Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sampah merupakan masalah yang kerap dialami di daerah perkotaan termasuk Kota
Banjarmasin. Dikota besar sampah menjadi masalah baik dari segi jumlah maupun dari
jenisnya. Besar kecilnya masalah sampah tumbuh seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk yang ada dikota tersebut [1]. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan
peningkatan aktivitas penduduk yang berarti juga peningkatan jumlah timbulan sampah [2].
Penimbunan merupakan salah satu cara yang paling umum untuk pembuangan sampah kota
[3]. Total penduduk Kota Banjarmasin tahun 2011 sebanyak 218.061 jiwa dengan jumlah
timbulan sampah 13.121 ton/hari [4]. Jumlah sampah yang besar dapat memberikan dampak
penting terhadap lingkungan serta bertambahnya beban TPA Kota Banjarmasin. Sampah
perkotaan yang ditimbun ke TPA menjadi kontributor yang signifikan terhadap gas rumah
kaca [5].

Potensi produksi gas rumah kaca berkaitan dengan komposisi sampah dan khususnya
fraksi organik biodegradable yang pada akhirnya akan menimbulkan gas rumah kaca.
Sebagian besar komposisi sampah kota di negara berkembang termasuk Indonesia didominasi
oleh sampah organik biodegradable. Sampah organik biodegradable yang ditimbun TPA akan
mengalami dekomposisi dan menghasilkan emisi gas metana (CH4) dan karbondioksida
(CO2) yang dapat menyebabkan pemanasan global [6]. Metana, walaupun jumlahnya sedikit
yang terdapat di atmosfer, namun pengaruhnya terhadap pemanasan global cukup signifikan
[3]. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca yang bersifat memantulkan kembali gelombang
pendek dari bumi sehingga mengakibatkan suhu dipermukaan menjadi naik [7]. Peningkatan
molekul-molekul CO2 dapat menyerap radiasi infra merah dari permukaan bumi. Jika
konsentrasi CO2 terus meningkat, dikhawatirkan atmosfer menjadi panas sehingga
menimbulkan perubahan suhu yang serius [8]. Oleh karena itu, perlu diketahui secara pasti
jumlah emisi karbon yang terlepas ke lingkungan sehingga dapat ditentukan strategi sistem
pengelolaan sampah yang paling efisien.

Timbulan sampah menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terdiri dari gas
metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) yang dilepas ke udara. Karbondioksida, metan
dan N2O yang diemisikan dari kegiatan transportasi dan proses operasi sampah perkotaan
dianggap sebagai komponen penting yang berkontribusi pada pemanasan global (He, et
al., 2011). Menurut US EPA (2006), dampak yang dihasilkan dari keberadaan gas rumah
kaca antara lain adalah kenaikan muka air laut yang dapat mendatangkan air bah pada
sungai, berkurangnya jumlah gunung es dan mengurangi persediaan air tawar,
penyebaran bibit penyakit dan meningkatkan kematian, potensi berkurangnya
keanekaragaman hayati dan berbagai dampak pada ekosistem, serta terganggunya
produktivitas pertanian. Oleh karenanya, dilakukan perhitungan besar emisi gas CO 2 dan
CH4 yang dihasilkan dari pengelolaan sampah perkotaan khususnya Kota Bnjarmasin dan
N2O yang dihasilkan dari emisi kendaraan pengangkut.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung emisi karbon dari pengolahan sampah
perkotaan menggunakan pendekatan IPCC

1.3. Batasan Masalah

Batasan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Menghitung emisi karbon(CO2,CH4, dan NO) Pada tiap-tiap sekenario


2. Melakukan reduksi emisi karbon
Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Gas Rumah Kaca

Pemanasan global telah menjadi isu penting saat ini, dimana fenomena ini diakibatkan
oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), khususnya CO2 di atmosfer dan telah
mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi manusia. Berbagai negara, termasuk
Indonesia, memberikan perhatian yang besar terhadap dampak pemanasan global. Secara
internasional mitigasi pemanasan global dimuat di dalam Protocol Kyoto yang mengatur
kewajiban pengurangan emisi GRK bagi negara industri maju (Purwanta, 2009). Gas rumah
kaca adalah gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik, yang
menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Emisi gas rumah kaca adalah
lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu
(PP No. 61 Tahun 2011). Efek rumah kaca pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada
tahun 1824, merupakan sebuah proses dimana atmosfer memanaskan sebuah planet. Efek
rumah kaca dapat dibedakan menjadi dua, yaitu efek rumah kaca yang terjadi secara alami di
Bumi, dan efek rumah kaca yang terjadi akibat aktivitas manusia (Susanta dkk, 2007).

Penghasil terbesar gas rumah kaca adalah negara-negara industri seperti Amerika Serikat,
Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dan negara lain di bagian Utara. Pemanasan global ini
dapat terjadi karena pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negara-negara utara yang 10
kali lipat lebih tinggi dibandingkan penduduk pada negara berkembang. Meskipun
kontribusinya tidak sebanyak negara-negara industri, negara berkembang juga ikut
berkontribusi menghasilkan karbon dioksida dengan meningkatnya industri dan perusahaan
tambang. Indonesia turut andil dalam pemanasan global karena menyumbang kerusakan
hutan. Panel antar pemerintah untuk perubahan iklim (IPCC) menempatkan Indonesia pada
posisi tiga besar negara dengan emisi terbesar di bawah Amerika Serikat dan China,
disebabkan oleh asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia
(Rusbiantoro, 2008).

2.2. Sumber Gas Rumah Kaca

Seiring dengan perkembangan zaman diikuti dengan berbagai macam aktivitas yang
dilakukan manusia menyebabkan menurunnya kualitas udara. Hampir segala sektor dalam
kehidupan seperti transportasi, industri dan juga kegiatan permukiman dapat berkontribusi
pada penurunan kualitas udara. Beberapa kegiatan permukiman menghasilkan emisi yang
dapat menurunkan kualitas udara. Salah satunya adalah kegiatan memasak. Data yang
dihimpun dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup Indonesia menunjukan bahwa sektor
energi memberikan sumbangan terbesar gas rumah kaca, khususnya CO2 yang bersumber
dari permukiman salah satunya dari penggunaan bahan bakar memasak. Peningkatan emisi
yang dihasilkan dari kegiatan memasak akan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
dan luas penggunaan lahan yang didominasi oleh perumahan. Semakin meningkat jumlah
penduduk, maka semakin besar lahan yang dipergunakan untuk perumahan/permukiman, hal
ini akan menyebabkan semakin besar kebutuhan penggunaan bahan bakar untuk kegiatan
memasak (Nugrahayu dkk, 2017).
Indonesia yang merupakan negara yang turut menyumbang emisi dari berbagai sektor,
salah satunya sektor pertanian yang didalamnya mencakup pertanian dan peternakan. Sektor
pertanian melepaskan emisi GRK ke atmosfer dalam jumlah yang cukup signifikan, yaitu
berupa CO2, CH4, dan N2O. Menurut penelitian sektor pertanian menyumbang 10-12% dari
total gas rumah kaca antropogenik , yang terdiri gas N2O dan CH4, Sedangkan, sektor
peternakan menyumbang sekitar 18%-51% gas rumah kaca antropogenik, yang sebagian
besar terdiri dari gas CH4. Emisi GRK diprediksi akan terus bertambah pada masa mendatang
karena meningkatnya kebutuhan akan pangan yang disebabkan oleh penggunaan lahan
marginal, dan peningkatan konsumsi daging (Lintangrino dkk, 2016). Berdasarkan laporan
IPCC tahun 2006, sektor limbah (waste sector) turut menyumbang GRK ke atmosfer dimana
khusus dari TPA-TPA sampah yang ada berkontribusi antara 3 – 4 % dari emisi GRK global.
Walau terdapat banyak jenis GRK dari sektor persampahan ini, namun yang dianggap
dominan dan harus ada dalam setiap laporan National GHGs Inventory adalah CO2, CH4 dan
N2O (Purwanta, 2009).

2.3. Jenis-jenis Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang memiliki efek rumah kaca, seperti gas
Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen Mono Oksida (N2O), Hidro
Fluorocarbon (HFCs), Sulfur Hexaflorida (SF6) dan Perfluoro Karbon (PFCs) (KLH, 2012).
Beberapa gas tersebut memiliki efek rumah kaca lebih besar daripada gas lainnya. Sebagai
contoh, gas CH4 memiliki efek 25 kali lebih besar dibanding dengan gas CO2 (Solomon et
al., 2007). Emisi Gas rumah kaca tersebut juga dihasilkan dari kegiatan pembakaran sampah
(IPCC, 2006) dalam (Prabowo dkk, 2017).

2.3.1. Karbon Dioksida (CO2 )

Karbon dioksida merupakan gas yang berat, tidak berwarna, tidak berbau, dan bukan
gas yang dapat terbakar. CO2 merupakan gas rumah kaca paling utama di atmosfer bumi.
Karbon dioksida terdaur ulang di dalam atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida
larut dalam air membentuk asam karbonat, dan terbentuk terutama dari sisa pernapasan
hewan atau manusia dan sisa pembakaran tumbuhan (Team SOS, 2011). Semua yang
mengandung karbon adalah bahan bakar seperti kayu, batubara, gas alam, dan minyak dimana
reaksi karbon dan oksigen akan menghasilkan karbon dioksida yang merupakan suatu reaksi
untuk menghasilkan energi. Setiap tahunnya manusia membuang 8 milyar metrik ton karbon
ke dalam atmosfer, 6,5 milyar dari bahan bakar fosil, dan 1,5 milyar dari pembabatan hutan.
Tetapi, 3,2 milyar ton tetap berada di atmosfer untuk memanaskan suhu planet bumi
(Rusbiantoro, 2008). Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir konsentrasi karbon dioksida
meningkat dari 290 ppm menjadi 370 ppm dan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat
pada pertengahan abad ini. Setiap molekul CO2 yang ada di atmosfer akan ditahan selama
rata-rata 100 tahun oleh atmosfer tersebut sebelum dapat diserap/dinetralisir oleh tumbuhan
dan berbagai proses biogeokimia. Dengan demikan, kadar karbon dioksida di udara akan
terus meningkat (Indrawan, 2007) dalam (Mutia, 2017).

2.3.2. Metana (CH4 )

Metana adalah gabungan kimia antara unsur formula molekul CH4. Metana ini adalah
alkae yang sederhana dan merupakan gas alam yang sederhana dan merupakan gas alam yang
utama. Keberadaannya yang cukup melimpah dan pembakarannya cukup bersih sehingga
dijadikan bahan bakar dan biasanya dikonversi menjadi metanol (Rusbiantoro, 2008). Metana
merupakan gas tidak berwarna, tidak berbau, tetapi mudah terbakar. Metana terbentuk dari
penguraian tumbuhan kering. Bakteri di daerah banjir, daerah tergenang, atau daerah lembab
juga memproduksi metana. Sejak tahun 1750, pelepasan metana ke atmosfer telah menjadi
dua kali lipat dari sebelumnya, dan diperkirakan akan menjadi dua kali lipat lagi pada tahun
2050. Tiap tahun terdapat 350 hingga 500 juta ton metana yang dilepaskan ke atmosfer dari
peternakan, tambang batu bara, tambang minyak, pertanian, dan sampah (Team SOS, 2011).

2.4. Inventarisasi Emisi

Gas Rumah Kaca Menurut PP NO. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan


Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Pasal 1 Ayat 3, Inventarisasi GRK adalah kegiatan
untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan
perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya
(sink) termasuk simpanan karbon (carbon stock). Inventarisasi merupakan langkah awal
untuk menentukan kebijakan selanjutnya dalam mengendalikan kualitas udara (Lintangrino
dkk, 2016). Inventarisasi GRK dilakukan dengan cara : a. Pemantauan dan pengumpulan data
aktivitas sumber emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon, serta penetapan faktor
emisi dan faktor serapan GRK b. Penghitungan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan
karbon (PP NO. 71 tahun 2011).

2.5. Sampah
`Berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Pasal 1
Ayat 1, pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/ atau proses alam
yang berbentuk padat. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan
sehari- hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesfik. Sampah sejenis
rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/ atau fasilitas lainnya. Sedangkan pada
SNI 19-2454-2002 Tentang Cara Teknik Operasional Pengelo laan Sampah Perkotaan,
sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik
yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan
dan melindungi investasi pembangunan. Sampah perkotaan adalah sampah yang timbul di
kota.

2.5.1. Timbulan Sampah

Menurut SNI 19-2454-2002 Tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan


Sampah Perkotaan, timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat
dalam satuan volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan, atau
perpanjang jalan. Timbulan sampah dapat dinyatakan dengan:

a. Satuan berat : kg/o/hari, kg/m 2 /hari, kg/bed/hari, dan sebagainya.


b. Satuan volume : L/o/hari, L/m 2 /hari, L/bed/hari, dan sebagainya.

Sedangkan menurut SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran


Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, satuan yang digunakan untuk
pengukuran timbulan yaitu :

a. Volume basah (asal) : liter/unit/hari


b. Berat basah (asal) : kilogram/unit/hari
2.5.2. Komposisi Sampah

Menurut SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh


Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, komponen komposisi sampah adalah komponen
fisik sampah seperti: 1. Sisa-sisa makanan. 2. Kertas-karton. 3. Kayu. 4. Kain-tekstil. 5.
Karet-kulit. 6. Plastik. 7. Logam besi-non besi. 8. Kaca. 9. Dan lain-lain (misalnya tanah,
pasir, batu, keramik) Menurut Damanhuri dan Padmi (2016), pengelompokan sampah yang
paling sering dilakukan yaitu berdasarkan komposisinya. Satuan yang digunakan yaitu %
berat basah. Indonesia sampai saat ini masih menggunakan satuan % volume basah. Setiap
negara mempunyai cara untuk pengelompokan komposisi sampahnya. Indonesia sejak tahun
1991, mengelompokkan komposisi sampahnya menjadi 9 jenis yaitu:

1. Sampah makanan
2. Kayu dan sampah taman
3. Kertas dan karton
4. Tekstil dan produk tekstil
5. Karet dan kulit
6. Plastik
7. Logam
8. Gelas
9. Lain-lain : bahan inert, abu, dan lain-lain.
2.6. Kontribusi Emisi GRK dari Sektor Pengelolaan Sampah

Gas rumah kaca yang paling signifikan diemisikan dari sampah adalah metana (CH4 ).
Gas ini berasal dari penguraian material organik yang terjadi di pembuangan akhir, dapat
mencapai 50-60% dari total gas yang dihasilkan. Gas CH4 memiliki global warming potential
lebih besar daripada CO2 sekitar 21 kali lipat dalam kurun waktu 100 tahun (Chintiawati dkk,
2013). Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor pengelolaan sampah dapat dilihat
pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Emisi Gas yang Dihasilkan dari Sektor Pengelolaan Sampah

N Kegiata Emisi yang dihasilkan


o n
1 Pembuangan sampah kota CH4
2 Pengelolaan limbah padat secara CH4 , N2O
biologi
3 Insenerasi dan pembakaran terbuka CO2, N2O, CH4
4 Pengelolaan limbah cair CH4 , N2O
Sumber: IPCC, 2006

9.1 Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC)

Pemanasan global mulai menjadi isu lingkungan hidup yang mendunia sejak badan
perserikatan dunia (PBB) membentuk IPCC pada tahun 1988. Intergovernmental Panel On
Climate Change (IPCC) adalah sebuah panel ilmiah yang terdiri dari para ahli klimatologi
untuk mengkaji perubahan iklim. Walaupun perubahan iklim akan berdampak jangka
panjang antara 50-100 tahun, tetapi dampaknya untuk negara-negara berkembang sangatlah
besar. Dengan dasar itu, maka diperlukan tindakan bersama dan langkah-langkah yang
lebih kongkrit dan signifikan, maka dibentuklah IPCC (Susanta dkk, 2007).

9.2 Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca


Dalam rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca dalam sektor limbah, meliputi
kajian terhadap pengelolaan limbah padat/sampah dan limbah cair. Potensi emisi difokuskan
pada limbah domestik baik padat maupun cair. Sumber limbah padat dan cair domestik
meliputi; rumah tangga, pasar, pertokoan, kawasan pendidikan, pasar dan sebagainya.
Pengelolaan limbah padat dan limbah cair dimulai dari aktifitas pembuangan dan atau
pengolahan yang berpotensi sebagai sumber emisi seperti pembuangan akhir sampah di TPA
(Tempat Pemrosesan Akhir), aktifitas direct burning sampah di lingkungan, pembuangan
limbah cair di saluran drainase, pengolahan limbah cair di IPAL dan sebagainya (Mutia,
2017).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi


Nasional penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, kebijakan yang dilaksanakan untuk
menunjang penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor sampah kota yaitu:
1. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan peraturan di daerah (Perda).

2. Pengurangan timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle).

3. Perbaikan proses pengelolaan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA).

4. Peningkatan/pembangunan/rehabilitasi TPA.

5. Pemanfaatan sampah menjadi produksi energi yang ramah lingkungan.

9.3 Metode Perhitungan Gas Rumah Kaca

Metode perhitungan emisi GRK dari sub sektor sampah, didasarkan pada pedoman yang
diterbitkan oleh IPCC (2006). Metodologi dari IPCC memperkirakan emisi CH 4 dari TPA
sampah didasarkan pada metode First Order Decay (FOD). Metode ini mengasumsikan
bahwa Degradable Organic Carbon (DOC) meluruh secara perlahan sehingga CH4 dan

CO2 terbentuk. Jika kondisi konstan, laju produksi CH4 bergantung pada jumlah karbon
yang tersedia pada limbah. Penggunaan metode FOD ini setidaknya membutuhkan data
pembuangan minimal 50 tahun sebagai jangka waktu yang memberikan nilai yang akurat.
Jika data yang digunakan kurang dari 50 tahun maka dibutuhkan persediaan data yang
menunjukkan bahwa tidak adanya estimasi yang terlalu rendah (underestimate) terhadap
emisi.
Berdasarkan Pedoman Teknis Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor
Pengelolaan Limbah Republik Indonesia (2014) untuk menghitung emisi CH4 dari tempat
pembuangan limbah padat dapat dilakukan dengan tiga tingkatan perhitungan, yaitu:

1. Tier 1

Estimasi dengan Tier 1 didasarkan pada metode FOD menggunakan data aktivitas dan
parameter yang terdapat pada default IPCC untuk Indonesia (Asia Tenggara).

2. Tier 2

Perhitungan dengan menggunakan Tier 2 menggunakan metode FOD dan beberapa


parameter yang default, tetapi membutuhkan kualitas data yang spesifik, baik data
aktivitas di tempat pembuangan limbah serta sejarah di TPA sampah. Data TPA sampah
selama 10 tahun atau lebih harus didasarkan pada data spesifik berupa statistik, survey,
atau data dari sumber serupa lainnya. Data yang dibutuhkan adalah jumlah limbah
yang dibuang ke tempat pembuangan.

3. Tier 3

Metode Tier 3 didasarkan pada penggunaan kualitas data aktivitas yang baik dan
spesifik dan menggunakan metode FOD dengan parameter kunci dan pengukuran
berasal dari parameter khusus.

9.4 Upaya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Sampah

9.4.1 Pengomposan

Pengomposan merupakan alternatif pemecahan masalah manajemen sampah.


Pengomposan adalah suatu proses biologis dimana bahan organik didegradasi pada
kondisi aerobik terkendali. Dekomposisi dan transformasi tersebut dilakukan oleh
bakteri, fungi dan mikroorganisme lainnya. Pada kondisi optimum, pengomposan dapat
mereduksi volume bahan baku sebesar 50-70 %. Sebagai ilustrasi, 1000 ton sampah
dapat dikonversi menjadi 400-500 kompos yang siap untuk digunakan/dipasarkan.
Necara massa pengomposan sampah dapat dilihat pada Gambar 1 (Suprihatin dkk,
2008).
Gambar 2.1. Neraca massa pengomposan sampah (CPIS, 1992)

Kompos memiliki tekstur dan bau seperti tanah. Beberapa keuntungan pengomposan
sampah adalah perbaikan manajemen lingkungan, terutama di daerah padat penduduk.
Keuntungan pengomposan sampah yang lebih bersifat lokal adalah penurunan jumlah
sampah yang harus diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang dapat
mencemari saluran air atau air tanah, serta menjadi sarang penyakit. Jumlah kebutuhan
lahan untuk pembuangan sampah juga akan berkurang jika lebih banyak sampah yang
dikomposkan. Kualitas udara akan meningkat, karena lebih sedikit bahan organik basah
yang ditumpuk dipinggir jalan atau di tanah kosong (Suprihatin dkk, 2008).

9.4.2 Bank Sampah

Bank Sampah merupakan salah satu alternatif mengajak warga peduli dengan
sampah. Sistem pengelolaan Bank Sampah sendiri berbasis rumah tangga, dengan
memberikan ganjaran berupa uang tunai atau kupon gratis kepada mereka yang berhasil
memilah dan menyetorkan sejumlah sampah. Dalam pelaksanaannya Bank Sampah dapat
mengurangi tingginya angka sampah di masyarakat dan di TPA, karena masyarakat memilah
sampahnya sendiri, menukarkan sampahnya ke bank sampah dan membuang sampah yang
tidak termasuk di bank sampah. Dengan begitu volume sampah yang ada di masyarakat dan
di TPA dapat berkurang atau yang biasa disebut dengan reduce (pengurangan volume atau
jumlahnya) (Darmawan, 2018).

Tujuan dibangunnya bank sampah sebenarnya bukan bank sampah itu sendiri. Bank
sampah adalah strategi untuk membangun kepedulian masyarakat agar dapat ‘berkawan’
dengan sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari sampah. Dengan
demikian bank sampah harus terintegrasikan dengan gerakan 3R sehingga manfaat langsung
yang dirasakan tidak hanya ekonomi, namun pembangunan lingkungan yang bersih, hijau,
dan sehat (Darmawan, 2018).

9.4.3 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010, Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) adalah tempat dilaksanakannya kegiatan penggunaan ulang,
pendauran ulang, pemilahan, pengumpulan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.

Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) sebagai wadah pengolahan sampah


dengan cara 3R (reduce, reuse, dan recycle), yaitu pemilahan sampah dan pengolahan
sampah. Sampah organik digunakan untuk pembuatan kompos, sampah anorganik direcycle
atau direuse dan sampah yang benar-benar tidak dapat digunakan langsung diangkut ke
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) (Wijayanti, 2013). Jika peran dan fungsi TPST bisa
berjalan optimal, maka beban TPA selama ini yang hampir menjadi satu-satunya tempat
penanganan sampah bisa menjadi lebih ringan, karena adanya timbulan sampah yang diolah
di TPST (Sahwan, 2010) dalam (Iman, 2018).

Anda mungkin juga menyukai