Anda di halaman 1dari 10

PERAN IMUNITAS SELULER TERHADAP PARASIT MALARIA DAN

RESPONS IMUNITAS SELULER DALAM KLINIK

Jihan Nadhira Salsabila

Program Studi Sarjana Terapan Analis Kesehatan

Poltekkes Kemenkes Pontianak

Abstrak

Imunitas seluler didefinisikan sebagai suatu respons imun terhadap antigen yang
diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan atau komponen sistem imun
lainnya. Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi
untuk mengatasi infeksi mikroba intraseluler.

Infeksi malaria memiliki fenotipe klinis yang sangat bervariasi, mulai dari penyakit
demam ringan sampai yang parah dan mengancam jiwa p, seperti anemia, asidosis, dan
kegagalan organ akhir. Infeksi malaria oleh Plasmodium falciparum pada penderita
yang tidak imun dapat menyebabkan kematian. Dalam tubuh penderita, parasit malaria
banyak tinggal di dalam sel, baik di dalam hepatosit maupun eritrosit. Imunitas seluler
diduga lebih berperan sebagai sistem pertahanan penderita terhadap infeksi malaria. Sel
limfosit T, makrofag, dan fagosit dengan dibantu oleh sitokin pro inflamasi, interleukin
2, TNF α, dan interferon γ, merupakan komponen utama sistem imun seluler.

Artikel ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan penjelasan tentang pengertian,
tujuan, dan fungsi dari imunitas seluler. Juga menjelaskan peran imunitas seluler
terhadap penyakit malaria, dan sedikit penjelasan tentang respons kekebalan seluler
dalam klinik.

Imunitas Seluler dan Penyakit Malaria

Imunitas seluler merupakan respon imunitas yang dimediasi oleh komponen seluler
imunitas tubuh, yang terutama melibatkan sel T. antigen asing yang masuk dalam tubuh
akan memacu sel T untuk melakukan proses pembelahan dan menjadi bersifat toksik
atau mematikan terhadap antigen tersebut bila terjadi kontak. Sel T yang teraktivasi ini
mempunyai kemampuan untuk merusak atau mematikan sel tumor dalam kultur dengan
cara melepaskan suatu senyawa yang dikenal dengan sitotoksin yang dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada membrane sel. Oleh karena itu, jenis sel T
seperti ini disebut dengan sel T pembunuh.

Dapat diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak secara
intraseluler antara lain di dalam makrofag, sehingga sulit untuk dijangkau oleh antibodi.
Untuk melawan mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons imun seluler
yang diperankan oleh limfosit T. Sub populasi sel T yang disebut dengan sel T penolong
(sel T helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II yang terdapat pada permukan sel
makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin,
termasuk diantaranya interfero, yang dapat membantu makrofag untuk menghancurkan
mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang disebut dengan sel T-
sitotoksik juga berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intarseluler yang
disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell). Selain menghancurkan
mikroorganisme secara langsung, sel T-sitotoksik juga menghasilkan gamma interferon
yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lainnya.

Imunitas seluler berfungsi untuk mengorganisasi proses inflamasi nonspesifik dengan


mengativasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya.
Selain itu, imunitas seluler juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik
terhadap sasaran yang mengandung antigen.

Imunitas seluler berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi
antibody, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T, baik sel Th/penginduksi
maupun sel Tc/ sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respons imun
dengan mengadakan regulasi negative dan regulasi positif terhadap respons imun.

Infeksi malaria dimulai dari disuntikkannya Plasmodium dalam bentuk sporogony yang
tinggal di dalam ludah nyamuk betina anopheles ke dalam tubuh penderita. Sporogoni
yang masuk dalam tubuh penderita dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian berusaha untuk masuk ke dalam jaringan hepar agar bisa berthan hidup
ataupun untuk melakukan proses multiplikasi. (penggandaan diri).
Bekerjanya sistem imun tak spesifik yang melibatkan komponen humoral dan seluler,
baik sistem komplemen maupun fagosit, berusaha menghancurkan atau mengeluarka
parasite dan mencegahnya masuk ke dalam sel hepar. Parasit yang lolos dari sistem
pertahanan awal dan selamat sampai di hepar kemudian berusaha menginvasi hepatosit
untuk kemudian melakukan penggandaan diri di dalamnya. Skizon yang matang
kemudian pecah dan dikeluarkan dari hepotosit dan masuk ke dalam peredaran sistemik
sebagai merozoite. Merozoite berusaha masuk ke dalam eritrosit agar bisa melakukan
penggandaan diri dari bentuk tropozoit menjadi skizon, dan Sebagian merozoite lainnya
berusaha masuk ke dalam eritrosit untuk menjalani siklus seksual menjadi gamet.
Skizon yang matang kemudian pecah dan Kembali masuk ke dalam peredaran darah dan
berusaha untuk Kembali melakukan invasi ke dalam eritrosit. Gametosit intraeritrosit
yang beruntung akan terhisap oleh nyamuk anopheles betina yang kemudian menjalani
siklus seksual di dalam tubuh nyamuk, sporogony yang beruntung akan ditularkan
kepada calon penderita selanjutnya melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
Respon Imun Seluler pada Infeksi Malaria

Komponen sistem imun seluler inang dalam memberikan respon terhadap antigen
Plasmodium terdiri dari 3 bagian:

 Pengatur atau koordinator pada sistem imun seluler. Sebagai sel pembangkit dan
pengatur respon imun seluler adalah sel limfosit Thelper-1 (Th-1).
 Mediator atau perantara, yang diperankan oleh berbagai sitokin atau chemokine,
terutama IFN γ, IL-2, dan TNF α.
 Efektor atau pemangsa, yang diperankan oleh berbagai sel fagosit antara lain
makrofag, netrofil, monosit, mast sel, sel kupfer, dan netrofil, serta Tc.

Pengatur/koordinator dalam Sistem Imun Seluler oleh Sel T

Limfosit memiliki kemampuan untuk membadakan benda asing (nonself) dari jaringan
sendiri, karena memmiliki reseptor yang terletak pada permukaan sel (TCR: Toll
Receptor Cell). Limfosit T berfungsi membantu sel B dalam memproduksi antibodi,
mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi, mengaktifkan makrofag dalam
fagosistosis, dan mengontrol ambang da kualitas sistem imun.

Jika sel limfosit diaktivasi maka kemudian mengalami perubahan-perubahan sebagai


berikut:

1) Transformasi blast dan proliferasi. Sel limfosit setelah distimulasi kemudian


masuk dalam fase GI siklus sel, yang sebelumnya berada pada fase istirahat (GO
siklus sel). Bentuknya berubah menjadi lebih besar dan mengandung RNA lebih
banyak kemudian membelah.
2) Berdiferensiasi menjadi sel efektor. Limfosit yang teraktifasi berdiferensiasi dari
sel kognitif menjadi sel efektor yang berfungsi menyingkirkan antigen. Sel Tc
yang berdiferensiasi mempunyai granula sitoplasmik lebih banyak yang
mengandung protein yang berfungsi melisiskan sel sasaran. Limfosit B
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi anbodi.
3) Berdiferensiasi menjadi sel memori. Sebagian populasi sel T dan sel B yang
distimulasi tidak berdiferensiasi menjadi sel efektor tetapi menjadi sel memori
yang memiliki ketahanan hiduo lebih Panjang. Sel memori tidak berubah
menjadi sel efektor bila tidak distimulasi
4) Apoptosis. Sebagian limfosit yang diaktifasi berpoliferasi tetapi tidak berubah
menjadi sel efektor atau sel memori malainkan mengalami kematian terprogram
yang disebut dengan apoptosis. Apoptosis bertanggung jawab pada mekanisme
penstabilan pool limfoid yang konstan selama hidup.

Limfosit T berperan penting pada respon imun seluler hospes terhadap malaria.
Berdasarkan fungsi, limfosit T dibagi menjadi 2 yaitu sel T helper (Th atau CD4)
dan sel T sitotoksik (CD8). Sel Thelper dibagi menjadi 2 yaitu Th1 (respon imun
seluler) dan Th2 (respon imun humoral). Sel Th1 memproduksi sitokin pro
inflamasi yang kemudian berfungsi untuk menstimulasi makrofag dan fagosit
lainnya. Makrofag dan sel efektor yang terstimulasi akan aktif melakukan
fagositosis terhadap pathogen yang terdapat pada hospes maupun mengeluarkan
sitokin untuk membangkitkan respon imun yang lebih komplek sehingga hospes
terhindar dari kematian.
Mediator/perantara pada Sistem Imun Seluler oleh Interferon γ (IFN γ)

Setelah diproduksi oleh sel T, IFN γ berperan untuk mengativasi makrofag.


Makrofag yang aktif akan menghasilkan bermacam-macam sitokin diantaranya
Tumor Nekrosis Factor (TNF). TNF berperan dalam penghancuran parasite dan
aktivasi makrofag. Perab lain IFN γ adalah dalam pengaktifan sel-sel efektor
misalnya netrofil dan sel pembunuh (natural killer cell).

Sebagai mediator respon imun seluler, IFN γ mempunyai beberapa aktifitas


diantaranya:

1) Mengaktifkan sel makrofag dari stadium istirahat menjadi stadium aktif.


Interferon γ secara langsung dapat menginduksi sintesa enzim dalam
makrofag yang berperan dalam makrofag yang berperan dalam proses
kematian pathogen
2) Interferon berperan dalam meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan
molekul MHC kelas II. Hal ini akan merangsang pembentukan antobodi dan
perkembang sel T sitotoksik.
3) Interferon γ secara langsung berperan pada diferensiasi sel limfosit T dan sel
limfosit B. IFN γ akan meningkatkan sintesis immunoglobulin oleh sel
limfosit B.
4) Interferon γ juga merupakan activator killer cell.

Efektor/pemangsa pada Sistem Imun Seluler oleh Fagosit

Makrofag sebagai efektor pada sistem imun seluler berperan untuk memusnahkan
plasmodium, terutama pada tahap eritrositer baik melalui mekanisme fagositosis
langsung maupun tak langsung dengan melepaskan Reactive Oxygen Intermediates
(ROI) dan sitokin.

Respons Imunitas Seluler dalam Klinik


Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas kulit tipe
lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme intraselular (bakteri,
virus, jamur) serta penyakit parasit dan protozoa, imunitas selular pada penyakit
autoimun, reaksi graft versus host, penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel
tumor.
 Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV). Dalam klinik reaksi
tipe IV dapat kita lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah
kontak dengan antigen tertentu (seperti bakteri mikobakterium, virus, fungus,
obat atau antigen lainnya) kemudian dipaparkan kembali dengan antigen tersebut
pada kulitnya. Terlihat reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau
peradangan pada tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari
kemudian.  Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi sel
mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar pembuluh darah
dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat pada respons imun infeksi
mikroorganisme intraselular, juga pada reaksi penolakan jaringan yang
memperlihatkan peradangan pada tempat transplantasi, dan pada reaksi
penolakan tumor.
 Imunitas selular pada infeksi bakteri. Imunitas selular pada infeksi bakteri
misalnya terlihat berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada infeksi
dengan Mycobacterium tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa pada
kulit penderita lepra. Limfokin yang dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya
granuloma dan sel yang mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc
dan sel killer lainnya.
 Reseptor antigen sel limfosit T (TCR). Molekul TCR terdapat pada
membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan kompleks
glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular
dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran
merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang berinteraksi
dengan bagian transmembran molekul CD3.
 Imunitas selular pada infeksi virus. Imunitas selular pada infeksi virus
sangat berperan pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel yang sudah
terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi kulit pada penyakit cacar dan
herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe IV dan lisis oleh sel Tc.
 Imunitas selular pada infeksi jamur.  Peradangan pada infeksi jamur
seperti kandidiasis, dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis
merupakan reaksi imunitas selular. Sel TC berusaha untuk melisis sel yang telah
terinfeksi jamur dan limfokin merekrut sel-sel radang ke tempat jamur berada.
 Imunitas selular pada penyakit parasit dan protozoa.  Peradangan yang
terlihat pada penyakit parasit dan protozoa juga merupakan imunitas selular.
Demikian pula pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat
parasit dari sel host sehingga penyebaran tidak terjadi.
 Imunitas selular pada penyakit autoimun.  Meskipun dalam ontogeni sel
T autoreaktif dihancurkan dalam timus, dalam keadaan normal diperkirakan
bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada, tetapi dalam jumlah kecil dan dapat
dikendalikan oleh mekanisme homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini
terganggu dapat terjadi penyakit autoimun. Kunci sistem pengendalian
homeostatik ini adalah pengontrolan sel T penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th
dapat menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga merangsang sel
T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc kurang sempurna bekerja
dalam penghapusan klon antara lain karena gagalnya autoantigen
dipresentasikan ke sel T. Jika ada gangguan sel T supresor atau gagal
menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal mempresentasikan autoantigen pada
masa perkembangan, maka dapat terjadi penyakit autoimun.
 Imunitas selular pada reaksi graft versus host.  Pada reaksi graft versus
host, kerusakan yang terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor
terhadap jaringan resipien. Reaksi tersebut berupa kelainan pada kulit seperti
makulopapular, eritroderma, bula dan deskuamasi, serta kelainan pada hati dan
traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh imunitas
selular.
 Imunitas selular pada penolakan jaringan. Pada transplantasi jaringan
dapat terlihat bahwa jaringan yang tadinya mulai tumbuh, setelah beberapa hari
berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi imunitas selular yang timbul karena
adanya antigen asing jaringan transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang
fungsinya. Secara histologis terlihat adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel
polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya iskemia dan
nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien mengenal antigen
kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri. Pengenalan ini sama
seperti pengenalan antigen asing di antara celah domain molekul MHC. Terjadi
lisis alograft oleh sel TC resipien. Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T
akan merusak alograft dengan merekrut sel radang.
 Imunitas selular pada penolakan tumor. Imunitas selular pada penolakan
tumor sama dengan imunitas selular pada penolakan jaringan transplantasi.
Tentu saja imunitas selular ini bukanlah satu-satunya cara untuk menghambat
pertumbuhan sel tumor, imunitas humoral juga dapat berperan. Adanya ekspresi
antigen tumor akan mengaktifkan sel Tc host demikian pula interferon yang
dilepaskan sel T juga akan mengaktifkan sel NK (natural killer) untuk melisis
sel tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat tumor berada dan
menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.
Kesimpulan
Berdasarkan materi sistem imun seluler ini kita dapat belajar berbagai hal tentang
apa itu imunitas atau kekebalan seluler, fungsinya, serta respon nya terhadap
penyakit seperti malaria. Dari sini juga kita dapat mengetahui fungsi-fungsi dari sel
limfosit T, makrofag, dan lain sebagainya. Kita juga dapat belajar bagaimana sistem
pertahanan tubuh bekerja sama satu dengan lainnya untu dalam mempertahankan
tubuh dari antigen yang masuk.
Daftar Pustaka/ Referensi
 Riley,E.M., Wahl,S., Perkins,D.J., & Schofield,L. (2006). Regulating
Immunity to Malaria. Journal of Parasite Immunology, 28, 35-49.
 Allison,A.C. (1994). Cellular Immunity to Malaria and Babesia Parasites: A
Personal Viewpoint. Journal of Institute of Biological Sciences,12.
 Hidayati,T. (2005). Imunitas Seluler Malaria. Jurnal dari Bagian
Parasitologi Fakultas Kedokteran UMY.5,1.
Sumber Website:
https://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/imunitas-
selular/#:~:text=Imunitas%20selular%20didefinisikan%20sebagai%20suatu,untuk
%20mengatasi%20infeksi%20mikroba%20intraseluler.

Anda mungkin juga menyukai