Anda di halaman 1dari 19

BONUM COMMUNE

DALAM PERSPEKTIF NASIONALISME, TOTALITERISME

DAN FASISME

Oleh

Sita Subadra

Tulisan ini telah dimuat dalam buku “Bonum Commune dalam Filsafat
Barat” terbitan Kanisius-Yogyakarta tahun 2017 (halaman 185-204)

Nasionalisme, Totaliterisme dan Fasisme adalah tiga hal besar mencakup


negara, ideologi, rakyat, penguasa, sejarah, politik dan hal-hal yang
menggerakkan di dalamnya. Apakah bonum commune yang sangat erat kaitannya
dengan bagaimana dan apa visi bersama untuk menuju kehidupan yang baik
dalam bermasyarakat dapat dikatakan sebagai penggerak dari ketiga hal tersebut?
Jika benar, maka arahnya akan dibawa ke mana?

Bonum (dalam bahasa Latin) diterjemahkan sebagai “kebaikan”. Kata


“kebaikan” dapat dimaknai sebagai kehendak atau apa yang dapat dimengerti
untuk tujuan menyempurnakan sesuatu, sehingga patut untuk diperjuangkan.
Namun, kata dan makna “kebaikan” tersebut tidak bisa terlepas dari bermacam-
macam interpretasi dan kepentingan yang mengikutinya, sebagai contoh yaitu
“kebaikan” yang diinginkan tidak untuk kepentingan diri sendiri, atau “kebaikan”
yang dilakukan untuk mendapatkan “kebaikan” lainnya. 1 “Kebaikan” dalam
konteks bonum commune, diartikan sebagai sesuatu yang diperjuangkan untuk
tujuan bersama. Bonum commune dalam bahasa Indonesia berarti kebaikan
2
bersama. Salah satu elemen dari bonum commune adalah berkomunitas
(commune) sebagai bentuk dari kebaikan (bonum). 3 Konsep bonum commune
meliputi tiga hal yaitu bonum commune diartikan sebagai kesejahteraan umum
(general welfare) yang lebih cenderung ke arah sudut pandang ekonomi, maka

1
Bagus,Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm., 403-404
2
Datu Hendrawan dan Simon Untara, Prolog Bonum Commune “Diskursus Bonum Commune
dalam Filsafat Barat”, 2016
3
Paulus, Bambang Irawan, Bonum Commune Sebagai Medan Perjuangan Communio

[Type text]
yang menjadi acuan adalah seberapa besar pendapatan bruto suatu negara. Konsep
yang kedua adalah bonum commune diartikan sebagai kepentingan publik (public
interest). Konsep ini mengarah pada adanya institusi atau kebijakan publik yang
menjaga hak-hak dasar dari setiap individu. Ketiga, bonum commune dalam
konteks yang diartikan sebagai barang/jasa publik (public good). Kecenderungan
bagi konteks yang ketiga ini adalah adanya penggunaan fasilitas bersama dalam
publik.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah dalam nasionalisme,


Totaliterisme dan Fasisme terdapat konsep bonum commune? Jika ada, dalam
bentuk seperti apa? Dan apakah cukup mewakili kepentingan bersama dan
komunitas? Pencarian bonum commune atau kebaikan bersama dalam tulisan ini
dimulai dengan pembahasan konsep “nasionalisme” yang menjadi pendahulu
sebelum membahas konsep “Totaliterisme” dan “Fasisme”. Penulis
menempatkan “nasionalisme” dalam urutan sebelum “Totaliterisme” dan
“Fasisme” dalam judul dengan dasar bahwa “nasionalisme” dijadikan sebagai
perumus aksi bagi “Totaliterisme” dan “Fasisme”. “Nasionalisme” dijadikan
sebagai semangat dasar dalam menyatukan bangsa demi mencapai tujuan bersama,
yang pada akhirnya berlanjut membahas tentang kekuasaan negara ala
“Totaliterisme” dan “Fasisme” dalam mencapai kebaikan bersama. Kebaikan
bersama atau bonum commune ala “Totaliterisme” dan “Fasisme” kemudian akan
terlihat apakah benar-benar diperjuangkan untuk bersama atau individu?

Pada kajian kali ini, penulis akan mencoba mengusung konsep


“nasionalisme” Benedict Anderson (dengan huruf “n” kecil) sebagai pisau analisis.
Hal tersebut didasari karena adanya penekanan terhadap kata “Imagined” atau
“terbayang” dalam suatu komunitas yang disebut bangsa dalam teori Benedict
Anderson. Bangsa yang terbentuk kemudian tidak lepas dari adanya pengaruh
pikiran atau ide yang dijadikan sebagai perumus aksi dalam menemukan bangsa.
Pikiran, ide dan imajinasi tersebut juga ditemukan dalam kekuasaan ala
“Totaliterisme” dan “Fasisme” yang dijadikan sebagai dasar dalam mengatur
negara dan membentuk bangsa. Hanya saja, apakah pikiran, ide dan imajinasi ala
penguasa “Totaliterisme” dan “Fasisme” kemudian dirumuskan menjadi tindakan
yang disertai oleh teror, propaganda, rasisme dan kekerasan demi menyelamatkan
sebuah bangsa, membentuk negara dan meniadakan yang berbeda darinya?Bila
meminjam yang telah ditulis oleh Daniel Dhakidae dalam buku “Imagined
Communities”, apakah yang dipakai oleh penguasa dalam “Totaliterisme” dan
“Fasisme” adalah “nasionalisme menjerang-njerang” yang bukan milik Barat dan
Timur, namun yang sudah tertanam dalam diri “kebangsaan negara” sebagai
akibat eksesif “negara bangsa”. 4

Apa Bonum Commune dalam nasionalisme, Totaliterisme dan Fasisme?

NASIONALISME

Apa itu “Nasionalisme”?

Daniel Dhakidae, dalam bagian Pengantar di buku “Imagined


Communities” karangan Benedict Anderson, menuliskan bahwa
“nasionalisme”bisa menggeliat dan muncul ke permukaan untuk dipertanyakan
dan dimaknai kembali bila terjadi adanya keinginan daerah-daerah di Indonesia
yang ingin lepas dari Jakarta 5 .Sumpah dan janji “satu bangsa” dalam Sumpah
Pemuda tahun 1928 yang dijadikan sebagai the holy trinity (tritunggal suci)
terbentuknya bangsa di Indonesia lewat sumpah “satu bangsa, satu bahasa dan
satu tanah air” kemudian mampu berubah menjadi the unholy trinity yang
menandakan adanya keretakan dalam sumpah dan janji untuk satu setia 6 .
Peristiwa Timor Timur yang kala tahun 2001 ingin lepas dari Indonesia setelah
berhasil diinvasi pada malam Natal 24 Desember 1975 memunculkan pertanyaan
“Sebenarnya apa nasionalisme itu?” 7 . Apakah “nasionalisme” hanya berhasil
dimaknai dan diulik kembali ketika akan terjadi perpecahan, konflik dan perang
dalam satu negara bangsa saja? Bagaimana “nasionalisme” mengada secara

4
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.,xi
5
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.vii-viii
6
Ibid., hlm.xiii-xiv
7
Ibid., hlm.xxxix
historis? Bagaimana perubahan makna “nasionalisme”? Mengapa “nasionalisme”
dapat menggugah sisi emosional manusia? 8

Benedict Anderson memahami “nasionalisme” tidak dengan huruf “N”


besar (Nasionalisme) melainkan dengan huruf “n” kecil yang kemudian tidak
ditempatkan sebagai ideologi. Nasionalisme dalam konteks tersebut tidak
disandingkan dengan “Liberalisme” dan “Fasisme” melainkan seperti berbagi
ruang dengan “kekerabatan” dan “agama”. “Kekerabatan” dan “agama” dalam
konteks tersebut dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi kepunyaan bersama.
Makna dan konteks dalam “agama” dan “kekerabatan” diandaikan seperti setiap
orang memilikinya dan sudah melekat atau inheren. Nasionalisme kemudian
dimaknai sebagai sesuatu yang mengikat dan melekat, yang menjadi dasar atau
perumus aksi dan dipertahankan karena sifatnya yang suci dan alami seperti
agama dan kekerabatan 9.

Ketika nasionalisme diartikan sebagai “bangunan dasar yang merumuskan


aksi”, maka bangsa atau nasion adalah komunitas politis yang dibayangkan
sebagai sesuatu yang terbatas secara inheren dan berkedaulatan 10 . Benedict
memberi kata imagined atau “yang terbayang” dan “yang dibayangkan” untuk
menjelaskan kata community atau “komunitas” dalam imagined communities atau
komunitas-komunitas terbayang. Apa maksud imagined atau “terbayang” dalam
konteks imaginedcommunities atau “komunitas-komunitas terbayang”? Jika
dianalisis, makna “terbayang” adalah “dalam jangkauan imajinasi dan merupakan
hasil olah pikir”. “Komunitas terbayang” kemudian dimaknai sebagai komunitas
yang menjadi hasil dari olah pikir dan imajinasi yang kemudian menggambarkan
realitas atau sesuai dengan realitas. Realitas yang terbangun dan terbayang
tersebut pun dibangun berdasar pada rasa kebersamaan dan kekerabatan para
anggota bangsanya.

8
Ibid., hlm.6
9
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.8
Hal tersebut dapat terlihat dalam apa yang diungkapkan Benedict tentang
bangsa,

“Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa


terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar
anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan
mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di
benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah
bayangan tentang kebersamaan mereka”.
Benedict dalam konteks ini pula membandingkan maksud
“membayangkan” dengan konsep bangsa Seton-Watson dalam “Nations and
States”,

“yang bisa saya katakan hanyalah bahwa suatu bangsa mengada tatkala
sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu masyarakat
menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion, atau berperilaku
seolah mereka telah membentuk sebuah bangsa.”
Frasa “menganggap diri mereka” diterjemahkan oleh Benedict menjadi
“membayangkan diri mereka”. 11

Pembayangan terhadap anggota bangsa dipahami karena para anggota


bangsa yang terkecil pun tidak akan tahu, tidak kenal sebagian besar anggota lain,
tidak pernah mendengar bahkan tidak pernah bertemu. Kesemuanya tersebut
kemudian menjadi politikal dan komunitas politik jika dibangun konsep tentang
“sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka”. Bangsa pun bisa dilihat
memiliki sifat terbatas yang berarti ada garis-garis perbatasan yang menandakan
keberadaan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain. Selain memiliki garis-
garis perbatasan, bangsa memiliki sifat yang berdaulat yang memimpikan
kebebasan di antara keanekaragamannya. Bangsa dilihat sebagai “komunitas” dan
bentuk kesetiakawanan yang mendalam-melebar-mendatar. Inilah kiranya yang
menjadi alasan mengapa topik nasionalisme muncul ketika ada satu daerah yang

11
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.8
ingin lepas dari suatu negara dan jutaan orang bersedia merenggut nyawa orang
lain dan dirinya sendiri demi “komunitas”. 12

Akar-Akar Budaya

1. Sifat Mengada Nasionalisme

Pernyataan Benedict Anderson mengenai “nasionalisme” dengan huruf “n”


kecil yang dimaknai berbagi ruang dengan “kekerabatan” dan “agama” mendapat
jawabannya secara cukup gamblang di bagian “Akar-Akar Budaya”. “Agama”
dan “kekerabatan” dianggap suci dan mengikat. Pertanyaan yang muncul di benak
penulis kemudian mengenai mengapa “nasionalisme” berbagi dengan “agama”?
Apakah kemudian ruangan yang dibagi antara “nasionalisme” dengan “agama”
diperuntukkan bagi orang-orang yang menganggap “agama” suci? Bagaimana
dengan ruangan yang menganggap “agama” tidak suci? Apakah kemudian
“nasionalisme” tetap suci jika tidak ada pengaitannya dengan “agama”?

Pembayangan-pembayangan mengenai keagamaan dalam nasionalisme


dipaparkan Benedict lewat keberadaan barisan makan Prajurit Tak Dikenal dan
cenotaph (makam bagi serdadu-serdadu gugur yang jasad-jasadnya tak
ditemukan). Jika orang-orang Yunani Kuno mendirikan cenotaphkhusus untuk
orang-orang yang dikenal sosoknya secara pribadi, yang karena alasan lain pula
jasadnya tidak dapat diambil untuk dikebumikan dengan layak, justru dalam
budaya nasionalisme kontemporer penghormatan seremonial ditujukan pada
monumen-monumen tersebut dikarenakan makam-makamnya sengaja dibiarkan
kosong atau tidak ada seorang pun yang tahu siapa sosok yang ada di dalamnya.
Makam Pahlawan Tak Dikenal pun dibuat tanpa perlu merinci siapa sosok di
dalam makam tersebut di tiap negara-negara yang berbeda. Jati diri kebangsaan
sosok tersebut hanya dikenal melalui asal bangsa mereka seperti Jerman, Amerika,
Argentina dan seterusnya. Jika makam-makam tersebut tidak berisi jasad yang
dikenali dan tanpa adanya rincian jati diri sosok Pahlawan (kecuali jati diri

12
Ibid.,hlm.11
kebangsaan), maka pembayangan yang bermain adalah pembayangan gaib yang
bersifat nasional (cenderung mengarah pada kebangsaan). 13

Monumen-monumen tersebut bagi kaum nasionalis dianggap penting


untuk menghormati kematian raga dan keabadian roh. Pembayangan nasionalisme
dalam hal tersebut pun akhirnya disejajarkan dengan pembayangan-pembayangan
keagamaan. Kematian dalam akar budaya seorang nasionalis dianggap sebagai
titik penghabisan dalam alur fatalitas secara keseluruhan. Alur fatalitas kehidupan
secara keseluruhan seperti tabiat genetika yang diwariskan, usia, kematian, duka
cita dan sebagainya bermain dalam alur pemikiran religius. Alur pemikiran
tersebut tidak terlepas dari sejarah pembentukan nasionalisme di Eropa Barat
akhir abad 18 yang tertandai dengan peralihan dari pemikiran religius ke
sekularisme rasionalis. Nasionalisme menurut Benedict kemudian perlu dipahami
pula lewat cara penyekutuan dengan sistem-sistem kebudayaan besar sebelumnya
dan meluncur ke masa depan yang tanpa batas. Nasionalisme dianggap sebagai
sesuatu yang mengada. 14

2. Kesetiakawanan Dalam Nasionalisme

Bahasa memberi pengaruh dalam pembentukan kesetiakawanan. Benedict


memberi contoh dalam konteks ketika orang-orang lintas benua bertemu dalam
satu momen, seperti orang-orang Maguindanao bertemu dengan orang-orang
Berber di Mekah ketika naik haji. Baik orang-orang Maguindanao dan Berber
tidak dapat berkomunikasi secara lisan. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya
faktor tidak saling mengetahuibahasa masing-masing, namun keduanya dapat
memahami ideograf masing-masing yang tertulis di naskah-naskah suci yang
sama-sama dimiliki dalam bahasa Arab klasik. Dalam hal tersebut, komunitas-
komunitas kemudian dipertautkan oleh tanda-tanda, bukan bunyi-bunyi. Tanda-

13
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.12-13
14
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.14-17.
tanda tersebut bersifat tidak sewenang-wenang, yang artinya ada pemilihan
ideogram yang memangmenjadi pancaran realitas. 15

Selain tanda-tanda, pada ranah negara-negara monarki kuno, politik


seksual memainkan peran dalam menyatukan populasi-populasi yang tersebar dan
berbeda. Pada konsep negara modern, batas-batas wilayah negara telah
digambarkan dan ditentukan secara legal. Namun, dalam masa monarki kuno,
batas-batas tersebut memiliki kesan cair dan tidak tetap. Dengan sifat batas yang
cair tersebut, maharaja akhirnya memayungi kemajemukan dan keberagaman
populasinya yang menyebar dan terpencar. Politik seksual pada kala itu dilakukan
untuk melanggengkan dan mempersatukan populasi-populasi yang beragam
tersebut. Perkawinan-perkawinan dinastik pun dijadikan perekat. 16

TOTALITARISME

Apa itu Totaliterisme?

Totaliter berasal dari bahasa Latin yaitu totus, yang berarti seluruh atau
utuh. Totaliter kemudian dimaknai sebagai kekuasaan mutlak negara sebagai
bentuk pemerintahan hadir di segala bidang kehidupan masyarakatnya. Kontrol
pemerintah terdapat pada satu partai politik dan satu tangan tunggal yang biasanya
dianggap sebagai diktator 17.

Totaliterisme adalah sistem politik yang ditandai dengan adanya campur


tangan negara secara otoriter dan birokratis dalam kehidupan masyarakat dan
individu-individu. Kuasa dan martabat tertinggi ada pada negara dalam segala
bidang, baik itu sosial, ekonomi, politik, budaya, agama dan sebagainya.Negara

15
Ibid.,hlm.17-27
16
Ibid.,hlm.27-32
17
https://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2012/06/05/sosialisasi-politik-pada-masyarakat-
totaliter/
berciri totaliter dapat diamati pada negara monarki absolut, masa Bonaparte,
negara Itali, Jerman, dan Jepang. 18

Negara yang bersifat totaliterian memiliki: (1) penguasaan negara dalam


ranah komunikasi yang berdampak pada tidak adanya kebebasan berbicara dan
berserikat, sehingga individu dan masyarakat dipandang sebagai sosok yang
tunduk pada negara dengan penghilangan hak-hak dasarnya (2) pengontrolan
lembaga pendidikan, kebudayaan, keagamaan, ekonomi dan sosial. Segala tujuan,
keanggotaan dan kegiatan berada di bawah kontrol negara, baik dalam ranah
“restu” dan “pembinaan”, sehingga lembaga tersebut tidak bersifat otonom, (3)
cara dalam “mengamankan” negara yang digunakan adalah “mengamankan”
pembangkang dengan menggunakan bentuk-bentuk terorisme negara, (4) adanya
19
satu partai yang berkuasa dan mendominasi dengan ideologi yang kuat.

Beberapa sistem yang berkembang dalam negara yang bersifat totaliter


adalah adanya fanatisme nasionalistis, pemuliaan dan pemusatan kekuasaan
negara, penindasan terhadap kemandirian masyarakat dan simbol-simbol
keragaman. Negara yang memiliki sistem tersebut sangat terbuka dengan adanya
sistem pembakuan bahasa, misalnya negara mengontrol ejaan yang dianggap
“salah”.Negara dalam hal pengontrolan bahasa hingga ke sudut ejaan yang “salah”
memperlihatkan adanya pusat kebenaran dan kewibawaan yang dimiliki oleh
negara. 20

Pengontrolan negara sebagai pusat kebenaran bisa dipahami dalam


konteks sistem yang digunakan oleh Nazi. Ideologi negara merambah hingga ke
pengontrolan ilmu, termasuk ilmu alam. Dalam konteks di jaman kejayaan
rasialisme Nazi, ketika terdapat dua kekuatan yang berlawanan yaitu Arya dan
Yahudi, ilmu alam terbagi menjadi “ilmu alam Nazi” yang baik dan benar versus

18
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002
19
Roger Scruton dalam Ariel Heryanto, Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde
Baru, Mizan, Bandung, 1996, hlm.257
20
Ariel, Heryanto, Pembakuan Bahasa dan Totalitarianisme, dalam buku “Bahasa dan Kekuasaan
Politik Wacana di Panggung Orde Baru”, Mizan, Bandung, 1996, hlm.259-260
“ilmu alam Yahudi”. Hal tersebut menggambarkan ilmu yang tak lagi netral,
21
melainkan ada pengaruh negara di dalamnya.

Propaganda dan Negara

Ketika negara demokratis masih memberi ruang pada media sebagai


penyambung antara masyarakat dan negara dengan menganggap media sebagai
peneropong negara, media di negara yang berciri totaliter dipakai untuk mengatur
dan menyebarkan propaganda negara. Media dalam konteks totaliter kemudian
dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan negara. Media dianggap sebagai
salah satu alat yang tepat untuk memusatkan kekuasaan negara di tangan satu
kekuasaan.

Negara totaliter memakai media seperti dua sisi mata uang dengan teror.
Dalam melakukan kontrol, propaganda dilakukan dengan indoktrinasi dan
mengintimidasi individu atau lawannya dengan teror yang dilakukan oleh militer
seperti polisi atau tentara. Konteks propaganda dapat dilihat dalam cara Stalin
ketika “mengubah” sejarah (baca: membelokkan sejarah) Revolusi Rusia. Cara
yang dilakukan Stalin adalah dengan menghancurkan buku-buku tua, dokumen-
dokumen tua, penulis dan pembacanya. Bagaimana dengan Nazi? Nazi
menggunakan propaganda anti-semit untuk mengurangi dan mengontrol populasi
kaum Yahudi. Propaganda adalah bentuk perang psikologis karena yang diserang
adalah pikiran dan emosi, namun teror dianggap lebih dari sekedar propaganda.
Teror bahkan akan terus dilakukan meskipun tujuan yang disasar secara
psikologis sudah terpenuhi, seperti yang dilakukan Nazi lewat kamp konsentrasi 22.

Teror yang dilakukan oleh Nazi pun terus berkembang karena tidak
adanya pengusutan secara serius oleh lembaga pengadilan atau polisi. Dalam hal
ini, propaganda berarti telah dilakukan dengan baik dan menemukan
kekuasaannya. Kekuatan propaganda Nazi dianggap lebih kuat daripada otoritas
apapun dan lebih aman terlibat di dalamnya daripada menjadi seorang Republikan

21
Ibid.,hlm.261
22
Hannah, Arendt, The Origin of Totalitarianism, hlm.386-389
yang loyal. Apa yang dimainkan dalam propaganda kemudian adalah imajinasi
dan pikiran serta pengulangan. Pengetahuan akan dibentuk lewat repetisi-repetisi
yang dijejalkan ke dalam otak. 23

Rasisme dan Negara

“...in their beginnings the Nazis were prudent enough never to use slogans
which, like democracy, republic, dictatorship, or monarchy, indicated a
specific form of government. It is as though, in this one matter, they had
always known that they would be entirely original. –the state, according to
Hitler, being only a “means” for the conservation of the race, as the state,
according to Bolshevik propaganda, is only an instrument in the struggle
of classes.” 24
“The state is only the means to an end. The end is: Conservation of
Race.” 25
“Incidentally, I am not the head of a state in the sense of dictator or
monarch, but I am a leader of the German people.” 26
Kutipan-kutipan di atas dari buku “The Origins of
Totalitarianism”karangan Hannah Arendt menunjukkan bahwa negara adalah alat
bagi Hitler untuk mencapai tujuan yaitu penyelamatan ras. Hitler tidak
menganggap dirinya sebagai kepala negara, namun pemimpin dari orang-orang
Jerman yang dianggapnya sebagai ras unggul. Penyelamatan ras dianggap sebagai
tujuan negara, dan negara adalah alat menuju ke sana. Propaganda yang dipakai
oleh kaum Nazi kemudian adalah politik rasialis.

Rasisme dijadikan sebagai sarana transformasi bangsa. Masyarakat


totaliter kemudian adalah sekelompok orang yang pola pikir dan ideologinya
diubah dan dikontrol oleh penguasa untuk disesuaikan dengan kebutuhan negara
tersebut, yaitu salah satunya adalah kebutuhan untuk mempertahankan ras yang
dianggap unggul 27. Nazi memiliki keyakinan bahwa ras yang unggul adalah ras
Arya. Ras lain selain Arya dianggap penghalang, bahkan orang cacat dan
23
Ibid., hlm 389-396
24
Ibid., hlm.402
25
Reden dalam Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, hlm.402
26
Ibid.,hlm.402
27
https://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2012/06/05/sosialisasi-politik-pada-masyarakat-
totaliter/
penentang Hitler akan dimusnahkan karena dianggap tidak membawa
kesejahteraan dan “mengotori” ras Arya. Hal tersebut dapat terlihat dari
bagaimana cara menjaga keunggulan ras Arya di jaman Hitler yaitu wanita di
Jerman yang dianggap dari ras unggul dipaksa untuk memiliki banyak anak,
menjaga kesehatan, tidak merokok, tidak memakai kosmetik dan menyukai
olahraga 28 . Perihal seorang perempuan, barangkali dapat dihubungkan dengan
bagaimana pandangan Hitler tentang seorang perempuan, perempuan ideal adalah
yang "cute, cuddly, naive little thing, tender, sweet, and stupid" 29 . Tempat
perempuan adalah di rumah dan membesarkan anak-anak untuk dijadikan tentara.
Namun, ironinya, di perang Dunia II perempuan melakukan pekerjaan di luar hal-
hal yang disebutkan sebelumnya hanya karena jika para lelaki sudah mati.

Bangsa dan nasionalisme pada konteks totaliterisme kemudian dimaknai


sebagai mencintai dan membela bangsa yang tujuannya dibentuk untuk
menyelamatkan ras unggul. Cinta bangsa berarti cinta pada ras unggul. Isu ras
dalam pembentukan arah bangsa sangat kental dalam totaliterisme. Hal tersebut
bisa dilihat dari bagaimana Hitler membentuk arah bangsa lewat pendidikan
formal. Salah satu surat edaran dari Menteri Pendidikan Jerman pada bulan
Januari 1935 tertulis sebagai berikut,

” para guru harus diarahkan untuk mengajarkan pada para murid mereka
semua bentuk ‘sifat’, sebab dan akibat dari masalah keturunan dan ras
agar mereka menyadari betapa pentingnya ras dan keturunan bagi
kehidupan dan tujuan bangsa Jerman dan menumbuhkan arti tanggung
jawab dalam diri mereka terhadap masyarakat bangsa sebagai bangsa
Jerman yang merupakan kendaraan utama nilai-nilai keturunan Nordik
dan kemauan serta berusaha keras memurnikan ras keturunan Jerman.
Instruksi rasial harus dimulai pada orang-orang muda (umur 6 tahun)
sesuai dengan keinginan Fuhrer bahwa tak ada anak laki-laki atau
perempuan yang harus meninggalkan sekolah tanpa pengetahuan lengkap
tentang urgensi dan arti kemurnian darah.” 30

28
Simon, Untara, NasionalSosialisme: Telaah Terhadap Ideologi Penghasil Totalitarisme, hlm.5-6
29
John Merriman dalam Open Yale Courses “Fascists”, 19 November 2008,
http://oyc.yale.edu/history/hist-202/lecture-22#transcript
30
Lyman Tower Sargentdalam Simon Untara, Makalah NasionalSosialime: Telaah Terhadap
Ideologi Penghasil Totalitarianisme, hlm.6
FASISME

Apa Itu Fasisme?

Istilah “fasisme” berasal dari kata fascis di bahasa Latin yang berarti
berkas batang (kapak bermata tajam) yang dijadikan sebagai simbol otoritas ke
hadapan dewan hakim Roma. Fasisme adalah nama organisasi politik Italia yang
didirikan oleh Mussolini tahun 1919 dan menang pemilu tahun 1922. Sistem
pemerintahan Fasisme berada di tangan diktator absolut yang disertai dengan
pengawasan sosial dan ekonomi yang ketat, kebijakan nasionalistik yang disertai
unsur rasisme dan adanya penindasan terhadap kritik dan oposisi. Sistem fasis di
Eropa tidak hanya didirikan di Italia (1922), tetapi juga di Jerman (1933) dalam
bentuk Sosialisme-Nasionalisnya dan Spanyol pada tahun 1936. 31

Fasisme dipahami oleh Scruton sebagai rezim yang memiliki sifat


nasionalistis, membenci demokrasi, menolak persamaan derajat dan pencerahan
liberal, mengagungkan pemimpin yang berkuasa, tunduk pada organisasi yang
dimiliki secara bersama dan simbol-simbol kekuasaan (baju seragam berpawai
dan disiplin militer). Sedangkan Bullock lebih keras menyatakan bahwa fasisme
memiliki aliran yang keras dalam nasionalisme, anti-komunis dan anti-Marxis,
membenci liberalisme, demokrasi dan sistem parlementer. Propaganda dan
terorisme menjadi andalan yang dipakai dalam berkampanye. Jika kekuasaan
berhasil diraih, rezim fasis akan membasmi musuh-musuhnya tanpa
mempedulikan hukum yang berlaku. Watak militer juga sangat kental dalam
rezim fasisme, yaitu sangat memuja peperangan dan kekerasan, baju seragam,
kepangkatan, sapaan hormat dan pawai. 32

Gaya Fasisme

Negara dalam pandangan Fasisme adalah bentukan yang keras dari tangan
pemegang kekuasaan yang bertujuan untuk menyeragamkan individu dan
masyarakat dalam berpikir dan bertindak. Dalam mencapai tujuannya, kekerasan

31
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, hlm.228
32
Ariel, Heryanto, Pembakuan Bahasa dan Totalitarianisme, 1996, Mizan, Bandung, hlm.258
dilakukan lewat propaganda dan genosida (pemusnahan suatu golongan atau
bangsa). Negara dengan sangat jelas bukan bentukan rakyat, melainkan pemegang
kekuasaan yang dimiliki oleh satu orang atau kelompok. Hal tersebut sangat
memperlihatkan bahwa unsur multikultural dalam suatu negara sangat terbatas,
bahkan terhambat, karena adanya pemaksaan dalam penyeragaman yang
dilakukan oleh negara. 33

Fasisme dianggap akan muncul di beberapa penganut negara demokrasi


jika terlihat adanya gerakan pelemahan intelektualitas atau anti intelektual yang
bertujuan untuk melemahkan proses-proses rasionalitas, rasisme yang menguat,
dan ketidakberhasilan pelaksanaan sistem demokrasi yang mengakibatkan krisis
34
ekonomi, sosial dan budaya.

1. Fasisme Italia

Fasisme di Italia muncul lewat kehadiran Benito Mussolini melalui


gerakan Ultra Nasionalis. Pada tahun 1919 golongan Ultra Nasionalis mendirikan
Partai Fasci Italiani yang kemudian disebut Partai Fasis di bawah kepemimpinan
Benito Mussolini.Fasisme masuk dengan mudah ke Italia ketika kekacauan-
kekacauan pasca perang dunia I terjadi. Mussolini mengatasi ketakutan
masyarakat Italia akan paham-paham komunis. Kekhawatiran tersebut ditambah
dengan adanya peristiwa Revolusi Rusia yang dipelopori oleh Bolsheviks Lenin.
Pada tahun 1920, komunis menduduki pabrik-pabrik di Turin dan Milan, yang
mulai memunculkan asumsi bahwa bukan tidak mungkin komunisme akan
menyebar ke wilayah Eropa Barat. Pada tahun 1921, Mussolini berhasil mengatasi
pemberontakan kaum komunis dan memadamkan gerakan buruh di Italia Utara.
Partai Mussolini menang pemilu tahun 1923. Tidak hanya ketakutan masyarakat
Italia terhadap komunis, namun adanya kekurangpercayaan rakyat terhadap Raja
Victor Immanuel pula yang menyebabkan Mussolini memanfaatkan momentum
33
Saban, Abdina, Ideologi Fasisme Dan Negara Yang Menganutnya, Makalah Kuliah Pengantar
Ilmu Politik Universitas Nasional, hlm.2-4
34
Ibid.,hlm.8-9
untuk meraih dukungan rakyat Italia. Pada tahun 1922, Mussolini mengadakan
long-march ke Roma untuk menuntut mundur Perdana Menteri
Italia.Keberhasilan Mussolini pada tahun 1922 tidak hanya menuntut mundur
Perdana Menteri Italia, namun juga merebut kekuasaan Raja Victor Immanuel,
membubarkan partai komunis dan sosialis. Mussolini mendapatkan dukungan dari
Jerman dalam menjalankan ideologi Fasisme. 35

2.Fasisme Jerman

Fasisme di Jerman dilatarbelakangi oleh peristiwakekalahan Jerman pada


perang dunia I. Jerman dalam kekalahannya mendapatkan sanksi untuk membayar
ganti rugi akibat perang dunia I kepada negara-negara sekutu yang tertulis dalam
perjanjian Versailles. Kondisi finansial Jerman pun melemah akibat pembiayaan
keperluan perang dan terjadi krisis sosial dengan munculnya berbagai kejahatan
dan kefrustasian rakyat. Hal tersebut yang menjadikan rakyat Jerman
menginginkan pemimpin yang dapat mengubah kehidupan dan keinginan rakyat.
Partai Nazi yang didirikan oleh Adolf Hitler pada tahun 1919 (dengan nama awal
Partai Buruh Jerman) kemudian dianggap mampu mewakili keinginan rakyat
Jerman kala itu. Hitler kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri lalu menjadi
Presiden dengan menggantikan Paul von Hindenburg yang telah meninggal dunia.
Kekuasaan yang ditampuk oleh Hitler dengan partainya berideologi fasis
membentuk penerapan sistem totaliter di Jerman. Jerman kemudian berkeinginan
untuk menguasai Eropa melalui pikiran dan ide yang dibentuk bahwa keturunan
dari bangsa Arya adalah yang paling mulia dan unggul. 36 Dasar ideologi Nazi
adalah nasionalis sosialis yang dibungkus oleh keinginan untuk menyelamatkan
dan mengunggulkan bangsa Arya, sehingga tak ayal rasisme dan pemusnahan

35
Faizul, Ibad, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013, hlm.12
36
Faizul, Ibad, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013, hlm.16-17
terhadap ras dan bangsa di luar Arya, atau di luar bangsa yang dianggap unggul,
dilakukan. 37

3. Fasisme Spanyol

Fasisme di Spanyol dipimpin oleh Jenderal Fransisco Franco yang


awalnya adalah seorang militer biasa. Perkembangan Fasisme di Spanyol dimulai
karena perang saudara yang terjadi pada 17 Juli 1936 sampai 1 April 1938 antara
kaum loyalis yang dipimpin oleh Presiden Manuel Azana dan kaum nasionalis
oleh Jenderal Franco. Kepemimpinan karismatik yang dimiliki oleh Jenderal
Franco menjadi faktor pengaruh dari langgengnya kekuasaan fasisme di Spanyol.
Franco menjadi pemenang atas perang saudara melawan kelompok Republikan
dan menjadi penguasa atas negara yang baru bangkit setelah perang dan
mengembangkan industrinya. Franco, dalam perjalanannya, memilih untuk tidak
ikut serta dalam persekutuan fasisme Italia-Jerman dan Jepang. Hal tersebut yang
membuat rezim Franco bertahan di Spanyol. Namun, Franco ditumbangkan oleh
kelompok Monarki Raja Juan Carlos dan Spanyol secara perlahan masuk ke
dalam sistem liberalisme. 38

PERSINGGUNGAN BONUM COMMUNE NASIONALISME,


TOTALITARISME DAN FASISME

Berangkat dari pemahaman bahwa nasionalisme adalah perekat komunitas


dan bangunan rasa yang menjadi penopang bangsa, maka bonum commune atau
kebaikan bersama dalam nasionalisme dibangun lewat bangunan rasa (atau rasa
kesetiakawanan). Bangunan rasa tersebut terbentuk lewat imajinasi suatu
komunitas yang mengakibatkan adanya rasa saling keterhubungan dan berkaitan
sebagai satu bangsa, sebagai contoh bayangan tentang kebersamaan suatu anggota
bangsa terkecil terhadap anggota yang lainnya meskipun mereka tidak saling
bertatap muka, tidak saling kenal dan tidak pernah bertemu. Bayangan

37
Simon, Untara, Makalah “Nasional Sosialisme: Telaah Terhadap Ideologi Penghasil
Totalitarisme”, hlm.5
38
Faizul, Ibad, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013, hlm.14-15
kebersamaan tersebut yang mengakibatkan rasa kesetiakawanan antar anggota
bangsa terbentuk. Pikiran dan imajinasi yang membentuk bayangan kebersamaan
kemudian sangat berperan dalam pembentukan bonum commune dalam
“nasionalisme”.

Bagaimana dengan bentuk bonum commune dalam Totaliterisme dan


Fasisme? Pada perkembangannya, baik Fasisme maupun Totaliterisme beranjak
dari konsep dasar nasionalisme sebagai perumus tindakan atau semangat dalam
mempertahankan suatu bangsa. Hal yang menjadi tujuan dari kebaikan bersama
tersebut sehingga menjadi kekuasaan tunggal yang mengatasnamakan negara.
Kekuasaan tunggal suatu negara dapat dipahami sebagai dua sisi mata uang yang
sejajar namun bermakna ganda. Satu sisi dapat menjadi jalan keluar bagai
kepentingan bersama karena memiliki visi yang berorientasi pada kebaikan
bersama. Di sisi yang lain bisa menjadi mimpi buruk bagai kontemplasi hak asasi
manusia. Mengingat, negara yang mengusung kekuasan tunggal tersebut
berpotensi melahirkan kediktatoran melalui kendali penuh kekuasaan oleh
seseorang ataupun individu. Risiko yang kemungkinan menyeruak adalah negara
kemudian hanya akan mengakomodir kepentingan individu dalam upaya
penyelenggaraan kekuasaan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Meski
Fasisme maupun Totaliterisme mengawali cengkraman semantik dan praksisnya
melalui nasionalisme, namun dalam perjalannya baik Fasisme dan Totaliterisme
semakin erat dengan pengertian fanatisme berlebihan pada nasionalisme.
Akhirnya, fanatisme berlebih yang dialami oleh Fasisme dan Totaliterisme dalam
eskalasi pragmatis memproduksi proyek teror dan rasisme yang berujung pada
kekerasan dalam penyelenggaraan negara maupun dalam upaya ekspansi wilayah
teritorial kekuasaannya. Pada titik inilah, nasionalisme, Totaliterianisme dan
Fasisme sebagai entitas menemui persimpangan makna yang berbeda secara
diametral dan praktis.

Menelisik kajian bonum commune nasionalisme dalam konteks Indonesia,


penulis teringat akan teks sebuah perbincangan antara seorang jurnalis dengan
akademisi di sebuah media sosial tentang “hakikat apa yang melandasi ikatan
keberagaman agama, suku, ras dan bangsa di Indonesia?”, jawaban yang diberikan
adalah; “pemersatunya adalah Bahasa, Bahasa Indonesia dan landasannya adalah
Pancasila sebagai dasar negaranya”. Namun, Pancasila dan Bahasa Indonesia
tidak akan benar-benar dimaknai sebagai pemersatu jika tidak ada suatu rasa yang
dijadikan sebagai bangunan dan landasan, yaitu rasa kesetiakawanan dan
persaudaraan. Terdengar klise, namun klise itulah yang perlu menjadi refleksi
kritis pemikiran manusia Indonesia saat ini dengan tantangan global serta
kekiniannya yang tak akan lepas dari ancaman ideologis pemurtad-an jati diri
bangsa.

SUMBER BACAAN
Abdina, Saban, Ideologi Fasisme dan Negara yang Menganutnya, Makalah
Kuliah Pengantar Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang,
INSIST, Yogyakarta, 2008
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, Harvest Book, Florida, 1976
_____________, Asal Usul Totalitarianisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1995
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002
Datu Hendrawan dan Simon Untara, makalah Prolog Bonum Commune :
“Diskursus Bonum Commune dalam Filsafat Barat”, Fakultas Filsafat,
Universitas Widya Mandala Surabaya, 2016
Heryanto, Ariel, Pembakuan Bahasa Dan Totalitarianisme,dalam buku Bahasa
Dan Kekuasaan: Politik Wacana Di Panggung Orde Baru, Mizan,
Bandung, 1996
Ibad, Faizul, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013
Irawan, Paulus Bambang, makalah Bonum Commune Sebagai Medan Perjuangan
Communio
Untara, Simon, makalah Nasionalisme: Telaah Terhadap Ideologi Penghasil
Totalitarianisme
https://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2012/06/05/sosialisasi-politik-pada-
masyarakat-totaliter/

John Merriman dalam Open Yale Courses “Fascists”, 19 November


2008, http://oyc.yale.edu/history/hist-202/lecture-22#transcript

Anda mungkin juga menyukai