DAN FASISME
Oleh
Sita Subadra
Tulisan ini telah dimuat dalam buku “Bonum Commune dalam Filsafat
Barat” terbitan Kanisius-Yogyakarta tahun 2017 (halaman 185-204)
1
Bagus,Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm., 403-404
2
Datu Hendrawan dan Simon Untara, Prolog Bonum Commune “Diskursus Bonum Commune
dalam Filsafat Barat”, 2016
3
Paulus, Bambang Irawan, Bonum Commune Sebagai Medan Perjuangan Communio
[Type text]
yang menjadi acuan adalah seberapa besar pendapatan bruto suatu negara. Konsep
yang kedua adalah bonum commune diartikan sebagai kepentingan publik (public
interest). Konsep ini mengarah pada adanya institusi atau kebijakan publik yang
menjaga hak-hak dasar dari setiap individu. Ketiga, bonum commune dalam
konteks yang diartikan sebagai barang/jasa publik (public good). Kecenderungan
bagi konteks yang ketiga ini adalah adanya penggunaan fasilitas bersama dalam
publik.
NASIONALISME
4
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.,xi
5
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.vii-viii
6
Ibid., hlm.xiii-xiv
7
Ibid., hlm.xxxix
historis? Bagaimana perubahan makna “nasionalisme”? Mengapa “nasionalisme”
dapat menggugah sisi emosional manusia? 8
8
Ibid., hlm.6
9
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.8
Hal tersebut dapat terlihat dalam apa yang diungkapkan Benedict tentang
bangsa,
“yang bisa saya katakan hanyalah bahwa suatu bangsa mengada tatkala
sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu masyarakat
menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion, atau berperilaku
seolah mereka telah membentuk sebuah bangsa.”
Frasa “menganggap diri mereka” diterjemahkan oleh Benedict menjadi
“membayangkan diri mereka”. 11
11
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.8
ingin lepas dari suatu negara dan jutaan orang bersedia merenggut nyawa orang
lain dan dirinya sendiri demi “komunitas”. 12
Akar-Akar Budaya
12
Ibid.,hlm.11
kebangsaan), maka pembayangan yang bermain adalah pembayangan gaib yang
bersifat nasional (cenderung mengarah pada kebangsaan). 13
13
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.12-13
14
Benedict, Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, INSISTS,
Yogyakarta, 2008, hlm.14-17.
tanda tersebut bersifat tidak sewenang-wenang, yang artinya ada pemilihan
ideogram yang memangmenjadi pancaran realitas. 15
TOTALITARISME
Totaliter berasal dari bahasa Latin yaitu totus, yang berarti seluruh atau
utuh. Totaliter kemudian dimaknai sebagai kekuasaan mutlak negara sebagai
bentuk pemerintahan hadir di segala bidang kehidupan masyarakatnya. Kontrol
pemerintah terdapat pada satu partai politik dan satu tangan tunggal yang biasanya
dianggap sebagai diktator 17.
15
Ibid.,hlm.17-27
16
Ibid.,hlm.27-32
17
https://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2012/06/05/sosialisasi-politik-pada-masyarakat-
totaliter/
berciri totaliter dapat diamati pada negara monarki absolut, masa Bonaparte,
negara Itali, Jerman, dan Jepang. 18
18
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002
19
Roger Scruton dalam Ariel Heryanto, Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde
Baru, Mizan, Bandung, 1996, hlm.257
20
Ariel, Heryanto, Pembakuan Bahasa dan Totalitarianisme, dalam buku “Bahasa dan Kekuasaan
Politik Wacana di Panggung Orde Baru”, Mizan, Bandung, 1996, hlm.259-260
“ilmu alam Yahudi”. Hal tersebut menggambarkan ilmu yang tak lagi netral,
21
melainkan ada pengaruh negara di dalamnya.
Negara totaliter memakai media seperti dua sisi mata uang dengan teror.
Dalam melakukan kontrol, propaganda dilakukan dengan indoktrinasi dan
mengintimidasi individu atau lawannya dengan teror yang dilakukan oleh militer
seperti polisi atau tentara. Konteks propaganda dapat dilihat dalam cara Stalin
ketika “mengubah” sejarah (baca: membelokkan sejarah) Revolusi Rusia. Cara
yang dilakukan Stalin adalah dengan menghancurkan buku-buku tua, dokumen-
dokumen tua, penulis dan pembacanya. Bagaimana dengan Nazi? Nazi
menggunakan propaganda anti-semit untuk mengurangi dan mengontrol populasi
kaum Yahudi. Propaganda adalah bentuk perang psikologis karena yang diserang
adalah pikiran dan emosi, namun teror dianggap lebih dari sekedar propaganda.
Teror bahkan akan terus dilakukan meskipun tujuan yang disasar secara
psikologis sudah terpenuhi, seperti yang dilakukan Nazi lewat kamp konsentrasi 22.
Teror yang dilakukan oleh Nazi pun terus berkembang karena tidak
adanya pengusutan secara serius oleh lembaga pengadilan atau polisi. Dalam hal
ini, propaganda berarti telah dilakukan dengan baik dan menemukan
kekuasaannya. Kekuatan propaganda Nazi dianggap lebih kuat daripada otoritas
apapun dan lebih aman terlibat di dalamnya daripada menjadi seorang Republikan
21
Ibid.,hlm.261
22
Hannah, Arendt, The Origin of Totalitarianism, hlm.386-389
yang loyal. Apa yang dimainkan dalam propaganda kemudian adalah imajinasi
dan pikiran serta pengulangan. Pengetahuan akan dibentuk lewat repetisi-repetisi
yang dijejalkan ke dalam otak. 23
“...in their beginnings the Nazis were prudent enough never to use slogans
which, like democracy, republic, dictatorship, or monarchy, indicated a
specific form of government. It is as though, in this one matter, they had
always known that they would be entirely original. –the state, according to
Hitler, being only a “means” for the conservation of the race, as the state,
according to Bolshevik propaganda, is only an instrument in the struggle
of classes.” 24
“The state is only the means to an end. The end is: Conservation of
Race.” 25
“Incidentally, I am not the head of a state in the sense of dictator or
monarch, but I am a leader of the German people.” 26
Kutipan-kutipan di atas dari buku “The Origins of
Totalitarianism”karangan Hannah Arendt menunjukkan bahwa negara adalah alat
bagi Hitler untuk mencapai tujuan yaitu penyelamatan ras. Hitler tidak
menganggap dirinya sebagai kepala negara, namun pemimpin dari orang-orang
Jerman yang dianggapnya sebagai ras unggul. Penyelamatan ras dianggap sebagai
tujuan negara, dan negara adalah alat menuju ke sana. Propaganda yang dipakai
oleh kaum Nazi kemudian adalah politik rasialis.
” para guru harus diarahkan untuk mengajarkan pada para murid mereka
semua bentuk ‘sifat’, sebab dan akibat dari masalah keturunan dan ras
agar mereka menyadari betapa pentingnya ras dan keturunan bagi
kehidupan dan tujuan bangsa Jerman dan menumbuhkan arti tanggung
jawab dalam diri mereka terhadap masyarakat bangsa sebagai bangsa
Jerman yang merupakan kendaraan utama nilai-nilai keturunan Nordik
dan kemauan serta berusaha keras memurnikan ras keturunan Jerman.
Instruksi rasial harus dimulai pada orang-orang muda (umur 6 tahun)
sesuai dengan keinginan Fuhrer bahwa tak ada anak laki-laki atau
perempuan yang harus meninggalkan sekolah tanpa pengetahuan lengkap
tentang urgensi dan arti kemurnian darah.” 30
28
Simon, Untara, NasionalSosialisme: Telaah Terhadap Ideologi Penghasil Totalitarisme, hlm.5-6
29
John Merriman dalam Open Yale Courses “Fascists”, 19 November 2008,
http://oyc.yale.edu/history/hist-202/lecture-22#transcript
30
Lyman Tower Sargentdalam Simon Untara, Makalah NasionalSosialime: Telaah Terhadap
Ideologi Penghasil Totalitarianisme, hlm.6
FASISME
Istilah “fasisme” berasal dari kata fascis di bahasa Latin yang berarti
berkas batang (kapak bermata tajam) yang dijadikan sebagai simbol otoritas ke
hadapan dewan hakim Roma. Fasisme adalah nama organisasi politik Italia yang
didirikan oleh Mussolini tahun 1919 dan menang pemilu tahun 1922. Sistem
pemerintahan Fasisme berada di tangan diktator absolut yang disertai dengan
pengawasan sosial dan ekonomi yang ketat, kebijakan nasionalistik yang disertai
unsur rasisme dan adanya penindasan terhadap kritik dan oposisi. Sistem fasis di
Eropa tidak hanya didirikan di Italia (1922), tetapi juga di Jerman (1933) dalam
bentuk Sosialisme-Nasionalisnya dan Spanyol pada tahun 1936. 31
Gaya Fasisme
Negara dalam pandangan Fasisme adalah bentukan yang keras dari tangan
pemegang kekuasaan yang bertujuan untuk menyeragamkan individu dan
masyarakat dalam berpikir dan bertindak. Dalam mencapai tujuannya, kekerasan
31
Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, hlm.228
32
Ariel, Heryanto, Pembakuan Bahasa dan Totalitarianisme, 1996, Mizan, Bandung, hlm.258
dilakukan lewat propaganda dan genosida (pemusnahan suatu golongan atau
bangsa). Negara dengan sangat jelas bukan bentukan rakyat, melainkan pemegang
kekuasaan yang dimiliki oleh satu orang atau kelompok. Hal tersebut sangat
memperlihatkan bahwa unsur multikultural dalam suatu negara sangat terbatas,
bahkan terhambat, karena adanya pemaksaan dalam penyeragaman yang
dilakukan oleh negara. 33
1. Fasisme Italia
2.Fasisme Jerman
35
Faizul, Ibad, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013, hlm.12
36
Faizul, Ibad, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013, hlm.16-17
terhadap ras dan bangsa di luar Arya, atau di luar bangsa yang dianggap unggul,
dilakukan. 37
3. Fasisme Spanyol
37
Simon, Untara, Makalah “Nasional Sosialisme: Telaah Terhadap Ideologi Penghasil
Totalitarisme”, hlm.5
38
Faizul, Ibad, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013, hlm.14-15
kebersamaan tersebut yang mengakibatkan rasa kesetiakawanan antar anggota
bangsa terbentuk. Pikiran dan imajinasi yang membentuk bayangan kebersamaan
kemudian sangat berperan dalam pembentukan bonum commune dalam
“nasionalisme”.
SUMBER BACAAN
Abdina, Saban, Ideologi Fasisme dan Negara yang Menganutnya, Makalah
Kuliah Pengantar Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang,
INSIST, Yogyakarta, 2008
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, Harvest Book, Florida, 1976
_____________, Asal Usul Totalitarianisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1995
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002
Datu Hendrawan dan Simon Untara, makalah Prolog Bonum Commune :
“Diskursus Bonum Commune dalam Filsafat Barat”, Fakultas Filsafat,
Universitas Widya Mandala Surabaya, 2016
Heryanto, Ariel, Pembakuan Bahasa Dan Totalitarianisme,dalam buku Bahasa
Dan Kekuasaan: Politik Wacana Di Panggung Orde Baru, Mizan,
Bandung, 1996
Ibad, Faizul, Fasisme, Makalah Pemikiran Politik Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013
Irawan, Paulus Bambang, makalah Bonum Commune Sebagai Medan Perjuangan
Communio
Untara, Simon, makalah Nasionalisme: Telaah Terhadap Ideologi Penghasil
Totalitarianisme
https://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2012/06/05/sosialisasi-politik-pada-
masyarakat-totaliter/