Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

INFEKSI ODONTOGENIK 1

OLEH :
EISYIE WINAWATY
40620016

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2021
A. Penyebaran Abses Rahang Atas
 Peluasan abses pada gigi rahang atas dapat meluas ke labial pada abses gigi anterior
dan bukal pada abses gigi posterior. Perluasan ke bukal dapat meluas lagi ke palatal
khususnya abses pada gigi premolar dan molar. Sedangkan abses pada gigi caninus
dapat meluas ke fossa canina
 Penjalaran infeksi ke labial atau ke bukal dapat menjadi vestibular abses atau facial
space infecition, ditentukan oleh hubungan antara tempat perforasi tulang perlekatan
otot-otot pada tulang maksila yaitu m. buccinator dan m. levator anglioris.

B. Penyebaran Abses Rahang Bawah


 Perluasan abses gigi rahang bwah dapat meluas ke lingual pada gigi anterior dan ke
bukal pada gigi posterior
 Penyebaran infeksi molar bawahyang ke arah bukal ditentukan oleh perlekatan m.
buccinator menyebabkan vestibular abses. Sedangkan pada gigi posterior yang
apeksnya terletak di sekitar m. mylohyoid, absesnya akan meluas ke ruang
submandibula

 Vestibular Abses
Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan menyebabkan
abses vestibular. Sebaliknya, jika akar gigi lebih dekat dengan permukaan palatal maka yang
terjadi adalah abses palatal. Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam
jaringan lunak, arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada
tulang rahang, utamanya yaitu m.buccinator pada maksilla dan mandibula, dan m.mylohyoid
pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan di
bawah perlekatan m. buccinators maka akan terjadi abses vestibular.
Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umumnya menjalar ke arah labial atau
bukal dan dapat menjadi abses vestibular atau fascial space infection ditentukan oleh
hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada tulang maksila,
yaitu m. buccinators dan m. levator anguli oris. Infeksi dari gigi kaninus juga dapat
mengakibatkan terjadinya abses labial atau abses vestibular jika terjadi penetrasi pus pada
perlekatan muskulus. Abses tersebut dapat terjadi bila penetrasi pus tersebut terjadi di atas
muskulus levator pada bibir atas. Di rahang bawah, infeksi periapikal dari gigi insisif,
caninus, dan premolar pada umumnya akan merusak korteks di buccal plate sehingga
menjadi abses vestibular. Penyebaran infeksi molar bawah yang ke arah bukal juga
ditentukan oleh perlekatan m. buccinator. Apabila pus keluar di bawah perlekatan otot
tersebut maka yang terjadi adalah abses vestibular, bila pus keluar di bawah perlekatan otot
tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau peri-mandibular infection.
Penyebaran infeksi molar rahang bawah yang ke arah lingual ditentukan oleh relasi antara
letak apeks akar gigi molar dan tempat perlekatan m. mylohyoid. Bila pus keluar dari dinding
lingual di atas perlekatan m.mylohyoid maka akan terjadi sublingual space abscess,
sebaliknya bila pus keluar di bawah perlekatan otot tersebut akan timbul submandibular
space abscess.
 Submandibular Abses
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohiod. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk diruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari dareah kepala dan leher.
Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah sekeliling batas
posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-akar gigi molar dibawah
mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi dapat timbul di trigonum
submandibularis.

C. Golongan Obat-Obatan
1. Analgesik
1) Golongan opioid
a) Morfin
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat
mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi
yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual, muntah, hiperaktif reflek
spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-
opioid. Apabila nyerinya makin besar dosis yang diperlukan juga semakin
besar. Morfin sering digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul
padainfark miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi
akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner, perikarditis akut,
pleuritis dan pneumotorak spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar,
fraktur dan nyeri pasca bedah.
b) Petidin
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor
μ. Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek
analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu
paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin,
tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5
jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri
neuropatik.
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada
beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa
kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga
untuk menimbulkan analgesiaobstetrik dan sebagai obat preanestetik.
c) Fentanil
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu
analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin.
Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan
lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil
(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.
Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah
(dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor
opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol
untuk menimbulkan neureptanalgesia.
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3
mg /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksianastesia dan
pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi
dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50
mg/m.
2) Golongan Non-Opioid
a) Salicylates
Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat
biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase
secara ireversibel, pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang
biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung (intoleransi). Efek ini
dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama
makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).
b) p-Aminophenol Derivatives
Contoh obatnya: Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari
fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan
perifer dan tidak memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini
berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia,
nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping kadang-kadang
timbul 10 kali peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat
menimbulkan pusing, mudah terangsang dan disorientasi.
c) Indoles and Related Compounds
Contoh obatnya: Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada
aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping
menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare,
pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis, serta menimbulkan nyeri
kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.
d) Fenamates
Contoh obatnya: Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan
asam fenamat, mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang
serupa dengan obat-obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan
lain yang melebihinya. Obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral.
Dikontraindikasikan pada kehamilan.
e) Arylpropionic Acid Derivatives
Contoh obatnya : Ibuprofen (Advil), tersedia bebas dalam dosis
rendah dengan berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada
mereka yang menderita polip hidung, angioedema, dan reaktivitas
bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping: gejala saluran cerna.
f) Pyrazolone Derivatives
Contoh obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan
artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya
efek anti-inflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius
seperti agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis
tubulus ginjal.
g) Oxicam Derivatives
Contoh obatnya: Piroxicam (Feldene), obat AINS dengan struktur baru.
Waktu paruhnya panjang untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai
kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash.
h) Acetic Acid Derivatives
Contoh Obatnya: Diclovenac (Volatren): Obat ini adalah penghambat
siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi, analgetik, dan
antipiretik. Waktu paruhnya pendek, dianjurkan untuk pengobatan arthritis
rheumatoid dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya distress
saluran cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak lambung.
i) Miscellaneous Agents
Contoh obatnya: Oxaprozin (Daypro). Obat ini mempunyai waktu paruh
yang panjang. Obat in memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang
berkaitan dengan obat AINS lain.
2. Antibiotik
3) Golongan β-Lactam
Antibiotik β-Lactam bekerja mengambat sintesis dinding sel dengan
mengikat PBP (Penicillin-binding Protein) pada bakteri dan mengganggu ikatan
silang (cross-linking) struktur peptidoglikan yang mencegah transpeptidasi
terminal di dinding sel bakteri. Dengan demikian, dinding sel bakteri menjadi
lemah dan terjadi sitolisis atau kematian karena tekanan osmotik. Penisilin,
Sefalosporin, Monobactam, dan Carbapenem adalah golongan antibiotik β-lactam.
1) Penisilin
Golongan penisilin memiliki struktur umum yang terbentuk dari cincin
tiazolidin yang melekat pada cincin β-Lactam mebawa gugus amino bebas
sehingga membentuk inti asam 6-aminopenicillanic (6-APA). Substituen ke
struktur inti di situs kelompok amino menimbulkan obat individu dari kelas
ini yang masing-masing memiliki sifat antibakteri dan sifat farmakologis yang
unik. Penisilin dapat digolongkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a) Penisilin Natural (Penisilin G dan Penisilin V)
Penisilin G dan Penisilin V (fenoksimetilpenisilin) memiliki spektrum
aktifitas yang sempit karena pengembangan enzim β-Lactamase yang
dibentuk oleh kuman (penisilinase) aktif terhadap penisilin sehingga
menyebabkan resistensi. Penisilin V merupakan bentuk oral dari penisilin
G yang memiliki struktur kimia stabil dalam lingkungan asam dan
bioavaibilitas yang baik (oral). Penisilin G merupakan obat infeksi pilihan
yang disebabkan oleh streptococci, meningococci, beberapa enterococci,
pneumokokus yang rentan terhadap penisilin, staphylococci penghasil
non-β-laktamase, Treponema pallidum, Actinomyes dan beberapa batang
gram positif lainnya, serta organisme anaerob gram negatif penghasil non-
β-laktamase. Benzathine dan Procaine Penicillin G digunakan secara
injeksi intramuscular dengan penggunaan jangka panjang. Injeksi
Benzathine penicillin intramuscular adalah pengobatan efektif untuk
faringitis yang disebabkan oleh streptococcus dan infeksi lain oleh
Treponema pallidum.
b) Penisilin Resisten β-Lactamase (Methicillin, Cloxacillin, Dicloxacillin,
Oxacillin, Nafcillin)
Penisilin semisintetik ini diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh
staphylococcus penghasil β-Lactamase. Molekul dari antibiotik ini
mengandung gugusan yang mengelilingi dan melindungi cincin βLactam
sehingga β-Lactamase tidak dapat mendekati molekul untuk
menguraikannya. Methicillin merupakan yang pertama dibuat dalam
kelompok ini namun secara klinis tidak digunakan lagi karena tingginya
efek samping. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan antibiotik ini
dikurangi penggunaannya secara empiris karena meningkatnya resistensi
staphylococcus terhadap methicillin (MRSA). Oxacillin dan Nafcillin
diberikan secara intravena untuk infeksi staphylococcus yang serius
seperti endocarditis.
c) Extended-Spectrum Penicillin (Aminopenicillin, Carboxypenicillin,
Ureidopenicillin)
Obat-obat ini memiliki aktivitas yang besar dalam menembus membran
luar bakteri gram negatif. Aminopenicillin (amoxisilin dan ampisilin)
masing-masing memiliki spektrum yang serupa, namun amoxisilin
diberikan secara oral untuk mengobati bakteri sinusitis, otitis dan infeksi
saluran pernapasan bawah. Aminopenicillin merupakan antibiotik β-
Lactam oral yang paling aktif dan lebih disukai untuk mengobati infeksi
yang disebabkan oleh bakteri pneumococci. Ampisilin umumnya
digunakan secara intravena yang efektif untuk infeksi shigella. Selain
aminopenicillin, Carboxypenicillin (Karbenisilin dan Tikarsilin) dan
Ureidopenicillin (Piperasilin) juga merupakan penisilin berspektrum luas
terhadap bakteri gram negatif, termasuk P aeruginosa. Piperasilin juga
aktif terhadap beberapa basil gram negative, seperti Klebsiella pneumonia,
pseudomonas dan Bacteroides fragilis. Aminopenicillin dan
antipseudomonal umumnya digunakan kombinasi dengan β-Lactamase
inhibitor seperti klavulanat, sulbactam atau tazobactam sehingga mampu
memperluas aktivitasnya terhadap S. aureus dan beberapa bakteri gram
negatif penghasil β-Lactamase.
2) Sefalosporin
Sefalosporin memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan penisilin
namun memiliki spektrum aktivitas lebih luas dari penisilin karena stabilitas
yang lebih besar dengan adanya β-Lactamase. Inti dari sefalosporin adalah
asam 7- aminocephalosporanic yang memiliki kemiripan yang dekat dengan
asam 6-aminopnecillanic. Sefalosporin diklasifikasikan menjadi 4 generasi
dengan spektrum aktifitas antianaerob lebih luas, aktivitas antipseudomonal,
dan peningkatan stabilitas pada β-Lactamase.
a) Sefalosporin Generasi Pertama
Sefazolin, Sefadroxil, Sefaleksin, Sefalotin, Sefapirin dan Sefradin
merupakan sefalosporin generasi pertama yang sangat aktif terhadap cocci
gram positif, seperti streptococci dan staphylococci tetapi kurang efektif
terhadap bakteri gram negatif.
b) Sefalosporin Generasi Kedua
Sefalosporin generasi kedua lebih stabil terhadap β-Lactamase gram
negatif dan sangat aktif melawan Haemophilus influenza dan Neisseria
gonorrhoeae tetapi memiliki aktifitas lebih rendah terhadap gram positif.
Sefalosporin yang termasuk generasi kedua adalah Sefaklor, Sefamandole,
Sefonisid, Sefuroksim, Sefprozil, Loracarbef, dan Cephamycins
(Sefoksitin dan Sefotetan).
c) Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefalosporin generasi ketiga memiliki aktifitas terhadap gram negatif yang
lebih besar, aktifitas terhadap streptokokus yang baik, mampu menembus
sawar darah otak tetapi aktifitas stafilokokus lebih rendah dibandingkan
dengan generasi sebelumnya. Obat generasi ketiga dikaitkan dengan
insiden diare yang tinggi disebabkan oleh Clostridium difficile. Antibiotik
yang termasuk sefalosporin generasi ketiga di antaranya Sefoperazon,
Sefotksim, Seftazidim, Seftizoksim, Seftriakson, Sefiksim, Sefdinir,
Seftibuten dan Moxalactam.
d) Sefalosporin Generasi Keempat
Sefepim adalah satu-satunya sefalosporin generasi keempat memiliki
spektrum paling luas (broadest-spectrum) diantara sefalosporin lainnya
karena lebih tahan terhadap hidrolisis oleh kromosom β-Lactamase dan
mudah terpenetrasi ke dalam cairan serebrospinal.
3) Carbapenem
Carbapenem termasuk golongan antibiotik β-Lactam yang mampu
menahan hidrolisis enzim β-Lactamse sehingga aktifitas antibiotik tetap
bekerja. Carbapenem, diantara ratusan antibiotik β-Lactam yang diketahui,
memiliki spektrum aktivitas terluas dan potensi terbesar melawan bakteri
gram positif dan gram negatif sehingga sering disebut “antibiotik pilihan
terakhir” yang diberikan ketika pasien dengan infeksi parah atau diduga
memiliki bakteri resisten. Imipenem, Meropenem dan Ertapenem termasuk
kelompok Carbapenem yang memiliki broad spectrum.
4) Monobactam
Struktur cincin β-Lactam dari Monobactam berdiri dan tidak menyatu dengan
cincin lain. Aztreonam merupakan satu-satunya antibiotik yang tersedia secara
komersial dengan spektrum sempit. Aztreonam hanya aktif terhadap bakteri
gram negatif aerob.
4) Golongan Makrolida
Antibiotik makrolida memiliki struktur utama cincin lakton yaitu amino
dan gula netral dilekatkan oleh ikatan glikosidik. Mekanisme kerja antibiotik
Makrolida yaitu penghambatan pertumbuhan bakteri (bacteriostatic), tetapi dalam
konsentrasi yang tinggi dapat mematikan bakteri (bacterisidal). Erythromycin
merupakan obat pertama kali yang tersedia di kelompok ini, Clarithromycin dan
Azithromycin merupakan turunan dari Erythromycin yang memiliki aktivitas
menghambat sintesis protein dengan mengikat subunit 50S ribosomal RNA
bakteri.
5) Golongan Kloramfenikol
Mekanisme kerja kloramfenikol menghambat sintesis protein bakteri
dengan mengikat secara terbalik ke subunit 50S ribosom sehingga menghambat
pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol merupakan antibiotik broad-spectrum
yang berkhasiat bakteriostatik terhadap gram positif aerob maupun anaerob dan
bakteri gram negatif.
6) Golongan Oxazolidinones
Oxazolidinone menghambat sintesis protein dengan mencegah
pembentukan kompleks ribosom yang menginisiasi sintesis protein. Situs
pengikatannya yang unik yaitu terletak di RNA ribosom 23S dari subunit 50S
yang menghambat sintesis protein pada taraf dini sekali, menghasilkan tidak ada
resistensi silang dengan kelas obat yang lain. Linezolid merupakan Oxazolidinone
yang aktif terhadap bakteri gram positif.
7) Golongan Tetrasiklin
Tetrasiklin meripakan antibiotik broad-spectrum bersifat bakteriostatik
yang menghambat sintesis protein. Tetrasiklin menembus bakteri melalui difusi
pasif dan proses transport aktif bergantung pada energi. Saat sudah memasuki sel,
tetrasiklin mengikat subunit 30S ribosom bakteri secara reversible sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri. Beberapa obat yang termasuk tetrasiklin
antara lain doksisiklin, minosiklin, dan tigesiklin. Tetrasiklin aktif terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif termasuk anaerob.
8) Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida di antaranya adalah Streptomisin, Neomisin, Kanamisin,
Amikasin, Gentamisin, dan lain-lain. Aminoglikosida merupakan antibiotik yang
menghambat sintesis protein secara irreversible dengan mengikat subunit 30S
ribosom. Aminoglikosida menghambat sintesis protein dengan mengganggu
inisiasi kompleks dalam pembentukan peptida, kesalahan dalam translasi mRNA,
dan memecah polisom menjadi monosom nonfungsional. Spektrum kerja
Aminoglikosida luas meliputi gram negative.
9) Golongan Quinolon
Quinolon bekerja langsung terhadap sintesis DNA bakteri. Mekanisme
kerjanya yaitu menghambat topoisomerase II (DNA gyrase) untuk mencegah
transkripsi dan replikasi normal oleh DNA superkoil; dan menghambat
topoisomerase IV untuk mengganggu pemisahan DNA kromosom yang
direplikasi ke sel anak selama pembelahan sel. Antibiotik yang termasuk
Quinolon yaitu Siprofloksasin, Levofloksasin, Lomefloksasin, Floksasin,
Ofloksasin, dan lain-lain. Quinolon memiliki aktivitas yang sangat baik terhadap
bakteri gram negatif dan aktivitas sedang hingga baik terhadap bakteri gram
positif.
10) Golongan Sulfonamid
Mekanisme kerja Sulfonamid yaitu menghambat dihidropteroat sintase dan
produksi folat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Sulfonamida mampu
menghambat bakteri gram poitif dan bakteri gram negatif.
3. Anti-inflamasi
 Anti-Inflamasi Non Steroid
1) Golongan Para Aminofenol
Turunan para aminofenol terdiri dari asetaminofen, fenasetin, dan
asetamilid. Turunan para aminofenol ini mempnyai efek analgesik dan anti
piretik sama kuat dengan asetosal khususnnya asetaminofen dan fenasetin.
Tapi efek anti inflamasinya sangat lemah. Obat ini dianggap paling aman
karena tidak menyebabkan iritasi lambung yang hebat jika di konsumsi.
2) Golongan Salisilat
Asam asetil salisilat atau asetosal adalah golongan yang banyak
digunakan oleh masyarakat. Salisilat dapat menghilangkan nyeri ringan
sampai sedang, seperti sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi. Obat ini dapat
menghilangkan rasa nyeri secara perifer melalui penghambatan pembentukan
prostaglandin di tempat inflamasi. Obat golongan salisilat ini juga mampu
menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan efektif. Efek penurunan suhu tubuh
yang dilakukan obat ini terjadi karena adanya penghambatan pembentukan
prostaglandin di hipotalamus. Penurunan panas ini juga didukung dengan
mengalirnya aliran darah ke perifer dan pembentukan keringat. Salilsilat
bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak spesifik misalnya sakit kepala,
nyeri sendi, nyeri haid, mialgia, dan neuralgia. Contohnya: aspirin (asam
asetilsalisilat), diflunnisal (dolobid), asam salisilat dan salisilat lainnya,
salsalate.
3) Golongan Pirazolon
Turunan pirazolon terdiri atas fenilbutazon, dipiron, antipirin, apazon,
aminopirin, dan oksifenbutazon. Sekarang ini yang sering dipakai adalah
fenilbutazon, yang lain jarang dipakai. Saat ini dipiron hanya digunakan
sebagai analgesic-antipiretik karena efek anti inflamasi nya lemah. Antipirin
dan aminopirin tidak digunakan lagi karena efek toksiknya melebihi dipiron.
Dikarenakan keamanan obat, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila
dibutuhkan analgesik-antipiretik suntikan.
4) Obat AINS lainnya
a) Indometasin (Golongan Asam Asetat)
Indometasi mempunyai efek anti inflamasi, analgesik-antipiretik. Karena
toksisitasnya indometasin tidak dianjurkan diberikan kepada anak, wanita
hamil, asien dengan gangguan psikiatri, dan pasien dengan penyakit
lambung.
b) Ibuprofen (Golongan Asam Propionat)
Merupakan derivat asam fenil propionat, yang diperkenalkan pertama kali
dibanyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi
yang tidak terlalu kuat. Ibuprofen tidak dianjurkan diberikan pada ibu
hamil dan menyusui.
c) Asam Mefenamat (Golongan Asam Antranilat)
Mengurangi rasa nyeri/sakit dari ringan sampai sedang pada sakit gigi,
sakit telinga, nyeri otot, dismenore, nyeri setelah melahirkan, dan nyeri
trauma. Tetapi kurang efektif dibandingkan aspirin. Pada orang usia lanjut
efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Pada wanita hamil asam
mefenamat tidak dianjurkan digunakan selama 7 hari.
d) Piroksikam (Golongan Asam Enolat)
Indikasi dari piroksikam yaitu rheumatoid arthritis dan osteoarthritis
sebagai anti inflamasi dan analgetik. Piroksikam berfungsi hanya untuk
penyakit inflamasi sendi. Pikroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil,
pasien tukak lambung, dan pasien yang sedang minum antikoagulan.
 Anti-Inflamasi Steroid
1) Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah sebagai agonis reseptor hormon kortikosteroid dari
golongan glukokortikoid sintetik. Metilprednisolon menghambat kaskade
respon imun awal dalam respon inflamasi serta menginisiasi resolusi dari
proses inflamasi tersebut. Dalam fase akut, metilprednisolon menginhibisi
vasodilatasi dan permeabilitas vaskular sehingga menurunkan emigrasi
leukosit ke jaringan. Metilprednisolon juga mengubah distribusi leukosit dan
program diferensiasi selular lewat inhibisi transkripsi reseptor glukokortikoid
(GR) secara langsung maupun tidak langsung. Metilprednisolon menekan
transkripsi gen sitokin proinflamasi dan kemokin, molekul adhesi, dan enzim
yang berperan dalam inisiasi atau maintenance respon inflamasi.
2) Prednison
Prednisone adalah hormon kortikosteroid (glukokortikoid). Ini mengurangi
respon sistem kekebalan terhadap berbagai penyakit untuk mengurangi gejala
seperti pembengkakan dan reaksi alergi tipe.
3) Deksametason
Deksametason adalah suatu glukokortikoid sintetis yang memiliki efek
antiinflamasi, antialergi dan anti shock yang sangat kuat, di samping sebagai
antirematik. Tidak menimbulkan efek retensi natrium dan dapat diterima oleh
tubuh dengan baik. Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,
mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas
kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun.
4) Betametason
Betametason adalah glukokortikoid sintetik yang mempunyai efek sebagai
antiinflamasi dan imunosupresan. Karena efek retensi natriumnya (sifat
mineralokortikosteroid) sangat sedikit, maka bila digunakan untuk pengobatan
insufisiensi adrenokortikal, betametason harus dikombinasikan dengan suatu
mineralokortikoid.
D. Mekanisme Kerja Obat Anti-Inflamasi
Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan atas penghambatan
biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan, maka akan dilepaskan
beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator
dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik maupun kimia
adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklo oksigenase (COX) yang
memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang pertama adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan
mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid (PGG2). Sisi yang lainnya adalah sisi
aktif peroksidase, yang akan mengubah (PGG2) menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2.
PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan tromboksan A2, yang
ketiganya merupakan mediator utama proses inflamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu
COX-1 dan COX-2.
Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga konversi
asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat dengan cara berbeda.
Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya
rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung
banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi
parasetamol praktis tidak ada. Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan
asetilasi yang irreversibel di sisi aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif peroksidase tidak
terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya seperti
ibuproven atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel
maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam arakhidonat.
Masing-masing NSAID menunjukkan potensi yang berbeda-beda dalam menghambat
COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan adanya variasi dalam timbulnya
efek samping NSAID pada dosis sebagai anti inflamasi. Obat yang potensinya rendah dalam
menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/ COX-1 lebih rendah,
akan mempunyai efek sebagai anti inflamasi dengan efek samping lebih rendah pada
lambung dan ginjal. Piroksikam dan indometasin memiliki toksisitas tertinggi terhadap
saluran gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang lebih tinggi
daripada menghambat COX-2. Dari penelitian epidemiologi yang membandingkan rasio
COX-2/ COX-1, terdapat korelasi setara antara efek samping gastrointestinal dengan rasio
COX-2/ COX-1. Semakin besar rasio COX-2/ COX-1, maka semakin besar pula efek
samping gastrointestinalnya. Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi terhadap COX-1
daripada COX-2, sehingga efek terhadap gastrointestinal relatif lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Sulistia. 201. Farmakologi dan Terapi FK UI Edisi 5. Jakarta: UI Press.


Harkness, Richard. 2009. Interaksi Obat. Bandung: Penerbit ITB.
Katzung, G. Bertram. 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi keenam. Jakarta: EGC.
Saleh, Edwin. 2017. Abses Rongga Mulut. Yogyakarta: UMY.
Sardjono, H., Santoso dan Rosmiati, H.D. 2015. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian
farmakologi FK-UI.
Tan, Hoan, Tjay dan Rahardja, K. 2011. Obat-obat Penting, Edisi Keempat. Jakarta: EGC.
Wilmana PF, Gan S. 2007. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid, dan
Obat Gangguan Sendi Lainnya. In: Gan S, editor. Farmakologi dan Terapi. 5th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai