BALITA
BALITA
Disusun Oleh :
Status gizi anak balita di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan. Keadaan
ini merupakan ancaman bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia,
karena kurang energi protein(KEP) erat kaitannya dengan gagal tumbuh kembang anak
balita termasuk rendahnya tingkat kecerdasan. Secara teoritis bahwa status gizi adalah
keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang telah ditentukan oleh
derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan
makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri.
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB). Berat badan anak ditimbang dengan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg,
panjang badan diukur dengan length-board dengan presisi 0,1 cm, dan tinggi badan
diukur dengan menggunakan microtoise dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB anak ini
disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB).
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan
setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan
menggunakan baku antropometri balita WHO 2005.
Secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9 persen yang
terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Jika dibandingkan dengan
angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 persen) sudah terlihat ada penurunan.
Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007
menjadi 4,9 persen pada tahun 2010 atau turun sebesar 0,5 persen, sedangkan prevalensi gizi
kurang masih tetap sebesar 13,0 persen. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran
MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi berat kurang secara nasional harus
diturunkan minimal sebesar 2,4 persen dalam periode 2011 sampai 2015.
Prevalensi kependekan secara nasional tahun 2010 sebesar 35,6 persen yang
berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007 dimana prevalensi kependekan sebesar
36,8%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6 persen terdiri dari 18,5 persen sangat pendek
dan 17,1 persen pendek. Bila dibandingkan dengan prevalensi sangat pendek dan
pendek tahun 2007 terlihat ada sedikit penurunan pada prevalensi sangat pendek dari
18,8 persen tahun 2007 menjadi 18,5 persen tahun 2010 dan prevalensi pendek menurun
dari 18,0 persen tahun 2007 menjadi 17,1 persen tahun 2010.
Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2010 masih cukup tinggi yaitu 6,0
persen dan tidak banyak berbeda dengan keadaan tahun 2007 sebesar 6,2 persen. Demikian
pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 7,3 persen pada tahun 2010 yang tidak berbeda
banyak dengan keadaan tahun 2007 sebesar 7,4 persen. Secara keseluruhan prevalensi balita
dengan BB/TB Kurus sedikit menurun dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 13,3 persen
pada tahun 2010.
Pada tahun 2010, secara nasional prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 13,3
persen. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di Indonesia masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius. Sedangkan pada tahun yang sama prevalensi
kegemukan secara nasional di Indonesia adalah 14,0 persen. Terjadi peningkatan prevalensi
kegemukan yaitu dari 12,2 persen tahun 2007 menjadi 14,0 persen tahun 2010.
Dari 74,4 persen balita yang memiliki BB/TB normal diantaranya 25,3 persen balita
pendek (kronis) dan 49,1 persen balita normal. Hal ini mengisyaratkan bahwa 25,3
persen balita pendek-normal (kronis) memiliki berat badan yang proporsional dengan
tinggi badannya, sehingga kemungkinan sebagian dari balita ini memiliki berat badan
yang kurang menurut umurnya (berat kurang). Upaya pencegahan terhadap lahirnya
balita pendek merupakan salah satu upaya yang dapat memberikan kontribusi terhadap
penurunan prevalensi berat kurang (“underweight”).
Di lain pihak terdapat 13,2 persen balita kekurusan yang terdiri dari 2,1 persen balita
pendek dan 11,1 persen balita TB normal. Keadaan ini mengindikasikan bahwa sebagian
anak balita yang memiliki TB normal tapi kurus atau memiliki berat badan yang kurang
menurut umurnya. Dengan demikian penanganan masalah balita kurus dapat memberikan
kontribusi terhadap penurunan prevalensi berat kurang (“underweight”).
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya adalah status
sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak, dan
Berat Badan Lahir Rendah(BBLR). Sumber lain menyebutkan asupan makanan keluarga,
faktor infeksi, dan pendidikan ibu menjadi penyebab kasus gizi buruk.
Sudah sejak lama permasalah KEP pada Balita diakui sebagai masalah yang sangat
komplek, baik ditinjau dari aspek penyediaan pangan maupun aspek pendapatan/penghasilan
keluarga dan aspek – aspek lainnya. Banyak bukti – bukti tentang kompleknya masalah
tersebut, walaupun secara nasional Indonesia telah berhasil menyediakan pangan melebihi
kebutuhan energi dan protein rata – rata per hari, yang disertai dengan peningkatan
pendapatan per kapita, namun di tingkat masyarakat masih balita yang menderita KEP. Oleh
karena itu dalam rangka peningkatan keberhasilan penanggulangan KEP perlu dilakukan
upaya yang menyeluruh dengan meningkatkan berbagai program dan sektor terkait, serta
dukungan peran aktif masyarakat.
Di Indonesia banyak terjadi kasus KEK (Kekurangan Energi Kronis) terutama yang
kemungkinan disebabkan karena adanya ketidak seimbangan asupan gizi (energi dan
protein), sehingga zat gizi yang dibutuhkan tubuh tidak tercukupi.
Menurut DepKes RI (2002) dalam Program Perbaikan Gizi Makro menyatakan bahwa
Kurang Enegi Kronis merupakan keadaan dimana ibu penderita kekurangan makanan yanag
berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkat timbulnya gangguan kesehatan pada ibu.
KEK dapat terjadi pada Wanita Usia Subur (WUS) dan pada ibu hamil (Bumil).
Istilah KEK (Kurang Energi Kronis) merupakan istilah lain dari Kurang Energi
Protein (KEP) yang diperuntukan untuk wanita yang kurus dan lemak akibat kurang energi
yang kronis. Seseorang dinyatakan menderita risiko KEK bilamana LILA< 25 cm.
Empat masalah gizi utama di Indonesia yaitu Kekurangan Energi Protein (KEP),
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kekurangan Vitamin A (KVA), dan
Anemia Gizi Besi (AGB). Di Indonesia banyak terjadi kasus KEK (Kekurangan Energi
Kronis) terutama yang kemungkinan disebabkan karena adanya ketidak seimbangan asupan
gizi (energi dan protein), sehingga zat gizi yang dibutuhkan tubuh tidak tercukupi.
Prevalensi risiko KEK pada WUS di Indonesia sebesar 19,1%. Terdapat kerahaman
prevalensi risiko KEK menurut Provinsi, diantaranya yang termasuk kategori berat
ditemukan di Nusa Tenggara Timur (40,8%), kategori sedang di lima provinsi yaitu Nusa
Tenggara Barat (26,7%), Papua (25,7%), Bangja Belitung (22,4%), Jawa Tengah (22,2%),
Jawa Timur (21,9%). Prevalensi risiko KEK pada WUS di Kawasan Timur Indonesia adalah
tertinggi di bandingkan Sumatera dan Jawa Bali. Berdasarkan daerah desa dan kota
menunjukkan prevalensi risiko KEK pada WUS di pedesaan (21,1%) lebih tinggi daripada di
perkotaan (17,3%). Dari kategori status ekonomi menggunakan garis kemiskinan diketahui
prevalensi risiko KEK (23,1%) pada WUS yang miskin dan (17,3%) pada WUS yang tidak
miskin. Menurut pengelompokan umur < 25 tahun lebih tinggi risiko KEK dibandingkan
kelompok umur > 25 tahun.
Tiga faktor utama indeks kualitas hidup yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Faktor – faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat yang dapat di
gambarkan terutama pada status gizi anak balita dan wanita hamil. Kualitas bayi yang
dilahirkan sangat di pengaruhi oleh keadaan ibu sebelum dan selama hamil. Wanita Usia
Subur (WUS) adalah calon ibu yang penting untuk diketahui status gizinya. Oleh karena itu,
disarankan (1) untuk prioritas intervensi perlu dipertimbangkan provinsi yang mempunyai
risiko KEK tinggi, segmen populasi WUS dengan kategori miskin, WUS pada kelompok
umur < 25 tahun dan WUS yang tinggal di daerah pedesaaan. (2) Perlu koordinasi lintas
program dan lintas sektor.(3) Program penanggulangan di provinsi dengan risiko KEK pada
WUS ‘sedang’ dilakukan secara preventif yaitu penyuluhan, provinsi dengan risiko KEK
pada WUS ‘berat’ perlu program yang bersifat kuratif (PMT atau fortifikasi) serta
penyuluhan. (4) Serta di daerah miskin perlu diberikan bantuan pangan dan pemberian modal
kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Heryudarini. (2002). Faktor – faktor yang Mempengaruhi Risiko Kurang Energi
Kronik (KEK) pada Wanita Usia Subur, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan http://grey.litbang.depkes.go.id/gdl.php?
mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-res-2002-heryudarini-838-kek (diakses
pada tanggal 4 maret 2014)
http://ejournal.litbang.depkes.go.id
http://repository.usu.ac.id
Zakaria, Veni Hadju, Aminuddin Syam. (2009). Faktor – faktor Determinan Kejadian
Kurang Energi Protein (KEP) pada Anak Umur 6-35 Bulan Di Kabupaten Pangkep.
The Indonesian Journal of Public Health.
http://jurnalmkmi.blogspot.com/2009/03/faktor-faktor-determinan-kejadian.html?
m=1 (diakses pada tanggal 4 maret 2014)