Anda di halaman 1dari 3

I.

PENDAHULUAN

Dendrrobium merupakan salah satu genus anggrek yang banyak diminati. Anggrek
Dendrobium termasuk jenis anggrek yang menempel pada pohon. Spesies ini banyak
tersebar di daerah yang tropis dan sub tropis dengan jumlah spesies sekitar 1.000-1500
(Hartati et al., 2016). Menurut Widiastoety et al. (2010) dalam Nurana et al. (2017),
menyatakan bahwa potensi Anggrek Dendrobium untuk terus dikembangkan sangatlah
tinggi karena beberapa kelebihan yang dimilikinya yaitu sering berbunga dan memiliki
bentuk, warna serta ukuran bunga yang beragam. Nurana et al. (2017), menambahkan
bahwa Anggrek Dendrobium biasanya digunakan sebagai tanaman lanskap, bunga potong
maupun bunga pot yang dapat dijumpai di hotel, perkantoran, perbankan, mall dan rumah
sakit. Anggrek Dendrobium terdiri dari Anggrek Dendrobium alam dan Anggrek
Dendrobium hibrida. Anggrek Dendrobium hibrida dihasilkan mellaui persilangan antar
anggrek Dendrobium alam.
Menurut Hartati et al. (2016), kultur in vitro merupakan usaha untuk meningkatkan
kuantitas hasil perbaikan genetik yaitu persilangan. Kultur in vitro mampu menghasilkan
bibit anggrek dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat. Biji anggrek tidak
memiliki endosperm fungsional, oleh karena itu perkecambahan benih memerlukan waktu
yang cukup panjang dan sensitif terhadap gangguan lingkungan yang dapat
menghancurkan populasi anggrek tersebut. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan adanya
perbanyakan in vitro, akan tetapi banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
perbanyakan tanaman secara in vitro. Faktor lingkungan dan faktor media kultur yang
berperan penting dalam keberhasilan tersebut.
Komposisi media telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dikulturkan. Komposisi suatu media merupakan kebutuhan
terhadap zat pengatur tumbuh khususnya kombinasi dan konsentrasi dari zat pengatur
tumbuh yang digunakan. Kombinasi media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat akan
meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis. Zat
pengatur tumbuh yang digunakan adalah dari golongan auksin dan sitokinin (Hartati et al.,
2016). Zat pengatur tumbuh NAA dan BAP dapat meningkatkan perkecambahan biji dan
menginduksi terbentuknya protokorm (Paramartha et al., 2012). Menurut Fitrianti (2006)
dalam Nurana et al. (2017), menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh dari golongan auksin
diantaranya Naphtalene Acetic Acid (NAA) yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan dan
perpanjangan akar. NAA mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA.
II. PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian Hartati et al. (2016), mendapatkan hasil bahwa NAA, BAP dan
interaksi antara keduanya tidak berpengaruh terhadap jumlah daun dan jumlah akar,
sedangkan pemberian NAA berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi planlet. Hasil
tersebut diduga bahwa dalam pembentukan daun, penambahan sitokinin eksogen akan
berinteraksi auksin endogen yang terkandung di dalam eksplan, jadi keseimbangan dan
interaksi antara zat perngatur tumbuh baik yang terkandung dalam eksplan itu sendiri
(endogen) ataupun yang diserap dari media (eksogen) dapat mengendalikan pertumbuhan
tanaman secara in vitro. Widiastoety dan Nurmalinda (2010) dalam Hartati et al. (2016),
menyatakan bahwa dalam jaringan daun yang mengalami tekanan osmotik terdapat
akumulasi asam absisat (ABA) di dalam jaringan tanaman yang dapat menghambat
pertumbuhan tanaman dan penghambat sintesis sitokinin yang meningkatkan hambatan
pertumbuhan.
Perlakuan kombinasi NAA dan BAP tidak memberikan respon terhadap jumlah akar
yang dihasilkan tanaman. Hasil tersebut disebabkan konsentrasi kedua ZPT kurang optimal
dalam merangsang pertumbuhan akar. Panjaitan (2005) dalam Hartati et al. (2016),
menyatakan bahwa NAA merupakan golongan auksin yang digunakan dalam pembesaran
dan diferensiasi akar sehingga dengan adanya peningkatan konsentrasi NAA dapat
meningkatkan pertumbuhan akar planlet tanaman anggrek. Menurut Ross (1993) dalam
Hartati et al. (2016), bahwa semakin tinggi konsentrasi NAA semakin tinggi jumlah akar
liar yang tumbuh karena auksin memacu perkembangan akar liar, akan tetapi pada
penelitian Hartati et al. (2016) mendapatkan hasil yang berbeda. Konsentrasi NAA 3
ppm/L menunjukkan penurunan jumlah akar. Hasil tersebut disebabkan karena konsentrasi
3 ppm yang ditambahkan ke dalam medium kultur jaringan terlalu tinggi. Pengaruh
konsentrasi NAA dan BAP terhadap panjang akar pada penelitian Hartati et al. (2016),
mendapatkan hasil bahwa berpengaruh nyata. Hasil penelitian menunjukkan semakin
tinggi konsentrasi NAA semakin panjang akar, tetapi semakin tinggi konsentrasi BAP
semakin pendek akar. Konsentrasi NAA 3 ppm/L menujukkan hasil panjang akar sebesar
5,76 cm, sedangkan BAP 0 ppm/L menunjukkan hasil panjang akar sebesar 2,95 cm.
kehadiran ZPT auksin yang relatif tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan akar planlet.
Penelitian Hartati et al. (2016), menujukkan hasil bahwa konsentrasi NAA dan BAP
berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi planlet. Konsentrasi NAA 3 ppm/L dan
BAP 3 ppm/L menunjukkan hasil pertambahan tinggi planlet masing-masing sebesar 4,96
dan 4,41. Hasil tersebut disebabkan karena nutrisi yang terdapat di dalam media kultur
diserap oleh akar sehingga digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan sitokinin
endogen meningkat karena akar dapat mensisntesis sitokinin yang akan mempengaruhi
pertambahan tinggi planlet. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian
sebelumnya yaitu Panjaitan (2005), menunjukkan bahwa konsentrasi auksin tinggi dapat
menyebabkan pertambahan tinggi planlet yang tidak sebanding atau semakin kecil,
sedangkan konsentrasi sitokinin yang meningkat dapat menyebabkan pertambahn tinggi
planlet yang sebanding atau semakin tinggi.

Hartati, S. Budiyono, A. & Cahyono, O., 2016. Pengaruh NAA dan BAP terhadap
Pertumbuhan Subkultur Anggrek Hasil Persilangan Dendrobium biggibum X
Dendrobium liniale. Journal Of Sustainable Agriculture, 31(1), Pp. 33-37.
Nurana, A. R., Wijana, G. & Dwiyani, R., 2017. Pengaruh 2-iP dan NAA terhadap
Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium Hibrida pada Tahap Subkultur.
Agrotrop, 7 (2), pp. 139 – 146.

Anda mungkin juga menyukai