Anda di halaman 1dari 7

N ama: H ans Raynadhi

NIM: 201910110311 (338)


U ji Kompetens i 3 Hukum Is lam

“FORMALIS ASI HUKU M PIDAN A ISLAM DI IND ONESIA”

Adanya hal yang berkaitan mengenai formalis as i ataupun dapat


dikatakan sebagai pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indones ia
s ebenarnya bukan menjadi hal as ing lagi bagi masyarakat Indones ia yang
notabene mayoritas penduduk negara Indonesia yang beragama Is lam.
N amun perlu digaris bawahi pula bahw a Pancas ila sebagai Das ar Negara
Indones ia dengan tegas menyatakan bahwa secara fundamental bahwa
negara Indones ia merupakan bangs a yang majemuk dan plural serta terdiri
dari berbagai macam uns ur yang tentunya berbeda-beda s erta beragam.
D engan adanya berbagai macam perbedaan tersebut dimaks udkan untuk
bukan menjadi hambatan ataupun halangan bagi bangs a Indones ia untuk
dapat bersatu secara utuh dan menyeluruh tetapi melainkan perbedaan itulah
yang membuat negara Indonesia s emakin kokoh mempertahankan integras i
bangs a. Tetapi pada kenyataannya memang benar bahw a adanya perbedaan-
perbedaan di s etiap mas yarakat Indones ia terbukti menjadi tantangan bagi
B angs a untuk tetap dapat bersatu.
Terkait dengan formalis as i hukum pidana Islam di Indonesia, tentu
hal ini mendapatkan pro dan kontra dari berbagai lapis an mas yarakat yang
ada di indonesia, jika hukum pidana Is lam diformalis as ikan secara
s epenuhnya di Indonesia, banyak golongan yang mempertanyakan
bagaimana nantinya pengaruhnya terhadap situas i dan kondis i bangs a
Indones ia ke depannya serta bagaimana eksistensi penduduk ataupun
mas yarakat yang beragama non-muslim.
D alam ajaran agama Islam s ebenarnya telah memberikan jawaban atas
s egala persoalan yang bertentangan dengan hal ters ebut. Bahw a syariat
Is lam datang membawa rahmat bagi umat manus ia (A l-Anbiya’: 107 dan
Yunus: 57). Oleh karena itu, ada tiga sasaran hukum Islam: Pertama,
penyucian jiw a, agar setiap mus lim menjadi sumber kebaikan, bukan s umber
keburukan bagi masyarakat lingkungannnya. Kedua, menegakkan keadilan
dalam mas yarakat Is lam, baik yang menyangkut urus an s esama kaum
mus limin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non mus lim) (Al-
M aidah: 8 dan A n-Nahl: 90). Ketiga, dan ini merupakan tujuan puncak yang
harus terdapat dalam s etiap hukum Is lam, ialah kemas lahatan. 1
Gagas an Formalisasi Hu ku m Pidana Is lam
1
Harrys Pratama Teguh. Januari-Juni 2018. “FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG
SEBAGAI SOLUSI BAGI NEGARA DAN DAERAH DALAM MEMINIMALISIR ANGKA KRIMINALITAS”. al Qisthas;
Jurnal Hukum dan Politik Vol. 9, No. 1. 99-133.
F ormalisasi berakar dari kata formal yang berarti resmi, ses uai
dengan aturan atau ketentuan, berdas arkan struktur yang berlaku. O leh
karena itu, is tilah formalis as i dimaknai s ebagai pros es yang dilakukan
terhadap ses uatu agar berdasarkan ketentuan dan s esuai dengan s truktur
yang ada. Dengan demikian, formalisasi hukum Islam pada prins ipnya
mencakup seluruh upaya yang dilakukan oleh umat Is lam di Indones ia ke
arah penerapan atau pemberlakuan hukum Is lam ses uai dengan ketentuan
yang berlaku. 2
P ada realitanya formalis as i hukum Is lam dalam sis tem kenegaraan
s eperti hukum pidana Islam s alah satunya, menjadi permasalahan yang
kerap dialami oleh hampir s ebagian bes ar negara yang memang s ecara
faktanya bukan negara Islam tetapi juga bukan negara yang s ekuler dan
tentunya negara Indones ia termas uk kategori negara seperti ini. Masyarakat
pun juga terkena imbas problematika hal ini karena mayoritas penduduk
Indones ia yang beragama Islam tentunya dituntut untuk menegakkan dan
menerapkan agama Is lam secara kaffah, namun dis amping hal itu juga perlu
diketahui masyarakat ataupun penduduk w ajib menjalankan dan mematuhi
ketentuan regulasi hukum negara yang telah ditetapkan oleh pemerintah
negara Indones ia.
D engan meninjau berdas arkan sis tem kenegaraan negara Indonesia
yang plural dan majemuk, maka seharusnya formalis as i hukum pidana Islam
memperhatikan beberapa aspek penting s eperti bangsa Indonesia s ecara
tegas dan jelas mengakui adanya eksistensi beberapa agama, maka akan
teramat bijaksana bila dalam formalisasi hukum Islam tidaklah menafikan
eks is tens i agama lain yang diakui oleh negara Indones ia yang sedari awal
pembentukan negara ini golongan agama selain Is lam pun mempunyai peran
dan andil dalam pendirian dan pembentukan bangs a Indones ia, lalu
formalisasi hukum Islam hendaklah didirikan atas dasar narasi historia
bangs a Indonesia yang tepat, sehingga simbol perw ujudan hukum Islam
tidak dianggap mengabaikan s ejarah bangsa, s elanjutnya dalam proses
formalisasi hukum Islam perlu memperhatikan berbagai as pek seperti
sosiologis dan kultur budaya. Indonesia merupakan bangs a yang majemuk,
s ehingga formalisasi hukum Islam harus lah tergagas dengan mampu
menunjukan suatu ciri khas bangsa Indonesia tersendiri sehingga bukan
malah A rabisasi melainkan trans formas i nilai- nilai kehidupan yang
mendasar dalam sis tem tata-negara bangsa Indones ia. D an yang paling
penting yakni formalis as i hukum Is lam ini jangan sampai dialihkan ataupun
mengarah kepada naras i pergantian ataupun perubahan sis tem negara Is lam
atau Khilafah karena tentunya hal tersebut bertentangan dengan nilai D asar
N egara bangs a Indonesia P ancasila.
D in amik a Formalis as i Huk um Pid an a Islam d i Ind onesia

2
Rahmatunnair. Januari 2012. “PARADIGMA FORMALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA”. Ahkam: Vol. XII
No.1. 99-108.
F ormalisasi syariat Is lam dalam beberapa perspektif tata hukum
Indones ia ternyata sangat dirasa rumit, karena berkaitan dengan berbagai
aspek his toris, ideologis, politis , yuridis, religius , s osiologis dan kultural,
baik dilingkup nas ional maupun internas ional. Aspek-as pek ters ebut dalam
realitas nya ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan saling memengaruhi
s atu dengan yang lainnya. O leh s ebab itu, proses formalis as i syariat Islam
dalam tata hukum di Indones ia memerlukan waktu yang sangat panjang,
melintas i beberapa periode dan generasi serta memunculkan problematika
yang amat krusial. Jelasnya, melalui formalisasi dan legis lasi, hukum Islam
telah bergeser dari otoritas hukum agama (divine law ) menjadi otoritas
hukum negara (s tate law ). 3
Hukum pidana termas uk ranah hukum publik. H ukum pidana
merupakan hukum yang beris ikan aturan hubungan antar-subyek hukum
dalam aspek perbuatan- perbuatan yang dilarang s erta yang diharus kan untuk
dilakukan oleh peraturan perundang-undangan dan bagi pelanggar akan
mendapatkan sanksi pidana ataupun denda. Kemudian dalam hukum pidana
dikenal adanya dua is tilah perbuatan yakni pelanggaran dan kejahatan.
P elanggaran adalah perbuatan yang dinyatakan terlarang dilakukan menurut
peraturan perundangan tetapi tidak mes ti memberikan pengaruh s ecara
langs ung terhadap orang lain. Sedangkan kejahatan adalah perbuatan yang
bukan hanya bertentangan peraturan perundang-undangan tetapi juga
melanggar nilai moral, agama dan keadilan dalam masyarakat. Contohnya
s eperti membunuh orang lain, mencuri, memperkos a dan berzina, pelaku
tindak pidana kejahatan akan memperoleh sanksi berupa pemidanaan.
Hukum pidana di Indones ia secara general diatur dalam Kitab U ndang-
undang Hukum P idana (KU HP).
D alam ajaran agama Islam, hukum pidana berkaitan erat dengan
istilah “Qishas h” atau qisas yang bermakna pembalasan yang setimpal
ibarat seperti nyaw a dengan nyaw a. Dalam hal penerapan hukum pidana
Is lam di Indonesia kemudian terbagi menjadi beberapa pers pektif ataupun
pandangan seperti golongan yang menghendaki hukum pidana Islam
diterapkan s ecara kes eluruhan tanpa adanya keturut-s ertaan hukum lain
yang telah res mi sebelumnya. Lalu golongan yang percaya dan yakin bahw a
hukum pidana Is lam layak dis etarakan dengan hukum adat dan hukum barat
menjadi sumber rujukan hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya adapun
golongan yang kemudian malah meyakini bahw a syariat Is lam harus
ditegakkan s epenuhnya (kaffah) dengan demikian perlu adanya sistem
pemerintahan Islam. Dan golongan yanghanya sekedar beranggapan bahw a
hal yang paling utama ialah nilai- nilai syariat Islam itu dapat dijalankan.
B erdasarkan berbagai perspektif ters ebut kemudian timbulah beberapa
alternatif penerapan hukum pidana Islam di Indonesia s eperti P eralihan
s istem hukum pidana nasional berganti menjadi hukum pidana Is lam,
Eks tens i kompetens i P eradilan Agama dan Perubahan Ins titusi. Mes kipun
3
Faisal. Januari 2012. “MENIMBANG WACANA FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA”. Ahkam:
Vol. XII No.1. 37-50.
dalam pelaksanaannya formalisasi hukum pidana Is lam di Indonesia
berjalan dengan lambat dan tidak maksimal karena masih terdapat anggapan
bahwa hukum pidana Is lam bertentangan dengan Hak Asasi M anusia, tetapi
s etidaknya hukum Is lam sebagai hukum yang hidup dan ditaati dalam
mas yarakat (living law ) telah berhasil menunjukkan sebuah fakta empiris
dimana dengan adanya “akar sejarah” dalam lingkup mas yarakat Is lam yang
kemudian terealisasikan melalui adanya w ujud nyata dari teori Receptio in
C omplexu.

Ak tualisasi Formalis as i Hu kum Pid an a Islam di Ind on es ia


B entuk trans formas i hukum pidana Islam di Indonesia, berdas arkan
subs tans i ataupun isinya merujuk kepada prins ip syari’ah ialah aturan yang
s eimbang dan adil antara sanks i dan kejahatan yang diperbuat, serta antara
pelaku dan korbannya. Transformasi hukum pidana Is lam di Indones ia telah
terangkai dalam formulas i hukum yaitu perbuatan ataupun tindakan yang
dianggap “J arimah” dalam A l-Quran menurut U ndang-Undang juga
dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelaku tindak pidana ters ebut akan
dimintai atau dituntut pertanggung- jawaban pidananya.
Kontekstualisasi hukum pidana Islam di Indonesia mempertimbangkan
model obyektifikasi hukum, yakni menjadikan hukum pidana Is lam bers ifat
obyektif sehingga dapat diterima oleh seluruh lapis an mas yarakat
Indones ia, dengan tidak membedakan s uku, adat, budaya dan agama.
Obyektifikas i hukum pidana Is lam di Indones ia dijadikan landas an
dis amping hukum Islam s ecara res mi menjadi s umber hukum N as ional juga
dijadikan dasar pijakan bagi pembentukan hukum nasional yang
mas yarakatnya majemuk dengan ditaw arkannya nilai- nilai univers al, seperti
nilai keadilan dan kesamaan di depan hukum, s ehingga nilai- nilai ters ebut
diterima oleh seluruh warga negara tanpa mempers oalkan as al us ul dari
nilai ters ebut. 4
M aka kemudian di dalam pengaktualis as ian formalis as i hukum pidana
Is lam, obyektifikasi menjadi s alah satu as pek utama yang hendak dicapai
karena dengan hal itu lah di dalam proses berjalannya formalisasi hukum
pidana Islam di Indonesia dapat terlaks ana dengan baik dan maks imal
karena seluruh pihak dan golongan selaras berdampingan dan s aling
dukung-mendukung antara satu dengan yang lainnya tanpa perlu lagi
mempermasalahkan asal dan juga sumbernya s ebab yang terpenting ialah
subs tans i dari hukum ters ebut mampu mengatur dan menjangkau setiap
aspek permasalahan dan mewujudkan kehidupan bers ama dengan harmonis .
Up aya Formalis as i Huk um Pid an a Islam di Ind on esia
B ila dihubungkan dengan opini terkait P iagam Jakarta, P ancasila dan
UUD 1945, maka dapat nampak dengan jelas maks ud dari rumus an Piagam
4
Makhrus Munajat. Juni 2015. “Kontekstualisasi Hukum Pidana Islam dalam Pembaruan Hukum Pidana
Nasional”. SUPREMASI HUKUM Vol. 4, No. 1. 17-39.
J akarta didalamnya menjiwai Undang-Undang D asar 1945 yang merupakan
kes atuan rangkaian konstitus i negara. Rumusan ters ebut menyatakan adanya
suatu keyakinan dan pandangan bahw a dalam as pek urus an kenegaraan dan
juga keagamaan (Islam) itu tidak dapat terpis ahkan. Selain itu, adanya
dorongan oleh UUD 1945 menurut Pas al 29 ayat 1 dan 2, “Negara
berdasarkan atas ketuhanan Yang M aha Esa. Negara menjamin kemerdekaan
tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu”. Dengan hal ters ebut kemudian
menegas kan kembali bahwa Indones ia merupakan negara yang dilandasi
dengan asas ketuhanan, maka tak heran apabila dalam lingkup masyarakat
diberikan kebebas an beribadah dan memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya mas ing-mas ing tanpa dipengaruhi oleh hal apapun.
M aka sebenarnya kita dapat menarik suatu kesimpulan dari narasi ini
dimana bila dalam ke depannya formalis as i hukum pidana Islam benar-benar
berjalan s ecara s epenuhnya maka golongan non-muslim tidak perlu takut,
khawatir atau bahkan merasa teras ingkan karena pada das arnya
pemberlakuan hukum pidana Is lam ters ebut tidak mungkin akan
mengesampingkan pihak non-muslim karena hukum Islam merangkul dan
menjangkau s etiap lapisan golongan mas yarakat tidak terkecuali orang-
orang yang beragama s elain Islam. Bahkan hukum Is lam pun memberikan
dampak kebaikan s erta rasa keadilan yang setara antara setiap manus ia
tanpa dikecualikan oleh perbedaan apapun termas uk agama. Dalam beberapa
contoh pun dalam pemberlakuan syari’at Is lam di daerah tertentu malah
mendapatkan dukungan dan dorongan dari kalangan non-mus lim dimana hal
ini kemudian menunjukkan dengan adanya pemberlakuan hukum Islam
tersebut juga memberikan dampak positif kepada pihak non-muslim tanpa
ada dirugikan sedikitpun, berkaitan dengan adanya naras i dan opini yang
menyatakan ketakutan, kekhawatiran dan keraguan pihak non-mus lim
terhadap pemberlakuan syari’at Islam ini kemudian malah dipertanyakan
s ebab dan alas an empiriknya karena tidak menutup kemungkinan naras i dan
opini negatif yang digiring tersebut hanya s ebatas tindakan oknum non-
mus lim sepihak yang memiliki kepentingan dan bertujuan de-islamis as i
yang merupakan wujud agenda s is i Barat di Indones ia.
D itinjau melalui opini dari segi Ras ional- Objektif, perlu adanya
pemahaman mendas ar dan aktual bahwa s emis al s eorang mus lim yang
melanggar hukum kenegaraan tentunya tidak akan s erta-merta langs ung
dikategorikan sebagai “kafir”, “murtad” ataupun dianggap “sekuler” ketika
menerima hukum pidana bertipikal sekuleris me. D an begitupun juga
s ebaliknya, orang-orang non-muslim pun tidak akan menjadi terislamkan
ataupun terpengaruhi keyakinannya dengan adanya pemberlakuan hukum
Is lam. Y ang kemudian hal-hal ters ebut seharusnya dapat menjadi landas an
pertimbangan dalam upaya menemukan hukum (pidana) yang paling tepat
dan ses uai bagi bangs a Indonesia. Pada intinya hukum pidana Islam di
dalam pemberlakuannya berlaku s ecara umum dan universal, tanpa mengikis
keyakinan dan norma-adat kelompok golongan mas yarakat non-muslim.
D engan demikian perlu adanya komunikasi mendalam dalam hal
menyampaikan makna saling pengertian antara s atu dengan yang lainnya
untuk meyakinkan pihak non-mus lim dalam keefektivitasan pemberlakuan
hukum pidana Is lam yang terbutki secara ras ional mampu memberikan efek
jera terhadap pelaku tindak pidana dan juga berhas il menekan angka
kejahatan dalam kehidupan bermas yarakat dan bernegara.

Pos is i KUHP S aat Diformalis as ik an Huku m Pidana Is lam


D engan terformalis as ikannya hukum pidana Islam, maka KUHP dalam
pros es nya berposisi dalam menangani pers oalan- pers oalan yang belum
tercakup dalam aturan hukum pidana Is lam dikarenakan pros es nya yang
berjalan tahap demi tahap. Dan dalam kenyataannya diperlukan proses dan
w aktu yang cukup panjang mes kipun hanya beberapa peraturan daerah saja.
Hukum pidana Islam diformalisasikan menjadi problematika- problematika
hukum pidana, dalam draft ataupun rancangan peraturan daerah s yari’at
Is lam yang belum diresmikan atau disahkan maka KUHP dapat dijadikan
rujukan dan pedoman. D an kemudian kedepannya, KUHP pun dapat berjalan
beriringan dengan hukum pidana Islam terkait takzir dan mukhalafat,
s ehingga s ebenarnya antara hukum pidana Islam dengan KUH P tidak
cenderung terlalu kontradiks i karena dapat saling melengkapi dan
dis es uaikan antara satu s ama lain.

Keraguan S eju mlah Pih ak dan Up aya Menjawabnya


B erkaitan dengan keraguan Akan F ormalisasi S yariat Is lam dengan
Argumen Subs tans i Islam, terdapat sebagian oknum yang menyatakan
s eolah-olah menerima syari’at Is lam tetapi kemudian menolak adanya
penerapan pemberlakuan hukum Islam dengan alasan bahw a pemberlakuan
hukum Islam dapat tetap berjalan mes kipun tanpa adanya formalisasi hukum
Is lam karena yang paling utama adalah isi, substansi dan nilai-nilai dari
hukum Islam itu sendiri s ehingga tidak diperlukan adanya hukum Islam
yang kemudian diformalis as ikan bahkan sampai membentuk sis tem
kenegaraan Is lam.
Adapun pernyataan- pernyataan s eperti berikut, “U ntuk apa
formalisasi jika justru kemudian menyimpang dari s yariah Is lam.” Hal ini
dapat dijaw ab dengan dua jaw aban: Pertama, karena hal itu akan sangat
menentukan arah, tujuan, serta bagaimana negara diatur. Lagi pula “tidak
ada aturan yang diterapkan sekedar subs tans inya saja.” Hukum-hukum
w aris an pemerintah kolonial Belanda dan ideologi sekuleris me- liberalisme
s aja diperjuangkan oleh sejumlah pihak di negeri ini agar meraih formalitas
dalam perundang-undangan dan hukum. Belum lagi kata- kata dalam
perundang-undangan bisa saja ditafs irkan berbeda-beda, maka harus ada
formalitas dengan kata- kata yang tegas bahwa hukum-hukum dari syariat
Is lam memang ditegakkan. Kedua, tidak diterapkannya formalisasi s yariat
Is lam akan mendatangkan main hakim s endiri dalam hal peradilan dan
penghukumannya, padahal s udah diterima secara universal bahw a negara
dan bangs a yang ingin mencapai keadilan tidak bisa main hakim sendiri. 5
B arangkali adanya keraguan dengan alas an negara dan daerah
Indones ia tidak semuanya beragama Islam, bangsa yang plural dan negara
majemuk telah menjadi argumen terdepan dalam menentang formalisasi
hukum pidana Is lam di Indones ia. N amun hal ini sebenarnya pun juga telah
terjawab dengan meninjau keadaan dari suatu negara dimana aspek
mayoritas -minoritas tidak memiliki hubungan dengan penyelenggaran
ketatanegaraan yang dimana tentunya tidak memungkinkan terbentuknya
s istem negara ters ebut kemudian diterima, dis epakati dan direstui
s epenuhnya oleh s eluruh rakyat dan s etiap individu dalam mas yarakatnya,
tetapi yang paling penting s ebenarnya adalah s istem hukum yang diterapkan
kemudian mampu memberikan dampak dan pengaruh yang pos itif bagi
s eluruh pihak dalam mas yarakat.
D an diperkuat kembali dengan fakta Daulah Islam di M adinah yang
didirikan Nabi Muhammad saw s ekalipun berdasarkan dan berhukum Is lam
namun masyarakatnya heterogen, sekalipun begitu hukum Islam s angat
menghargai dan menghormati hak-hak kaum Yahudi, N asrani dan Arab
Musyrik di sana s erta tidak ada pemaksaan mas uk Islam, mereka hidup
dengan keadilan dan ketentraman. 6
O leh karena itu jika yang diformalkan adalah prins ip-prinsip umum
syari’at Islam yang bisa membaw a kemaslahatan bagi s emua golongan maka
formalisasi s yari’at Islam tidak akan menimbulkan mas alah. Tapi jika umat
Is lam mau memformalkan hukum pidana Is lam peninggalan mas a lalu maka
mereka harus berani melakukan reformas i dan reinterpretas i terhadap
bagian- bagian yang sudah tidak relevan dengan perkembangan mas a kini
agar bis a diterima dan kiranya bis a membawa mas lahat bagi s emua orang.
D alam era demokras i peluang untuk memasukkan unsur-unsur syari’at Is lam
kedalam undang-undang tetap bes ar meskipun tantangannya juga besar.
O leh karena itu umat Islam tidak perlu memaksakan diri untuk memasukkan
syari’at Islam dalam konstitus i maupun dalam undang-undang. Karena
syari’at Islam s ebagai norma etika sebenarnya bisa dilaks anakan dengan
maupun tanpa adanya legitimas i dari negara. 7

5
Harrys Pratama Teguh. Januari-Juni 2018. “FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG
SEBAGAI SOLUSI BAGI NEGARA DAN DAERAH DALAM MEMINIMALISIR ANGKA KRIMINALITAS”. al Qisthas;
Jurnal Hukum dan Politik Vol. 9, No. 1. 99-133.
6
Harrys Pratama Teguh. Januari-Juni 2018. “FORMALISASI HUKUM PIDANA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG
SEBAGAI SOLUSI BAGI NEGARA DAN DAERAH DALAM MEMINIMALISIR ANGKA KRIMINALITAS”. al Qisthas;
Jurnal Hukum dan Politik Vol. 9, No. 1. 99-133.
7
Nurrohman. Mei 2012. “FORMALISASI SYARI’AT ISLAM DI INDONESIA”. Al-Risalah | Volume 12 Nomor 1. 79-
93.

Anda mungkin juga menyukai