Anda di halaman 1dari 73

MINGGU 3

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

PADA Ny. A DENGAN DIABETES MELITUS

OLEH :

ATIK KARYONO

201000414901001

CI AKADEMIK

(Ns. ELFIRA HUSNA,M,Kep)

PROGRAM STUDI NERS INSTITUT KESEHATAN

PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI

2021
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Lansia
1. Definisi
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
keatas, menurut UU RI No.13 Tahun 1998 Bab 1 Pasal 1. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu : usia
pertengahan (Middle age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly)
adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia
sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008).
Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun keatas baik
pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun
mereka yang tak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga
bergantung kepada orang lain dalam menghidupi dirinya (Tamher, 2009)
2. Batasan Lansia
1) Menurut WHO, lansia dibagi dalam beberapa kelompok yaitu:
a. Usia pertengahan (Middle Age) = Usia 45 – 59 Tahun
b. Usia Lanjut (Elderly) = Usia 60 – 74 Tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old) = Usia 75 – 90 Tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old) = Usia > 90 Tahun
2) Menurut Siti Maryam (2009), lansia dikategorikan sebagai berikut:
a. Pralansia (Prasenilis)
Seseorang yang berusia di antara 45 – 59 Tahun
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 atau lebih
c. Lansia Resiko Tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia Potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
e. Lansia Tidak Potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, hinggs bergantung
pada orang lain.
3) Menurut Undang – Undang No.13 Tahun 1998
Seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah sampai umur 60
tahun keatas
4) Menurut Departemen Kesehatan tahun 1994
a. Kelompok lanjut usia dini (55 – 64 tahun), yakni kelompok baru
memasuki lanjut usia
b. Kelompok lanjut usia (65 tahun keatas)
c. Kelompok lanjut usia resiko tinggi, yakni lanjut usia yang berusia
lebih dari 70 tahun.
3. Tipe Lansia
Lansia yang ada pada lansia tergantung oleh karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya (Siti Maryam,
2009) :
1) Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi
panutan.
2) Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi
undangan.
3) Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
4) Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasip baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5) Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif dan acuh tak acuh.
4. Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Siti Maryam (2009), tugas perkembangan pada lansia yaitu :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pasien
c. Membentuk hubungan yang baik dengan orang seusiannya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial atau masyarakat
secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematian dan kematian pasangan
Tugas perkembangan pada usia lanjut menurut Tamher (2009) yaitu :
a. Penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan kesehatan fisik
b. Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan penghasilan
c. Penyesuaian terhadap kematian pasangan atau orang terdekat,
membangun suatu perkumpulan dengan sekelompok seusia,
mengambil prakarsa dan beradaptasi terhadap peran sosial dengan
cara yang fleksibel, serta membuat pengaturan hidup atau kegiatan
fisik yang menyayangkan.
5. Teori Proses Menua
a. Teori Biologi
Teori biologi tentang proses penuaan terdiri dari :
1) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas mempu merusak membran sel, lisosom,
mitokondria, dan inti membran melalui reaksi kimia yang disebut
peroksidasi lemak. Teori radikal bebas pada penuaan ditujukkan
oleh hormon yang ditandai dengan munculnya efek patologis.
Radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya pigmen dan kolagen
pada proses penuaan. Meningkatnya radikal bebas dapat
dihambat dengan pengaturan diet (jumlah kalori) serta konsumsi
obat atau makanan yang mengandung banyak anti oksidan seperti
makanan yang mengandung Vitamin E, Vitamin C, selenium,
glutation peroksidae dan superokside dismutase.
2) Teori Autoimun
Menurut teori autoimun, penuaan diakibatkan oleh antibodi yang
bereaksi terhadap sel normal dan merusakknya. Reaksi tersebut
terjadi karena tubuh gagal mengenal sel normal dan memproduksi
antibodi yang salah. Akibatnnya, antibodi tersebut akan bereaksi
terhadap sel normal, disamping sel abnormal yang menstimulasi
pembentukannya. Teori ini didukung dengan kenyataan bahwa
jumlah antibodi meningkat pada lansia dan terdapat persamaan
antara penyakit inum (seperti artritis reumatoid, diabetes, tiroidtis
dan amiloidosis) dengan fenomena menua di masyarakat.
3) Teori Telomer
Dalam pembelahan sel, DNA membelah dengan proses
mekanisme satu arah. Setiap pembelahan akan menyebabkan
panjang ujung telomer (ujung lengan pendek kromosom)
berkurang panjangnnya (65 rantai dasar asam amino) saat terjadi
pemutusan duplikat kromosom. Semakin sering sel membelah,
semakin cepat ujung telomer memendek dan akhirnya tidak
mampu untuk membelah lagi
4) Teori Hormonal
Pusat terjadinya proses penuaan terletak pada otak. Hal ini
didasarkan pada studi tentang hipotiroidisme yang dapat menjadi
fatal apabila tidak diobati dengan tiriksin. Manifestasi dari
penuaan akan tampak jika penyakit tersebut tidak segera
ditangani seperti penurunan sistem kekebalan, kulit yang mulai
keriput, munculnya uban dan penuruanan proses metabolisme
secara perlahan.
5) Teori Mutasi Somatik (error catastrophe)
Menurut teori ini terjadi penuaan karen adanya mutasi somatik
yang diakibatakan oleh pengaruh lingkungan yang buruk. Mutasi
somatik bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam proses
transkripsi DNA-aRNA dan proses translasi RNA-a protein atau
enzim, dan belangsung terus-menerus, hingga terjadi penurunan
fungsi organ atau sel -sel menjadi kanker atau penyakit.
6) Teori Stres
Teori ini didasarkan pada fakta bahwa menua sebai akibat dari
hilangnnya sel – sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel – sel
lelkah terpakai kembali.
b. Teori Sosiopsikologis
1) Teori Aktivitas atau Kegiatan
Teori ini menyatakan bahwa lansia harus tetap aktif mengikuti
kegiatan di masyarakat untuk mencapai kesejahteraan pada
usiannya. Aktivitas sosial dibutuhkan oleh lansia untuk
mempertahankan kepuasan hiup dan konsep diri yang positif.
Lansia yang masih aktif diharapkan tetap bersemangat dan tidak
merasa terasingkan oleh masyarakat karena faktor usia. Teori ini
didasarkan pada tiga asumsi bahwa lebih baik aktif daripada pasif,
lebih baik bahagia daripada murung dan lansia sejahtera adalah
lansia yang bisa selalu aktif dan bahagia
2) Teori Pembebasan
Dalam teori ini dijelaskan bahwa bertambahnnya usia, seseorang
perlahan – lahan mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnnya
atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial pada lansia menurun, baik secara
kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan
ganda yaitu kehilangan peran, hambatan kontak sosial dan
berkurangnya komitmen.
3) Teori Kepribadian Lanjut
Teori kepribadian lanjut menyangkal teori aktivitas dan teori
pembebasan. Perubahan yang terjadi pada seseorang yang
usiannya telah lanjut sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang
dimilikinnya.
4) Teori Lingkungan
a) Exposure Theory
Teori ini menyatakan bahwa paparan sinar matahari dapat
mengakibatkan percepatan proses penuaan
b) Radiation Theory
Adanya paparan radiasi sinar gamma, sinar X dan ultraviolet
dari alat – alat medis memudahkan sel mengalami denaturasi
protein dan mutasi DNA
c) Polution Theory
Polusi udara, air, dan tanah mengandung substansi kimia yang
mempengaruhi kondisi epigenetik dan menimbulkan penuaan
dini
d) Stress Theory
Stres fisik maupun psikis yang terjadi dapat meningkatkan
kadar kortisol dalam darah. Jika kondisi stres berlangsung
terus – menerus, maka proses penuaan akan terjadi lebih
cepat.
6. Perubahan yang terjadi pada Lansia
Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia yaitu :
1) Perubahan Fisiologis
a. Sel : jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun,
dan cairan intraseluler menurun
b. Sistem Pernafasan : saraf panca indra mengecil, sehingga
fungsinnya menurunkan serta lambat dalam merespon dan waktu
bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres.
c. Sistem pendengaran : gangguan pendengaran karena membran
timpani menjadi atrofi. Tulang – tulang pendengaran mengalami
kekakuan
d. Sistem penglihatan : respon terhadap sinar menurun, adaptasi
terhadap gelar menurun, akomodasi menurun dan katarak.
e. Sistem kardiovaskuler : katup jaringan menebal dan kaku,
kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh
darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah
parifer sehingga tekanan darah meningkat.
f. Sistem pengaturan suhu : hipotalamus dianggap sebagai suatu
termostat yaitu menetapkan suhu tertentu, kemunduran terjadi
berbagai faktor yang sering ditemui antara lain temperatur tuhuh
menurun secara fisiologik akibat metabolisme menurun,
keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapst memproduksi
panas.
g. Sistem respirasi : otot – otot pernafasan kehilangan kekuatan dan
menjadi kaku, menuruannya aktivitas dari silia paru – paru
kehilangan elastisitas.
h. Sistem gastrointestinal : esofaugs melebar, asam lambung
menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun. Kuran
lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun, sehingga
menyebabakan berkurangnnya produksi hormon dan enzim
pencernaan
i. Sistem genitourinaria : ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal
menurun, penyaringan diglomerulus menurun dan fungsi tubulus
menurun.
j. Sistem kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis,
rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun,
vaskularisasi menurun, rambut memutih, kelenjar keringat
menurun.
k. Sistem muskuloskeletal : cairan tulang menurun hingga mudah
rapuh, bungkuk, persendiran membesar dan menjadi kaku,
tremor.
2) Perubahan Mental
Didalam perubahan mental pada usia lanjut, perubahan dapat
berupa sikap yang semakin egosentris, mudah curiga, bertambah pelit
atau tamak akan sesuatu. Faktor yang mempengaruhi perubahan
mental antara lain perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat
pendidikan, keturunan dan lingkungan
3) Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial meliputi pensiun yang merupakan
produktivitas dan identitas yang dikatikan dengan peranan dalam
pekerjaan, merasakan atau sadar akan kematian, perubahan dalam
cara hidup, ekonomi akibat dari pemberhentian dari jabatan dan
penyakit kronis.

B. Konsep Diabetes Melitus


1. Definisi
Diabetes millitus adalah suatu keadaan ketika tubuh tidak mampu
menghasilkan atau menggunakan insulin (hormon yang membawa
glukosa darah ke sel – sel dan menyimpannya sebagai glikogen). Dengan
demikian, terjadi hiperglikemia yang di sertai berbagai kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal, melibatkan kelainan metabolisme kabohidrat,
protein dan lemak serta menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada
organ tubuh (Mansjoer dkk., 2000: Sukarmin dan S.Riyadi, 2008;
Tambayong, J. 2000 dalam Aini,Nur & Martha,Ledy A 2016)
Menurut American Diabetes Association (2005) diabetes millitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua – duanya. Kelainan kronis defisiensi atau resistensi insulin
yang absolut atau relatif yang di tandai oleh gangguan metabolisme
kabohidrat, protein dan lemak (Andri. H, 2012)
Diabetes millitus merupakan penyakit sistematis, kronis, dan
multifaktoral yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hiperlipidemia.
(Bradero.Mary , Wilfrid. Mary D, Siswandi. Yakobus, 2009)
Sehingga, bisa di simpulkan bahwa Diabetes Militus adalah Kondisi
Tubuh yang tidak mampu memproduksi Insulin secara Maksimal yang
mengakibatkan Hiperglikemia yang di sertai Komplikasi Kronis akibat
Kelainan Metabolik.
2. Klasifikasi
Dalam Meity, Nur (2007) diabetes dapat terjadi dalam dua bentuk
utama : Tipe 1 , Diabetes Melitus yang bergantung insulin, dan yang lebih
prevalen Tipe 2, diabetes melitus yang tidak bergantung insulin. Pada
lansia, diabetes tipe 2 terhitung 90% kasus.
Parkemi (2006) (dalam Aini,Nur & Martha,Ledy A 2016)
mengklasifikasikan diabetes Melitus menjadi 4 yaitu, Diabetes Tipe 1
(Diabetes Bergantung Insulin) dan Diabetes Tipe 2 (Diabetes tidak
bergantung Insulin), diabetes tipe lain, serta diabetes karena kehamilan.
1) Diabetes Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Melitus [IDDM])
Merupakan kondisi autoimun yang menyebabkan kerusakan sel ß
pangkreas sehingga timbul defisiensi insulin absolut. Pada DM Tipe 1
sistem imun tubuh sendiri secara spesifik menyerang dan merusak sel
sel penghasil insulin yang terdapat pada pangkreas. Belum di ketahui
hal apa yang memicu terjadinya kejadian autoimun namun bukti –
bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor genetik dan faktor
lingkungan seperti infeksi virus tertentu berperan dalam prosesnya.
Sekitar 70 – 90% sel ß hancur sebelum timbul gejala klinis. Pasien DM
Tipe 1 harus menggunakan injeksi insulin dan menjalankan diet
secara ketat.
2) Diabetes Tipe 2 atau (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus
[NIDDM])
Diabetes tipe ini merupakan bentuk diabetes yang paling umum.
Penyebabnya berfariasi mulai dominan resistensi insulin di sertai
devisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin di sertai
resistansi insulin. (Aini,Nur & Martha,Ledy A 2016)
Seiring pertahambahan usia, sel sel tubuh menjadi lebih resisten
terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan lansia untuk
metabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin dari sel ß
pangkreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini
adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia, konsentrasi glukosa yang
mendadak dapat meningkatkan dan lebih memprpanjang
hiperglikemia.
Diabetes terjadi hampir satu dari 5 orang yang berusia 65 tahun
atau lebih. Karena gejalannya samar, para peneliti percaya lebih
banyak pasien lansia mungkin menderita diabetes tipe 2 yang tidak
terdiagnosis. Selain itu, lebih dari 40% individu pada usia ini memiliki
beberapa bentuk intoleransi glukosa. Diabetes tipe 2 pada lansia di
bebakan oleh sekresi insulin yang tidak normal resistansi terhadap
kerja insulin pada jaringan target, dan kegagalan glukoneogenesis
hepatik.Penyebab utama hiperglikemia pada lansia adalah
peningkatan resistansi insulin pada jaringan parifer meskipun jumlah
reseptor insulin sebenarnya sedikit menurut seiring pertambahan
usia, resistansi di percaya terjadi setelah insulin berikatan dnegan
reseptor tersebut. Selain itu, sel – sel ß pada pulau langerhans kurang
sensitif terhadap kadar glukosa yang tinggi, yang memperlambat
prosuksi insulin. Beberapa lansia juga tidak mampu untuk
menghambat prosuksi glukosa di hati. (Meity, Nur 2007)
3) Diabetes Tipe Lain
a) Defek genentik fungsi sel ß (maturity onset diabetes of the young
[MODY] 1,2,3 dan DNA mitokondria).
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi,
dan pankreatopati fibrokalkulus)
d) Infeksi (rubella kongenital, sitomegalovirus)
4) Diabetes Melitus Gestational (DMG)
Diabetes ini di sebaban karena terjadi resistansi insulin selama
kehamilan dan biasanya kerja insulin akan kembali normal setelah
melahirkan.
3. Etiologi
1) Diabetes Tipe
a) Autoimun
b) Faktor Genetik
c) Faktor Lingkungan (Infeksi Proses Tertentu)
2) Diabetes Tipe 2
a) Kelainan Genetik
b) Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologi yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun.
Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi
endokrin pangkreas untuk memproduksi insulin.
c) Gaya hidup dan stres
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencarui makanan
yang cepat saji kaya pengawt, lemak, gula. Makanan ini
berpengaruh besar terhadap kerja pangkreas. Stres juga akan
meningkatkan kerja metbolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja
pangkreas. Beban yang tinggi membuat pangkras mudah rusak
hingga berdampak pada penurunan insulin.
d) Pola makan yang salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama sama meningkatkan
resiko terkena Diabetes.
e) Obesitas (terutama pada abdomen)
Obesitas mengakibatkan sel sel beta pangkreas mengalami
Hipertrovi sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan
prosduksi insulin. Peningkatan berat badan 10 kg pada pria dan 8
kilo pada wanita dari batas normal IMT (Indeks Masa Tubuh) akan
meningkatkan resiko DM Tipe 2 (Camacho, P.M., dkk.,2007 ) selain
itu pada obesitas juga terjadi penurunan adiponektin. Adiponektin
adalah hormon yang di hasilkan adiposit, yang berfungsi untuk
memperbaiki sensitifitas insulin dengan cara menstimulasi
peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak otot
dan hati sehingga kadar trigliserida turun. Penurunan adiponektin
menyebabkan resistansi insulin. Adipoktin berkorelasi positif
dengan HDL dan berkorelasi negatif dengan LDL (Renaldy,
O.,2009; Umar, H. Dan Adam J., 2009).
f) Infeksi
Masuknya bakteri atau virus kedalam pangkreas akan berakibat
rusaknya sel – sel pangkreas. Kerusakan ini berakibat pada
penurunan fungsi pangkreas. (Aini, Nur 2016)
3) Diabetes Tipe Lain
a) Defek genentik fungsi sel ß (maturity onset diabetes of the young
[MODY] 1,2,3 dan DNA mitokondria).
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi,
dan pankreatopati fibrokalkulus)
d) Infeksi (rubella kongenital, sitomegalovirus)
4) Diabetes Melitus Gestational (DMG)
Diabetes ini di sebaban karena terjadi resistansi insulin selama
kehamilan dan biasanya kerja insulin akan kembali normal setelah
melahirkan.
No Permasalahan DM Tipe 1 DM Tipe 2
1. Awitan Usia < 40 Tahun >40 tahun
2. Habitus Tubuh Normal – Kurus Gemuk
3. Insulin Plasma Rendah – Negatif Normal – Tinggi
4. Genetik Lokus Kromosom 6 Kromosom 11 (Tetapi
masih belum jelas dan
di pertanyakan)
5. Komplikasi Akut Komaketoasidosis Hiperosmolar Non
Ketotik
6. Terapi Insulin Responsif Responsif – Resisten
7. Obat Oral Tidak Responsif Responsif

4. Manifestasi Klinis
Umumnya terjadi pada penderita Diabetes Melitus
1) Penurunan BB dan Kelelahan (Tanda dan Gejala Klasik pada pasien
Lansia)
2) Kehilangan selera makan
3) Inkontinensia
4) Penurunan penglihatan
5) Konfusi atau derajat derilium
6) Konstipasi atau kembung pada abdomen (akibat hipotunisitas
lambung)
7) Retinopati atau pembentukan katarak
8) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki, akibat kerusakan
sirkulasi parifer; kemungkinan kondisi kulit kronis, seperti selulitis
atau luka yang tidak kunjung sembuh; turgor kulit buruk dan
membran mukosa kering akibat dehidrasi
9) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan refleks, dan
kemungkinan nyeri perifer atau kebas.
10) Hipotensi ortostatik
11) Poliuria, polidipsia, polifagia
12) Infeksi yang sering
Paling penting lansia mungkin tidak mengalami polidipsia – tanda
dabetes pada dewasa yang lebih muda, karena fungsi mekanisme haus
lansia kurang efektif. (Meity, Nur 2007)
Manifestasi Klinis DM Ringan sampai Berat
Keadaan Patologis Manifestasi Klinis
Hiperglikemia dan Glikosuria Poliuria, plidipsia, gartal pada
(Diuresis Osmotik) tubuh dan vaginitis
Cellular Starvation (Sel Kekurangan Polivagia dan kelelahan
Bahan Bakar)
Metabolisme Karbohidrat, lemak, Berat badan menurun dan
protein tidak efisien merasa lemah
Hiperosmolaritas (ada dehidrasi) Turgor kulit menurun dan
takikardia, hipotensi
Koma ketoasidosis hiperosmolar Tanda – tanda diabetes
ketoasidosis atau HHNK
(Bradero.Mary , Wilfrid. Mary D, Siswandi. Yakobus, 2009)
5. Patofisiologi
6. Penatalaksanaan
1) Pencegahan primer
a) Makanan Bergizi
Diperkirakan 65 – 80% dari kasus NIDDM dapat di cegah
melalu program nutrisi yang sehat. Mempertahankan brat badan
ideal adalah pertimbangan yang penting untuk semua lansia, tidak
hanya untuk menghilangkan stres pada sendi dan meningkatkan
mobilitas tetapi juga untuk mengurangi resiko terjadinya diabetes.
Berat badan yang tidak diinginkan dapat di turunkan selama tahun
tahun terakhir melalui kombinasi dari nutri dan latihan yang
optimal.
Masalah keuangan dapat membatasi kemampuan lansia
untuk membeli makan bergizi. Beberapa petunjuk konsumen
yang sangat baik untuk membeli dan menyiapkan sejumlah kecil
makanan yang tidak mahal, telah tersedia. Dan terbukti sangat
membantu. Bantuan mungkin di perlukan dengan transportasi
atau alat khusus untuk memunginkan klien dengan ketidak
mampuan fisik dalam mempertahankan kemandiriannya.
b) Pendidikan Kesehatan
Pendidikan tentang kebutuhan diet mungkin di perlukan.
Suatu perencanaan makanan yang terdiri dari 100% lemak, 15%
protein, dan 75% karbohidrat kompleks (Presentase berdasarkan
kalori) di rekomendasikan untuk mencegah diabetes. Kandungan
rendah lemak dalam diet ini tidak hanya mencegah aterosklerosis,
tetapi juga meningkatkan aktivitas reseptor insulin.
c) Latihan dan Olah Raga
Latihan juga di perlukan untuk membantu mencegah
diabetes. Pemeriksaan sebelum latihan sebaikknya di lakukan
untuk memastikan bahwa klien lansia secara fisik mampu
mengikuti program latihan kebugaran. Pengkajian pada tingkat
aktivitas klien yang terbaru dan pilihan gaya hidup dapat
membantu mennentukan jenis latihan yang mungkin paling
berhasil. Berjalan atau berenang, dua aktivitas dnegan dampak
rendah merupakan pemulaan yang sangat baik untuk para
pemula.
2) Pencegahan sekunder
a) Penapisan
Deteksi dan intervensi dini membantu membatasi efek
serius dari NIDDM pada lansia. Pengambilan riwayat secara hati-
hati dapat memberikan informasi tentang kondisi kesehatan klien
yang biasa dan menidikasikan apakah ia mengalami perubahan-
perubahan yang menjurus ke arah NIDDM. Secara khusus, orang
yang mengalami obesitas dengan riwayat keluarga mengalami
penyakit tersebut sebaiknya ditanya tentang tanda dan gejala
yang sebelumnya dibahas secara seksama.
Selama pemeriksaan fisik rutin, beberapa temuan
menyatakan bahwa diperlukan pemeriksaan yang lebih rinci. Hal
ini termasuk perubahan pada penglihatan, kehilangan integritas
kulit atau infeksi yang sering, perubahan berat badan, perubahan
pola sirkulasi, bukti adanya penyakit kardiovaskuler dan gejala
hiperglikemia seperti meningkatanya rasa haus, nafsu makan, dan
berkemih.
Kadar gula puasa harus diperiksa secara rutin sebagai
komponen dari penapisan, tetapi hasil yang negatif dalam gejala
ringan yang lain tidak dapat dianggap sebagai suatu kesimpulan.
Tes toleransi glukosa oral pada umumnya diakilszujzkswasnggap
lebih sensitif dan merupakan indikator yang dapat diandalkan dari
pada kadar glukosa darah puasa dan harus dilakukan untuk
menentukan diagnosis dan perawatan awal NIDDM.
Ketika klien telah didiagnosis menderita NIDDM,
perawatan akan memfokuskan pada suatu program yang
melibatkan aktifitas sehari-hari yang dirancang untuk
mengendalikan penyakit. Semakin banyak klien yang terlibat
dalam melakukan perawatan ini semakin mudah konsekuensi
penyakit yang tidak diinginkan dapat dibatasi. Orang dengan
diabetes masih dapat menikmati kesehatan yang optimal dengan
mengendalikan asupan nutrisi, berolahraga secara teratur,
menggunakan obat sesuai resep, memntau kadar glukosa darah
dan mencegah komplikasi yang telah diketahui dengan baik.
b) Nutrisi
Terapi nutrisi melibatkan pengkajian pola saat ini. Jika klien
mengalami kelebihan berat badan, yang memang cenderung
terjadi, perencanaan harus memasukkan strategi untuk
penurunan berat badan secara bertahap dan aman. Diet yang
sangat ketat, penggunaan suplemen atau obat-obatan dan puasa
tidak hanya merupakan pendekatan yang tidak peraktis untuk
lansia tetapi juga dapat mengancam kehidupan bagi mereka
dengan NIDDM. Dalam menyusun rencana makan klien,
keterbatasan keuangan juga harus dipertimbangkan. Lkehilangan
gigi dan perubahan presepsi rasa dapat mengubag pilihan
makanan klien. Masukan dari klien harus menjadi petunjuk bagi
semua modifikasi diet dan perubahan-perubahan yang
direkomendasikan harus realistis. Pada saat ini, perencanaan
makanan bagi orang dengan diabetes dapat menyeimbangakn
menu diet dengan menggunakan pilihan yang bijaksana dari setiap
kelompok makanan.
Sistem pertukaran, yang menggambarkan jumlah porsi
tertentu dari setiap kelompok makanan, disesuaikan untuk
memenughi kebutuhan kalori, klien diabetes mungkin akan
menempatkan perencanaan makanan yang terdiri atas 1800-220
kalori/hari. Jika klien menerima insulin atau agens antidiabetik, ia
harus memastikan untuk mencegah hipoglikemia walaupun ahli
gizi mungkin bertanggung jawab dalam mengenalkan sistem
tersebut kepada klien, tetapi perawat sering membantu klien
dalam menerapkan informasi ini dalam kehidupan sehari-hari.
Membantu lansia dalam mengembangkan beberapa standart
perencanaan makanan dengan menggunakan jenis makanan yang
sama untuk setiap kali makan mungkin merupakan pendekatan
awal terbaik.bila rencana makan telah dikuasai, makanan
pengganti dapat dibuat dengan lebih meyalkinkan. Banyak lansia
cenderung untuk tetap melakukan rencana makan secara kaku
untuk alsan kenyaman juga alasan ekonomi.
Perawat yang membantu lansia dalam merencanakan makan
dapat mengambil kesemapatan ini untuk memberikan pendidikan
kepada klien tentang perinsip umum nutrisi yang baik. Perwat
dapat mengajarkan kepada klien tentang membaca label untuk
menghindari asupan natrium dan lemak yang berlebih,
memasukkan sumber-sumber makan yang direkomendasikan
dalam asupan sehari-hari, memilih sumber-sumber makan yang
rendah kolesterol dan memasukkan serat yang adekuat dalam diet
mereka.
Pendekatan perawat untuk mengajarkan klien diabetes
tentang bagaimana cara untuk merencakan asupan nutrisi sangat
penting. Bila perawat menekankan pada ide bahwa makanan yang
lebih sehat dapat meningkatklan rasa sejahtera, klien dapat
melihat perubahan yang diperulakn dalam cara yang lebih positif.
Juga, mengajarkan kepada klien yang kelebihan berta badan
bahwa hilangnya sejumlah kecil berat badan (5-7,5 kg) dapat
menghasilkan pengurangan kadar glukosa darah yang sangat
besar yang merupakan hal penting bagi perawat.
c) Olah Raga
Untuk lansia dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung
dapat meningkatkan fungsi fisiologis dengan mengurangi kadar
glukosa darah, meningkatakan stamina dan kesejahteraan
nasional, dan meningkatkan sirkulasi. Seain itu, olah raga teratur
dapat membantu menurunkan berat bdan. Namun, program olah
raga dengan rencana dan tidak implusif merupakan hal yang
penting. Klien yang mengalami diabetes yang tidak terkendali
(Glukosa darah Puasa sebelum latihan lebih dari 250 mg/dL) pada
kenyataannya dapat membahayakan bila melakukan peningkatan
aktivitas fisik secraa mendadak. Ketika kadar glukosa darah stabil
dan kondisi medis lain sudah dapat dikendalikan, terawat dan
klien dapat mengembangkan suatu rencana untuk meningkatkan
latihan fisik secara bertahap. Setelah keterbatasan kemampuan
klien untuk melakukan latihan diidentifikasi, tujuan jangka pendek
dan jangka panjang harus ditetapkan untuk melaksanakan
program latihan / olahraga.
Walaupun berenang dan berjalan cepat telah dinyatakan
sebagai pilihan yang sangat baik untuk lansia dengan NIDDM, tipe
aktivitas lainnya juga sama sama bermanfaat. Khususnya, aerobik
yang menawarkan manfaat paling banyak. Seseorang dengan
NIDDM harus melakukan latihan minimal 1 x setiap 3 hari.
d) Pengobatan
Agens Oral
Lansia dengan NIDDM tetap memiliki kemampuan untuk
memproduksi insulin, sehingga penatalaksanaan diet dapat
mengendalikan diabetes dengan sukses. Namun, jika klien belum
atau tidak dapat mengikuti rencana makanan atau jika penyakit
tidak terdeteksi sejak awal, agens oral dapat diberikan untuk
menstimulasi sekresi insulin oleh pangkreas. Sulfonilurea adalah
kelompok obat yang paling sering di resepkan dan efektif hanya
untuk penanganan NIDDM. Beberapa agens yang berbeda juga
tersedia dalam kelas obat ini. Namun klopropamid merupakan
kontra indikasi bagi lansia kerena meningkatkan resko
hipoglikemia yang berhubungan dengan obat ini. Pada umumnya
sulfonilurea yang di eksresikan oleh hati (mis, glucotrol)
disarankan untuk digunakan pada lansia yang pada orang yang
lebih muda dapat menerima suatu agends yang dikeluarkan oleh
ginjal. Masalah gastrointestinal dan reaksi yang tidak diinginkan
terhadap alkohol adalah efek samping utama dari sulfomilurea.
Generasi kedua sulfomilurea sekarang telah tersedia.
Glyburide (Micronase dan DiaBeta) dan glipizin (Glucotrol) 100 –
200 x lebih poten dari pada generasi pertama sehingga kelompok
obat ini dapat dikonsumsi dalam dosis yang lebih kecil dan hanya
satu hari sekali dari pada beberapa kali dalam sehari. Orang yang
menerima agens oral untuk menegendalikan NIDDM harus di
peringatkan bahwa mereka masih dapat mengalami efek samping
hipoglikemia, terutama bila asupan nutrisi mereka tidak di pantau
dan dikendalikan secraa seksama. Konfusi, berkeringat, gugup
koma, pucat, dan napas dangkal adalah indikasi dari reaksi
hipoglikemi pada orang orang ini. Glucophage (metformin
hidroklorid) adalah obat anti hiperglikemia yang baru baru ini
dikeluarkan oleh food and Drug Administration/FDA. Obat ini tidak
menurunkan kadar glukosa darah, tetapi meningkatkan
penggunaan glukosa oleh jaringan parifer dan usus. Glucophage
harus dimakan bersama makanan dan dikontra indikasikan untuk
pasien dengan gangguan ginjal.
Insulin
Bila intervensi sebelumnya tidak berhasil dalam
memodifikasi kadar gula darah dan gejala gejala, terapi insulin
akan di perlukan untuk menambah suplai dari tubuh. Tujuan
terapi insulin adalah untuk memepertahankan kadar glukosa
darah dalam parameter yang telah di tentukan untuk membatasi
komplikasi penyakit yang membahayakan. Penyesuaian yang lebih
banyak seting di perlukan untuk mencapai keseimbangan antara
kadar glukosa darah yang optimal dan hipoglikemia. Banyak klinisi
yang memilih untuk pengendalian longgar terhadapt kadar
glukosa darah yang kadang – kadang di perbolehkan untuk
meningkat sedikit di atas normal untuk menunjukkan bahwa klien
tidak beresiko mengalami hipoglikemia. Waktu dan frekuensi
pemberian insulin disuaikan untuk menstabilkan kadar glukosa
darah. Insulin kadnag – kadang di berikan bersama – sama dengan
obat oral, walaupun nilai dari praktik ini belum dapat di buktikan
secraa klinis. Walaupun tersedia bebrapa bentuk insulin yang
berbeda, rute pemberian insulin yang paling umum adalah melalui
suntikan subkutan.
Pengajaran tentang insulin harus melibatkan penyimpanan
insulin dan spuit di rumah, jenis insulin yang akan di gunakan
(manusia vs hewan) konsntrasi (U-100), model aksi yang
diharpkan (aksi cepat, menengah, lama, atau campuran), dosis
yang di respekan dan kondisi penyesuaian yang di perlukan untiuk
dosis ini (latihan, penyakit), dan kemungkinan efek samping dan
penangannnya. Lansia khususnya perlu mengetahui tentang tanda
dan gejala hipoglikemia karena hilangnnya sinyal – sinyal
adrenergik, perubahan normal yang berhubungan dengan
penuaan, yang membuat mereka kurang sensitif terhadap kondisi
tersebut. Pengajaran tentang teknik penyuntikan memfokuskan
pada gambaran dosis gambaran yang tepat, memilih dan memutar
lokasi suntikan, memberikan obat itu sendiri, dan menggunakan
kembali atau membuang spuit yang telah di gunakan. Untuk klien
yang memerlukan kombinasi dari insulin dengan masa kerja
pendek (regular insulin) dan masa kerja menengah (Neutral
Protamine Hagedorn), insulin campuran atau insulin 70 – 30%
sekarang telah tersedia.
Pompa insulin, penginfus, dan alat lain yang di maksudkan
untuk meningkatkan keakurata pemberian dosis insulin yang
sesuai mungkin di resepkan untuk klien lansia. Lengan baju yang di
perbesar dan peralatan adaptif lain untuk klien dengan atritis juga
dapat memudahkan pemberian insuin. Dalam setiap kasus,
perawat harus memastikan bahwa klien mampu untuk melihat
dan membaca bagian tertulis dari peralatan – peralatan ini. Dan
dapat mengerti langkah-langkah penggunaannya.
1) Pencegahan komplikasi: Hipoglikemia
Hipoglikemia pada lansia dengan NIDDM mungkin
disebabkan oleh makanan yang tidak cukup, terlalu banyak
latihan, atau terlalu banyak pengobatan. Lansia dan anggota
keluarga harus diajarkan tentang pentingnya mencegah
hipoglikrmia, atau menyuruh klien untuk menggunakan tanda
identitas yang menyatakan bahwa ia menderita diabetes, dan
setiap waktu penyimpanan gula dengan masa kerja cepat.
Gejala klasik hipoglikemia (seperti takikardia, berkeringat, dan
ansietas) mungkin sama sekali tidakada pada lansia. Alih-alih,
gejala pada lansia biasanya terdiri dari gangguan perilaku,
kejang, konfusi, disorientasi, pola tidur yang buruk, sakit
kepala pada malam hari, bicara kacau, atau tidak sadarkan
diri.
Perawatan dari reaksi hipoglikemia harus dilakukan sedini
mungkin. Jika klien sadar, perawatan harus termasuk
pemberian gula dengan reaksi cepat seperti 120 mL jus jeruk
atau soda ukuran sedang (nondiet), diikuti dengan kedupan
karbohidrat serta protein seperti keju dan biskuit atau roti
dengan mentega kacang. Gula dengan reaksi cepat pada
awalnya meningkatkan kadar glukosa darah, dan karbohidrat
serta protein mencegah terjadinya kembali hipoglikemia
secara mendadak.
Jika klien ditemukan tidak sadar, ia harus diberikan
glikagon 0,5-1,0mg secara intramuskular atau subkutan.
Anggota keluarga harus diajarkan tentang teknikmsuntikan ini
sebagai bagian dari pengajaran dasar diabetees mereka. Jika
glukagon tidak tersedia, glukosa gel atau icing kue (lapisan
putih terbuat dari gula dan mentega yang biasa untuk
melapisi kue) dapat dimasasekan ke bagian dalam pipi orang
tersebut. Setelah orang yang tidak sadar menjadi sepenuhnya
terbangun, ia harus makan kedupan dari karbohidrat dan
protein. Pemberian glukosa pada orang yang tidak sadarkan
diri dapat mencegah takikardia, distrimia, infark miokardium,
atau stroke dan tidak akan menyebabkan bahaya jika orang
tersebut tidak sadar karena hiperglikemia.
Lansia yang menderita diabetes harus mencegah berbagi
komplikasi yang lain juga. Langkah pertama dalam proses ini
adalah dengan penggunaan glukosameter darah, yang secara
langsung mengukur kadar glukosa dalam darah. Metode ini
menawarkan banyak keuntungan dari test urine tetapi
memerlukan klien yang memiliki penglihatan normal dan
kekuatan fisik dan koordinasi untuk melakukan prosedurnya.
Usia klien tidak boleh menjadi faktor penghambat ketika
mempertimbangkan siapa yang dapat melaksanakan tanggung
jawab untuk memantau kadar glukosa darah sehari-hari
karena lansia berdasarkan suatu studi yang mengambil
tanggung jawab dalam pemantauan sendiri dilaporkan tidak
mengalami perubahan dalam kualitas kehidupan mereka.
Waktu untuk memantau kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara rotasi diantara puasa, sebelum makan, dan 1-2 jam
setelah makan untuk memberikan petunjuk tentang rentang
kadar glukosa darah pada klien dan anggota tim perawatan
kesehatan untuk rencana perawatan. Klien lansia memerlukan
lebih banyak latihan untuk menggunakan glukosameter darah
karena banyak dari alat – alat ini tampak asing bagi mereka.
Hemoglobin A1c adalah suati tes laboratorium yang mengukur
kadar glukosa rata – rata selama 3 bulan. Klien harus
dianjurkan untuk melakukan tes ini secara teratur.
Langkah lain yang penting untuk mencegah komplikasi
NIDDM yang tidak diingikan termasuk pemeriksaan mata
setiap tahun oleh seorang ahli oftalmologi (yang akan
mendilatasi pupil klien untuk melihat bagian belakang mata,
tempat retinopati terjadi), program perawatan kaki yang
mengkombinasikan perawatan kulit dan pemeliharaan kuku
kaki, dsan kunjungan secara teratur pada pemberian layanan
kesehatan primer untuk melakukan penapisan dan
pemantauan, termasuk urinalisasi 24 jam untuk melihat
adanya protein untuk mendeteksi perubahan ginjal setiap
tahun.
Peran Perawat
Perawat memainkan peran sebagai fasilitator terhadap
lansia yang mengalami NIDDM. Walupun pada tahap awal
diagnosis dan stabilisasi memerlukan perawat untuk memainkan
peran yang lebih aktif, tujuan keperawatan utama adalah untuk
mengajarkan keterampilan perawatan diri yang di perlukan.
Proses ini dimulai pada fasilitas pelayanan akut, dengan tindak
lanjut sampai ke rumah klien. Mendorong klien untuk mengambil
tanggung jawab dalam merencanakan makanannnya, pemberian
obat, latihan, pemantauan secara mandiri dan perawatan
preventif adalah tujuan dari setiap aktivitas keperawatan.
Penatalaksanaan Keperawatan
Lansia dengan NIDDM memiliki banyak kebutuhan
keamanan. Kecelakaan yang terjadi akibat penglihatan yang
menurun dapat di cegah dengan pengkajian secara seksama
terhadap lingkungan rumah dan meniadakan potensial bahaya.
Lansia yang dapat memperbaiki penglihatan dengan alat alat
adaptif diperlukan untuk mengompensasi defisit penglihatan, juga
prosedur pembrdahan untuk beberapa kondisi.
Menghindari luka bakar atau cedera yang tidak disengaja
juga merupakan pertimbangan bagi klien lansia yang mengalami
diabetes karena berkurangnya sirkulasi dan sensai pada
ekstremitas membuat lansia cenderung untuk mengalami
kecelakaan – kecelakaan seperti itu. Klien dapat diajarkan untuk
memeriksa temperatur air mendi, menggunakan pakaian yang
sesuai udara dingin, dan menggunakan sepatu dan kaus kaki yang
sesuai.
Kebutuhan nutrisi mungkin dipersulit oleh perubahan yang
berkaitan frngan penuaan. Penurunan kompensasi dengan cara
menggunakan bumbu bumbu tambahan (mis, garam). Hilangnnya
gigi juga dapat menimbulkan masalah khusus bagi lansia yang
harus membatasi pilihan makanan untuk memenuhi petunjukn
rencana makan. Perawat dapat mengejarkan klien tentang
penggunaan tindakan alternatif untuk membumbui dan
menyiapkan makanan dalam meningkatkan rasanya. Rujukan para
ahli nutrisi juga dapat menambah upaya perawat, khusunya untuk
klien dengan kebutuhan yang kompleks.
Klien harus menyimpan catatan tertulis tentang
pengobatan mereka dan kadar gula darah harian dan harus
bertanggung jawab untuk membawa dokumen dokumen ini pada
pertemuan yang telah dijanjikan dengan pemberi perawatan
primer. Catatan – catatan ini dapat di tinjau ulang oleh perawat
untuk stabilitas dan sering digunakan sebagai alat pengajaran
yang snagat berguna.
Sirkulasi darah pada ekstremitas orang dengan diabetes
terganggu sehingga klien harus mempelajari metode yang
diperlukan untuk meningkatkan kesehatan kaki. Merawat kuku
kaki, mencegah infeksi, mengggunakan kaus kaki katun dan
sepatu dengan ukuran yang tepat, dan menghindari benda –
benda tajam dan dapat membakaar kulit harus ditekankan pada
klien. Pengerasan kulit pada daerah kecil dikaki harus di rawat
oleh seorang ahli podiatri. Pengobatan sehari – hari (khususnya
injeksi), gangguan diet yang disadari dan kemungkinan
konsekuensi yang tidak diinginkan dapat menjadi sumber ansetas,
rasa takut dan depresi. Masalah kesehatan mental dapat
mengarah pada lingkaran masalah yang berat bagi orang dengan
diabetes. Pertama, klien perlu patuh pada rencana perawatan
sepanjang hidup yang memicu ansietas, keputusan dan depresi
atau kombinasi dari hal – hal ini. Klien kemudian dapat
mengabaikan kesehatannya dan bahkan dapat mengembangkan
kebiasaan hidup yang tidak sehat yang dapat memperparah
diabetes (mis., makan terlalu banyak atau menolak menggunakan
obat – obatan). Kegagalan untuk mematuhi rencana perawatan
dapat menyebabkan sserangkaian respon fisik yang tidak
diharapkan yang justru akan membuat klien merasa lebih buruk
secara emosional.
Banyak lansia mengalamai diabetes setelah pasangan,
teman, atau tetangga mengidap penyakit ini. Pengalaman ini
dapat mendorong ke arah kesalahan konsepsi dan ketakutan yang
lebih lanjut dapat menganggu koping klien. Intervensi
keperawatan untuk meningkatkan penggunaan keterampilan
koping seumur hidup dan untuk mengajarkan metode koping yang
baru dapat membantu klien lansia menyadari bahwa ia masih
dapat menikmati gaya hidup sehat. Dukungan dari keluarga,
teman, dan orang lain yang juga mengidap diabetes dapat
menjadi suatu alat tambahan yang sangat berguna bagi tindakan
keperawatan. jika depresi berat atau depresi yang jelas telah
terjadi, klien harus dirujuk untuk melakukan konseling profesional
3) Pencegahan Tersier
Untuk meningkatkan rehabilitas yang tepat dan kembali lagi
pada gaya hidup normal, seseorang yang didiagnosa diabetes harus
menerima perawatan berkelanjutan untuk memfasilitasi tujuan ini.
Stimulasi sensoris selama perawatan akut terus meningkatkan defisit
normal dan defisit terkait penyakit yang dapat terjadu, untk klien
lansia, stimulasi sensoris dalam bentuk rangsangan verbal, auditori,
dan takstil yang sesuai tidak hanya membantu interaksi dengan orang
lain, tetapi juga meningkatkan penampilan aktivitas kehidupan sehari
– hari.
Beri dorongan kepada lansia untuk mempertahankan atau
memiliki tanggung jawab terhadap aspek peratan sebanyak mungkin
yang berarti mungkin di capai, bahkan ketika menghadapi penyakit
kronis. Perawat yang melibatkan klien dalam pengambilan keputusan
juga tugas – tugas fisik menyampaikan pesan bahwa klien tersebut
masih berguna sebagai manusia yang mampu untuk turut berperan
dalam perawatan dirinya sendiri. Perawatan kaki, mata, dan kulit yang
merupakan komponen penting dari rencana perawatan yang
berkelanjutan, mungkin didelegasikan kepada klien setelah sesuai
bagai klien. Perawat harus mendorong klien untuk mengambil inisiatif
dalam tindakan promosi kesehatan yang lain seperti mendapatkan
vaksinasi influenza dan pneumonia sesuai kebutuhan, bekerja untuk
kebugaran kardiovaskular dan memodivikasi lingkungan rumah untuk
meningkatkan keamananan.
Pengendalian glikemia, yang melibatkan pemeliharaan kadar
gula darah dalam batas aman biasanya dilakukan oleh pemberi
perawatan primer, khususnyasangat penting bagi lien lansia, suatu
studi menemukan bahwa menjaga kadar gula darah tetap dalam
batas normal dapat mencegah defisit neurologis pada beberapa kasus
dan regresi dari defsit yang telah ada pada sebagaian orang lain.
Pendekatan 4 fase dapat di gunakan untuk menangani
kebutuhan rehabilitatif klien lansia dengan diabetes yang menjalani
amputasi ekstremitas bawah.
a. Pertama klien harus menerima nutrisi yang adekuat dan
beristirahat dengan aman, lingkungan yang tenang untuk
sembuh kembali dari trauma pembedahan dengan baik. Klien
juga dapat terbebas dari rasa nyeri dan tidak nyaman, khususnya
nyeri “phantom” pada tungkai yang hilang, yang hal ini terutama
sangat menimbulkan distres.
b. Kedua ekstremitas yang tersisa harus di pantau untuk
mengetahui tada – tanda infeksi atau komplikasi lain selama
proses penyembuhan.
c. Ketiga, program latihan yang terstruktur untuk menyiapkan klien
berjalan dengan prostesis harus di lakukan, tingkatkan sesuai
peningkatan mobilisasi yang di alami klien.
Akhirnya, klien harus mendapatkan dukungan dan bantuan
ketika ia sedang berbuka tidak hanya untuk tungkainya yang hilang,
tetpi juga untuk diri klien sebelum ia di amputasi. Pertemuan dengan
orang – orang yang telah berhasil menghadapi pengalaman seperti
ini akan dapat membantu dan memberikan dorongan kepada klien.
Anggota keluarga harus di ajarkan untuk mendukung klien dan
memahami perasaan marah dan kehilangan harapan. Klien dan
orang lain yang penting baginya harus ditawarkan harapan bahwa
gaya hidup yang berkualitas tinggi masih mungkin ddicapai
walaupun dengan disabilitas fisik klien.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kadar glukosa serum puasa dan pemeriksaan toleransi glukosa
memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan
tolerans glukosa oral lebih membantu menegakkan diagnosis karwna
lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi
mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan.
Diagnosa di buat bisannya setelah satu sari tiga kriteria berikut ini
terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200mg/dl atau lebih tinggi
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa peroral 200
mg/dl atau lebih.
b. Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA tc),
yang mengambarkan kadar rata – rata glukosa serum dalam 3 bulan
sebelumnya, biasannya di lakukan untuk memantau keefektifan
terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetpi
peningkatan hasil telah di temukan pada lansia dengan toleransi
glukosa normal
c. Fruktosamina serum, yang menggambarkan kadar glukosa serum rata
– rata selama 2 – 3 minggu sebelumnnya, merupakan indikator yang
lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan.
8. Komplikasi
Hipogikemia adalah komplikasi yang mungkin terjadi pada
penderita diabetes yang diobati dengan insulin atau obat obatan
antidiabetik oral. Lansia lebih sensitif terhadap glukosa darah yang
rendah dibandingkan individu dewasa yang lebih muda. Gejala
hipoglikemik lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan dapat
tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
Dapat ditemui dua komplikasi metabolik lain pada diabetes:
ketoasidosis diabetik, yang ditandai dengan hiperglikemia berat,
merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya
terjadi pada lansia dengan DM Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi
pada individu yang menderita DM Tipe 2 yang mengalami stres fisik dan
emosional yang ekstrem. Sindrom nonketotik hiperglikemik hiperosmolar,
juga dikenal sebagai koma hiperosmolar adalah komplikasi metabolik
akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita diabetes.
Sebgai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia
berat (kadar glukosa darah di atas 800mg/dl), hiperosmolaritas (diatas
280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat diuresis osmotik. Tanda dan
gejala mencakup kejang dan hemiparesis (yang sering kali keliru diagnosis
menjadi cidera serebrovaskuler) dan kerusakan pada tingkat kesadaran
(biasanya koma atau hampir koma).
Individu yang menderita diabetes melitus juga beresiko lebih
besar mengalami berbagai penyakit kronis yang terjadi hampir pada
semua sistem tubuh. Pada populasi lansia, komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler meningkat karena efek penuaan kardiovaskuler yang sudah
ada. Komplikasi kronis yang paling umum mencakupneuropati perifer dan
otonom, penyakit vaskuler parifer, penyakit kardiovaskuler dan
dermopati diabetik.
Neuropati parifer biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat
menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati
otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup
gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang menyebabkan
perasaan mual dan penuh setelah makan), diare nokturnal, impotensi,
dan hipotensi ortostatik.
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insiden hipertensi
10 kali lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita
diabetes. Hal ini lebih meningkatkan resiko serangan iskemik semntara
dan penyakit serebrovaskuler , penyakit arteri koroner dan infrak
miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati
progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf
pusat.Hiperglikemia merusak resistensi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan
bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran
kemih serta vaginitis.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Lansia dengan Diabetes Melitus


1. Pengkajian Fokus
1) Anamnesis
a) Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia ≥ 60
tahun dan umunya adalah DM tipe II (non insulin dependen) atau
tipe DMTTI
b) Keluhan utama
DM pada usia lanjut mungkin cukup sukar karena sering tidak
khas dan asimtomatik (contohnya: kelemahan, kelelahan, BB
menurun, terjadi infeksi minor, kebingunan akut atau depresi).
c) Riwayat penyakit dahulu
Terjadi pada penderita dengan DM yang lama
d) Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan
penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta
kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang
sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
e) Riwayat penyakit keluarga
Dalam anggota keluarga tersebut salah satu anggota keluarga
ada yang menderita DM
f) Data psikologis
Klien mengatakan ia merasa tidak nyaman dengan lingkungan
sekitar rumah, ia merasa anak anaknya kurang perhatian
dengannya karena anaknya semua memliki kerja masing-masing.
Hal ini membuat lansia suka curiga atau menuduh orang-orang
jika orang tersebut dekat dengannya
g) Riwayat sosial/ekonomi
Pekerjaan, kebiasaan, kehidupan sehari-hari
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komperhensif (head to toe / persistem)
wajib dilakukan meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia
guna mengantisipasi penyakit degeneratif.
a) Sel (Perubahan sel)
Sel menjadi lebih sedikit,jumlah dan ukurannya menjadi lebih
besar, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangbya
cairan intrasel.
b) Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan lemak, kulit kering dan pucat dan
terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah
kekulit dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku
pada jari tengah dan kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang
berusia 60 tahun rambut wajah meningkat, rambut
menipis/botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat
berkurang jumlah dan fungsinya.
c) Sistem muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang
pengecilan otot karena menurunnya serabut otot. Pada otot
polos tidak begitu berpengaruh.
d) Sistem pendengaran
Presbiakusis (menurunnya pendengaran pada lansia) membran
timpani menjadi altrofi menyebabkan austosklerosis,
penumpukkan serumen sehingga mengeras karena
meningkatnya keratin
e) Sistem penglihatan
1. Karena berbentuk speris, sfingther pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh,
meningkatnya ambang penglihatan (daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat, susah melihat gelap).
2. Hilangnya akomodasi menurunnya lapang pandang karena
berkurangnya luas pandangan.
3. Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada
skala.
f) Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi
kaku,menurunnya aktivitas silia, paru kurang elastis, alveoli
kurang melebar biasanya dan jumlah berkurang. Oksigen pada
arteri menurun menjadi 75 mmHg. Karbon oksida pada arteri
tidak berganti kemampuan batuk berkurang.
g) Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% pertahun. Kehilangan obstisitas
pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer.
h) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar,
rasa lapar menurun, asam lambung menurun waktu
pengosongan lambung, peristaltik lemah sehingga sering terjadi
konstipasi, hati makin mengecil.
i) Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50%, laju filtrasi glumerulus menurun sampai
50%, fungsi tubulus berkurang sehingga kurang mampu
memekatkan urine, proteinuria bertambah, ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun
karena otot yang lemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung
kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan retensi
urin dan pembesaran prostat (75% usia diatas 60 tahun).
j) Sistem Reproduksi
Selaput lendir vagina menurun/kering, menciutnya ovarium dan
uterus, atrofi payudara testis masih dapat memproduksi
meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, dorongan
seks menetap sampai usia 70 tahun asal kondisi kesehatan baik
k) Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan
sekresinya tidak berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH dan LH.
Menurunnya aktivitas tiroid sehingga laju metabolisme tubuh
(BMR) menurun. Menurunnya produk aldusteran, a.
menurunnya sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen dan
testosteron.
l) Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat
otak menurun sekitar 10-20%)

3) Status Fungsional
Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran kemampuan
seseorang dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari,
penentuan kemandirian, mengidentifikasi kemampuan dan
keterbatasan klien, serta menciptakan pemilihan intervensi yang
tepat. Pengkajian status fungsional ini melakukan pemeriksaan
dengan instrument tertentu untuk penilaian secara objektif.
Instrument yang biasa digunakan dalam pengkajian status fungsional
adalah indeks Kats, Bathel Indeks, dan Sullian Indeks Katz. Alat ini
digunakan untuk menentukan hasil tindakan dan prognosis pada
lansia dan penyakit kronis. Lingkup pengkajian meliputi keadekuatan
enam fungsi, yaitu mandi, berpakaian, toileting, berpindah, kontinen
dan makan, yang hasilnya untuk mendeteksi tingkat fungsional klien
(mandiri/dilakukan sendiri atau tergantung).
a) Indeks Katz
Mengukur kemampuan pasien dalam melakukan 6 kemampuan
fungsi: bathing, dressing,toileting, transfering, feeding,
maintenance continence. Biasa digunakan untuk lansia, pasien
dengan penyakit kronik (stroke, fraktur hip).
Keman dirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau
bantuan pribadi aktif, kecuali seperti secara spesifik diperlihatkan
dibawah ini. Ini didasarkan pada status actual dan bukan pada
kemampuan.seorang klen yang menolak untu kmelakukan suatu
fungsi dianggap sebagai tindak melakukan fungsi meskipun ia
dianggap mampu.
Kriteria Hasil :
A : Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke
kamar kecil, berpakaian, dan mandi.
B : Kemandirian dalam semua hal, kecuali satu dari fungsi
tersebut.
C : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu
fungsi tambahan.
D : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian,
dan satu fungsi tambahan.
E : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian,
kekamar kecil, dan satu fungsi tambahan.
F : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian,
kekamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan.
G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.
b) Barthel Indeks
Merupakan alat ukur yang di gunakan untuk mengetahui
kemampuan fungsional pada pasien yang mengalami gangguan
system syaraf.
Prosedur Tes:
Pasien dinilai dengan menggunakan Barthel Indeks pada awal
treatment, selama rehabilitasi dan pada akhir masa rehabilitasi. 
Hal ini digunakan untuk menilai peningkatan treatment yang
dilakukan terhadap pasien.
Kriteria Hasil:
0 – 100
0 – 20 Ketergantungan Penuh
21 – 61 Ketergantungan Berat (Sangat Tergantung)
62 – 90         Ketergantungan Moderat
91 – 99          Ketergantungan Ringan
100 Mandiri
c) Sullivan Indeks Katz
Pengkajian Posisi dan keseimbangan dengan tes Koordinasi pada
lansia dengan keterangan :
4 : Mampu melakukan aktivitas dengan Lengkap
3 : mampu melakukan aktivitas dengan bantuan
2 : mampu melakukan aktivitas bantuan maksimal
1 : tidak mampu melakukan aktivitas
Nilai :
42 – 54 : mampu melakukan aktivitas
28 – 41 : mampu melakukan sedikit bantuan
14 – 27 : mampu melakukan bantuan maksimal
14 : tidak mampu melakukan
4) Status Kognitif / Afektif
Pengkajian status kognitif/afektif merupakan pemeriksaan
status mental sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan
kemampuan mental dan fungsi intelektual. Pengkajian status mental
ditekankan pada pengkajian tingkat kesadaran, perhatian,
keterampilan berbahasa, ingatan interpretasi bahasa, keterampilan
menghitung dan menulis, serta kemampuan konstruksional.
Pengkajian status mental bisa digunakan untuk klien yang berisiko
delirium. Pengkajian ini meliputi Short Portable Mental Status
Questionnaire (SPMSQ), Mini-Mental State Exam (MMSE), Inventaris
Depresi Beck (IDB), Skala Depresi Geriatrik Yesavage. Berikut akan
diuraikan secara singkat aspek pengkajian tersebut.
a. Short Portable Mental Status Questionnire (SPMSQ)
Pengkajian ini digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat
kerusakan intelektual. Instrument SPMSQ terdiri dari 10
pertanyaan tentang orientasi, riwayat pribadi, memori dalam
hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh
dan kemampuan matematis. Penilaian dalam pengkajian SPMSQ
adalah nilai 1 jika rusak/salah dan nilai 0 tidak rusak/benar.
Interpretasi
Salah 0 – 3 : fungsi intelektual utuh
Salah 4 – 5 : fungsi intelektual kerusakan ringan
Salah 6 – 8 : fungsi intelektual kerusakan sedang
Salah 9 – 10 : fungsi intelektual kerusakan berat
b. Mini-Mental State Exam (MMSE)
Mini-Mental State Exam (MMSE) digunakan untuk menguji aspek
kognitif dari fungsi mental: orientasi, registrasi, perhatian,
kalkulasi, mengingat kembali, dan bahasa. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk melengkapi dan menilai, tetapi tidak dapat
digunakan untuk tujuan diagnostic, namun berguna untuk
mengkaji kemajuan klien.
Skor :
24 – 30 : Normal
17 – 33 : Probable gangguan kognitif
0 – 16: definitive gangguan kognitif
c. Inventaris Depresi Beck (IBD)
Inventaris Depresi Beck (IBD) merupakan alat pengukur
status afektif yang digunakan untuk membedakan jenis depresi
yang mempengaruhi suasana hati. Instrument ini berisikan 21
karakteristik: alam perasaan, pesimisme, rasa kegagalan,
kepuasan, rasa bersalah, rasa terhukum, kekecewaan terhadap
seseorang, kekerasan terhadap diri sendiri, keinginan untuk
menghukum diri sendiri, keinginan untuk menangis, mudah
tersinggung, menarik diri, ketidakmampuan membuat
keputusan, gambaran tubuh, gangguan tidur, kelelahan,
gangguan selera makan, kehilangan berat badan. Selain itu, juga
berisikan 13 hal tentang gejala dan sikap yang berhubungan
dengan depresi.
d. Skala Depresi Geriatrik Yesavage
Skala Depresi Yesavage atau biasa disebut dengan Geriatric
Depression Scale (GDS) merupakan instrument yang disusun
secara khusus untuk memeriksa depresi. Instrument ini terdiri
atas 30 atau 15 pertanyaan dengan jawaban YA atau TIDAK. GDS
ini telah diuji kesahihan dan keandalannya. Beberapa nomor
jawaban YA dicetak tebal, dan beberapa nomor yang lain
jawaban TIDAK dicetak tebal. Jawaban yang dicetak tebal
mempunyai nilai 1 apabila dipilih. Instrument GDS dengan 30
item pertanyaan ini dikatakan juga dengan GDS Long Version,
sedangkan yang menggunakan 15 item pertanyaan biasa disebut
GDS Short Version.
5) Aspek Spiritual
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan
yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang
percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa.
Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan
tuhannya dengan menggunakan instrument salat, puasa, zakat, haji,
doa, dan sebagainnya.
Pada tahap perkembangan lansia, walaupun mereka
membayangkan kematian, tetapi mereka banyak menggeluti spiritual
sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai
faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan rasa berguna bagi orang
lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai
kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang
kehidupan beragamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang
kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan, dan rasa
takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak
takut mati dan dapat lebih mampu menerima kehidupan. Jika merasa
cemas terhadap kematian oun kecemasan tersebut disebabkan pada
proses, bukan pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting, yaitu
dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian
aspek spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang baik bagi
pasien. Oleh karena itu, pengkajian sebaiknya dilakukan setelah
perawat dapat membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau
dengan orang terdekat pasien, atau perawat telah merasa nyaman
untuk membicarakannya. Pengkajian yang perlu dilakukan meliputi :
a) Pengkajian data subjektif. Pedoman pengkajian inidisusun oleh
stoll (dalam kozier, 2005), yang mencakup konsep ketuhanan,
sumber kekuatan dan harapan, praktik agama dan ritual, dan
hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
b) Pengkajian data objektif. Pengkajian data objektif dilakukan
melalui pengkajian klinik yang meliputi pengkajian afek dan
sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan
lingkungan. Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui
observasi. Pengkajian tersebut meliputi:
a. Afek dan sikap. Apakah pasien tampak kesepian, depresi,
marah, cemas, agitasi, apatis, atau preokupasi?
b. Perilaku. Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan,
membaca kitab suci atau buku keagamaan? Apakah pasien
seringkali mengeluh, tidak dapat tidru, bermimpi buruk, dan
berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda
yang tidak sesuai atau mengekspresikan kemarahannya
terhadap agaman?
c. Verbalisasi. Apakah pasien menyebut tuhan, doa, rumah
ibadah, atau topic keagamaan lainnya? Apakah pasien
pernah minta dikunjungi oleh pemuka agama? Apakah
pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap
kematiannya?
d. Hungan interpersonal. Siapa pengunjung pasien? Bagaimana
pasien berespons terhadap pengunjung? Apakah pemuka
agama datang mengunjungi pasien? Bagaimana pasien
berhubungan dengan pasien lain dan juga dengan perawat?
e. Lingkungan. Apakah pasien membawa kitab suci atau
perlengkapan ibadah lainnya? Apakah pasien menerima
kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan dan apakah
pasien memakai tanda keagamaan (misalnya memakai
jilbab)?.
6) Fungsi Sosial
Pengkajian fungsi social ini lebih ditekankan pada hubungan
lansia dengan keluarga sebagai peran sentralnya dan informasi
tentang jaringan pendukung. Hal ini penting dilakukan karena
keperawatan jangka panjang membutuhkan dukungan fisik dan
emosional dari keluarga. Pengkajian aspek fungsi social dapat
dilakukan dengan menggunakan alat skrining singkat untuk mengkaji
fungsi social lanjut usia, yaitu APGAR Keluarga (Adaptation,
Partnership, Growth, Affection, Resolve). Instrument APGAR adalah :
a. Saya puas bisa kembali pada keluarga saya yang ada untuk
membantu pada waktu sesuatu menyusahkan saya (adaptasi)
b. Saya puas dengan cara keluarga saya membicrakan sesuatu dan
mengungkapkan masalah dengan saya (hubungan).
c. Saya pusa bahwa keluarga saya menerima dan mendukung
keinginan saya untuk melakukan aktivitas (pertumbuhan).
d. Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan efek dan
berespons terhadap emosi saya, seperti marah, sedih, atau
mencintai (afek).
e. Saya puas dengan cara teman saya dan saya menyediakan
waktu-waktu bersama.
Penilaian : Pertanyaan yang dijawab : selalu (poin 2), kadanag-
kadang (poin 1), hamper tidak pernah (poin 0).
2. Diagnosa
Diagnose keperawatan gerontik adalah keputusan klinis yang
berfokus pada respon lansia terhadap kondisi kesehatan atau kerentanan
tubuhnya baik lansia sebagai individu, lansia di keluarga maupun lansia
dalam kelompik. Diagnose keperawatan merupakan kesimpulan yang
ditarik dari data yang dikumpulkan tentang lansia, yang berfungsi sebagai
alat untuk menggambarkan masalah lansia, dan penarikan kesimpula ini
dapat dibantu oleh perawat.
Perawat menggunakan hasil pengkajian untuk menentukan
diagnosis keperawatan. Diagnosis keperawatan individu, diagnosis
keperawatan keluarga dengan lansia, ataupun diagnosis keperawtan pada
kelompok lansia. Masalah keperawatan yang dijumpai antara lain
ketidakseimbangan nutrisi:kurang/lebih dari kebutuhan tubuh;kerusakan
sensori persepsi;penglihatan, pendengaran;intoleransi aktivitas;risiko
cedera;cemas;kerusakan mobilitas fisik;defisit perawatan
diri;inkontinensia urin;gangguan pola tidur; isolasi sosial; perasaan
berduka; harga diri rendah; penguasaan individu tidak efektif.
Diagnose keperawatan pada lanjut usia dengan Diabetes Melitus
dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain aspek fisik atau biologi,
aspek psikososial, dan aspek spiritual. Sesuai dengan SDKI (Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2018)
1) Defisit Nutrisi berhubungan dengan stroke di tandai denganberat
badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan
menurun.
2) Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
diabetes melitusdengan faktor resiko kurang terpapar informasi
tentang manajemen diabetes, ketidaktepatan pemantauan
glukosa darah.
3) Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
diabetes melitus ditandai dengan gangguan koordinasi, kadar
glukosa dalam darah / urin rendah (hipoglikemia) dan kadar
glukosa dalam darah / urine tinggin (Hiperglikemi)
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan distres psikologis
ditandai dengan mengeluh tidak nyaman dan gelisah.
5) Ansietas berhubungan dengan penyakit akut ditandai dengan
merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi, tampak gelisah, tampak tegang dan sulit tidur
3. Intervensi
Perencanaan Keperawatan Gerontik merupakan langkah ketiga dalam
proses keperawatan. Perawat memerlukan berbagai pengetahuan dan
ketrampilan diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan
klien, nilai dan kepercayaan klien batasan praktek keperawatan, peran
dari tenaga kesehatan lainnya. Pengetahuan dan ketrampilan lain yang
harus dimiliki perawat adalah kemampuan memecahkan masalah,
kemampuan mengambil keputusan, kemampuan menulis tujuan serta
memilih dan membuat strategi keperawatan yang aman dalam
memenuhi tujuan, menulis instruksi keperawatan serta kemampuan
dalam melaksanakan kerja sama dengan perangkat kesehatan lain.
Hal – hal yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana keperawatan.
a. Sesuaikan dengan tujuan yang spesifik dimana diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan dasar.
b. Libatkan klien dan keluarga dalam perencanaan
c. Kolaborasi dengan profesi kesehatan yang terkait.
d. Tentukan prioritas. Klien mungkin sudah puas dengan kondisinya,
bangkitkan perubahan tetapi jangan dipaksakan, rasa aman dan
nyaman adalah yang utama.
e. Sediakan waktu yang cukup untuk klien
f. Dokumentasikan rencana keperawatan yang telah dibuat.
Berikut ini beberapa rencana intervensi pada diagnose keperawatan
pada lansia dengan diabetes melitus, sesuai dengan SIKI (Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia)
No Diagnosa SLKI SIKI
1. Defisit Nutrisi berhubungan Setelah dilakukan intervensi Intervensi (SIKI) : Manajemen Nutrisi
dengan stroke dibuktikan keperawatan selama ..... x 24 Observasi
dengan berat badan jam maka Status nutrisi 1. Identifikasi status nutrisi
menurun 10% dibawah membaik dengan 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
rentang ideal, nafsu makan Kriteria hasil : 3. Identifikasi makanan disukai
menurun. 1. Pengetahuan tentang 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
pilihan makanan yang 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
sehat meningkat 6. Monitor asupan asupan makanan
2. Pengetahuan tentang 7. Monitor berat badan
standar asupan nutrisi 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
yang tepat meningkat. Terapeutik
3. Berat badan meningkat 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
4. Indeks Masa Tubuh 2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
Normal 3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhakn, jika perlu
2. Resiko ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan intervensi SIKI : Manajemen Hipoglikemi
glukosa darah dibuktikan keperawatan selama ..... x 24 Obervasi
dengan diabetes melitus jam maka kestabilan kadar 1. Identifikasi tanda dan gejala hipoglikemia
dengan faktor resiko kurang glukosa darah meningkat 2. Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia
terpapar informasi tentang dengan Terapeutik
manajemen diabetes, Kriteria hasil : 1. Berikan kabohidrat sederhana, jika perlu
ketidaktepatan pemantauan 1. Kondisi membaik 2. Berikan glukagon, jika perlu
glukosa darah. 2. Kadar glukosa darah 3. Berikan kabohidrat kompleks dan protein sesuai diet
membaik 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
3. Kadar glukosa dalam 5. Pertahankan akses IV jika perlu
urine membaik 6. Hubungan layanan medis darurat jika perlu
4. Keluhan pusing Edukasi
menurun 1. Anjurkan membawa kabohidrat sederhana setiap saat
5. Keluhan lelah menurun 2. Anjurkan memakai identitas darurat yang tapat
3. Anjurkan monitor kadar glukosa darah
4. Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tatang penyesuaian program,
pengobatan
5. Jelaskan interaksi anara diet, insulin/agen oral dan olah raga
6. Ajarkan pengelolaan hipoglikemia
7. Ajarkan peraw3atan mandiri untuk mencegah hipoglikemia
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian deksrose, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian glukagon jika perlu
3. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan intervensi SIKI : Manajemen Hiperglikemi
glukosa darah dibuktikan keperawatan selama ..... x 24 Observasi
dengan diabetes melitus jam maka kestabilan kadar 1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
dibuktikan dengan gangguan glukosa darah meningkat 2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat (penyakit
koordinasi, kadar glukosa dengan kambuhan)
dalam darah / urin rendah Kriteria hasil : 3. Monitor kadar glukosa darah
(hipoglikemia) dan kadar 1. Kondisi membaik 4. Monitor tanda gejala hiperglikemia
glukosa dalam darah / urine 2. Kadar glukosa darah 5. Monitor intake dan output cairan
tinggin (Hiperglikemi) membaik 6. Monitor keton urin, kadar analisa gas darah, elektrolit, Tekanan darah ortostatik
3. Kadar glukosa dalam dan frekuensi nadi
urine membaik Terapeutik
4. Keluhan pusing 1. Berikan asupan cairan oral
menurun 2. Konsultasi dengan medis jika tanda gejala tetap ada atau memburuk
5. Keluhan lelah menurun 3. Fasilitas ambulasi jika ada hipotensi ortostatis
Edukasi
1. Anjurkan hindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olah raga
4. Anjurkan indikasi dan peningnya pengujian keton urin
5. Ajarkan pengelolaan diabetes
Kolaborasi
1. Kolaborasi Pemberian insulin
2. Kolaborasi pemberian cairan IV
3. Kolaborasi pemberian kalium
4. Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan intervensi SIKI : Manajemen Nyeri
dibuktikan dengan distres keperawatan selama ..... x 24 Observasi
psikologis ditandai dengan jam maka status kenyamanan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
mengeluh tidak nyaman dan meningkat dengan 2. Identifikasi skala nyeri
gelisah. Kriteria hasil : 3. Identifikasi respon nyeri non ferbal
1. Rileks meningkat 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan yang memperringan hyeri
2. Keluhan tidak nyaman 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
3. Gelisah menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap pengaruh hidup
4. Keluhan sulit tidur 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
menurun 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
5. Merintih menurun Terapeutik
6. Menangis menurun 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
7. Lelah menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan straegi meredahkan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan straegi meredahkan nyeri
3. Anjuurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Pemberian analgetik, jika perlu
5. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan intervensi SIKI : Terapi Relaksasi
dengan penyakit akut keperawatan selama ..... x 24 Observasi
dibuktikan dengan merasa jam maka tingkat ansietas 1. Identifikasi penurunan tinggi energi, ketidakmampuan berkonsentrasi atau gejala lain
bingung, merasa khawatir menurun dengan yang menggunakan kemampuan kognitif
dengan akibat dari kondisi Kriteria hasil : 2. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
yang dihadapi, tampak 1. Verbalisasi khawatir 3. Identifikasi kesediaan, kemampuan dan penggunaan teknik sebelumnya
gelisah, tampak tegang dan akibat kondisi yang 4. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu sebelum dan
sulit tidur dihadapi menurun sesudah latihan
2. Perilaku gelisah 5. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
menurun Terapeutik
3. Frekuensi pernafasan 1. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan dan suhu
menurun ruang nyaman, jika memungkinkan
4. Tekanan darah menurun 2. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan produser teknik relaksasi
3. Gunakan pakaian longgar
4. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
5. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau tindakan medis
lain, jika sesuai
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi yang tersedia
2. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
3. Anjurkan mengambil posisi nyaman
4. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
5. Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
6. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
4.
5. Implementasi
Menurut Craven dan Hinle (2000), secara garis besar terdapat tiga kategori dari
implementasi keperawatan, antara lain: (1) cognitive implementations, meliputi
pengajaran/pendidikan, menghubungkan tingkat pengetahuan klien dengan kegiatan sehari-
hari, membuat strategi untuk klien dengan disfungsi komunikasi, memberikan umpan balik,
mengawasi tim keperawatan, mengawasi penampilan klien dan keluarga serta menciptakan
lingkungan sesuai kebutuhan, dan lain-lain; (2) interpersonal implementations, meliputi
koordinasi kegiatan-kegiatan, meningkatkan pelayanan, menciptakan komunikasi teraupetik,
menetapkan jadwal personal, pengungkapan perasaan, memberikan dukungan spiritual,
bertindak sebagai advokasi klien, role model, dan lain-lain; (3) technical implementations,
meliputi pemberian perawatan kebersihan kulit, melakukan aktivitas rutin keperawatan,
menemukan perubahan dari data dasar klien, mengorganisir respon klien yang abnormal,
melakukan tindakan keperawatan mandiri, kolaborasi, rujukan, dan lain-lain.

6. Evaluasi
Penilaian keperawatan adalah mengukur keberhasilan dari rencana, dan pelaksanaan
tindakan keperawatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan lansia. Beberapa kegiatan
yang harus diikuti oleh perawat:
1. Mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2. Mengumpulkan data yang berhububgan dengan hasil yang diharapkan.
3. Mengukur pencapaian tujuan.
4. Mencatat atau hasil pengukuran pencapaian tujuan.
5. Melakukan revisi atau modifikasi terhadap rencana keperawatan bila perlu.
Jenis Evaluasi menurut Ziegler, Voughan-Wrobel, & Erlen (1986, dalam Craven & Hirnle,
2003), terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Evaluasi Struktur
Evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara atau keadaan sekeliling
tempat pelayanan keperawatan diberikan. Aspek lingkungan secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi dalam pemberian pelayanan. Persediaan perlengkapan, fasilitas
fisik, rasio perawat klien, dukungan administrasi, pemeliharaan dan pengembangan
kompetensi staf keperawatan dalam are yang diinginkan.
b. Evaluasi Proses
Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat, dan apakah perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok, tanpa tekanan, dan sesuai
wewenang. Area yang menjadi perhatian pada evaluasi proses mencakup jenis informasi
yang didapat pada saat wawancara dan pemeriksaan fisik, validasi dari perumusan
diagnose keperawatan, dan kemampuan teknikal perawat.
c. Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respon perilaku lansia
merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan akan terlihat pada pencapaian
tujuan dan kriteria hasil. Evaluasi formatif dilakukan sesaat setelah perawat melakukan
tindakan pada lansia. Evaluasi hasil/sumatif : menilai hasil asuhan keperawatan yang
diperlihatkan dengan perubahan tingkah laku lansia setelah semua tindakan
keperawatan dilakukan. Evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan
secara paripurna.
Hasil evaluasi yang menentukan apakah masalah teratasi, teratasi sebagian, atau
tidak teratasi, adalah dengan cara membandingkan antara SOAP (Subjective-Objective-
Assesment-Planning) dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
S (Subjective) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari lansia setelah
tindakan diberikan.
O (Objective) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.
A (Assessment) adalah membandingkan antara informasi subjective dan objective
dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah
teratasi, teratasi sebagian atau tidak teratasi.
P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan
hasil analisis.
Contoh :
S : lansia mengatakan sudah menghabiskan makanannya
O : porsi makan habis, berat badan naik, semula BB=51 kg menjadi 52 kg
A : tujuan tercapai
P : rencana keperawatan dihentikan
ADL MAHASISWA

Nama :
NIM :
Ruangan Praktek :

HARI/ KEGIATAN TTD


TANGGAL MAHASISWA

Mengetahui
Pembimbing/ CI

( )
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN
GERONTIK

PROGRAM PROFESI NERS


Institut Kesehatan PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI

IDENTITAS KLIEN
Nama Klien : Ny.A
Jenis Kelamin : Prempuan

Umur : 63 thn
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan Terakhir : Smp
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat Rumah : Kubang Tangah,Kec. Lembah Segar, Kota Sawahlunto

RIWAYAT KESEHATAN
1. RIWAYAT KESEHATAN DAHULU
Keluarga mengatakan Ny.A pernah sakit gula.(DM).

2. RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG


Ny. A mengatakan lemas dan kaki kesemutan.

3. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


Keluarga Ny. S megatakan tidak tahu

KEBIASAAN SEHARI-HARI
1. BIOLOGIS
a. Pola Makan dan Minum
Klien makan 3 kali sehari. Minum tidak ada batasan

b. Pola Tidur
ada tidur siang, pada malam hari pat sering terbagun untuk ke kamar mandi

c. Pola Eliminasi (B.A.B/B.A.K)


BAK : 4-5 x sehari
BAB : 1-2x sehari
d. Aktifitas sehari-hari
Dilakukan secara mandiri
e. Rekreasi
Untuk mengisi waktu luang klien memilih untuk menonton TV dan mengikuti
pengajian

2. PSIKOLOGIS
Klien mengatakan takut akan penyakitnya (tidak sembuh).

3. SOSIAL
a. Dukungan keluarga
Keluaraga sangat membantu klien ketika penyakitnya kambuh

b. Hubungan Antar Keluarga


Sangat baik
c. Hubungan Dengan Orang Lain
Tidak ada masalah

4. SPRITUAL/KULTURAL

a. Pelaksanaan Ibadah
Klien mengatakan selalu menjalankan solat 5 waktu dan mengikuti pengkajian dan
mengaji.

b. Keyakinan tentang kesehatan


Pat. Takut untuk penyakitnya tidak sembuh
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Tanda-tanda Vital : TD = mmHg, HR = x / menit, RR x/ menit
=

T = 0
C
:
GCS (E = V= M= )

1. Rambut dan Wajah

Bentuk Kepala : Normal Abnormal


Keadaan Rambut : Mudah Rontok Bau
Berminyak Tidak Ada Masalah
Distribusi Rambut : Merata Tidak Merata
Kulit Kepala : Bersih Kotor Ada Lesi
Pedikulus
Lain-lain :
.
Masalah Keperawatan: Tidak ada _
.

2. Sistem Sensori Persepsi


Mata
Posisi Mata : Simetris Asimetris
Konjungtiva : Normal/ Pink Anemis Perdarahan
Sklera : Ikterik Anikterik Keruh Perdaraha
Kornea : Normal Berkabut n
Pupil : Isokor Anisokor Perdaraha
Miosis Midriasis Kabur n
Fungsi Penglihatan : Normal Exopthalmus
Diplopia
Lain-lain : -
.

Hidung
Sekret Hidung : Ada Tidak Ada
Bila terdapat Sekret : Jernih Purulen
Perdarahan Hidung : Ya Tidak
Polip Hidung : Ya Tidak
Peradangan Mukosa Hidung : Ya Tidak
Lain-lain : -
.

Telinga
Kondisi Telinga : Normal Kemerahan
Bengkak Terdapat Luka
Cairan dari Telinga : Ada Tidak Ada
Rasa Penuh Ditelinga : Ya Tidak
Fungsi Pendengaran : Normal Kurang Tuli
Fungsi Keseimbangan: Normal Ada Gangguan
Lain-lain : -
.
Masalah Keperawatan:- _
.

3. Sistem Pernafasan
Jalan Nafas : Ada Sumbatan Bersih
Karakteristik Sumbatan : Sputum Lendir
Ludah Darah
Pernafasan :
Normal Dispnea
Irama Nafas :
Teratur Tidak Teratur
Kedalaman Nafas :
Dalam Dangkal
Pergerakan Dinding Dada
: Simetris Asimetris
Penggunaan Otot Bantu Nafas : Konsistensi Ada Ada
Pernafasan Cuping Hidung : Sputum Tidak
Batuk : Ya Kental Tidak Produktif
Produktif Kuning
Sputum : Putih Encer
Tidak Ada Tidak Ada
Hijau
Palpasi Paru : .
Perkusi Paru : .
Suara Nafas : Normal Stridor Ronchi
Rales Wheezing
Lain-lain : -
.
Masalah Keperawatan: - _
.

4. Sistem Kardiovaskuler
Sirkulasi Perifer
Nadi : Reguler Irreguler
Denyut Nadi : Kuat Lemah
Akral : Hangat Dingin
Pengisian Kapiler (CRT) : < 3 detik > 3 detik

Sirkulasi Jantung
Irama Jantung : Teratur Tidak Teratur
Palpasi Jantung : tidak ada kelainan .
Perkusi Jantung : .

Bunyi Jantung : Normal Abnormal


Kelainan Bunyi : Murmur Gallop
Tidak Ada Kelainan
Nyeri Dada : Ada Tidak Ada
Nyeri Dada Timbul : Saat Beraktivitas Tanpa Aktivitas
Karakteristik Nyeri : Seperti Ditusuk-tusuk

Seperti Terbakar/ Terasa Panas


Seperti Tertima Benda Berat
Menjalar Kebahu dan Lengan Kiri
Lain-lain :

- .
Masalah Keperawatan:- .
.

5. Sistem Pencernaan
Mulut
Kebersihan Mulut : Bersih Kotor
Bau Mulut : Ya Tidak
Stomatitis : Ya Tidak
Mukosa Mulut : Lembab Kering
Karang Gigi : Ada Tidak Ada

Karies Gigi : Ada Tidak Ada


Jumlah dan Nama Gigi yg Karies :
Gigi Tanggal : Ada Tidak Ada
Jumlah dan Nama Gigi yg Tanggal :

Ginggivitis : Ya Tidak
Keadaan Lidah : Bersih Kotor
Tepi Lidah : Pink Hiperemis
Peradangan Tonsil : Ya Tidak
Peradangan Faring : Ya Tidak
Tenggorokan : Sakit Saat Menelan Tidak Sakit Saat Menelan
Abdomen
Inspeksi :
Auskultasi
Bising Usus : x/ menit
Perkusi :

Palpasi
Nyeri Tekan : Ya Tidak
Nyeri Lepas : Ya Tidak
Hepar : Teraba Tidak Teraba
Lien/ Spleen : Teraba Tidak Teraba
Warna Feses : Kuning Coklat Hitam
Seperti Dempul Putih spt Air Cucian Beras
Konsistensi Feses : Setengah Padat Cair Berdarah
Terdapat Lendir Tidak Ada Kelainan
Lain-lain : -
.
Masalah Keperawatan:-- .
.

6. Sistem Urogenital
Kebersihan : Bersih Kotor
Pola BAK : Terkontrol Tidak Terkontrol
Jumlah Urine : cc/ hari
Warna Urine : Kuning Coklat
Merah Putih
Distensi : Ya Tidak
Nyeri Tekan : Ya Tidak
Nyeri Lepas : Ya Tidak
Lain-lain : -
.
Masalah Keperawatan:- .
.

7. Sistem Muskuloskeletal
Kemampuan melakukan ROM : Baik Lemah
Nyeri Sendi : Ya Tidak
Lain-lain :
.
Masalah Keperawatan: .
.

8. Sistem Integumen
Warna Kulit : Kuning Coklat Hitam
Kondisi Kulit : Baik/ Utuh Ada Ulkus Ada Lesi
Kuning Coklat Petekie
Ada Bercak Merah Memar Dekubitus
Gatal-gatal Retensi Cairan
Turgor Kulit : Elastis Baik Buruk
Edema : Ada Tidak Ada
Lokasi Edema :
Lain-lain : -
.
Masalah Keperawatan: - .
.

KEADAAN LINGKUNGAN
Rumah pat. Permanen,dengan lantai semen, keadaan rumah cukup bersih

INFORMASI PENUNJANG

Ketika klien merasa kuarang enak badan, klien berobat ke puskesmas


1. DIAGNOSA MEDIS
-

2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
-

3. TERAPI MEDIS
-
ANALISA DATA

No Data Masalah Etiologi


1 DS :
 Ny. A mengatakan banyak minum
namun masih merasa haus, banyak Ketidakstabilan Diabetes Melitus
makan, banyak kencing, serta Kadar Glukosa
kesemutan. Darah
DO :
 TD : 110/80 mmHg
N : 87 x/menit
Minum 8 gelas, BAB 7 kali sehari.
GDS : 240 mg/dl.
2 DS :
 Ny A mengatakan lemas padahal banyak
makan dan kesemutan. Keletihan Menopouse
DO :
 Ny A terlihat lemas
BB : 65 kg.
GDS : 240 mg/dl.
TD : 110/80 mmHg.
3 DS :
 Ny. A mengatakan sulit tidur.  Gangguan pola Kecemasan
DO : tidur
 TD : 110/80 mmHg
 Pada pengkajian emosional didapatkan :
Sulit tidur dan cemas.
 Tidur 5 jam dimalam hari dan sering
terbangun, tidur siang jarang.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah dibuktikan Diabetes Melitus ditandai dengan


dengan kadar glukosa dalam darah / urin tinggi, pasien mengatakan lemas dan sering
haus
2. Keletihan dibuktikan dengan menopouse ditandai dengan tampak lesu, sering mengeluh
lelah.
3. Gangguan pola tidur dibuktikan dengan kecemasan ditandai dengan mengeluh tidak
puas tidur, mengeluh istirahat tidak cukup

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah dibuktikan Diabetes Melitus ditandai dengan


dengan kadar glukosa dalam darah / urin tinggi, pasien mengatakan lemas dan sering
haus
2. Keletihan dibuktikan dengan menopouse ditandai dengan tampak lesu, sering mengeluh
lelah.
3. Gangguan pola tidur dibuktikan dengan kecemasan ditandai dengan mengeluh tidak
puas tidur, mengeluh istirahat tidak cukup
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Nama : Ny.A
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
Keperawatan SLKI SIKI
1 Ketidakstabilan kadar glukosa Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 SIKI : Manajemen Hiperglikemi
darah dibuktikan Diabetes jam maka kestabilan kadar glukosa darah meningkat
Observasi
Melitus ditandai dengan dengan
dengan kadar glukosa dalam 1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
Kriteria hasil :
darah / urin tinggi, pasien 2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin

mengatakan lemas dan sering 1. Kondisi membaik meningkat (penyakit kambuhan)

haus 2. Kadar glukosa darah membaik 3. Monitor kadar glukosa darah


3. Kadar glukosa dalam urine membaik 4. Monitor tanda gejala hiperglikemia
4. Keluhan lelah menurun 5. Monitor intake dan output cairan
5. Keluhan haus menurun. 6. Monitor keton urin, kadar analisa gas darah, elektrolit, Tekanan
darah ortostatik dan frekuensi nadi
Terapeutik

1. Berikan asupan cairan oral


2. Konsultasi dengan medis jika tanda gejala tetap ada atau
memburuk
3. Fasilitas ambulasi jika ada hipotensi ortostatis
Edukasi

1. Anjurkan hindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari


250 mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olah raga
4. Anjurkan indikasi dan peningnya pengujian keton urin
5. Ajarkan pengelolaan diabetes
Kolaborasi

1. Kolaborasi Pemberian insulin


2. Kolaborasi pemberian cairan IV
Kolaborasi pemberian kalium

2 Keletihan dibuktikan dengan Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 SIKI : Manajemen Energi
menopouse ditandai dengan jam maka tingkat keletihan menurun dengan
Obervasi
tampak lesu, sering mengeluh
Kriteria hasil :
lelah. 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
1. Verbalisasi lelah menurun kelelahan
2. Lesu menurun 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
3. Tenaga meningkat 3. Monitor pola dan jam tidur
4. Verbalisasi kepulihan energi meningkat 4. Monitor lokasi dan kenyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik

1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus


2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
Edukasi

1. Anjurkan tirah baring


2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
4. Anjurkan strategi koping untuk mengurangi keleleahan
Kolaborasi

1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan


makanan
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 SIKI : Dukungan Tidur
Gangguan pola tidur dibuktikan
jam maka pola tidur membaik dengan
dengan kecemasan ditandai Obervasi
dengan mengeluh tidak puas Kriteria hasil :
1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
tidur, mengeluh istirahat tidak
1. Keluhan tidak pulas tidur menurun 2. Identifikasi faktor penganggu tidur
cukup
2. Keluhan pola tidur berubah menurun 3. Identifikasi makanan atau minuman yang menganggu tidur
Keluhan istirahat tidak cukup menurun 4. Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik

1. Modifikasi lingkungan
2. Fasilitasi penghilang stres sebelum tidur siang
3. Tetapkan jadwal tidur rutin
4. Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
5. Sesuaikan jadwal pemberian obat dan atau tindakan untuk
menunjang siklus tidur terjaga
Edukasi

1. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit


2. Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
3. Anjurkan menghindari makanan dan minuman yang
menganggu wkatu tidur
4. Ajarkan faktor – faktor yang berkontribusi terhadap gangguan
pola tidur
Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara nonfarmalogi lainnya.
CATATAN PERKEMBANGAN

Paraf Perawat
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi

Jum’at/ -6-2021  Mengidentifikasi kemungkinan penyebab  pasien kooperatif dalam menjawab pertanyaan perawat
hiperglikemia  hasil GDA : 240 mg/dl
 Melakuakan pemeriksaan kadar glukosa darah
 Mengidentifikasi tanda gejala hiperglikemia  pasien merasa haus dan lemas
 Melakukan penilaian intake dan output cairan
 Melakukan tindakan pemeriksaan keton urin,  pasien mengatakan sering BAK 7x dalam sehari
kadar analisa gas darah, elektrolit, Tekanan darah
ortostatik dan frekuensi nadi  GDA : 240 mg/dl, Nadi : 87x/menit
.

Sabtu / -6-2021 1. mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh yang  pasien tampak lemas
mengakibatkan kelelahan  R/ pasien mengatakan tidak tahu penyebab
2. memonitor penyebab kelelahan fisik dan emosional  R/ pasien tidak pernah tidur siang, hanya tidur malam 5 jam
3. memonitor pola dan jam tidur namun sering terbangun
 R/ pasien merasa selalu kelelahan dan kesemutan
4. Menitor lokasi dan kenyamanan selama melakukan
aktivitas  R/ pasien menginginkan tidur udara sejuk dan tenang
Terapeutik

1. menyediakan lingkungan yang nyaman dan rendah


 R/ pasien kooperatif
stimulus
2. melakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
3. Memberikan aktivitas distraksi yang menenangkan  R/ pasien mengatakan nyaman

Edukasi
1. menganjurkan tirah baring
2. Menganjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

Anda mungkin juga menyukai