SUSPENSI
Oleh :
NAMA : Melindasari S. Datulamban
NIM : 2120191016
Kelompok : V (Lima)
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
UNIVERSITAS BINA MANDIRI GORONTALO
FAKULTAS SAINS TEKNOLOGI DAN ILMU KESEHATAN
PRODI S1 FARMASI
2020
Zat terdispersi harus halus dan tidak boleh mengendap. Jika dikocok harus segera
terdispersi kembali. Dapat mengandung zat dan bahan menjamin stabilitas
suspensi. Kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar mudah di kocok atau
sedia dituang. Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran
partikel dari suspensi tetap agar konstan untuk jangka penyimpan yang lama.
Suspensi tidak boleh di injeksikan secara intravena dan intratekal. Suspensi yang
dinyatakan untuk digunakan untuk cara tertentu harus mengandung anti mikroba.
Suspensi harus di kocok sebelum menggunakan.
Untuk sediaan farmasi tidak mutlak berlaku, tetapi dapat dipakai sebagai
pegangan supaya suspensi stabil, tidak cepat mengendap, maka :
- Perbedaan antara fase terdispersi dan fase pendispersi harus kecil, dapat
menggunakan sorbitol atau sukrosa. BJ medium meningkat.
∙ Pembasahan serbuk
a. Perbedaan densitas.
c. Adanya adsorpsi gas pada permukaan zat padat. Hal ini dapat diatasi dengan
penambahan humektan.
Humektan ialah zat yang digunakan untuk membasahi zat padat. Mekanisme
humektan : mengganti lapisan udara yang ada di permukaan partikel sehingga zat
mudah terbasahi. Contoh : gliserin, propilenglikol.
4) Pertumbuhan kristal : Larutan air suatu suspensi sebenarnya merupakan larutan jenuh.
Bila terjadi perubahan suhu dapat terjadi pertumbuhan kristal. Ini dapat dihalangi dengan
penambahan surfaktan.
∙ Flokulasi
∙ Deflokulasi
Deflokulasi adalah Partikel yang terdispersi merupakan unit tersendiri dan apabila
kecepatan sedimentasi bergantung daripada ukuran partikel tiap unit, maka
kecepatannya akan lambat.
∙ Dispersi
dispersi adalah sistem dimana suatu zat tersebar merata (fase terdispersi) di dalam
zat lain (fase pendispersi atau medium). Atau dispersi pangan adalah sistem
pangan yang terdiri dari satu atau lebih fase terdispersi atau fase diskontinyu
dalam suatu fase kontinyu. Larutan adalah keadaan dimana zat terlarut (molekul,
atom, ion) terdispersi secara homogen dalam zat pelarut. Larutan bersifat stabil
dan tak dapat disaring. Diameter partikel zat terlarut lebih kecil dari 10-7 cm.
Contoh : larutan gula, larutan garam. Dalam larutan dikenal juga kelarutan
(solubility) yaitu jumlah maksimum zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu
pelarut/larutan pada suhu tertentu. Jadi jika suatu zat dilarutkan pada suatu
pelarut/ larutan dan ternyata telah melewati batas kelarutan larutan tersebut maka
sebagian zat akan terlarut dan sebagian lagi akan mengendap.
5) Jenis-jenis suspensi
∙ Suspensi Oral adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat yang
terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan pengaroma yang sesuai dan
ditujukkan untuk penggunaan oral.
∙ Suspensi Topikal adalah sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi
dalam pembawa cair yang ditujukkan untuk penggunaan pada kkulit.
∙ Suspensi untuk injeksi adalah sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair
yang sesuai dan tidak disuntikan secara intravena atau kedalam saluran spinal.
∙ Suspensi Optalmik adalah sediaan cair steril yang mengandung partikel-partikel
yang terdispersi dalam cairan pembawa yang ditujukkan untuk penggunaan pada
mata.
∙ Suspensi untuk injeksi terkontinyu adalah sediaan padat kering dengan bahan
pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang memenuhi semua
persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang
sesuai.
∙ Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair yang mengandung partikel-partikel
halus yang ditujukkan untuk diteteskan pada telinga bagian luar 6) Alasan mengapa
sediaan suspensi harus dibuat
∙ Karena suspensi yaitu, karna ada sebagian orang atau pasien yang susah dalam
menelan obat Tablet atau kapsul sehingga dibuatlah sediaan suspesnsi untuk
memudahkan pasien dalam meminum obat. Seperti anak-anak yang kebanyakan
tidak mau meminum obat dalam bentuk tablet atau kapsul sehingga diberikan
sediaan suspensi
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta. 6-7, 93-94, 265, 338-339, 691.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta. 448, 515, 771, 1000.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional, edisi 2. Jakarta: (tp). .
1979. Farmakope Indonesia, edisi 3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.