WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO) DAN PANDEMI COVID-19
Kemunculan virus corona telah memporak-porandakan tatanan dunia dan
berdampak langsung pada keselamatan dan kelangsungan hidup manusia. Virus corona diyakini pertama kali muncul pada November 2019 di Wuhan, negara Tiongkok. Sejak saat itu, penyebaran virus corona belum dapat sepenuhnya dikendalikan dan masa-masa genting masih berlangsung hingga hari ini. Pada masa-masa genting seperti ini, sikap dan tindakan yang diambil otoritas sangat penting dan menentukan. Setiap langkah dan kebijakan yang diambil otoritas adalah panduan yang diharapkan menuntun pada respon yang tepat terhadap virus ini. Salah satu otoritas yang disorot terkait penanganan pandemi covid-19 adalah Wordl Health Organization (WHO). Sekilas tentang WHO, organisasi ini dibentuk pada tahun 1948 untuk mengkoordinasikan urusan kesehatan dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Prioritas awalnya adalah malaria, tuberkulosis, penyakit kelamin dan penyakit menular lainnya, ditambah kesehatan, gizi dan sanitasi perempuan dan anak. Beberapa kesuksesan WHO yang menonjol diantaranya adalah penurunan tajam penyakit Robles (kebutaan sungai) dan pemberantasan cacar (disertifikasi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 1980). Selain kesuksesan, kritik tajam juga pernah menghampiri WHO, salah satunya kritikan terhadap kelambatan bereaksi ketika HIV / AIDS meledak di seluruh dunia. Pada 2009 saat wabah flu babi muncul, WHO dikritik untuk hal sebaliknya. WHO dinilai terlalu cepat bereaksi dan mengambil langkah yang tidak perlu yaitu mengumumkan pandemi global. Pada 2014, kritikan tajam kembali meghampiri WHO yang dinilai lambat dalam menanggapi wabah Ebola dan baru mengumumkan darurat internasional lima bulan sesudah virus itu pertama kali ditemukan di Guinea. Tampaknya, hal yang sama terulang pada kasus virus covid-19. WHO dinilai bertindak terlalu lambat. Sejak awal, WHO menghadapi kritik bahwa mereka telah salah menangani krisis. Kesalahan tersebut meliputi kelambanan WHO untuk mengenali bahwa virus dengan mudah menular antar manusia dan ‘keengganan’ di awal untuk menyatakan darurat kesehatan global, khususnya untuk secara resmi menyebut kata "pandemi". Di awal kemunculan virus corona, WHO juga dinilai terlalu lunak pada ‘Cina’ di saat kecaman internasional sedang terarah pada Cina yang dianggap tidak transparan, menutup-nutupi, dan ‘mengecilkan’ angka laporan. Pada April 2020, sebuah laporan meyebutkan bahwa meskipun pemerintah Australia menghargai WHO dan berencana untuk terus menyumbangkan dana, mereka "kehilangan kepercayaan" pada kantor pusat global organisasi tersebut. WHO adalah organisasi yang berskala dunia internasional. Nasihat-nasihat ilmiah WHO menjadi panduan dan harapan bagi seisi dunia. Namun kritik keras sempat dilontarkan Sir Venki Ramakrishnan, presiden Perkumpulan Kerajaan Inggris yang menyebutkan WHO terkesan memperlakukan nasihat ilmiahnya seperti semacam proyek penelitian akademis. WHO menunggu bukti definitif muncul sebelum mengeluarkan panduan. Sayangnya, dalam situasi kritis di mana keadaan berubah cepat secara drastis, keputusan-keputusan mendesak harus dibuat menggunakan bukti yang tersedia sembari menunggu bukti terbaik dan valid terkumpul. WHO tampaknya sedang menghadapi krisis besar, tepat di saat dunia sedang membutuhkannya. WHO kadang-kadang tampak lemah atau tentatif dalam penanganannya terhadap krisis virus corona, sebagian kemungkinan karena pengalamannya yang tidak cukup kuat dalam menangani krisis selama dekade terakhir. Sejak 2009 dan seterusnya, WHO menghadapi kecaman dari pers dan komunitas internasional atas penanganan krisis berturut-turut, semua dalam satu dekade yang bersamaan disaat tatanan keuangan dan diplomatik yang menopang WHO disebut mulai runtuh. Sejumlah kritik keras dan kecaman yang diterima WHO tentu bukanlah tanpa alasan. Namun, menarik pula untuk menelusuri apakah kesalahan dan kelambanan WHO berdampak sedemikian besar pada belum tertanganinya covid- 19 hingga hari ini. Faktanya, begitu banyak faktor kompleks yang turut mempengaruhi perkembangan virus corona. Tingginya tekanan terhadap WHO ini tampaknya diiringi pula oleh harapan membaiknya performa WHO sebagai organisasi kesehatan dunia yang dapat mejadi tumpuan di masa-masa selanjutnya. Untuk mengembalikan reputasi agar setiap bangsa menghormati otoritas WHO, mengikuti nasihatnya dan memungkinkannya mengoordinasikan aliran informasi, sumber daya, dan peralatan medis melintasi batas-batas internasional, WHO tampaknya harus menunjukkan perannya melalui serangkaian pembuktian, diantaranya melalui pernyataan-pernyataan yang strategik dan empatik serta pelaksanaan program-program yang tepat dan agresif.