Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HAKEKAT MANUSIA DAN KEJATUHAN KEDALAM DOSA

OLEH
KELOMPOK 6
(KELAS ‘A’ PAK SEMESTER 4)

YORIM BAUN

SUSANTI BONAT

YONGKRI A. BOLU

YENTRIFUN NAIHOIS

VEBRIANTY A. NEONANE

YHOSUA ANTONIUS GA TIMA

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI KUPANG


2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia-Nya sehingga kami
kelompok 6 mata kuliah Dogmatika dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan dosen.
Meskipun banyak kesulitan dalam penulisan makalah ini namun berkat penyertaan-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.

Makalah ini memuat tentang “Hakekat Manusia dan Kejatuhan Dalam dosa”. Adapun
maksud penulis menyusun makalah ini, tujuannya adalah memenuhi tugas belajar yang diberikan
oleh dosen dan semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat dan sedikit pemahaman
kepada para pembaca.

Kehadiran makalah ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kekeliruan. Oleh
karena itu kami sebagai penulis berharap saran dan kritikan dari pembaca untuk
penyempurnanya di lain waktu.

Kupang, 22 Maret 2021

Penyusun

(Kelompok 6)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................I

DAFTAR ISI.............................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................................1

BAB II ISI..................................................................................................................................2

A. Hakekat Manusia..........................................................................................................2
B. Kejatuhan Kedalam Dosa..........................................................................................11

BAB III PENUTUP.................................................................................................................16

A. Kesimpulan..................................................................................................................16
B. Saran............................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Siapakah sebenarnya manusia itu ? Sekalipun pertanyaan ini kedengarannya
mudah dijawab, namun kenyataannya tidaklah demikian. Manusia atau orang dapat
diartikan dari berbagai segi salah satunya dari segi rohani. Manusia merupakan makhluk
yang cukup susah ditebak. Dalam pandangan berbagai aliran manusia telah di juga
dibahas, namun bukan hanya dalam berbagai aliran, namun dalam pandangan alkitab pun
telah dibahas bahwa pada hakekatnya manusia memiliki hubungan dengan Tuhan Allah.
Dalam pandangan alkitab manusia juga akhirnya mengalami keatuhan kedalam
perbuatan yang dibenci oleh penciptanya, perbuatan itu disebut dengan dosa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakekat manusia ?
2. Bagaimana kejatuhan manusia kedalam dosa ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakekat manusia !
2. Untuk mengetahui bagaimana kejatuhan manusia keadalam dosa !

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakekat Manusia
1. Menurut pandangan-pandangan bukan Alkitabiah
Di dalam Agama Hindu, Inti sari manusia (purusa atau atman) pada hakekatnya
adalah Brahman sendiri, yang menampakkan diri dengan alat-alat pembatasan diri. Tat
twam asi (Itulah kamu), yang berarti bahwa kamu adalah Brahman sendiri, mewujudkan
kunci wasiat pengungkapan rahasia manusia.
Juga Serat Paramayoga dan Pustakarajapurwa yang telah kita bicarakan di atas,
memberi petunjuk bahwa manusia dan dewa sebenarnya tidak berbeda secara hakiki.
Mereka semuanya diperanakkan oleh Yang dipertuhan.
Suara yang berbeda dengan yang dikemukakan di atas terdengar di dalam Agama
Buddha, di mana Allah memang tidak dianggap ada. Manusia hanya terdiri dari
namarupa, yaitu unsur-unsur rohan dan jasmani, Maksud ajaran itu ialah menunjukkan,
bahwa pada manusia tiada sesuatupun yang permanen atau tetap.
Agama Islam mengajarkan bahwa hakekat manusia adalah hamba Allah, makhluk
yang harus menghambakan dirinya kepada Allah. Hubungan antara Allah dan manusia
adalah sama dengan hubungan antara Raja dengan rakyatNya.
Secara antropologis dapat dikatakan, bahwa manusia adalah makhluk yang
berakal-budi dan berkehendak, yang menjadikan manusia berbeda dengan binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Secara sosiologis dapat dikatakan, bahwa manusia adalah makhluk
sosial, yang tidak dapat hidup menyendiri, yang harus berhubungan dengan sesamanya.
2. Pandangan Alkitab
Alkitab melihat manusia dari segi keagamaan, dalam hubungan nya dengan
Tuhan Allah. Kej. 1:26,27 mengatakan, bahwa Tuhan Allah bermaksud menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Dan Tuhan Allah memang benar-benar
menciptakan manusia yang demikian itu.
Kata-kata yang diterjemahkan dengan “gambar” dan “rupa” adalah tselem dan
demuth. Origenes mengatakan bahwa Tuhan Allah menciptakan manusia menurut
gambar Allah, dalam arti bahwa ia memiliki tabiat yang berakal, dengan maksud supaya

2
manusia, dengan melalui ketaatan, menjadi serupa dengan Tuhan Allah. Akan tetapi
Irenaeus sebaliknya mengajarkan, bahwa manusia sejak semula telah menurut gambar
dan rupa Allah, artinya : sejak semula ia adalah makhluk yang berakal dan yang serupa
dengan Allah.
Luther berpendapat, bahwa yang menjadi gambar Allah yang hakiki dan yang
substansial adalah Tuhan Yesus Kristus. Manusia memiliki gambar Allah bukan secara
hakiki. Oleh karena itu gambar Allah pada manusia dapat hilang. Gambar Allah pada
manusia terdiri dari pengetahuan akan Allah, kebenaran dan kekudusan, yang setelah
manusia jatuh ke dalam dosa, hilang sama sekali. Secara keagamaan dan kesusilaan,
setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ia sama dengan tongkat dan balok saja.
Di dalam Teologia Calivinis biasanya diterangkan demikian, bahwa yang
dimaksud dengan “gambar” (tselem) adalah hakekat manusia yang tidak dapat berubah,
sedang yang dimaksud dengan “rupa” (demuth) adalah sifat manusia yang dapat berubah.
Yang dimaksud dengan hakekat manusia yang tidak dapat berubah ialah bahwa manusia
memiliki akal, kehendak dan pribadi. Dengan melalui perkembangan manusia harus
menjadi “serupa” dengan Tuhan Allah.
Berdasarkan pernyataan dalam Kej. 5:1; 9:6; Yak. 3:9 dan I Kor. 11:7. Yang
mengatakan bahwa manusia adalah gambar Allah, dan di lain pihak Ef. 4:24 dan Kol.
3:10 mengatakan, bahwa manusia berdosa perlu diperbaharui untuk menjadi segambar
dengan Allah, orang berpendapat bahwa ungkapan “gambar Allah” di dalam Alkitab
dipakai dalam dua arti. Pertama ada gambar Allah yang tetap dimiliki manusia setelah ia
jatuh ke dalam dosa, sebab ayat-ayat di Kej. 5:1: 9:6; Yak. 3:9 dan 1 Kor. 11:7 itu
diterapkan kepada manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Selanjutnya ada gambar
Allah yang telah hilang karena dosa, sebab Ef. 4:24 dan Kol. 3:10 menyebutkan, bahwa
manusia harus diperbaharui supaya menjadi serupa dengan Allah.
Dr. H. Bavinck menyebut gambar Allah yang masih dimiliki manusia setelah ia
jatuh ke dalam dosa itu “gambar Allah dalam arti yang lebih luas (Dr. Soedarmo
menyebutnya “gambar Allah yang umum”), dan gambar Allah yang hilang karena dosa
disebutnya “gambar Allah dalam arti yang lebih sempit” (Dr. Soedarmo menyebutnya
“gambar Allah yang istimewa atau yang khusus”). Yang termasuk gambar Allah dalam
arti yang lebih luas atau yang umum adalah : peri kemanusiaan, yaitu keadaan manusia

3
sebagai manusia, yang membedakan manusia daripada binatang dan makhluk-makhluk
lainnya, yaitu bahwa manusia memiliki akal-budi dan kehendak. Yang termasuk gambar
Allah dalam arti yang sempit adalah apa yang menjadikan manusia serupa dengan Allah
atau konformitasnya dengan kehendak Allah, yaitu : hikmat atau makrifat, kebenaran dan
kekudusan. Dengan ini manusia dapat bersekutu dengan Tuhan Allah. Maksud
pembedaan yang demikian adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia, sekalipun
berdosa, tidak sama dengan binatang atau iblis, sebab ia tetap yang memiliki peri
kemanusiaan.
Dr. E. Brunner membedakan antara gambar Allah yang formal dan yang material.
Gambar Allah yang formal adalah apa yang tidak dapat hilang pada manusia, yaitu
perlengkapan manusia seperti yang tampak pada semua manusia, beriman maupun tidak,
yang disebut humanitas, yang terdiri dari : berada sebagai pribadi, menguasai makhluk
lain-lainnya dan memiliki kebebasan kehendak dalam arti moral Gambar Allah yang
material sekarang telah tidak dimiliki manusia lagi, yaitu konformitasnya dengan Allah.
Semua usaha menerangkan gambar Allah tersebut didasarkan atas “keberadaan”
atau eksistensi, baik yang mengenai Allah naupun yang mengenai manusia. Keterangan
yang demikian itu disebut keterangan yang ontologis. Menurut keterangan ini ada
kesamaan di antara Tuhan Allah dan manusia dalam keberadaannya. Dr. H. Bavinck
umpamanya menerangkan demikian :
 Seperti Tuhan Allah adalah Roh, demikianlah manusia memiliki roh, yang berarti bahwa
manusia memiliki pribadi (aku), pe rasaan dan kehendak.
 Di dalam rohnya itu manusia menerima kekuatan roh, yaitu : Akal dan kesusilaan.
 Di dalam akalnya manusia mendapatkan pengetahuan yang benar akan Allah. Di dalam
perasaannya manusia mendapat kekudus an dan kasih kepada Allah dan di dalam
kehendaknya ia menda patkan kebenaran.
 Tubuh sebagai alat hidup kerohanian juga menjadi gambar Allah. Sebagaimana Tuhan
Allah dengan langsung dapat melihat, mendengar, memikir dan bertindak, demikianlah
roh manusia dapat melihat, mendengar, memikir dan bertindak dengan alat tubuhnya.
Dengan demikian maka Alkitab dapat mengatakan tentang Allah se cara antropomorfis
(dalam bentuk-bentuk manusiawi), yaitu bahwa Allah memiliki tangan, kaki, mata,
telinga dan lain sebagainya.

4
 Jiwa manusia tidak dapat mati dan memiliki hidup yang kekal
 Manusia memerintah atas dunia ini pada waktu ia berada di Firdaus. Ia menjadi "raja-
muda Allah".
Kami berpendapat bahwa keterangan yang demikian itu tidak cocok dengan
gagasan Alkitab mengenai gambar Allah. Pandangan pandangan ini, menurut kami,
dipengaruhi oleh Origenes, yang karena pengaruh Platonisme, mengajarkan bahwa jiwa
manusia, sekalipun "dibalut" di dalam tubuh, namun pada akhirnya tidak bersifat
bendani, dan termasuk zat yang halus, yang tidak tampak. Ada kesamaan di antara jiwa
manusia dengan Tuhan Allah. Gambar Allah justru terletak pada yang rohani itu.
Sepanjang manusia dapat di katakan lebih daripada yang bendani semata-mata, maka ia
mendapat bagian dari tabiat ilahi.
Keterangan tentang gambar Allah secara ontologis ini berbahaya sekali, sebab
keterangan ini dekat sekali dengan yang diajarkan oleh kaum kebatinan mengenai
manusia. Mansur al Hallaj umpamanya, mengajarkan, bahwa Tuhan Allah menjadikan
Adam sebagai gambarNya. Ia memantulkan dari diri-Nya sendiri gambar kasih-Nya yang
kekal, agar supaya Ia dapat memandangnya seperti dalam cermin. Di dalam kebatinan
Jawa, badan dan jiwa manusia dipandang sebagai cermin dari sifat Allah yang sempurna
(Badan kalawan nyawane iku minangka paesan kang sipat kamalulah. Badaning
manungsa iku apan minangka tulada). Pada kedua aliran ini zat atau keberadaan Tuhan
Allah dijadikan pola, sedang zat atau keberadaan manusia menjadi tiruannya. (Tuhan
Allah berpikir, berkehendak, dan lain sebagainya).
Akhirnya perlu dikemukakan, bahwa ayat-ayat yang dipandang sebagai
mengatakan, bahwa manusia berdosa adalah gambar Allah, sebenarnya tidak ada. Kej.
5:1 dan 9:6 umpamanya, tidak mengatakan, bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam
dosa, adalah gambar Allah. Ayat-ayat itu sebenarnya mengingatkan kita kepada karya
penciptaan Allah pada mula pertama. Kej. 9:6 berbunyi: "Siapa yang menumpahkan
darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia
itu menurut gambarNya sendiri". Di sini tidak dikatakan, bahwa yang telah dibuat Allah
menu rut gambarNya itu adalah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Ayat ini
mengingatkan kembali akan karya penciptaan Allah pada mula pertama. Atas dasar karya
penciptaan Allah pada mula perta ma itulah maka manusia tidak boleh ditumpahkan

5
darahnya. Manusia tidak pernah boleh dilepaskan daripada maksud Allah semula yang
mengenai manusia itu. Demikianlah menurut kami, keterangan gambar Allah yang se
cara ontologis sukar diterima.
Kebanyakan dari para ahli P.L. setuju, bahwa kata tselem (gambar) harus
diartikan sebagai "gambar yang asli, patung atau model", sedang kata demuth (rupa)
harus diartikan "copy, tembusan", hal yang menunjukkan kesamaan. Semua ahli P.L.
mengakui, bahwa kedua kata itu saling menambah, serta menunjuk kepada hubungan
antara manusia dengan Khaliknya, yaitu bahwa ada kesamaan antara manusia dengan
Allahnya, suatu kesamaan ilahi.
Sekalipun demikian, masih ada persoalan, yaitu : di mana letak kesamaan itu ?
Apakah kesamaan itu terletak pada wujudnya (rupa)- nya, atau pada wataknya atau
tabiatnya, atau pada hal-hal yang lain ?
Berdasarkan Kej. 5:1-3, yang mengatakan, bahwa Adam ketika diciptakan itu ia
diciptakan menurut rupa Allah, dan bahwa kemudian ia memperanakkan seorang laki-
laki menurut rupa dan gambarnya, yaitu Set. Von Rad berpendapat, bahwa manusia
meneruskan kesamaan ilahinya" kepada keturunannya, juga dalam arti badani (fisik)
Harus diingat, bahwa Kej. 5:3 tidak mengatakan, bahwa Set diperanakkan
"menurut rupa dan gambar Allah", melainkan "menurut rupa dan gambar Adam". Oleh
karena itu maka mungkin lebih tepat dikatakan, bahwa penulis Kej. 5 ini justru membuat
perbedaan antara Adam dan Set. Adam diciptakan menurut rupa dan gambar Allah,
sedang Set diperanakkan menurut rupa dan gambar Adam. Sedang Kej. 5:1 menunjuk
kepada maksud Allah dalam menciptakan manusia, Kej. 5:3 menunjuk kesamaan Set
dengan bapanya setelah dilahirkan. Paling banyak ayat ini hanya menunjukkan ke arah
mana ungkapan "menurut gambar dan rupa" Allah itu harus diartikan, yaitu dalam arti :
seperti kesamaan anak dengan bapanya. Dari ayat-ayat di P.L. sebenarnya hanya dapat
disimpulkan demikian :
 P.L. mengajarkan, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang
harus ditafsirkan sebagai "kesamaan ilahi" manusia, yaitu kesamaan seperti kesamaan
anak dengan bapanya.
 P.L. sama sekali tidak menyebutkan isi kesamaan ilahi manusia itu. Oleh karena itu amat
tergesa-gesalah jikalau kita berdasar kan P.L. saja telah berani menentukan apa isi

6
kesamaan ilahi manusia itu, baik sebagai terdiri dari "kuasanya atau segala makhluk",
maupun sebagai terdiri dari "hubungan antara laki-laki dan perem puan" ataupun sebagai
terdiri dari tabist rohani dan jasmani.
 P.L. juga tidak mengajarkan secara positip tentang persoal an apakah kesamaan ilahi
manusia itu karena dosa hilang atau tidak.
Menurut G. Kittel, di dalam P.B. yang dimaksud dengan "gambar" (eikoon)
adalah bentuk yang asali itu sendiri (Urbild), perwujudan yang dilukiskan, yang tampak.
Sekalipun demikian, jikalau di dalam tulisan rasul Paulus disebutkan tentang "gambar
Allah (eikoon theou) dapat dipastikan, bahwa yang dimaksud olehnya ialah katagori yang
disebutkan di Kej. 1:27. Pendapat ini dapat dikatakan benar
Ayat-ayat di dalam P.B., yang dengan jelas menyebutkan hal gambar Allah, dapat
dibedakan dalam 3 katagori, yaitu : ayat-ayat yang menyebutkan hal gambar Allah pada
umumnya (1 Kor. 11:7 dan Yak. 3:9), ayat-ayat yang menyebutkan orang Kristen sebagai
gambar Allah (Rm. 8:29; 2 Kor. 3:18; Kol. 3:10), dan akhirnya ayat-ayat yang
menyebutkan Kristus sebagai gambar Allah (2 Kor. 4:4; Kol. 1:15).
1 Kor. 11:7 dan Yak. 3:9 membicarakan hal gambar Allah pada umumnya,
sehingga dapat digolongkan kepada Kej. 9:6, yaitu sebagai ayat-ayat yang menunjuk
kepada maksud karya penciptaan Allah ke tika la menciptakan manusia.
Dalam Kol. 3:9,10 disebutkan, bahwa para orang Kolose telah menanggalkan
manusia lama serta kelakuannya dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus
diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.
Dua hal yang dibicarakan di sini, yang mewujudkan suatu kontras atau hal yang
berlawanan, yaitu : manusia yang lama serta kelakuannya dan manusia yang baru yang
terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar
Khaliknya, yaitu Allah.
Mengenai manusia lama serta kelakuannya, hal itu diterangkan lebih lanjut di
Kol. 3:8, sebagai terdiri dari : marah, geram, keja hatan, fitnah dan kata-kata kotor serta
perbuatan saling mendustai. Semuanya itu harus dibuang. (Bnd. Kol. 3:5 yang
menyebutkan, bahwa para orang Kolose harus mematikan dalam dirinya segala
percabulan, kenajisan, hawa nafsu dan lain sebagainya). Sebelum bertobat para orang
Kolose melakukan segala hal itu serta hidup di dalamnya (Kol. 3:7). Oleh karena itu

7
manusia lama serta kelakuan nya adalah sama dengan apa yang di Ef. 4:22 disebut :
kehidupan yang dahulu, atau cara hidup yang dahulu.
Dalam Kol. 3:1-3 disebutkan, bahwa setelah para orang Kolose menerima Kristus
mereka dibangkitkan bersama dengan Kristus dan bahwa hidup mereka tersembunyi
bersama dengan Kristus di dalam Allah, yang artinya, bahwa inti sari hidup mereka ada
di dalam Kristus sendiri. Hal ini berarti, bahwa dengan percaya kepada Kristus orang-
orang Kolose telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya dan mengenakan
manusia baru.
Dari bagian P.B. ini jelaslah, bahwa ungkapan “manusia lama” dan “manusia
baru” itu harus diartikan sebagai : cara hidup sebelum dan sesudah bertobat, cara hidup
yang lama dan cara hidup yang baru. Padahal perubahan dari manusia lama ke manusia
baru itu adalah suatu perubahan hidup. Selanjutnya oleh rasul Paulus dikatakan, bahwa
manusia baru atau cara hidup yang baru itu, terus-menerus diperbaharui. Oleh karena itu
maka dapat dikatakan, bahwa cara hidup yang baru itu bukanlah cara hidup yang statis,
yang mandeg, melainkan cara hidup yang terus-menerus (tiada hentinya) diperbaharui,
yaitu : diperba harui untuk memperoleh pengetahuan yang benar, yaitu pengetahuan
tentang Allah. Padahal segala pembaharuan yang menuju kepada pe ngetahuan yang
benar itu adalah "menurut gambar Khaliknya", atau sesuai dengan gambar Khaliknya.
Berdasarkan penguraian itu semua dapat dikatakan, bahwa "kesamaan ilahi" atau hal
"sesuai dengan gambar Allah" itu memimpin orang beriman kepada pengetahuan yang
benar tentang Allah. Menurut rasul Paulus, cara hidup yang baru atau manusia yang baru
yang telah dikenakan oleh para orang beriman itu terdiri dari : belas kasihan, kemurahan,
kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran, saling mengampuni, kasih yang
mengikat dan memper satukan serta menyempurnakan, diperintah oleh damai-sejahtera
Kris tus (Kol. 3:13 dbr). Jadi, jikalau demikian, maka pengetahuan yang benar tentang
Allah itu menjadikan orang hidup sesuai dengan ke hendak Allah. Selanjutnya di dalam
Kol. 3 ini hidup baru itu bukan hanya berkenaan dengan hidup perorangan saja,
melainkan juga berkenaan dengan hidup kemasyarakatan. Sebab menurut Kol. 3:18-22
hubung an antara suami-isteri, antara bapa dan anak, antara tuan dan hamba, juga diubah.
Bahkan lebih dari itu, di dalam cara hidup yang baru ini tiada Yunani atau Yahudi, tiada
sunat atau tidak bersunat, tiada orang Barbar atau Skit, tiada hamba atau merdeka, sebab

8
Kristus adalah semua di dalam segala sesuatu (Kol. 3:11). Demikianlah menurut surat
Kolose, manusia baru atau cara hidup yang baru adalah suatu perubahan hidup yang
menyeluruh. Di dalam cara hidup yang baru ini segala rintangan dan batasan telah
ditiadakan, sehingga tiada lagi perbedaan ras (Yunani atau Yahudi), tiada lagi perbedaan
agama (sunat atau tidak bersunat), tiada lagi perbedaan kebudayaan (Barbar atau Skit),
tiada lagi perbedaan klas (tuan dan hamba). Di kawasan cara hidup yang lama ada banyak
rintangan dan perbatasan yang memisahkan manusia yang seorang dengan yang lain. Di
kawasan manusia lama itu hidup dibahayakan oleh sedemikian banyak rintangan dan
pembatasan, akan tetapi di kawasan manusia baru hidup adalah bebas merdeka, hidup
telah menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan, bahwa menurut Kol. 3:10 ungkapan
“diperbaharui menurut gambar Allah” itu berarti : “di. Perbaharui hidupnya”. Di dalam
Kristus ada suatu perubahan hidup, yaitu perubahan dari cara hidup yang lama kepada
cara hidup yang baru, sehingga dapat dikatakan, bahwa di dalam Kristus gambar Allah
pada manusia diperbaharui.
Gagasan yang sama diungkapkan juga di Ef. 4:22-24, yang menyebutkan, bahwa
para orang Efesus harus menanggalkan manusia lama mereka, yang menemui kebinasaan
oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya mereka dibaharui di dalam roh dan pikiran, dan
mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam
kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.
Selanjutnya ungkapan “dijadikan menurut Allah” atau menurut gambar Allah itu
diterangkan sebagai terdiri dari : kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya. Oleh
karena Allah adalah benar dan kudus, maka manusia yang diperbaharui menurut gambar
Allah (atau menjadi segambar dengan Allah) harus menampakkan hidup yang demikian
itu juga. Surat Efesus juga mengatakan, bahwa kebenaran dan kekudusan bukanlah
kebajikan yang hanya bersangkut-paut dengan hidup perorangan saja, melainkan meliputi
seluruh masyara kat. Hal ini dapat diketahui dari Ef. 4:25 dbr, di mana Paulus di samping
mengatakan hal berkata-kata yang benar terhadap tetangganya, penyangkalan diri,
pembangunan, dan lain sebagainya, juga menyebutkan hal hubungan sosial yang pokok-
pokok. Sebagai anak anak terang orang Kristen harus menerangi masyarakat yang ada di
sekitarnya. Mereka harus menunjukkan kekuatan iman mereka baik dalam masyarakat

9
pada umumnya (5:15-21) maupun dalam hubungan kekeluargaan (5:22-6:9). Suatu
bagian P.B. yang lain, yang memberikan gagasan yang sama dengan apa yang telah
diuraikan di atas adalah Gal. 3:26-28, yang mengatakan, bahwa para orang Galatia adalah
anak-anak Allah karena mereka telah dibaptis dan telah mengenakan Kristus, dan bahwa
di dalam hal ini (yaitu hal menjadi anak-anak Allah) tiada orang Yahudi atau orang
Yunani, tiada hamba atau orang merdeka, tiada laki-laki atau perempuan, karena mereka
semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Para orang Galatia adalah anak-anak Allah
karena mereka telah mengenakan Kristus, artinya telah memakai Kristus sebagai pakaian,
atau menjadi seperti Kristus, menerima kedudukan seperti kedudukan Kristus, menjadi
sasaran perkenan Allah, menjadi anak-anak Allah, seperti halnya Kristus juga adalah
Anak Allah. Padahal “mengenakan Kristus” atau “berada di dalam Kristus” karena
menjadi anak-anak Allah berarti, bahwa tiada lagi orang Yahudi atau Yunani, tiada lagi
hamba atau orang merdeka, tiada lagi laki-laki atau perempuan, karena semuanya adalah
satu di dalam Kristus Yesus. Di dalam Kristus segala perbedaan telah menjadi di
tiadakan. Di sini tiada sebutan tentang “gambar Allah”. Akan tetapi dalam pokoknya
ditegaskan, bahwa di dalam Kristus hidup itu berubah, bukan hanya secara perorangan,
melainkan juga secara sosial, religius, dan lain sebagainya. Sebab di dalam Kristus semua
orang adalah anak-anak Allah.Oleh karena ternyata, bahwa isi pembaharuan gambar
Allah seperti yang diuraikan di Kolose dan Efesus bertindih tepat dengan isi
pembaharuan hidup sebagai anak-anak Allah, seperti yang dia uraikan di Gal. 3, maka
dapat disimpulkan, bahwa pembaharuan gambar Allah tadi sama dengan hal menjadi
anak Allah. Jika demi. kian, jelaslah bahwa "kesamaan ilahi" manusia adalah "kesamaan
anak Allah dengan Bapanya". Ternyata bahwa gagasan yang terkandung di P.L. terdapat
juga di dalam P.B. Demikianlah di dalam Kristus segala sesuatu menjadi baru. (Bnd. 2
Kor. 5:17; Why. 21:5). Manusia yang baru adalah manusia yang telah dipersatukan di
dalam Kristus dengan suatu persekutuan hidup sebagai anggota-anggota dari satu tubuh.
Kristus adalah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang
telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseteruan (Ef. 2:14,15). Kristus adalah damai
sejahtera kita, baik dalam hubungan kita dengan Allah maupun dalam hubungan kita
dengan sesama kita.

10
Kata-kata tambahan “yang adalah gambaran Allah” ini memberi keterangan
tentang kemuliaan Kristus. (Kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah). Atau
dapat dikatakan, bahwa kemuliaan Kristus itu menggambarkan Allah. Adapun
“kemuliaan Kristus” ini adalah kemuliaan yang disinarkan oleh Kristus sebagai “wakil
yang tampak” dari “Allah yang tidak tampak”, kemuliaan yang dapat di lihat oleh mereka
yang tidak dibutakan oleh ilah zaman ini.
Di dalam terang hubungan ayat-ayat ini maka gambar Allah atau “kesamaan
ilahi” di sini dipandang sebagai “perwakilan yang dengan secara tampak” dari “Allah
yang tidak tampak”, atau sebagai “penyataan Allah di dalam Kristus”, seperti yang
diajarkan di Kol. 1:15. Maka pengertian “Kristus sebagai gambar Allah” harus diartikan
sebagai diungkapkan atau dinyatakan di dalam seluruh eksis tensi dan hidup Kristus,
dengannya Ia menyatakan atau memperke nalkan Allah kepada manusia. Oleh karena itu
jikalau Kristus dise but “gambar Allah”, hal itu berarti, bahwa Ia adalah penjelmaan atau
penubuhan yang secara nampak dari Allah yang tidak tampak. Di dalam Kristus Allah
menyatakan atau memperkenalkan diriNya di dalam daging. Mengenal Kristus berarti
mengenal Allah (Bnd. Yoh. 14:9). Memang benar, jika dikatakan bahwa “gambar Allah”
hanya dapat diketahui dengan secara benar di dalam diri Kristus, sebab sebagai gambar
Allah yang sejati Kristus adalah juga manusia sejati. Sebagai gambar Allah yang sejati
Kristus mencerminkan atau memantulkan hidup, ilahi serta mencerminkan kehendak ilahi
bagi ma nusia dengan cara yang sempurna. Hidup Kristus sesuai dengan hidup ilahi
dengan cara yang sempurna. Ia mencerminkan kemuliaan Allah dan menjadi tembusan
atau copy kemuliaan itu (Ibr. 1:3). Ia adalah Anak, yang menampakkan kesamaan dengan
BapaNya.
Setelah menentukan arti ungkapan “Kristus adalah gambar Allah” sekarang kita
akan membicarakan bagian P.B. yang menghubungkan “manusia yang baru” atau cara
hidup yang baru dengan “gambar Anak Allah”.
Di 2 Kor. 3:18 disebutkan, bahwa orang beriman dengan muka yang tidak
berselubung jadi secara terbuka) mencerminkan kemuliaan Kristus, dan bahwa dengan
demikian mereka diubah menjadi serupa dengan gambar Kristus, dalam kemuliaan yang
semakin besar. Mencerminkan kemuliaan Kristus secara terbuka atau terang-terang an

11
berarti bahwa para orang beriman menampakkan perubahan hidup dengan secara terbuka
atau terang-terangan, dengannya kemuliaan Kristus itu tampak
Di 2 Kor. 3:2 disebutkan, bahwa para orang Korintus adalah surat pujian Paulus
yang ditulis dalam hati dan yang dikenal serta yang dapat dibaca semua orang. Sebuah
surat pujian yang dapat dikenal dan dibaca oleh semua orang adalah sesuatu yang
kongkrit dan nampak. Jadi bagian P.B. ini membicarakan hal hidup orang Korintus yang
tidak diselubungi, yang nampak atau kelihatan bagi siapapun, serta yang diketahui oleh
siapapun, sehingga orang lain tahu, balıwa orang-orang Korintus adalah orang-orang
yang telah diperbaharui di dalam Kristus.
Dapat dikatakan, bahwa ungkapan “mencerminkan kemuliaan Tuhan” itu berarti
mengubah hidup hingga menjadi serupa gambar Tuhan. Kemuliaan yang disebutkan di 2
Kor. 3:18 itu adalah ke muliaan yang menjelmakan diri atau melembagakan diri di dalam
hidup yang tak berselubung, di dalam hidup yang tampak dengan terang-terangan dalam
kebebasan dan dalam kata-kata serta perbuatan orang beriman. Di 2 Kor. 3:18 itu
selanjutnya disebutkan, bahwa dengan demikian para orang beriman diubah menjadi
serupa dengan gambar Kristus dalam kemuliaan yang semakin besar. Para orang beriman
mulai menampakkan bermacam-macam kebajikan, yang mengingat kan kita kepada
kebajikan Kristus, ia mulai mencerminkan keru linan Kristus. Memang, perubahan itu
bukanlah perubahan yang mendadak, melainkan perubahan yang semakin hari semakin
besar.
Gagasan tentang perkembangan yang progesip ini juga sesuai dengan Kol. 3:10,
yang menyebutkan bahwa pembaharuan gambar Allah berjalan terus-menerus. Oleh
karena itu kita dapat mengatakan, bahwa perubahan menurut gambar Kristus itu adalah
identik dengan pembaharuan hidup, dengan pengudusan yang terjadi di tengah-tengah
hidup yang kongkrit, di mana kemuliaan Kristus nampak bagi semua orang.
Akhirnya di Rm. 8:29 disebutkan, bahwa maksud Tuhan Allah memilih orang-
orang beriman ialah agar supaya mereka serupa dengan gambaran AnakNya. Kalau Kej.
1:26,27 menunjuk kepada maksud Allah menciptakan manusia, maka Rm. 8:29
menunjuk ke pada tujuan Allah memilih orang-orang beriman. Dari semuanya ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa :

12
 Di dalam P.L. ungkapan "dijadikan menurut gambar dan rupa Allah" berarti, bahwa
manusia dijadikan memiliki kesamaan ilahi, yang harus dipandang sebagai kesamaan di
antara bapa dan anak. Pengertian yang demikian itu juga terdapat di dalam P.B.
 Yesus Kristus sebagai Anak Allah adalah gambar Allah yang sempurna, artinya : In
adalah pengejawantahan yang secara nampak dari Allah yang tidak tampak itu. Ia adalah
penyataan atau peng. ungkapan yang sempurna dari hidup ilahi. Ia adalah penyataan atau
pengungkapan yang sempurna dari kesamaan ilahi. Di dalam seluruh hidup Kristus kita
dapat mengetahui bagaimana mulia Tuhan Allah. Di dalam Yesus Kristus nampak
dengan jelas bagaimana hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, yang harus dilakukan
oleh manusia yang dijadikan menurut gambar dan rupa Allah. Hidup Kristus adalah
pengejawantahan yang sempurna dari hidup manusia, sebagaimana yang dimaksud oleh
Tuhan Allah. Jadi di satu pihak Yesus Kristus menampakkan hidup ilahi yang sempurna,
di lain pihak Ia menam pakkan hidup insani yang sempurna, yaitu hidup insani
sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan Allah. Di dalam diri Kristus bertemulah Allah dan
manusia. Ia adalah Imanuel, Allah bersama-sama dengan kita (Mat. 1:23)
 Isi gambar Allah atau isi kesamaan ilahi manusia adalah kesamaan kwalitas hidup, yang
setelah manusia jatuh ke dalam dosa, disebut "cara hidup yang baru" atau "manusia baru"
di mana ma- nusia dipanggil untuk berjalan atau hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Maka dari sebab itu dapat dikatakan, bahwa "dijadikan me nurut gambar dan rupa Allah
berarti, bahwa manusia harus men cerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya sehari-hari.
Seperti Tuhan Allah adalah sempurna, demikian manusia harus sempurna di dalam
hidupnya (Mat. 5:48; Bnd. 1 Ptr. 1:16; 1 Yoh. 4:16; 1 Yoh. 2:29). Menjadi gambar dan
rupa Allah adalah suatu panggilan, yang terlaksananya tergantung daripada sikap
manusia terhadap Tuhan Allah yang menjadi Khaliknya. Jadi gambar Allah bukanlah
sesuatu yang inherent pada manusia, bukanlah sesuatu yang berada secara status pada diri
manusia. Panggilan untuk hidup sesuai dengan ke hendak Allah hanya mungkin dipenuhi
jika manusia hidup di dalam hubungan kasih dengan Tuhan Allah.
 Ketika kita membicarakan hal hakekat Tuhan Allah, kita menemukan, bahwa hakekat
Tuhan Allah adalah, bahwa Ia menjadi Sekutu umatNya. Dari uraian tentang hakekat
manusia di sini dapat diambil kesimpulan, bahwa hakekat manusia adalah, bahwa ia men
jadi sekutu Allah. Sebagai sekutu Allah, manusia harus menampak. kan hidup ilahi di

13
dalam hidupnya. Hal ini hanya dapat terlaksana, jikalau manusia mentaati segala perintah
Tuhan Allah yang menjadi Sekutunya.
B. Kejatuhan Kedalam Dosa
1. Kerusakan gambar Allah
H. Bavinck dan E. Brunner mengajarkan, bahwa dosa hanya meniadakan gambar
Allah dalam arti yang lebih sempit atau yang material, sehingga manusia masih memiliki
gambar Allah dalam arti yang lebih luas atau yang formal, yaitu bahwa manusia masih
me miliki akal, kehendak, atau masih memiliki humanitas/peri kemanusiaan.
Artinya, bahwa menjadi gambar Allah atau dijadikan menurut gambar dan rupa
Allah berarti, bahwa manusia dipanggil untuk mencerminkan hidup ilahi di dalam hidup
nya. Dan panggilan hanya mungkin dilaksanakan jikalau manusia mentaati kehendak
Allah, mengarahkan wajahnya kepada Allah. Manusia setelah jatuh ke dalam dosa, tidak
lagi mencerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya. Sebab menurut Kol. 3 dan Ef. 4 tadi,
manusia yang telah jatuh ke dalam dosa itu harus diperbaharui secara menyeluruh, agar
supaya ia dapat mencerminkan hidup ilahi.
Yang menjadi persoalan ialah, sampai di mana gambar Allah pada manusia itu
telah rusak ? Gereja R.K. mengatakan, bahwa gambar Allah itu hilang sama sekali.
Bavinck dan Brunner mengatakaan, bahwa gambar Allah tidak hilang sama sekali, masih
ada sisanya. Gambaran Alkitab mengenai kehidupan manusia yang telah jatuh ke dalam
dosa adalah suram sekali.
Sebelum air bah, pada zaman Nuh, disebutkan bahwa Tuhan Allah melihat bumi
telah penuh dengan kekerasan, yang disebabkan karena manusia telah menjalankan hidup
yang rusak di bumi (Kej. 6:11,12). Kejahatan manusia telah menjadi terlampau besar dan
segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata mata (Kej. 6:5).
Akan tetapi setelah Tuhan Allah menghukum dunia yang jahat itu dengan bencana air
bah, keadaan tidak berubah. Sekalipun de mikian disebutkan, bahwa Tuhan Allah tidak
bermaksud menghukum dunia lagi dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada
zaman Nuh. Adapun yang menjadi sebabnya ialah, karena yang ditimbulkan hati manusia
adalah jahat dari sejak kecilnya. (Kej. 8:21). Ucapan ini terang menunjukkan, bahwa
jikalau ada pengurangan hukuman Tuhan Allah terhadap dunia ini, hal itu bukan

14
disebabkan karena hidup manusia kurang jahat atau telah lebih baik daripada yang
dahulu, melainkan hal itu dikarenakan oleh kasih karunia Allah semata-mata.
Mzm. 5:10 mengatakan, perkataan para orang fasik yang menjadi musuh juru
mazmur tidak ada yang jujur, bahwa batin mereka penuh kebusukan dan kerongkongan
mereka seperti kubur ternganga, serta lidah mereka merayu-rayu. Itulah sebabnya juru
Mazmur berdoa : "Biarlah mereka menanggung kesalahan mereka, ya Allah ..., sebab
mereka memberontak terhadap Engkau" (Mzm. 5:11). Kejahatan manusia yang diuraikan
di Mzm. 10 ialah memuji-muji keinginan hatinya, mengutuki dan menista TUHAN,
sebab seluruh pikirannya ialah: "Tidak ada Allah" (Mzm. 10:3,4). "Perkataan dari
mulutnya ialah kejahatan dan tipu daya", demikian kesaksian Mzm. 36:4. (Bnd. Mzm.
36:1; 140:2,3).
Bahkan terhadap umat-Nya pun Tuhan Allah berkata, bahwa yang merupakan
pemisah antara mereka dan Allah mereka ialah segala kejahatan mereka (Yes. 59:2; bnd.
59:7,8). Hal ini semua makin menjadi jelas di dalam P.B. Sikap manusia dipandang
sebagai membenci Tuhan Allah (Yoh. 15:23,24; bnd. 8:44). Manusia digambarkan
sebagai "anak yang hilang" (Luk. 15:21). Manusia memberontak terhadap Allahnya (Luk.
20:9 dbr). Selanjutnya lihatlah Rm. 3:9,23; Gal. 3:22; dan lain-lainnya.
Demikianlah dapat dikatakan, bahwa menurut Alkitab, setelah manusia jatuh ke
dalam dosa gambar Allah pada manusia telah rusak secara menyeluruh. Manusia tidak
lagi mencerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya. Manusia karena dosa bukan
mengarahkan pandang. an matanya kepada Tuhan Allahnya, melainkan justru
membelakangi. Nya. Tuhannya dianggap tidak ada. Bahwa kerusakan gambar Allah pada
manusia adalah menyeluruh, dapat disimpulkan dari peristiwa ini, bahwa pembaharuan
gambar Allah pada manusia yang dilaku. kan oleh Tuhan Yesus juga secara menyeluruh.
2. Kebebasan manusia
Ajaran tentang kerusakan gambar Allah pada manusia menimbulkan suatu
persoalan baru, yaitu persoalan tentang kebebasan manusia.
Pada umumnya pengertian "kebebasan" dirumuskan demikian : kebebasan adalah
kemungkinan manusia untuk menentukan sendiri apa yang akan dilakukan, terlebih-lebih
kemungkinan untuk (tanpa paksaan) memilih salah satu dari dua hal, yang satu baik, yang
lain jahat. Jadi, kebebasan dipandang sebagai suatu kemungkinan yang rangkap dua, yang

15
didasarkan atas penganalisaan kebebasan makhluk yang secara abstrak dan irreligius,
netral antropologis di mana manusia di pandang sebagai makhluk yang netral, tanpa
hubungan dengan Tuhan Allah.
Mereka yang menerapkan rumusan yang demikian ini kepada manusia menurut
Alkitab, biasanya lalu membedakan antara kebe basan yang formal dan kebebasan yang
real atau kebebasan yang formal dan kebebasan yang meterial. Yang dimaksud dengan
kebebasan yang formal ialah bahwa manusia dapat memilih salah satu dari dua hal, yang
satu baik, yang lain jalat. Di dalam menentukan mana yang baik dan mana yang jahat
manusia tidak dipaksa oleh kekuatan dari luar. Seandainya manusia tidak memiliki
kebebasan yang formal ini, tentu ia tidak akan berdosa. Sebelum manusia jatuh ke dalam
dosa ia memiliki kebebasan yang formal ini, sebab pada waktu itu manusia memiliki
kebebasan untuk menentukan sendiri sikapnya terhadap Tuhan Allah. Pada waktu itu
manusia bebas untuk menerima atau menolak perintah Tuhan Allah, Khaliknya. Tuhan
Allah tidak memaksa manusia untuk menerima saja apa yang dikehendakiNya.
Adapun kebebasan yang material atau yang real adalah kebebasan, yang di
dalamnya manusia sungguh-sungguh bebas. Di dalam P.B. kebebasan ini "hanya dimiliki
oleh orang yang beriman" (Yoh. 8:36; Gal. 5:1). Semula, sebelum manusia jatuh ke
dalam dosa, ia memiliki kebebasan material ini, akan tetapi pada waktu itu kebe. basan
material ini masih dapat hilang. Manusia masih mempunyai tugas untuk menjadikan
kebebasannya yang material itu menjadi tidak dapat berubah, menjadi tetap untuk
selama-lamanya. Dengan mempergunakan kebebasannya yang formal, dengannya ia
dapat me milih yang baik dan yang jahat, manusia harus dapat mencapai ke bebasan
material yang tetap, yaitu dengan jalan mentaati perintah Tuhan Allah. Untuk keperluan
ini diperlukan suatu perintah yang kongkrit, seperti yang tercantum di dalam Kej. 2:17,
yaitu bahwa manusia tidak boleh makan dari buah pohon pengetahuan tentang yang baik
dan yang jahat. Biasanya perintah ini disebut "perintah pencoba". Jadi kebebasan yang
formal tadi, yaitu kebebasan untuk memilih salah satu dari dua hal yang satu baik, yang
lain jahat. digambarkan sebagai suatu kebebasan yang dibatasi oleh kehendak Tuhan
Allah. Sebab kebebasan formal tadi adalah kebebasan sebagai makhluk. Kehendak Tuhan
Allah mewujudkan ruang lingkup, tempat manusia dengan kebebasannya yang formal
harus bergerak. Kebebasan yang formal ini sama dengan kebebasan ikan di dalam air.

16
Beberapa keberatan terhadap pandangan tentang kebebasan yang demikian ini
adalah sebagai berikut :
 Pandangan tentang kebebasan yang formal ini sebenarnya bukan didasarkan atas bahan-
bahan dari Alkitab, melainkan atas penganalisaan kebebasan makhluk secara abstrak dan
irreligius, netral antropologis, di mana manusia dipandang sebagai makhluk yang netral
tanpa dihubungkan dengan Allah. Oleh karena itu jikalau pandangan tentang kebebasan
yang demikian ini diterapkan kepada manusia Al kitab, timbullah kesukaran-kesukaran.
Pertama, bahwa dengan demi. kian orang menafsirkan nas Alkitab dengan memakai
kacamata antro pologis, sehingga tidak dapat mendekati nas Alkitab dengan bebas.
Kedua, bahwa supaya manusia yang irreligius tadi menjadi religius diperlukan
pembatasan-pembatasan dengan perintah Tuhan Allah. Sekalipun penggabungannya
dilakukan secara indah sekali (seperti kebebasan ikan di dalam air), namun sebenarnya
orang mengukur dengan dua ukuran.
 Jikalau dikatakan, bahwa kebebasan yang formal memberikan kemungkinan adanya dosa,
dan bahwa kebebasan yang material ada lah kebebasan di mana orang bebas daripada
dosa, maka di sini kata "kebebasan" diberi dua arti yang dianggap sebagai sejajar, yaitu
kebebasan sebagai "kemerdekaan memilih" dan kebebasan sebagai "keadaan bebas
daripada dosa". Padahal kebebasan yang sejati, di mana manusia dibebaskan daripada
dosa, tidak mungkin disejajarkan dengan kebebasan, dengannya manusia dapat berkata :
"ya" dan "tidak". Di sini terdapat dualisme di dalam pemakaian ungkapan "kebebasan".
 Apakah benar, jikalau dikatakan bahwa di taman Firdaus manusia berada di
persimpangan jalan, di mana ia dapat membelok ke kiri atau ke kanan dengan secara
bebas ? Apakah benar, bahwa perintah Tuhan Allah dalam Kej. 2:17 memberi kebebasan
kepada manusia untuk menentukan sendiri dan memilih sendiri dari dua ke mungkinan ?
Jikalau kita menyelidiki Kej. 2 dan 3 dengan seksama, akan jelas, bahwa di taman
Firdaus tidak ada dua jalan yang ditun jukkan oleh Tuhan Allah bagi manusia. Dalam
Kej. 2:17 tidak di sebutkan, bahwa jikalau manusia mentaati perintah Allah ia akan diberi
hidup kekal, sebagai kemungkinan kedua yang mengimbangi ancaman hukuman terhadap
pelanggaran perintah Allah itu. Tuhan Allah dengan perintahNya dalam Kej. 2:17 itu
hanya menunjuk ke pada satu jalan keselamatan saja, yaitu jalan ketaatan. Jalan yang lain
justru dilarang dengan ancaman yang keras. Yang lain bukan jalan yang boleh dilalui.

17
Sebenarnya yang memberi tafsiran tentang adanya dua jalan di taman Firdaus bagi
manusia adalah iblis di dalam siasat penggodaannya.
Demikianlah keberatan-keberatan terhadap pandangan mengenai kebebasan
manusia yang didasarkan atas hasil penyelidikan antropologis. Bukan bahwa rumusan
mengenai kebebasan yang secara antropologis itu salah, melainkan tidaklah pada
tempatnya rumusan itu diterapkan kepada kebebasan seperti yang diajarkan oleh Alkitab.
Alkitab mengajarkan hal kebebasan yang berbeda sekali dengan ke bebasan secara
antropologis netral, sebab Alkitab memandang kebe basan itu dari segi religi atau agama,
di mana manusia senantiasa dipandang sebagai makhluk yang dihubungkan dengan
Tuhan Allah. Maka pembicaraan mengenai kebebasan manusia di dalam Alkitab tidak
boleh melepaskan manusia dari hubungannya dengan Allah itu. Pembicaraan yang
Alkitabiah mengenai manusia tidak mungkin di lakukan secara netral.
Sejak semula hubungan antara Tuhan Allah dan manusia adalah hubungan kasih,
yang harus dijawab dengan kasih pula. Belum pernah ada hubungan yang netral di antara
Allah dan manusia. Sejak manusia diciptakan ia telah dijadikan gambar dan rupa Allah
yang harus mencerminkan hidup ilahi di dalam hidup nya. Tidak pernah hubungan antara
Allah dan manusia itu dipandang sebagai suatu hubungan yang bentuknya ditentukan
oleh amal-amal manusia. Oleh karena itu maka menurut kami juga tidak benar jikalau
diajarkan, seolah-olah pernah ada "perjanjian perbuatan" di antara Tuhan Allah dan
manusia, di mana manusia diberi kemungkinan untuk mendapatkan keselamatan dengan
dasar amal-amalnya. Sejak semula hubungan antara Tuhan Allah dan manusia adalah
hubungan kasih karunia. Di dalam Alkitab manusia tidak pernah dipandang sebagai
makhluk yang netral. Perintah Tuhan Allah di Kej. 2:17 adalah suatu perintah yang
menuju kepada kehidupan, sekalipun bentuknya negatip. Oleh karena itu perintah itu
tidak mem beri suatu kemungkinan bagi manusia untuk memilih salah satu dari dua jalan.
Sebab jalan yang ditekankan oleh Tuhan Allah justru hanya satu saja, yaitu jalan mentaati
perintah Allah.
Dari P.B. kita dapat mengetahui, bahwa kebebasan manusia dalam arti yang
sebenarnya diberikan di dalam Yesus Kristus dan oleh- Nya. Dalam Yoh. 8:36 Tuhan
Yesus berkata : "Apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka"
(Bnd. Gal 5:1). Menurut Alkitab, pada pokoknya "kemerdekaan" atau "kebebasan"

18
manusia adalah kebebasan orang berdosa (yang diperbudak oleh dosa dan iblis dengan
segala macam ikatannya) dari segala be. lenggunya, untuk dijadikan para anak Allah
yang bebas merdeka, yang hidup di dalam suasana damai sejahtera dengan Tuhan Allah,
bebas daripada segala ketakutan serta permusuhan, karena tidak ada lagi kesalahan pada
manusia. Keadaan bebas ini, sekalipun masih bersifat eskatologis, artinya : baru akan
terlaksana secara sempurna kelak pada akhir zaman, namun kebebasan ini di dalam
Kristus telah dinyatakan dan direalisasikan di dalam hidup orang beriman sekarang.
Hanya saja hal itu sekarang memang baru dimiliki "di dalam iman".
Jelaslah bahwa pengertian "kebebasan" di dalam Alkitab bukan diartikan secara
abstrak dan irreligius, netral antropologis melainkan dilihat sebagai suatu hubungan
manusia dengan Tuhan Allah Justru di dalam Kristus itulah manusia bebas, merdeka.
Karya Kristus ada lah "membebaskan" atau "memerdekakan" manusia daripada perbu
dakan. Jadi menurut Alkitab, kebebasan tiada sangkut-pautnya dengan otonomi manusia
untuk melakukan apa yang menurut kehendaknya. Kebebasan di sini tidak bertentangan
dengan ditaklukkannya manusia kepada kehendak Allah. Kebebasan menurut Alkitab
justru ditentu kan oleh ikatan manusia dengan Tuhan Allah. Dosa manusia bukan
disebabkan karena ia mempergunakan kebebasannya, melainkan justru karena ia
membelokkan kebebasannya.
Demikianlah menurut Alkitab, kebebasan bertindih-tepat dengan pengabdian
kepada Allah. Makin mendalam persekutuan manusia de ngan Tuhan Allah, makin
bebaslah ia di dalam hidupnya. Manusia yang bebas ialah manusia yang telah
menemukan dirinya sendiri, yaitu sebagai manusia yang sejati, yaitu menjadi sekutu
Tuhannya. Di dalam kebebasan ini manusia dipanggil untuk memuliakan Allah nya (1
Kor. 6:20)
Artiya, bahwa kebebasan menurut Alkitab, berlainan sekali dengan pengertian
kebebasan secara antropologis. Menurut Alkitab, tidak ada kebebasan bagi manusia
berdosa. Hidup manusia dosa dikuasai oleh dosa.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara arti rohani, dalam pandangan alkitab, manusia adalah hamba Allah, namun
bukan sekedar disitu tapi sesungguhnya manusia adalah gambar dan rupa dari Allah
sendiri atau perwujudan gambar-Nya, namun pembaharua juga diperlukan agar kita bisa
terlihat sebgaai gambar dan rupa Allah.
Rupa Allah sendiri juga ternampak secara angsung didalam Yesus Kristus dan
kemuliaan-Nya, karena itulah, kita sebagai anak-anak-Nya diberikan pilihan untuk harus
bisa hidup dalam kekudusan seperti-Nya.
Namun dalam tindakannya, manusia mengalami kejatuhan dalam dosa yang
membawanya kepada kebebasan, tapi seperti dalam pembahasan, kita perlu mengalami
pembaharuan agar kita tidak kehilangan gambar dan Rupa-Nya.

B. Saran
Sebagai makhluk yang diberikan kekhususan sebagai ceriminan gambar Allah,
sebaiknya kita harus bisa menjaga kekudusan hidup, namun sebagai manusia juga kita
tidak terlepas dari dosa, oleh karena tu kita perlu datang kepada-Nya dan mengalami
pembaharuan hidup.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Harun Hadiwijono, 2009. Iman Kristen (cetakan 19). Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia

21

Anda mungkin juga menyukai