusat syiar agama Islam
terbesar di Asia dengan luas lahan 15 Hektare (ha).

Namun proses pembangunan mangkrak setelah Alex Noerdin tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Sumsel.
Kasus ini mulai dilirik Kejati Sumsel di akhir 2020 dan menemukan indikasi kerugian negara Rp116 miliar dari
total dana hibah APBD Rp130 miliar.

2). Korupsi BLBI: Obligor yang Utang, Kenapa Pemerintah yang Bayar Bunga?

Kompas.com - 28/08/2021, 10:08 WIB

Tengerang, Jumat (27/8/2021).(Dok. Youtube Kementerian Keuangan)

Penulis Muhammad Idris | Editor Muhammad Idris

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan skandal
yang terjadi sejak tahun 1998, namun belum juga selesai hingga sampai saat ini.

Dalam kasus korupsi BLBI, kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan menguras kas negara. Selain kerugian
dari belum optimalnya pengembalian aset dari debitur atau obligor BLBI, kerugian lainnya yang timbul adalah
bunga yang harus ditanggung negara.

"Pemerintah selama 22 tahun selain membayar pokoknya, juga membayar bunga utangnya karena sebagian dari
BLBI ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang dinegosiasikan. Jelas pemerintah menanggung bebannya
hingga saat ini," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Pengamanan Aset Tanah dan Bangunan BLBI.

Lalu kenapa obligor BLBI yang mendapatkan kucuran utang namun justru pemerintah yang harus menanggung
bunga utangnya? Baca juga: Terseret Korupsi BLBI, Tanah di Lippo Karawaci Dirampas Sri Mulyani Sebagai
informasi, bantuan kredit BLBI digelontorkan Bank Indonesia untuk membantu perbankan Indonesia yang
sekarat dalam krisis keuangan tahun 1997-1998.

BLBI diberikan kepada para pemilik bank saat itu agar likuditas terjaga demi menghindari kolapsnya perbankan
Indonesia. Tahun 1998 silam, tercatat total ada 22 obligor yang mendapatkan dana BLBI sebesar Rp 110 triliun.

5
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Belakangan, dana BLBI yang tujuan
awalnya diberikan untuk menjaga likuiditas, belakangan justru terundikasi banyak diselewengkan para obligor.
Sejumlah obligor juga belum melunasi utangnya tersebut kepada pemerintah.

Yang jadi masalah, dana BLBI tidak serta merta turun diambil langsung dari dana APBN.  Baca juga: Kisah
Tommy Soeharto Berbisnis Mobil Timor hingga Tersandung BLBI Guna menyediakan dana untuk BLBI,
pemerintah harus berutang dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Sampai saat ini, SUN masih
dipegang oleh BI, dan 'argo' bunga dan pokok utang terus berjalan selama 22 tahun. Pemerintah merinci,
setidaknya ada 48 obligor dan debitur yang memiliki kewajiban pembayaran utang kepada negara. Secara
keseluruhan, besaran utang yang ditagih kepada para obligor dan debitur BLBI adalah senilai Rp 110,45 triliun.

Untuk menagih utang tersebut, pemerintah akhirnya membentuk Satgas BLBI yang pembentukannya
ditandatangani langsung oleh Presiden RI Joko Widodo. Satgas diberikan tugas untuk mengejar para
obligor/debitur hingga ke luar negeri sampai tahun 2023. Per hari ini, pemerintah mulai menyita aset-aset para
obligor dan debitur penerima BLBI. Aset-aset yang disita adalah aset tanah dan bangunan di empat tempat
berbeda, yakni di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang.

Tercatat, negara menyita 49 bidang tanah eks BLBI dengan luasan mencapai 5,29 juta meter persegi atau
5.291.200 meter persegi. Pemerintah juga menyita aset properti yang berada di lingkungan Lippo Karawaci
milik eks Bank Lippo dan debiturnya dengan luasan sekitar 25 hektar.

Selain itu, pemerintah juga telah melakukan pemanggilan kepada beberapa obligor atau debitur. “Ada yang
langsung datang dan bahkan ada juga yang harus dipanggil tiga kali baru mau datang. Kita selama ini
memanggil dua kali secara personal dan tidak dipublikasikan.

Kalau ada niat baik dan mau menyelesaikan, kita akan membahasnya dengan mereka,” kata Sri Mulyani dikutip
dari Kontan.

Akan tetapi, jika sudah dipanggil sebanyak dua kali dan tidak mendapatkan respons, maka pemerintah akan
mengumumkan ke publik siapa saja obligator dan debitur tersebut, dan kemudian akan dilakukan langkah-
langkah selanjutnya. Sri Mulyani bilang, yang terpenting adalah pemerintah mendapatkan kembali hak tagih
atas bantuan BLBI yang diberikan lebih dari 22 tahun lalu. Ia menghitung-hitung, selama 22 tahun bunga yang
dibayarkan pemerintah bisa sampai di atas 10 persen.

sumber: https://money.kompas.com/read/2021/08/28/100853626/korupsi-blbi-obligor-yang-utang-kenapa-
pemerintah-yang-bayar-bunga?page=all.
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris

3). Kasus Suap Ekspor Benih Lobster, KPK Dalami Pemberian Uang kepada Edhy Prabowo
Kompas.com - 08/01/2021, 14:08 WIB

Jakarta, Senin (14/12/2020).

6
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan pemberian
uang kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus suap terkait izin ekspor benih
lobster.

Dugaan pemberian uang itu didalami penyidik saat memeriksa Suharjito, pemilik PT Dua Putra Perkasa yang
merupakan tersangka pemberi suap kepada Edhy, Kamis (7/1/2021).

"Mengenai dugaan adanya pemberian uang oleh tersangka SJT (Suharjito) kepada EP (Edhy) melalui staf
pribadinya SAF (Safri) terkait pengurusan perizinan dan pengiriman benih lobster di KKP," kata Plt Juru Bicara
KPK Ali Fikri, Jumat (8/1/2021).

Ali mengatakan, penyidik juga mendalami aktivitas PT Dua Putra Perkasa terkait perizinan ekspor benih lobster
di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ali menyebut ada dugaan Suharjito bertemu Edhy untuk membahas
pengajuan izin ekspor oleh PT Dua Putra Perkasa.

"Didalami juga dugaan adanya pertemuan tersangka SJT dengan EP selaku menteri KKP yang membicarakan
masalah pengajuan ijin ekskpor oleh PT DPP," ujar Ali.

Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang hasil suap terkait izin ekspor benih lobster senilai Rp 3,4 miliar
melalui PT ACK dan 100.000 dollar AS dari Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito.

PT ACK diduga menerima uang dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster karena ekspor hanya dapat
dilakukan melalui perusahaan tersebut dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor. Uang tersebut salah satunya dari
PT DPP yang mentransfer uang Rp 731.573.564 agar memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, PT ACK dimiliki oleh Amri dan Ahmad Bahtiar yang
diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja.

"Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster
tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening AMR (Amri) dan ABT (Ahmad Bahtiar) masing-masing
dengan total Rp 9,8 miliar," kata Nawawi, Rabu (25/11/2020)

Selain Edhy dan Suharjito, lima tersangka lain dalam kasus ini yaitu staf khusus Menteri Kelautan dan
Perikanan, Safri dan Andreau Pribadi Misata; staf istri Edhy, Ainul Faqih; pengurus PT ACK Siswadi; serta
seorang pihak swasta bernama Amiril Mukminin.

baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/01/08/14080081/kasus-suap-ekspor-benih-lobster-kpk-dalami-
pemberian-uang-kepada-edhy.

4) . Terpidana Kasus Bank Century, Budi Mulya Ajukan PK


CNN Indonesia | Jumat, 11/09/2020 19:22 WIB

Pengajuan PK Budi Mulya teregister di Mahkamah Agung dengan nomor 113 PK/Pid.Sus/2020 dan diajukan
lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Terpidana kasus korupsi Bank Century yang merupakan mantan Deputi Gubernur
Bank Indonesia (BI), Budi Mulya mengajukan sidang Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

7
Informasi mengenai pengajuan PK Budi tercatat dalam laman atau situs kepaniteraan MA, Jumat (11/9).
Pengajuan PK Budi Mulya tersebut teregister dengan nomor 113 PK/Pid.Sus/2020 dan diajukan lewat
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun nomor Surat Pengantar yakni, W10.U1/42/HK.05.1/2020.03. Berkas memori PK itu masuk di
Kepaniteraan MA pada 24 Februari 2020 dan telah didistribusikan pada 13 Maret 2020.
Sebagai informasi Budi Mulya ditangkap KPK pada 2013. Di pengadilan ia dinyatakan terbukti terlibat dalam
kasus korupsi Bank Century saat menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan
Moneter tahun 2007.

Budi divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Juli 2014. Enam bulan
kemudian, pada Desember 2014 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Budi Mulya menjadi 12
tahun penjara.
Setelahnya, pada 2015, MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, dengan
kembali memperberat vonis Budi menjadi 15 tahun penjara dan denda senilai Rp 1 miliar. Putusan itu lebih
berat dari vonis banding sebelumnya.

Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa ini terbukti melanggar Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Majelis hakim agung yang mengadili kasasi itu-- Artidjo Alkostar, M Askin, dan MS Lumme--sepakat menilai
Budi yang menyetujui penetapan PT Bank Century Tbk sebagai bank gagal yang berdampak sistemik yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara, dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi.

Oleh karena ulah Budi itu, Century kemudian menerima pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
yang disetujui Deputi Gubernur BI. Belakangan, kebijakan itu justru disebut telah merugikan negara senilai
Rp8,012 triliun sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada 24 November 2008 hingga
Desember 2013.
Perbuatan tersebut dilakukan tak hanya seorang diri. Ikut terseret dalam amar putusan Budi, sejumlah deputi
gubernur lainnya antara lain Siti C Fadjriah dan mantan Wakil Presiden Boediono, meskipun belakangan nama
terakhir lolos dari jerat hukum

5). Penyuapan Dominasi Kasus Korupsi 5 Tahun Terakhir

Antara | Politik dan Hukum Antara/Jojon ketua KPK Agus Rahardjo 

DATA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2014-2019 menunjukan, jenis perkara tindak pidana
korupsi yang terjadi di Indonesia, didominasi oleh perkara suap yaitu sebanyak 65%.

"Kasus korupsi yang ada di Indonesia didominasi oleh perkara penyuapan sebanyak 65% atau 602 perkara
penyuapan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (7/11). Posisi kedua jenis

8
perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, lanjut Agus, yakni pengadaan barang dan jasa sebanyak
21% atau 195 perkara.

"Kemudian, di urutan ketiga disusul oleh tindak pidana penyalahgunaan anggaran sebesar 5% atau 47 perkara,
selanjutnya keempat kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebanyak 3% atau 31 perkara," katanya.

Selanjutnya, lanjut Agus, posisi kelima terkait persoalan pungutan atau pemerasan, yakni sebanyak 3% atau 25
perkara. Dan keenam tektait tindak pidana perizinan sebanyak 2% atau 23 perkara. Serta terakhir, katanya,
terkait merintangi proses hukum di KPK sebanyak 1% atau 10 perkara.

Sementara itu, untuk tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia berdasarkan profesi atau jabatan dari 2004-
2019, didominasi oleh profesi swasta sebanyak 266 orang.

"Selanjutnya, pejabat birokrasi setingkat eselon (I/II/III) sebanyak 27 orang, 22 orang hakim, 12 orang profesi
pengacara, delapan jaksa, tujuh komisioner, enam orang korporasi, empat duta besar, 27 kepala
kementrian/lembaga, dua orang polisi dan lainnya 118 orang," tutur Agus.

Selain itu berdasarkan data KPK Tahun 2004 hingga 2018 menyebutkan 22 provinsi dari 34 provinsi se-
Indonesia tercoreng ulah 95 orang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, terdiri dari 50 orang bupati, dua
wakil bupati, 22 wali kota, satu wakil wali kota dan 20 orang gubernur.

Para kepala daerah terbelit perkara korupsi dengan beragam modus, yakni 188 perkara pengadaan barang dan
jasa, 46 perkara pengelolaan anggaran, 23 perkara perizinan, dua perkara pemerasan, tiga perkara
penyalahgunaan kewenangan, 31 perkara TPPU dan 564 perkara penyuapan. (Ant/OL-7)

Sumber: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/270337/penyuapan-dominasi-kasus-korupsi-5-tahun-
terakhir

6. Jejak Kasus Imam Nahrawi hingga Divonis 7 Tahun Penjara


CNN Indonesia | Selasa, 30/06/2020 07:16 WIB

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara. (CNN Indonesia/ Adhi
Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Hakim  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan
hukuman 7 tahun pidana penjara dan denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap mantan Menteri
Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Ia dinyatakan terbukti korupsi terkait pemberian dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) serta gratifikasi sebesar Rp8,3 miliar.
"Mengadili, menyatakan terdakwa IR (Imam Nahrawi) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
beberapa tipikor secara bersama dan berlanjut sebagaimana diancam dakwaan kesatu dan kedua," ujar Hakim
Ketua Rosmina saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/6).
Kasus Imam ini berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI
pada Desember 2018 lalu. KPK baru menjerat Imam sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada 18 September
2019.

Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk commitment fee pengurusan proposal yang
diajukan KONI kepada Kemenpora.

9
Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten
pribadinya, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini.
Imam juga diduga menerima uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018.

Namun, Imam membantah tuduhan lembaga antirasuah tersebut. Ia menilai penetapan tersangka oleh KPK tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
KPK bergeming. Lembaga antikorupsi menegaskan penetapan tersangka Imam sah. Mereka juga telah
memberikan Imam ruang klarifikasi dengan tiga kali panggilan yakni pada 31 Juli, 2 Agustus, dan 21 Agustus
2019, namun Imam selalu mangkir.

Sehari setelah ditetapkan tersangka, Imam menyampaikan surat pengunduran diri sebagai menteri pemuda dan
olahraga ke Presiden Joko Widodo.
KPK kemudian langsung menahan Imam usai usai menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka 27
September 2019.

Gugat Praperadilan
Imam tak begitu saja terima dijerat sebagai tersangka oleh KPK. Politikus PKB itu mengajukan gugatan
praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Imam beserta tim penasihat hukum meminta majelis hakim memerintahkan KPK menghentikan seluruh proses
penyidikan yang sedang berjalan.
Namun, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Elfian menolak seluruh permohonan dalam gugatan
praperadilan tersebut. KPK terus mengusut perkara Imam.
Febri Diansyah, juru bicara KPK saat itu, mengatakan pihaknya menduga Imam menerima suap dan gratifikasi
terkait anggaran fasilitasi bantuan administrasi KONI dalam mendukung persiapan Asian Games 2018.

Kemudian anggaran fasilitasi bantuan kegiatan peningkatan kapasitas tenaga keolahragaan KONI Pusat tahun
2018 dan bantuan pemerintah kepada KONI guna pelaksanaan pengawasan dan pendampingan pada kegiatan
peningkatan prestasi olahraga nasional.

Setelah hampir tiga bulan melakukan penyidikan dengan memanggil sejumlah saksi, KPK melimpahkan berkas
perkara Imam ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada awal 2020.

Imam didakwa menerima suap Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,64 miliar terkait percepatan pencairan dana
hibah KONI.

Ia tak mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK.

Hanya saja dalam nota pembelaan atau pleidoinya, Imam bersumpah tak pernah melakukan persekongkolan
jahat untuk mendapat uang suap dan gratifikasi sebagaimana dakwaan KPK.

Ia pun mengajukan permohonan sebagai justice collaborator (JC) dalam kasus ini. Ia berjanji akan membantu
membongkar aliran uang Rp11,5 miliar. Namun, permohonan JC tersebut ditolak majelis hakim.

Hakim juga menolak seluruh pleidoi yang telah disampaikan Imam.

Bongkar Rp11,5 M
Dalam menjatuhkan putusan, majelis menyebut Imam tak mendukung program pemerintah yang sedang gencar-
gencarnya dalam pemberantasan korupsi dan mencoba menutupi perbuatan dengan tidak mengakui apa yang
sudah dilakukannya.
Meskipun demikian, mejelis menganggap Imam berlaku sopan di persidangan, sebagai kepala keluarga yang
masih memiliki anak kecil, dan belum pernah dihukum sebelumnya.

10
Selain pidana 7 tahun, majelis juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar
Rp18,1 miliar. Majelis juga mencabut hak untuk dipilih menempati jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai
menjalani hukuman pidana.

Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Imam dengan hukuman
10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Atas vonis tersebut, Imam menyatakan pikir-pikir sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya. JPU KPK
juga memutuskan hal serupa.

Namun, Imam menantang KPK serta hakim membongkar aliran uang Rp11,5 miliar dana hibah KONI. Ia tetap
menampik menerima dan menikmati uang tersebut.

"Kami mohon Yang Mulia ini jangan dibiarkan. Kami tentu harus mempertimbangkan untuk ini segala
dibongkar ke akar-akarnya. Karena saya demi Allah saya enggak menerima Rp11,5 miliar," kata Imam sesaat
diberi kesempatan menanggapi putusan hakim, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/6).

(ryn/fra)

di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200629202245-12-518793/jejak-kasus-imam-nahrawi-
hingga-divonis-7-tahun-penjara.

7. Eks Bupati Muara Enim Terima Suap Rp 2,5 M untuk Biayai Istri Maju

Caleg Kompas.com - 08/07/2021, 16:58 WIB

Foto Sidang kasus suap Bupati Muara Enim nonaktif Juarsah digelar secara virtual di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Kelas 1 A Palembang, Kamis (8/7/2021).(KOMPAS.com/AJI YK PUTRA) Penulis
Kontributor Palembang, Aji YK Putra | Editor Aprillia Ika

PALEMBANG, KOMPAS.com - Sidang kasus suap Bupati Muara Enim nonaktif Juarsah digelar secara
virtual di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kelas 1 A Palembang, Kamis (8/7/2021).

Dalam sidang perdana dengan agenda dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menjerat Juarsah dengan Pasal 12 huruf B juncto Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi (tipikor).

Bupati Muara Enim definitif itu diduga telah menerima uang suap sebesar Rp 2,5 miliar dalam kasus korupsi
pembangunan 16 paket proyek pengerjaan jalan pada 2019. Uang tersebut ternyata digunakan oleh terdakwa
untuk kebutuhan Nurhilyah yang merupakan istrinya ketika maju sebagai calon anggota legislatif pada 2019.

JPU KPK Rikhi Benindo Magnaz mengatakan, uang Rp 2,5 miliar tersebut diberikan secara bertahap kepada
terdakwa Juarsah oleh Direktur PT Enra Sari Robi Okta Fahlevi (sudah divonis) selaku kontraktor.

11
Pada 7 Januari 2019, mantan Plt Kadis PUPR Muara Enim, yakni terpidana A Elfin MZ Muchtar, mendapatkan
perintah dari mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani untuk memberikan uang Rp 1 miliar kepada terdakwa.

"Wabup-lah buntu (Wabup sudah tidak ada uang), tolong kau carikan, Fin. Kemudian Elfin menemui saksi Iwan
Rotari menyampaikan permintaan uang untuk keperluan istri terdakwa, yakni Nurhilyah, untuk proses
mengikuti pemilihan legislatif," kata Rikhi dalam dakwaannya.

Setelah itu, uang Rp 1 miliar dibawa oleh Elfin ke tempat kediaman pribadi Juarsah di Jalan Seitalo Nomor 79
IIA Siring Agung, Kecamatan Ilir Barat 1, Palembang. Pada bulan Februari, Juarsah kembali menerima fee Rp
300 juta dan April Rp 200 juta untuk kepentingan pribadinya.

Di awal Juli 2019, Juarsah kembali menerima uang Rp 300 juta. Kemudian, pada awal Agustus menerima 2019
kembali menerima uang Rp 700 juta dengan alasan untuk kepentingan lebaran.

"Terdakwa juga menerima satu handphone jenis iPhone XS yang diberikan oleh saksi Iwan Rotari. Jatah uang
suap terdakwa itu Rp 3 miliar, namun baru ia terima Rp 2,5 miliar," ujarnya. Usai menyampaikan dakwaannya,
ketua majelis hakim Sahlan Efendi menutup sidang dan akan dilanjutkan pekan depan.

Kuasa hukum Juarsah sangkal dakwaan jaksa

Sementara itu, Muhammad Daud Dahlan selaku kuasa hukum terdakwa Juarsah menyangkal atas dakwaan yang
disampaikan oleh JPU.  "Dakwaan ini tidak mendasar, nanti kami akan sampaikan pada eksepsi," ujarnya. Daud
pun meminta agar terdakwa yang kini sedang ditahan di Rutan KPK Jakarta untuk dipindah ke Palembang. Hal
itu dilakukan agar proses persidangan dapat berjalan lancar.

"Kami meminta sidang  dilakukan secara offline di mana setiap persidangan harus dilakukan tatap muka karena
kualitas sidang online yang buruk," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Kabupaten Muara Enim mengalami kekosongan pemimpin usai Juarsah yang menjabat
bupati definitif ditetapkan tersangka dan dilakukan penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas
dugaan korupsi proyek pengerjaan jalan. Sebelum naik menjadi bupati, Juarsah merupakan Wakil Bupati Muara
Enim yang berpasangan dengan Ahmad Yani. Namun, Ahmad Yani lebih dulu dijebloskan oleh KPK ke sel
tahanan hingga divonis hakim selama lima tahun penjara karena telah menerima suap pengerjaan proyek jalan
pada 2019 sebesar Rp 3,03 miliar dari Robi Okta Fahlevi selaku kontraktor.

Kemudian, posisi Sekda Kabupaten Muara Enim pun sampai saat ini masih kosong lantaran sudah pensiun.
Akibat kejadian tersebut, Gubernur Sumsel Herman Deru langsung menunjuk Nasrun Umar yang merupakan
Sekda Pemprov Sumsel sebagai Plh Bupati Muara Enim.

baca: https://regional.kompas.com/read/2021/07/08/165838978/eks-bupati-muara-enim-terima-suap-rp-25-m-
untuk-biayai-istri-maju-caleg?page=all.
Penulis : Kontributor Palembang, Aji YK Putra
Editor : Aprillia Ika

8. Mantan Anggota DPR Bowo Sidik Pangarso Divonis 5 Tahun Penjara Kompas.com - 04/12/2019, 14:51
WIB

12
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso divonis 5 tahun penjara
dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, Rabu (4/12/2019). Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yaitu, 7 tahun penjara dan denda Rp
300 juta subsider 6 bulan kurungan.

Adapun Bowo merupakan terdakwa kasus dugaan penerimaan suap dari petinggi PT Humpuss Transportasi
Kimia (HTK), petinggi PT Ardila Insan Sejahtera (AIS) dan penerimaan gratifikasi. "Mengadili, satu,
menyatakan terdakwa Bowo Sidik Pangarso terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata ketua majelis hakim Yanto saat membaca amar
putusan.

Atas putusan ini Bowo dan jaksa KPK menggunakan masa pikir-pikir selama 7 hari. Menurut hakim, hal yang
memberatkan Bowo adalah perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Sementara hal yang meringankan Bowo adalah bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihukum,
mengakui dan menyesali perbuatannya, bersikap kooperatif dan telah menyerahkan seluruh penerimaan suap
dan gratifikasinya ke pihak KPK.

Majelis hakim tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti lantaran Bowo telah menyerahkan
seluruh penerimaan suap dan gratifikasinya ke pihak KPK.

Di sisi lain, majelis hakim mencabut hak politik Bowo selama 4 tahun sejak ia menjalani masa pidana
pokoknya. Bowo Sidik Pangarso terbukti menerima suap sebesar 163.733 dollar Amerika Serikat (AS) atau
setara sekitar Rp 2,3 miliar dan uang tunai Rp 311,02 juta secara bertahap.

Suap itu diberikan oleh Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti atas
sepengetahuan Direktur PT HTK Taufik Agustono. Pemberian uang itu dimaksudkan agar Bowo membantu PT
HTK mendapatkan kerja sama pekerjaan pengangkutan dan atau sewa kapal dengan PT Pupuk Indonesia
Logistik (PT PILOG).

Kemudian, ia juga dianggap terbukti menerima suap sebesar Rp 300 juta dari Direktur Utama PT Ardila Insan
Sejahtera (AIS) Lamidi Jimat. Penerimaan uang dari Lamidi Jimat itu sebagai kompensasi karena Bowo telah
membantu Lamidi menagihkan pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd. Bowo juga telah membantu
perusahaan Lamidi mendapatkan pekerjaan penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Marine Fuel Oil
(MFO) untuk kapal-kapal PT Djakarta Lloyd.

Selain suap, Bowo dianggap terbukti menerima gratifikasi dari sejumlah pihak dengan nilai 700.000 dollar
Singapura atau Rp 7,1 miliar dan uang Rp 600 juta secara bertahap.

Rinciannya, Bowo Sidik menerima uang sejumlah 250.000 dollar Singapura terkait posisinya selaku anggota
Badan Anggaran DPR RI yang mengusulkan Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan dana alokasi khusus
fisik APBN 2016.

Bowo juga disebut menerima uang tunai sejumlah 50.000 dollar Singapura pada saat mengikuti acara
Musyawarah Nasional Partai Golkar di Denpasar, Bali.

Bowo turut menerima uang 200.000 dollar Singapura dalam kedudukannya selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI yang membahas Peraturan Menteri Perdagangan tentang Gula Rafinasi.

Selanjutnya, Bowo disebut menerima uang sejumlah 200.000 dollar Singapura dalam kedudukannya selaku
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang bermitra dengan PT PLN. Sekitar bulan Februari 2017 Bowo juga pernah
menerima uang sejumlah Rp 300 juta di Plaza Senayan Jakarta. Dan pada tahun 2018 menerima uang sejumlah
Rp 300 juta di salah satu restoran yang terletak di Cilandak Town Square, Jakarta. Pemberian itu dalam
kedudukan Bowo selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang sedang membahas program pengembangan
pasar dari Kementerian Perdagangan untuk Tahun Anggaran 2017.
baca: https://nasional.kompas.com/read/2019/12/04/14514681/mantan-anggota-dpr-bowo-sidik-pangarso-

13
divonis5-tahun-penjara?page=all.

9. Kasus Reklamasi, Gubernur Kepri Nonaktif Divonis 4 Tahun Bui


CNN Indonesia | Kamis, 09/04/2020 14:30 WIB

Gubernur Kepulauan Riau nonaktif Nurdin Basirun saat mengikuti sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor,
Jakarta, Rabu (4/12/2019). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhi vonis
terhadap Gubernur Kepulauan Riau nonaktif Nurdin Basirun dengan pidana empat tahun penjara dan denda
Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Hakim menilai Nurdin terbukti secara sah dan meyakinkan telah
menerima suap dan gratifikasi terkait izin reklamasi.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," ujar Ketua Majelis Hakim
Yanto saat membacakan amar putusan dalam sidang yang diselenggarakan secara online, Kamis (9/4).
Dalam putusannya, Hakim juga mencabut hak politik Nurdin selama 5 tahun. Selain itu, ia juga diharuskan
membayar uang pengganti sebesar Rp4.228.500.000 subsider enam bulan kurungan.

Hakim menuturkan hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program
pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi dan tidak mengakui perbuatannya.
"Sedangkan hal meringankan terdakwa berlaku sopan dan belum pernah dihukum," kata Hakim.

Nurdin dinilai terbukti menerima sejumlah gratifikasi, antara lain, satu tas koper merek Aigner yang berisi uang
Rp463 juta, satu goodie bag berisi uang Rp414 juta, satu dus bertuliskan 'air mineral Bestari' berisi uang Rp500
juta, dan satu tas karton putih bertuliskan 'Pemprov DKI Jakarta' berisi uang Rp659,9 juta.

Nurdin juga disebut menerima gratifikasi dari pengusaha terkait penerbitan izin pemanfaatan ruang laut, izin
lokasi reklamasi, dan izin reklamasi dan Kepala OPD di lingkungan Pemprov Kepri senilai lebih dari Rp4,228
miliar.
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Kepulauan Riau itu juga diyakini telah
menerima uang sebesar Rp45 juta, Sin$5 ribu, dan Sin$6 ribu dari pengusaha Kock Meng, Johanes Kodrat, dan
Abu Bakar melalui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri Edy Sofyan.
Uang itu diberikan agar Nurdin menandatangani surat izin prinsip pemanfaatan laut tentang permohonan izin
prinsip pemanfaatan ruang laut di lokasi lahan laut Piayu Laut, Piayu Batam atas nama Kock Meng dan Abu
Bakar.

Nurdin terbukti melanggar Pasal 12 Ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 jo Pasal 64 KUHP sebagaimana
dakwaan kesatu pertama dan Pasal 12B UU Tipikor sebagaimana dakwaan kedua.

Atas putusan ini, baik Nurdin maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan akan pikir-pikir.
Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan JPU yang sebelumnya menuntut Nurdin dengan pidana enam tahun
penjara dan denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan.

di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200409141032-12-492103/kasus-reklamasi-gubernur-kepri-

14
nonaktif-divonis-4-tahun-bui.

15
10. Eks Anggota DPR Sukiman Divonis 6 Tahun Bui
CNN Indonesia | Rabu, 29/04/2020 18:49 WIB

Eks anggota DPR RI Sukiman terpidana kasus suap alokasi APBN untuk Pegunungan Arfak, Papua Barat.
(Haris Fadhil/detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis terhadap eks anggota
DPR RI, Sukiman, dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Hakim menilai Sukiman telah terbukti menerima suap sebesar Rp2,65 miliar dan US$22 ribu untuk
mengupayakan agar Kabupaten Pegunungan Arfak mendapatkan alokasi anggaran yang bersumber dari APBN
Perubahan Tahun Anggaran 2017 dan APBN Tahun Anggaran 2018.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sukiman berupa pidana penjara selama 6 tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan," ucap Hakim Sunarso saat membacakan amar putusan dalam sidang yang
dilakukan secara online lewat video teleconference, Rabu (29/4).

Dalam putusan tersebut juga hakim menghukum pencabutan hak politik selama lima tahun.

Hakim juga meminta Sukiman agar membayar uang pengganti atas sejumlah uang yang diterimanya. Sukiman
dinilai telah terbukti melanggar dakwaan pertama pasal 12 huruf a Undang-undang Tipikor jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP jo Pasal 66 ayat (1) KUHP.

Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut Sukiman dengan
pidana 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Mendengar putusan ini, penuntut umum menyatakan pikir-pikir. Sedangkan terdakwa Sukiman menyatakan
banding.
"JPU pikir-pikir dan Terdakwa/ Penasihat Hukum banding," demikian disampaikan Pelaksana Tugas Juru
Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri. (ryn/wis)

Baca artikel CNN Indonesia "Eks Anggota DPR Sukiman Divonis 6 Tahun Bui" selengkapnya di
sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200429183332-12-498615/eks-anggota-dpr-sukiman-divonis-6-
tahun-bui.

16
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak bagi rakyat. Rakyat harus
menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor dianggap sebagai terobosan baru dalam
menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset
hasil tindak pidana korupsi dan penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.

Pemiskinan koruptor di Indonesia belum dilaksanakan secara tegas. Pemiskinan koruptor dilakukan dengan 69
perampasan seluruh benda-benda yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau dengan pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan kerugian keuangan negara yang diambil dan yang timbul dari
tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor belum menjadi suatu terobosan hukum bagi penegak hukum di
Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi.

B. Saran

Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Namun perlu dipertimbangkan
lagi mengenai pelaksanaannya. Saran yang dapat kami sumbangkan, yaitu:

1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor. Rekonseptualisasi dengan


memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan koruptor, sehingga
pelaksanaan pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan hukum yang memberikan efek jera
dalam tindak pidana korupsi.

2. Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan pemiskinan koruptor. Contohnya seperti
pendidikan, pemahaman, penjelasan, integritas dari para penegak hukum agar para penegak hukum di Indonesia
melaksanakan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam upaya pembera ntasan tindak pidana korupsi.

17
18

Anda mungkin juga menyukai