Anda di halaman 1dari 15

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH : PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

DOSEN MATA KULIAH : STEVEN MANDEY, S.Pd, M.hum


PENYUSUN
NAMA : JUNIVER M. PESAK
NIM : 19105139
KELAS : 4B
TEORI PERKEMBANGAN ANAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA

Belajar merupakan suatu proses yang aktif. Para orang tua dan guru dapat
melihat betapa aktifnya anak-anak ketika terlibat dalam situasi pembelajaran yang
sesuai dengan minat mereka. Misalnya, mereka dapat begitu terlibat aktif dalam
sebuah dongeng yang dibacakan oleh guru di kelas. Hal ini dikarenakan, ketika
anak-anak termotivasi, dengan keceriaannya mereka akan dengan gembira
mencoba hal-hal baru.

Tak jarang mereka bereksperimen dengan ide dan pemikirannya serta


memperbincangkannya dengan guru atau orang tuanya. Anak-anak belajar melalui
eksplorasi dan kegiatan bermain, serta melalui kesempatan komunikasi dengan
orang dewasa di sekitamya (Pinter, 2006). Kegiatan eksplorasi selain dapat
mengacu pada makna konkret (rnisalnya, bermain pasir dan air, atau menyusun
permainan lego) namun dapat pula bermakna abstrak; berupa percakapan yang
terjadi antara anak dan orang dewasa. Jika kedua jenis eksplorasi tersebut dapat
terjadi secara simultan, maka akan tercipta suatu jembatan saling pengertian
antara anak-anak dan orang dewasa, yang akan sangat bermakna bagi
perkembangan anak-anak tersebut.

Pendidikan anak haruslah diarahkan untuk pengembangan keseluruhan


potensi yang dimiliki anak, yang meliputi pengembangan kognitif, sosial, maupun
moral anak. Menurut Skilbeck (dalam Nurhasanah, 2007) ada tiga hal utama yang
harus diperhitungkan dalam pembelajaran progresif, yaitu: kebutuhan
perkembangan anak (children developmental needs), Talenta bawaan yang
dimiliki masing-masing anak (children unfolding Nature); dan minat anak
(children interests).

Pada kegiatan belajar 1 ini Anda akan menelaah teori-teori perkembangan anak
beserta implikasinya terhadap pengajaran bahasa, terutama bahasa Inggris.

A. Teori Belajar Konstruktivisme


1. Anak Sebagai Pembelajar Aktif (The Child as Active Learner)

Jean Piaget (1896-1980) adalah salah seorang psikolog Swiss ternama


yang merupakan pelopor teori belajar konstruktivisme. Menurutnya yang
dimaksud dengan konstruktuvisme adalah belajar aktif, dimana anak-anak
memperoleh pengetahuannya melalui pengalamannya sendiri untuk memandang
lingkungannya dengan cara pandangnya sendiri. Prinsip dasar teori ini dapat kita
ilustrasikan dengan pengetahuan anak tentang rasa.

2. Perkembangan Kognitif Menurut Piaget (Piaget's Stages of Cognitive


Development)

Piaget berkesimpulan bahwa setiap anak akan mengalami perkembangan


kognitif yang sama berdasarkan tingkatan usianya, yaitu:

(1) Sensori- motor stage (0 bulan-2 tahun); pada tahap ini anak
berinteraksi dengan lingkungan melalui kelima inderanya sccara sederhana.

(2) Pre-operational stage (2 tahun-7 tahun); pada awal tahap ini anak mulai
memasuki usia pra-sekolah, mulai menggunakan bahasa untuk mengekspresikan
pemikiran dan perasaannya, tahap ini identik dengan sikap egosentris, dimana
anak belum mempunyai pemikiran yang logis, cenderung melihat segala hal dari
sudut pandangnya sendiri dan enggan menerima pendapat orang lain;

(3) Concrete operational stage (7 tahun-11 tahun); tahapan ini suatu titik
balik dimana anak mulai dapat berpikir secara logis dengan pemikiran yang
sistematis; dan

(4) Formal opera- tional stage (dari usia 11 tahun ke atas); pada tahap ini
anak mulai dapat berpikir abstrak, mereka mulai dapat membicarakan hal-hal
formal, misalnya tentang etika dan sopan santun Teori Perkembangan Kognitif
Piaget menyatakan jika seorang anak belum mengetahui tentang sesuatu, hal ini
karena belum tiba waktunya dan usianya yang memang belum mencukupi untuk
tahu hal itu. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget tersebut, maka
anak usia dini dan dasar dapat dikelompokkan ke dalam pre-operational dan
concrete operational stage of cognitive develop- ment. Sedangkan Pinter (2006)
menyebut kedua kelompok tersebut sebagai Younger Learners dan Older leamers.

3. Implikasi Teori Piaget Terhadap Pembelajaran Bahasa (Implications of


Piagetian Theory for language Learning)

Apa yang bisa kita ambil dari teori Piaget adalah bahwa anak adalah active
learner and thinker, pembelajar dan pemikir yang aktif. Mereka membangun
pemahamannya melalui interaksi mereka dengan ide-ide dan objek-objek di
sekitar mereka. Anak-anak mencari tahu maksud dan tujuan mengapa dan untuk
apa orang-orang melakukan sesuatu. Dengan demikian kita dapat melihat betapa
dunia ini memberikan kesempatan besar bagi perkembangan anak-anak untuk
belajar, terutama schagai pembelajar bahasa Mereka menjadikan dunia dan
lingkungan sekitar sebagai laboratorium dan kelas belaju Namun, melalui teori
Piaget pula kita diingatkan kembali bahwa anak sebagai active sense-makers
manih vcrbatas pengalamannya. Maka orang tua dan guru harus memaklumi bila
unak-anak mereh melakukan kesalahan dalam berpikir dan menarik kesimpulan,
sesuai dengan perkembangan kepada pada tingkatan usianya. Kesemuanya itu
merupakan salah satu kunci menuju pemahaman tentang hungamana anak-anak
akan merespon seluruh kegiatan pembelajaran bahasa di kelas.

B. Teori Belajar Konstruktivisme Sosial

1. Anak Sebagai Makhluk Sosiali Peranan Interaksi Sosial Dalam


Pembelajaran (The Child as Social: The Role of Interaction in the Process of
Learning)

Teori Perkembangan kognitif yang diutarakan oleh Piaget banyak


mengundang kritik ahli perkembangan anak. Mereka tidak setuju dengan
pemyataan Piaget yang menyatakan bahwa para setiap anak akan melalui tahap
tahap perkembangan kognitif yang sama persis satu sama lain. Para Kritisi ini
menilai Piaget telah menafikan kemampuan kognitif anak yang berusia lebih
muda. Mereka yakin, anak-anak telah mempunyai tingkatan kognitif yang
sophisticated pada tingkat usia yang sangat muda
Perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget, pada kenyataannya
berbeda dari setiap individu yang satu dengan yang lainnya. Banyak faktor yang
menyebabkan perbedaan tersebut, diantaranya: (1) Nature; yaitu pola bawaan
yang terwariskan dari orang tuanya (2) Nurture, yaitu pola pengasuhan,
pembiasaan, maupun pembudayaan pada masing-masing keluarga yang berbeda,
serta (3) Nutrition, yaitu pola pemberian gizi yang sehat dan seimbang yang akan
mempengaruhi kesehatan lahir dan bathin setiap individu. Perkembangan anak
sepenuhnya 'dikawal' oleh nilai, tujuan, dan harapan budaya (cultural expectation)
yang berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu,
perkembangan kemampuan tiap anak tidak bisa dipisahkan dari konteks budaya
yang berbeda di setiap lingkungan sosial. Pandangan tentang pentingnya peranan
sosial bagi perkembangan kemampuan anak telah melahirkan teori belajar
Konstruktivisme Sosial yang tercetus dari seorang psikolog berkebangsaan Rusia,
Lev Vygotsky (1896-1934).

Orang dewasa yang 'sensitive' akan dapat merasakan kesiapan seorang


anak untuk mendapatkan tantangan baru, serta dapat menyusun kegiatan yang
tepat untuk mengembangkan kemampuan anak tersebut. Orang dewasa sebagai
mentor dan guru akan membimbing anak memasuki apa yang Vygotsky sebut
dengan Zone of Proximal Development (ZPD), ZPD adalah suatu istilah tentang
serangkaian keterampilan yang tidak dapat dilakukan anak tanpa adanya bantuan,
namun dapat dikuasai anak dengan hadirnya pendampingan dari orang dewasa.
Konsep ini mendeskripsikan perbedaan jarak yang di sebut'zona'-antara
pengetahuan awal seorang anak dengan potensi pengetahuan selanjutnya yang
dapat dicapai dengan bantuan orang dewasa yang 'knowledgeable' Vygotsky
berargumen bahwa ZPD adalah area yang subur untuk proses pembelajaran,
karena disana proses belajar selalu dimulai dengan mengaitkan apa yang telah
anak pahami sebelumnya, atau yang selalu kita sebut dengan apersepsi.

2. Implikasi Teori Vygotsky Terhadap Pembelajaran Bahasa Implications


of Vygotskyan Theory for Language Learning)
Peranan bahasa dalam interaksi anak dengan orang tua dan guru sangatlah
penting karena bahasa berfungsi sebagai kendaraan menuju terciptanya
pemahaman. Bahasa berperan penting dalam proses belajar itu sendiri. Melalui
bahasa, anak menyampaikan pesan dalam proses belajar, bertanya akan hal yang
belum dipahami, dan menyampaikan ide-ide mereka. Menurut Vygotsky, seinua
proses belajar terjadi dalam bentuk interaksi sosial. Proses belajar berlangsung
dalam bentuk percakapan scbagai ungkapan bahwa kita paham akan apa yang
diucapkan orang lain.

Pentingnya bahasa dalam proses belajar telah membawa implikasi pada


teacher talk’-pilihan kata yang digunakan guru di kelas, terutama dalam konteks
pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua. Seorang guru bahasa Inggris untuk
anak usia (English for Young Learners-selanjutnya disebut EYL.), haruslah
sepenuhnya sadar bahwa bahasa yang digunakan didalam kelas adalah sumber
utama bagi language input' siswa-siswanya. Anak-anak juga perlu untuk
berinteraksi dengan guru dan orang lain. Berdasarkan teori Vygotsky, guru akan
mulai berpikir, setidaknya akan tiga hal, yaitu: (1) bagaimana caranya
memberikan scaffolding selama pembelajaran EYL sehingga dengan bimbingan
guru anak dapat memproduksi bahasa Inggris dengan benar, (2) teknik bertanya
seperti apa yang akan digunakanguru agar anak dapat merespon (elicit) dengan
menggunakan bahasa Inggris yang tepat, dan (3) hagaimana guru dapat
memberikan motivasi bagi anak-anak untuk saling bercakap-cakap satu sama lain
dengan menggunakan bahasa Inggris.

C. Pandangan Gardner Tentang Kecerdasan Majemuk (Gardner's


Framework for Multiple Intelligences)

1. Anak-anak adalah Pembelajar yang Unik (Childrren are All Unique


Learners)

Selain pentingnya tingkatan kognitif dan interaksi sosial pada


perkembangan anak, pelibatan ke lima panca indera anak sangat menentukan
keberhasilan proses belajar anak (Nurhasanah, 2007). Semakin banyak indera
yang dilibatkan dalam pengajaran, semakin efektif pembelajaran yang diperoleh,
seperti yang digambarkan sebagai berikut: 'I listen I forget, I look I remember, I
do I understand.

Selanjutnya, dengan adanya pandangan baru tentang perkembangan


intelektual, yang kita kenal dengan Multiple Intelligences, seperti yang
dikemukakan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 melalui bukunya yang
berjudul Frames of Mind: Theory of Multiple Intelligences (Encarta Refer- ence
Library DVD, 2005). Gardner berpendapat bahwa tingkat intclektual tidak
mempunyai ukuran yang scragam di dalam tiap-tiap individu. Bentuk kecerdasan
termanifestasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Multiple
Intelegences yang dikemukakan olch Gardner tersebut adalah sebagai berikut: (1)
linguistic, (2) logico-mathematical, (3) musical, (4) spatial, (5) bodily/ kinesthetic,
(6) inter-personal, (7) intra-personal, dan (8) natural (Pinter, 2006). Guru yang
paham akan adanya kecerdasan majemuk ini, akan selalu meyakinkan dirinya
bahwa ia telah dapat memberikan pengajaran yang bermakna bagi para
pembelajarnya yang mempunyai karakteristik kecerdasan yang berbeda.

2. Implikasi Teori Kecerdasan Majemuk Terhadap Pembelajaran Bahasa


(Implications of Multiple Intelligences Theory for Language Learning)

Pandangan tentang ‘kecerdasan mejemuk' sebenarnya mengacu pada


adanya 'learning styles'- gaya belajar yang berbeda pada masing-masing individu.
Sebagian anak ada yang lebih suka mendengarkan untuk mendapatkan informasi
baru, sedangkan sebagian lainnya perlu diberikan stimulus secara visual. Disisi
lain, anak yang bertipe kinesthetic lebih suka 'menyentuh', 'merasakan', serta
menggerakkan badannya untuk membantunya memahami pembelajaran.

3. Gardner's Multiple Intelligences (Wardhana, 2007 dan Pinter, 2006)

Linguistic: Atau disebut juga word smart, yaitu kemampuan menggunakan


kata-kata secara efektif, serta kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi
dengan kata-kata. Dalam kehidupan sehari hari, kecerdasan ini dapat tercermin
dari berbicara, mendengarkan, membaca apapun mulai dari rambu lalu lintas
sampai novel klasik, atau manulis apapun, mulai dari SMS, sampai berlembar-
lembar laporan kegiatan selama liburan.

Logico-mathematical: Disebut juga number smart, yaitu kemampuan


untuk menalar dan berhitung. Dalam keseharian, kecerdasan ini tampak mulai dari
menghitung kembalian belanja, sampai mengcock saldo dan memahami berita
ilmiah di media.

Musical: Disebut juga music smart, yaitu kemampuan menyanyikan lagu,


mengingat melodi musik, kepekaan akan irama, atau sekedar menikmati musik.
Dalam kescharian kecerdasan ini tampak mulai dari menikmati musik sampai
bernyanyi dan memainkan sendiri alat musik.

Spatial: Disebut juga picture smart, yaitu kemampuan untuk


memvisualisasikan gambar dalam bentuk 3 dimensi. Dalam keseharian,
kecerdasan ini tampak segala hal, mulai dari menghias rumah, merancang kebun
sampai membaca laporan keuangan kantor dan menikmati karya seni di museum.

Bodily Kinesthetic: Discbut juga body smart, yaitu kecerdasan seluruh


tubuh dan tangan. Di kehidupan sehari-hari, kecerdasan ini kita gunakan dalam
segala hal, mulai dari membuka tutup stoples, memperbaiki mesin mobil, sampai
ikut berbagai lomba pada peringatan 17 Agustus-an.

Interpersonal: Disebut juga people smart, yaitu kemampuan untuk


berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam keberhasilan hidup,
mungkin lebih penting dari kemampuan membaca buku dan memecahkan soal
matematika. Dalam kescharian, kecerdasan ini dapat terlihat dari kemampuan
untuk berkenalan dengan tetangga baru, berempati dan "menilai" orang lain.

Intrapersonal: Disebut juga self smart, yaitu kemampuan memahami diri


dan mengetahui siapa diri sendiri sebenarnya. Bisa jadi ini kecerdasan terpenting
daro semuanya. Dalam kescharian, kecerdasan ini tampak mclalui kemampuan
untuk mengatasi stress dan memotivasi diri.
Naturalist: Dischut juga nature smart, yaitu kemampuan mengenali alam
sekitar. Dalam keschurian, kecerdasan ini tampak mulai dari kegiatan berkebun,
kemping, sampai melestarikan lingkungan.

PEMEROLEHAN BAHASA BESERTA IMPLIKASINYA


TERHADAP PENGAJARAN BAHASA

Bahasa adalah produk yang paling kompleks yang ada pada pikiran
manusia namun anak yang masih sangat kecil-sebelum usia linia tahun-telah
mengetahui sistem yang rumit itu. Jauh sebelum mereka dapat menjumlah 2+2,
anak-anak telah merangkai kalimat, mengajukan pertanyaan, memilih kata yang
tepat, menegasikan pernyataan, membentuk klausa dan menggunakan aturan-
aturan tata bahasa seperti semantik, fonologi, dan morfologi.

Penelitian tentang karakteristik bahasa manusia telah mengangkat


pentingnya kajian tentang pemerolehan bahasa (language acquisition).
Pemerolehan bahasa merupakan salah satu kajian utama ilmu psikolinguistik,
yaitu merupakan gabungan dua ilmu; psikologi dan linguistik. Menurut Kiparsky
(dalam Tarigan, 1985, dalam Yudibrata dkk, 1997), pemerolehan bahasa adalah
“suatu proses yang digunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian
hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih
terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan
orang tuanya sampai dirinya dapat memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran
penilaian tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa tersebut".

A. Sejarah Kajian Pemerolehan Bahasa

Seorang bayi 'mengumumkan' kehadirannya di muka bumi ini dengan


tangisan keras. Itulah bahasa pertamanya untuk memulai petualangan
kehidupannya. Namun pada tahun-tahun pertama kehidupannya, kemampuannya
untuk berbahasa berkembang dengan pesat. InilaK ‘keajaiban' bahasa, adanya
suatu kebolehan untuk menyusun suara-suara ke dalam makna yang tak terbatas.
Pada tahapan berikutnya, ia dapat menggunakan bahasa untuk bercerita,
mentransfer pengetahuannya, dan membentuk ikatan sosial dengan
lingkungannya. Hal itulah yang telah mendapat perhatian yang cukup serius dari
para pakar, khususnya dari mereka yang menggeluti ilmu psikologi serta
linguistik. Belum pernah ada ilmuwan yang mengisolasi seorang bayi dalam
sebuah laboratorium untuk diteliti perkembangan bahasanya (Yang, 2006).
Namun, menurut catatan sejarah yang dilaporkan oleh Herodotus (485-425 SM),
seorang sejarawan Yunani, dalam bukunya yang berjudul History.

Seorang raja Mesir kuno yang bernama Psametichus, yang memerintah


pada abad ke-7 sebelum masehi, pemah melakukan pengkajian mengenai masalah
ini (Yang, 2006 dan Yudibrata, dkk, 1997). Hal yang memicu Psametichus untuk
melakukan penelitian mengenai pemerolehan bahasa anak- anak ini bermula dari
anggapannya bahwa bangsa Mesir kuno merupakan asal usul manusia. Tentu saja
bangsa-bangsa lain tidak sepakat dengan klaimnya tersebut.

Waktu demi waktu berlalu, ketika kedua bayi tersebut berusia sekitar dua
tahun sang penggembala melaporkan pada sang raja bahwa salah seorang
ciantaranya mengeluarkan kata "becos". Raja merasa kecewa dan galau karena
ternyata kata tersebut tidak terdapat dalam khazanah kosa kata bahasa Mesir kuno.
Karena penasaran, sang raja akhirnya meminta kepada para anggota cendikiawan
kerajaannya untuk melakukan penyelidikan apa gerangan arti kata "becos", dan
terdapat dalam bahasa apakah kata tersebut. Setelah dilakukan penyelidikan,
ternyata arti kata "becos" adalah “roti” dan berasal dari bahasa Phyrgia, sebuah
bahasa yang sudah punah, namun kata itu masih ada dalam bahasa Turki (Yang,
2006). Setelah kejadian tersebut, Psametichus berkesimpulan bahwa bahasa
Phyrgia adalah bahasa yang paling kuno dan bangsa Phyrgia merupakan asal-
usulnya manusia. Sudah barang tentu kesimpulan raja tersebut tidak akan lolos
seleksi review pada jurnal ilmiah. Sang raja gagal untuk membuktikan kebenaran
premisnya. Ia berasumsi bahwa bahasa dimiliki manusia tanpa melalui proses
pengalaman dan pembelajaran.

B. Tiga Mahzab Teori Pemerolehan Bahasa


Hingga saat ini teori-teori yang melandasi kajian pemerolehan bahasa atau
language acquisition sedikitnya diwarnai oleh “pertikaian” tiga mahzab. Ketiga
mahzab tersebut ialah mahzab behavioristik, mahzab nativisme, dan mahzab
kognitivisme. Selanjutnya akan diuraikan mengenai pemikiran-pemikiran yang
dijadikan landasan pijak oleh ketiga mahzab tersebut.

1. Mahzab Behaviorisme

Behaviorime pada dasarnya adalah sebuah aliran dalam bidang ilmu


psikologi yang mensupport dilakukannya prosedur eksperimen yang ketat untuk
meneliti suatu tingkah laku (behaviour) yang nampak dari diri seseorang, atau
yang disebut respon, dan hubungannya dengan lingkungan sekitar, yang disebut
stimulus. Pencetus teori stimulus-respon ini adalah seorang psikolog Amerika,
John B. Watson.

2. Mahzab Nativisme

Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau disebut juga


kaum mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak
boleh disamakan dengan proses pengenalan pada hewan. Mereka tidak
memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Mahzab ini mempunyai
pandangan bahwa bahasa adalah sesuatu yang telah ada secara genetika pada diri
manusia, sehingga anak-anak yang terlahir ke dunia telah dibekali dengan
language faculty kemampuan untuk berbahasa (Field, 2004 dan Yudibrata, dkk,
1997). Dengan kata lain, aliran ini menganggap bahwa bahasa merupakan
pemberian biclogis. Menurut mereka bahasa terlalu kompleksdan mustahil dapat
dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan
Pernyataan kaum behavioristik bahwa pemerolehan bahasa terjadi karena adanya
stimulus respons reinforcement mendapat kritik dari Noam Chomsky pada tahun
1959 lewat tulisannya Review of B.F. Skinner's Verbal Behavior. Menurut
Chomsky, yang merupakan tokoh utama mahzab ini, hanya manusialah satu-
satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal.
Selanjutnya Chomsky mengemukakan beberapa argumen tentang
ketidaksetujuannya terhadap pandangan kaum behavioristik (Field, 2004), antara
lain:

a. Timescale-rentang waktu. Hanya dalam jangka waktu sampai usia lima


tahun, anak dapat mempunyai perbendaharaan kata mencapai 5000 kata, sesuatu
hal yang mustahil jika didapat hanya dari proses peniruan dari orang dewasa.

b. Tidak adanya korelasi langsung antara kecerdasan dengan pemerolehan


bahasa. Semua anak dapat menguasai dan mendapatkan perolehan bahasa
pertamanya walaupun tingkatan kecerdasannya berbeda-beda secara kognitif.

c. Input-kurangnya unsur stimulus. Jika anak mendapatkan bahasa semata-


mata dari hasil peniruan terhadap orang dewasa, dan jika teori stimulus-respons
memang benar-benar berlaku dalam pemerolehan bahasa, maka mustahil anak
akan melakukan kesalahan dalam memproduksi bahasa/ ujaran menurut kaidah
tata bahasa (grammar). Kesalahan tata bahasa yang terjadi pada ujaran anak
terjadi karena anak telah dianugerahi" alat mekanis pemerolehan bahasa, atau apa
yang Chomsky sebut dengan Language Acquisition Device (LAD).

3. Mahzab Kognitivisme

Mahzab kognitivisme mencoba untuk mengusulkan sebuah pendekatan


baru dalam kajian pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut dinamakan
pendekatan kognitif (cognitive approach). Jika pendekatan kaum behavioristik
bersifat empiris, maka pendekatan yang dianut oleh kaum kognitivistik lebih
bersifat rasionalis.

C. Proses dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa pada Anak

Walaupun banyak mahzab dalam teori pembelajaran bahasa, namun para


pakar psikolinguistik sepakat bahwa proses dan sifat pemerolehan bahasa berjalan
dinamis serta berlangsung lewat sebuah pentahapan secara berjenjang (Yudibrata,
dkk, 1997). Dalam pemerolehan bahasa, terjadi proses yang saling berkaitan
antara perkembangan kognitif dan sosial anak. Oleh karena itu, pemerolehan
bahasa sering juga disebut sebagai “jembatan" antara “masa bayi” dengan “masa
kanak-kanak" (Craig dan Kermis, 1995). Selain itu, mereka juga sepakat bahwa
pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sekitar, atau
dengan kata lain, perjalanan pemerolehan bahasa seorang anak akan sangat
bergantung pada lingkungan bahasa anak tersebut. Pada bagian ini Anda akan
menclaah tahapan lahapan perkembangan bahasa anak yang akan dibagi menjadi
tiga tahap, yakni tahap prabucan, lahap berbicara yang terdiri dari tahap kalimat
satu-kata, dan tahap kalimat dua-kata.

1. Tahap Prabicara

-Tangisan ( crying )

-Ocehan (Cooing) dan Celoteh ( babling)

-Isyarat ( Gesture ) dan Ungkapan Emosional ( Emosional Expression)

2. Perkembangan Bahasa Pada Masa Kanak-kanak Awal

Saat anak memasuki usia dua tahun, bentuk prabicara berupa ocehan dan
celoteh yang sangat berguna sebelumnya, mulai ditinggalkan. Isyarat mungkin
masih digunakan, namun hanya sebagai pelengkap ujaran. Pada masa ini, motivasi
untuk belajar berbicara sangatlah kuat (Hurlock, 1980). Setidaknya ada dua alasan
yang mendasarinya. Pertama, belajar berbicara adalah alat yang sangat penting
untuk bersosialisasi .

a. Tahap Kalimat Satu-Kata (One-Word Sentences)

Kebanyakan anak mengucapkan kata pertamanya pada awal memasuki


usia dua tahun. Di seluruh dunia dengan berbagai bahasa yang berbeda, ujaran
pertama setiap anak adalah merupakan “kalimat satu kata”, biasanya berupa kata
benda- nama orang, benda, atau binatang di sekitarnya. Pada dasarnya kata
pertama anak berfungsi sosial, yaitu untuk mempengaruhi dan menarik perhatian
orang lain, atau mengindikasikan bahwa ia tidak ingin melakukan apa yang
diperintahkan oleh ibunya (Craig dan Kermis, 1995).

b. Tahap Kalimat Dua-Kata (Two-Word Sentences)


Di akhir tahun ke duanya, kebanyakan anak mulai mengkombinasikan
penggunaan dua kata. Misalnya anak-anak pada tingkatan ini mulai memproduksi
ujaran: "mama lihat”, "roti jatuh", "susu lagi", atau "see car", "see truck”. Pada
tahap kalimat dua-kata ini, pengaplikasian kaidah tata bahasa pada anak mulai
muncul.

D. Implikasi Teori Pemerolehan Bahasa Pada Pengajaran Bahasa

Banyak faktor yang menunjang tercapainya keberhasilan program


pengajaran EYL di Indonesia. Salah satunya adalah adanya kemampuan guru
pengajar EYL untuk lebih memahami hakekat perkembangan anak, baik dari segi
linguistik, maupun dari segi psikologi. Melalui paparan tentang tiga mahzab teori
pemerolehan bahasa, para guru dituntut untuk memahami proses yang terjadi pada
diri siswanya di dalam kelas sebagai pembelajar EYL. Mahzab behavioristik
membukakan kesempatan yang seluas-luasnya pada para guru untuk membuat
siswa menguasai bahasa yang diajarkan, karena menurut aliran ini, penguasaan
bahasa terjadi melalui latihan-latihan dan pembiasaan yang dilakukan anak
bersama orang dewasa yang mendampinginya. Namun, kita tidak bisa
mengesampingkan komponen lain, bahwa pembelajaran bahasa akan terpengaruh
oleh faktor biologis. Misalnya adanya kelainan pada organ tubuh yang
memproduksi bahasa, maka anak tidak akan dapat menunjukkan bahwa ia
kompeten dalam berbahasa. Faktor kognitif dan sosial pun tidak bisa kita
kesampingkan,
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Charlotte A. dkk. 2001. English Teaching Method For Elementary


School . Upi Press

Anda mungkin juga menyukai