Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
NAMA : JAMALUDDIN
NIM : 16.3400.010
PRODI : PMI
HALAMAN SAMPUL
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PAREPARE
2019
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Sehingga lahirlah kekayaan dibidang ilmu fiqih yang tiada taranya dalam sejarah.
Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga pertengahan kurun waktu tahun
ke empat hijriyah.
Kata ijtihad (Al- ijtihad) berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah
(daya, kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al
masyaqqah (kesulitan, kesukaran) dari itu secara harfiah, ijtihad adalah suatu
yaitu:1
kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu.
berdimensi keyakinan.
al fiqh adalah definisi Imam al-Ghazali yang dikutib oleh Ahmad Zahra, ijtihad
2
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Hlm 97
1. Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha
jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu maupun biaya dan bukan ala
kadarnya.
2. Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan
ajaran agama.
Ada yang digolongkan ijtihad mutlaq. Ada juga yang disebut ijtihad muqoyyad
atau muntasib. Yang pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih,
bukan saja menggali hukum-hukum baru, melainkan juga memakai metode baru,
hasil pemikiran orisinil. Inilah tingkatan ijtihad para peletak madzhab, yang pada
pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriyah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi
karena seleksi sejarah akhirnya yang bertahan dalam arti diikuti mayoritas umat
Islam hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak madzhab Hambali), Malik bin Anas
Sedang ijtihad muqayyad atau muntasib adalah ijtihad yang terbatas pada
upaya penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang
dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya, dalam lingkup madzhab
Syafi’i kita mengenal nama-nama, seperti an-Nawawi, artinya Rofi’i atau imam
haramain. Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan fungsi itu dengan
Dalam hal ini, ijtihad bukan saja mencari kebenaran atau hukum-hukum
yang berhubungan dengan hukum fiqih yang ada, melainkan juga membahas
Pencarian konsep tentang Negara merupakan salah satu isu sentral dalam
fungsi dan peranan Negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk
dalam hal ini merupakan ijtihad dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam
B. Syarat-Syarat Ijtihad
tersendiri. Jadi, tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme
3
Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2003), Hlm 38-39
4
Ridwan, Paradigma Politik NU Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, (Yogyakarta;
Pustaka pelajar, 2004), Hlm 146-147
Islam tidak memilih-milih para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan
permasalahannya bukan disitu, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang
memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak mungkin semua orang
akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu.
Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara
tentang kesehatan, tetapi tidak semua memiliki otoritas melakukan diagnosis dan
membuat resep, kecuali dokter. Sebab jika semua orang diberi wewenang
melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatna adalah bahaya bagi kehidupan
manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad
umat.5
Maka lazim disebutkan bahwa dasar-dasar ajaran Islam bersumber kepada Al-
Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, meskipun Ijma’ dan Qiyas berada di bawah Al-
Qur’an dan Hadist. Dalam rangka menggali dan mengembangkan hukum islam
5
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As Syaukani Relavansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), Hlm 87
para imam madzhab mengadakan pemeriksaan dan penelitian yang mendalam
al-fiqh. Untuk pertama kali kaidah-kaidah ini disusun secara sistematis oleh
Imam Syafi’i.6
setiap ilmu ada ahli dan pakar di bidangnya yang telah memenuhi persyaratan
sesuai ketentuan dalam bidang tersebut. Orang yang tidak ahli di bidangnya tentu
mujtahid, yaitu:
yang terkait dengan hukum, yang menurut al-Ghazali ada sekitar 500 ayat.
6
Roziqin Daman, Mendidik NU Dilema Percaturan Politik NU Paska Khitthoh, (Yogyakrta:
Gama Media, 2001), Hlm 26-27
7
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU… , Hlm 107
Sedang yang dimaksud ilmu-ilmu terkait dengan pehaman al-Qur’an antara
hendak dipergunakan. Tetapi jika hafal seluruh ayat maupun hadist hukum
istinbath hukum yang berguna untuk memastikan suatu dalil dan mengambil
keliru lantaran terjebak dan terpaku pada hukum-hukum yang bersifat juz’iy
kulliy (keseluruhan).
5. Harus bertaqwa kepada Allah SWT. Syarat ini terutama dikaitkan dengan
dapat diterima atau tidaknya fatwa yang dikeluarkan sebagai hasil ijtihad
yang dilakukan, dan tidak berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki untuk
melakukan ijtihad.8
semua permasalahan yang telah disepakati dalam forum ijma’. Yang menjadi
7. Memiliki cakrawala luas dalam penguasaan bahasa arab dari sisi vocabulary
makna umum dan khusus, hakikat dan majas, serta mutlaq dan muqoyyad.9
8
Ibid…, Hlm 108-110
9
Abdullah Umar, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam…, Hlm 317-319
Pembekuan kualifikasi ijtihad itu, satu sisi untuk menghindari aktifitas
yang “liberal”, akan tetapi di pihak lain, berdampak pada menurunnya aktifitas
ijtihad yang pada gilirannya akan menciptakan “generasi taklid” pada diri umat
Islam.
pada masa khalifah Ma’mun, yang kemudian menjadi “perang terbuka” antara
kubu sunni dengan mu’tazilah. Hanya saja, seperti dikatakan oleh Nurcholis
Majid, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai sesuatu yang sangat eksklusif
itu telah melahirkan persepsi salah. Umat Islam telah salah baca (misreading),
mentabukan ijtihad. Sikap “pentabuan ijtihad” ini bagaimanapun juga tidak bisa
dibenarkan, walaupun ia lahir dari obsesi para ulama akan ketertiban dan
Harga yang di bayar mahal dari eksklusivisme itu adalah: Tenggelamnya umat
ijtihad yang digunakan oleh jumhur ulama ushul fiqih dalam batas-batas yang
masih terkait dengan teks-teks al-Qur’an dan Hadist. Oleh sebab itu,
10
Sahal Mahfud, Era Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 2004), Hlm 55
istihlah, sadd al-dzariah, tetapi dengan memberikan persyaratan-persyaratan,
agar tidak terlalu jauh keluar dari koridor nash-nash al-Qur’an dan Hadist. Al-
Indonesia;
itu ditemukannya, didahulukannya daripada yang lain. Akan tetapi, jika tidak
beliau bagi segelintir umatnya. Setelah itu (ia melihat) ijma’, jika ia memandang
C. Metode Ijtihad
berkaitan dengan metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum Islam) didalam
mengeluarkan hukum dari dalilnya. Jadi, ushul fiqh membahas dan menjelaskan
11
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As Syaukani Relavansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia…, Hlm 80
cara-cara beristimbath : bagaimana cara menetapkan hukum dari dalil-dalilnya. 12
Seperti yang dikatakan Muhammad Salam Madzkur yang dikutip oleh Ahmad
Zahra dalam buku yang berjudul”Tradisi Intelektual NU”, bahwa metode ijtihad
dibagi menjadi tiga macam, yaitu Metode bayaniy, qiyasiy dan istislahiy.13
1. Metode bayaniy
suatu nas, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah, dari berbagai aspek yang
mutlaq: tak terbatas, muqayyad: terbatas, amr: perintah, nahy: larangan, serta
nas dan zahir, atau mutasyabih, mujmal, musykil dan khafiy) dan analisis
dalalah suatu lafaz (yang menurut ulama Hanafiyah ada empat macam
menurut ulama Malikiyah, Syafi’iya dan Hanabilah ada dua macam, yaitu:
mantuq dan mafhum, yang masing-masing terbagi dua, yakni mantuq sarih:
12
A.Jazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan penerapan hokum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), Hlm 21
13
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU…,Hlm. 110
yang jelas dang hair sarih: yang tidak jelas, serta mafhum muwafaqah dan
mukhalafah).14
2. Metode qiyasiy
membawa sesuatu yang belum diketahui hukumnya melalui nas (baik al-
kejadian yang sudah ada nasnya (asl), kejadian baru yang belum ada
hukum (‘illah) dan hukum yang dilekatkan pada kejadian atau peristiwa
yang sudah ada nasnya (hukm al-ash). Termasuk dalam kategori metode
qiyasiy adalah istihsan, yaitu beralih dari suatu hasil qiyas kepada hasil
qiyas lain yang lebih kuat, atau mentakhsis hasil qiyas dengan hasil qiyas
istihsan pada hakekatnya melakukan dua kajian qiyas. Hasil kajian pertama
cukup jelas kaitannya dengan asl, tapi kurang relevan dengan kebutuhan
masyarakat, sedang hasil kajian kedua kurang kuat kesamaannya dengan asl
yang terbaik (istihsan), mujtahid beralih dari hasil qiyas pertama kepada
14
Ibid.
hasil qiyas kedua. Hal ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan riil
3. Metode istislahiy
masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak adanya dalil
yang sesuai dengan maqasid asy-syari’ah (tujuan pokok syari’at islam) yang
(pada dasarnya seseorang itu tidak terbebani hukum, yang popular dengan
istilah asas praduga tak bersalah), sadd az-zarai’ (menutup jalan yang
baik).16
15
Ibid…,Hlm 111
16
Ibid…Hlm 112
2) Kemaslahatan harus menyangkut hajat orang banyak dan bukan pribadi
D. Sumber Hukum
1. Al-Qur'an
atas hukum syara’ tentang tindakan manusia, baik secara qoth’i maupun
dhonni. Menurut definisi Ulama’ yang paling populer definisi dalil adalah
mereka membagi dalali itu kedalam dua kelompok besar yakni dalalah yang
dan ada yang di Madinah. Yang diturunkan di Makkah dinamai dengan surat
Madaniyah.
17
Zain Amiruddin, Ushul Fiqh, (Surabaya: eLKAF, 2006), Hlm 39
Ciri surat Makiyah adalah umumnya surat dan ayatnya pendek-
.وكذا لك انزلناه حكما عربيا ولئن اتبعت اهوائهم بعد ماجاءك من العلم مالك من هللا من ولي وال واق
(hukum) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti bahwa nafsu
hampir semua ayat Al Qur’an tidak lepas dari istinbath hukum. Setiap ayat
sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai suatu anjuran, yang bisa berarti
tidaklah sepi dari pada hukum-hukum, ada diantaranya ayat yang sudah
istinbath. Namun demikian, para ulama berselisih paham perihal jumlah ayat
18
Ibid…Hlm 67
hukum itu. Imam Al-Ghozali, yang disepakati oleh Al-Qodhi ibnu Farobi,
Al-Rozzi, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa ayat hukum itu jumlahnya ada
500 ayat. Sedangkan menurut Abdullah Ibnu Mubarok ayat hukum itu ada
900 ayat.19
Qur’an ini disebut sebagai Al-Dzikra, hal ini jelas mengandung maksud Al-
yang mengatur hidup dan kehidupan ummat manusia. Pada ghalibnya Al-
Qur’an itu tidaklah sepi dari hukum-hukum yang mengandung adab maupun
akhlaq yang terpuji. Ada diantara ayat-ayat yang jelas keterangan hukumnya,
tetapi ada pula yang perlu difahami dengan melakukan istinbath dengan cara
ijtihad.
Hampir semua ayat tidak lepas dari istinbath hukum, kecuali yang
Ayat Al-Qur’an yang berisi kisah atau cerita pun sebenarnya juga
untuk berbuat atau tidak berbuat, mendorong untuk melakukan perintah atau
19
Ibid...,Hlm 68
kandungan celaan bisa difahami bahwa perbuatan yang dicela itu mengarah
Al-Qur’an adalah sumber fiqih yang pertama dan paling utama. Agar
membahas Al-Qur’an ini tidak disajikan hal-hal semacam ayat Makiyah dan
arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya
yaitu:
20
Ibid… , Hlm 66-67
21
A. Jazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan penerapan Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006), Hlm 63
b. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian Ilmu fiqh.
banyak dari Allah SWT., dalam hal berbadah dan pembinaan keluarga. Dari
Hal ini adalah sesat dan perlu diluruskan. Sedangkan keluarga adalah unsur
terkecil dari masyarakat dan akan memberi warna kepada masyarakat yang
akan dibentuk.
22
Ibid...,Hlm 63
zaman. Jadi, hukum-hukum yang bersifat umum itu memiliki daya
diserahkan kepada ijtihad para mujtahid, kemudian kepada para ulil amri,
masyarakat yang baik yang ada dalam maghfirah dan ridho Allah SWT.
keadilan.
prinsip-prinsip :
b. Menyedikitkan tuntutan
Nabi baik sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau maupun taqrir beliau.23
23
Zain Amiruddin, Ushul Fiqh… , Hlm 72
Seperti telah dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an al Karim pada
perkataan atau diamnya Nabi SAW, yang bisa jadi dasar hukum. Oleh
karena itu, ada Sunnah Fi’liyah, Sunnah Qawliyah dan Sunnah Taqririyah.
Sunnah yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkatan dan
Nabi tahu akan hal tersebut, akan tetapi beliau diam tidak memberikan
komentar apa-apa.
Masih banyak nash-nash lain baik ayat Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Syamil Cipta Media, 2009), hlm. 545.
25
A. Jazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan dan penerapan Hukum Islam…Hlm. 70.
“Barang siapa yang mentaati Rasulullah sesungguhnya ia telah mentaati
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (An-
Nahl ; 44)
c. Ijma’ sahabat, dan dibuktikan pula oleh Hadits Muadz bin Jabal yang
kedua adalah :
Islam, maka hubungan As Sunnah dengan Al-Qur’an itu sebagai urutan yang
Qur’an kemudian kalau tidak ada ayat yang relevan maka dicarilah dalam Al-
Sunnah itu.
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah
ini.
a. Al-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada di dalam Al-
Qur’an. Dengan demikian hukum semacam ini memiliki dua sumber dan
terdapat pula dua dalil. Misalnya Al-Qur’an mengajarkan bahwa shalat itu
yang terpuji adalah shalat pada waktunya. Misalnya puasa Ramadlan itu
dimulai dari terbitnya fajar shidiq, baik dari Al-Qur’an maupun Al-
b. Al-Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada
perihal ketentuan asnaf penerima zakat adalah delapan asnaf, lalu Al-
mubayan).
terdapat dalam Al-Qur’an, misanya perihal tata cara makan, pesta dan lain
sebagainya.
Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan
lepas dari terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan
yang untuk menentukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu. Sebagai
contoh, dalam masalah hukum membaca Qur’an bagi orang yang sedang haid,
hukumnya tidak boleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia
dalam keadaan tidak suci dan ada Hadis yang melarangnya. Ada pula yang
ketidakbolehannya. Contoh lainnya adalah seorang istri yang ditalak tiga oleh
suaminya. Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya
kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru itu telah
menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Qur’an
surat al-Baqarah (2): 230. Yang diperselisihkan adalah apakah istri dan suaminya
yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka
bercerai. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus
disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab
berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu
setelah diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi. Kedua contoh
ini merupakan masalah yang masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam
sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa
Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang
menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai
tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad
suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang
Dalam suatu nash, baik Qur’an maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata
sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang
( قُرُوْ ٍءqur’) dalam surah al-Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan
bertentangan.
Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang
yang lebih kuat (arjah) di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di
Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil,
mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang
oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin
saja ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan
sudut pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang
suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau
mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan
ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam
tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka
saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain
tidak hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak
tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama,
maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang
sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada
Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah = sebab) dari suatu hukum
juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih.
Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu
jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar
jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri
jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun
orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri
itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis
diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw.
bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri.27
27
M. Imdadun R, Kritik Nalar NU, (Jakarta Selatan: LAKSPESDAM, 2002), hlm. 105.