Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

(Laporan ini diajukan untuk memenuhi syarat penilaian mata kuliah keperawatan jiwa-profesi
Ners)

Disusun Oleh :
EGI TAUFIK RAMDAN
NPM. 4119046

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau kelompok
mengalami, atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat
dalam aktivitas bersama orang lain, tetapi tidak mampu mewujudkannya
(Carpenito, 2009).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya. Individu mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain (Stuart & Sundeen, 2006).

2. Rentang Respon Sosial


Adapun rentang sosial dari adaptif sampai terjadi respon yang maladaptif
(Stuart & Sundeen, 2006), yaitu :

Respon Adaptif Respon


Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Bekerjasama Tergantung Narcissisme

Saling tergantung

Gambar 1. Rentang respon sosial


Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut
Sujono & Teguh (2009) respon adaptif meliputi :

a. Solitude atau menyendiri


Respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang
telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam
menentukan rencana-rencana.
b. Autonomy atau otonomi
Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial. Individu mampu
menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
c. Mutuality atau kebersamaan
Kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi,
dan menerima dalam hubungan interpersonal.
d. Interdependen atau saling ketergantungan
Suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar
individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama
dan masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009) respon maladaptif
tersebut adalah :
a. Manipulasi
Gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain
sebagai obyek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang
lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku
mengontrol digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau
frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain.
b. Impulsif
Respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek
yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu
merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan miskin
penilaian.
c. Narkisisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
egosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari
orang lain.
Sedangkan gangguan hubungan sosial yang sering terjadi
pada rentang respon maladaptif (Stuart & Sundeen, 2006), yaitu :
a. Menarik diri ; individu menemukan kesulitan dalam
membina hubungan dengan orang lain.
b. Tergantung (dependen) ; individu sangat tergantung
dengan orang lain, individu gagal mengembangkan rasa percaya diri.
c. Manipulasi ; Individu tidak dapat dekat dengan orang
lain, orang lain hanya sebagai objek.
d. Curiga ; tertanam rasa tidak percaya terhadap orang lain
dan lingkungan.

3. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Menurut Stuart dan Sundeen, perilaku menarik diri dipengaruhi
oleh faktor predisposisi atau faktor yang mungkin mempengaruhi
terjadinya gangguan jiwa.
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yaitu faktor yang bisa menimbulkan respon sosial
yang maladaptif. Faktor yang mungkin mempengaruhi termasuk :
1). Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan
mencetuskan seseorang akan mempunyai masalah respon
maladaptif.
2. biologik
Adanya keterlibatan faktor genetik, status gizi, kesehatan umum
yang lalu dan sekarang.Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya
neurotransmiter dalam perkembangan gangguan ini, tetepi masih
perlu penelitian.
3. Sosiokultural
Isolasi karena mengadopsi norma, prilaku dan sistem nilai yang
berbeda dari kelompok budaya mayoritas, seperti tingkat
perkembangan usia, kecacatan, penyakit kronik, pendidikan,
pekerjaan dan lain-lain.
b. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress yang mempengaruhi kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1). Stressor sosiokultural
Menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah dari orang yang
berarti, misalnya perceraian, kematian, perpisahan kemiskinan,
konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) dan
sebagainya.
2). Stressor Psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan dan bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya, misalnya perasaan
cemas yang mengambang, merasa terancam.

4. Tanda dan Gejala


Observasi yang ditemukan pada klien dengan perilaku menarik
diri akan ditemukan (data objektif), yaitu apatis, ekspresi sedih, afeks
tumpul, menghindari dari orang lain (menyendiri), klien tampak
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan, komunikasi
kurang/tidak ada, klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien atau
perawat, tidak ada kontak mata, klien lebih suka menunduk, berdiam diri
di kamar/tempat terpisah, klien kurang mobilitas, menolak berhubungan
dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak
bercakap-cakap, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan
diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan, posisi janin
pada saat tidur. Data subjektif sukar didapat jika klien menolak
berkomunikasi. Beberapa data subjektif adalah menjawab dengan kata-kata
singkat dengan kata-kata “tidak”, “ya”, atau “tidak tahu”.

Menurut buku panduan diagnosa keperawatan NANDA (2005)


isolasi sosial memiliki batasan karakteristik meliputi:
Data Obyektif :
1) Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman,
kelompok)
2) Perilaku permusuhan
3) Menarik diri
4) Tidak komunikatif
5) Menunjukan perilaku tidak diterima oleh kelompok kultural dominant
6) Mencari kesendirian atau merasa diakui di dalam sub kultur
7) Senang dengan pikirannya sendiri
8) Aktivitas berulang atau aktivitas yang kurang berarti
9) Kontak mata tidak ada
10) Aktivitas tidak sesuai dengan umur perkembangan
11) Keterbatasan mental/fisik/perubahan keadaan sejahtera
12) Sedih, afek tumpul

Data Subyektif:
1) Mengekpresikan perasaan kesendirian
2) Mengekpresikan perasaan penolakan
3) Minat tidak sesuai dengan umur perkembangan
4) Tujuan hidup tidak ada atau tidak adekuat
5) Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6) Ekspresi nilai sesuai dengan sub kultur tetapi tidak sesuai dengan
kelompok kultur dominant
7) Ekspresi peminatan tidak sesuai dengan umur perkembangan
8) Mengekpresikan perasaan berbeda dari orang lain
9) Tidak merasa aman di masyarakat

5. Petalaksanaan
a. Terapi Psikofarmaka
1) Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi
mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan  dan perilaku yang
aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan
otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intra okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra
pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik,
agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung (Andrey, 2010).
2) Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi,
hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan
irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
3) Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine.
Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP),
glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey,
2010).
b. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan
tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan,
dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang
lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien
mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu
pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan
pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk.
2008)
c. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
1) Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
 Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
 Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu
semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan
dengan BAB dan BAK.
 Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
 Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
 Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
 Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
 Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
 Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku
pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan
gejala primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini
yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
2) Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial
pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
 Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan
sebagainya.
 Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur
sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada
kesulitan dan sebagainya.
 Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
 Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih
dari dua orang).
 Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah
sakit.
 Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas
maupun orang lain.
 Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien
yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Klien Dengan
Menarik Diri
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang
melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau
masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
1. Pengkajian
a. Identitas klien
1) Perawat yang merawat melakukan kontak dengan klien
tentang : nama klien, nama panggilan klien, nama perawat,
panggilan perawat, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik
pembicaraan.
2) Usia
3) Nomor rekam medik
4) Perawat menuliskan sumber data yang didapat
b. Keluhan
utama/alasan masuk
Menanyakan pada klien atau keluarga penyebab klien datang ke rumah
sakit saat ini dan bagaimana koping keluarga yang sudah dilakukan
untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya.
c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa di masa lalu, pernah melakukan, mengalami,
menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal, baik itu yang
dilakukan, dialami , disaksikan oleh orang lain, apakah ada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pengalaman yang tidak
menyenangkan.
d. Aspek fisik
Meliputi pengukuran tanda vital, tinggi badan, berat badan dan adanya
keluhan fisik, misalnya tampak lemah, letih dan sebagainya.
e. Aspek psikososial
1). Membuat genogram yang memuat minimal 3 generasi yang
menggambarkan hubungan klien dengan keluarganya yang terkait
dengan komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh,
pertumbuhan individu dan keluarga.
2). Konsep diri, meliputi :
Kaji lebih dalam secara bertahap dengan komunikasi yang sering
dan singkat, meliputi :
a). Citra tubuh
Tanyakan dan observasi persepsi pasien terhadap tubuhnya,
bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.
b). Identitas diri
Tanyakan dan observasi tentang status dan posisi klien
sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap status dan
posisinya (sekolah, tempat kerja, kelompok), kepuasan klien
sebagai perempuan atau laki-laki.
c). Peran
Tanyakan tentang tugas / peran yang diemban dalam
keluarga/kelompok, kemampuan klien dalam melaksanakan
tugas / peran.
d). Ideal diri
Tanyakan tentang harapan terhadap tubuh; posisi, status,
tugas/peran dan harapan klien terhadap lingkungan (keluarga,
sekolah, tempat kerja, masyarakat).
e). Harga diri.
Tanyakan dan nilai melalui observasi lingkungan hubungan
klien dengan orang lain sesuai dengan kondisi no. 2). (a), (b),
(c) dan penilaian/penghargaan orang lain terhadap diri dan
kehidupannya.
3). Hubungan sosial (di rumah dan di rumah sakit)
a). Tanyakan pada klien / keluarga siapa orang yang
paling berarti dalam kehidupannya, tempat mengadu, tempat
bicara, minta bantuan atau sokongan.
b). Tanyakan pada klien / keluarga, kelompok apa saja
yang diikuti dalam masyarakat.
c). Tanyakan pada klien / keluarga pada klien sejauh
mana klien terlibat dalam kelompok di masyarakat.
4). Spiritual, meliputi pandangan, nilai dan keyakinan klien terhadap
gangguan jiwa sesuai dengan agama yang dianut, kegiatan ibadah
yang biasa dilakukan di rumah.
f. Status mental
Nilai aspek-aspek meliputi :
1). Penampilan (rapi / tidak) , penggunaan dan cara berpakaian.
2). Pembicaraan; cepat, keras, gagap, membisu, apatis, lambat,
inkoheren, atau tidak dapat memulai pembicaraan.
3). Aktifitas motorik; tampak adanya kelesuan, ketegangan,
kegelisahan, agitasi, tik (gerakan involunter pada otot), grimasen
(gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak dapat dikontrol
klien), tremor atau kompulsif.
4). Alam perasaan; sedih, gembira, putus asa, ketakutan, atau
khawatir.
5). Afek; datar, tumpul, labil, tidak sesuai.
6). Interaksi selama wawancara; bermusuhan, tidak kooperatif,
kontak mata kurang, defensif, curiga atau mudah tersinggung.
7). Persepsi; menentukan adanya halusinasi dan jenisnya.
8). Proses pikir; sirkumstansial (pembicaraan berbelit-belit, tapi
sampai pada tujuan pembicaraan), tangensial (pembicaraan
berbelit-belit tidak sampai pada tujuan pembicaraan), kehilangan
asosiasi (pembicaraan yang tidak ada hubungan satu dengan yang
lainnya), flight of ideas (pembicaraan yang meloncat-loncat),
blocking (pembicaraan terhenti sejenak tanpa gangguan eksternal,
kemudian dilanjutkan kembali), perseverasi (pembicaraan yang
diulang berkali-kali).
9). Isi pikir; obsesi (pikiran yang selalu muncul walaupun klien
berusaha menghilangkannya), phobia (ketakutan patologis pada
objek / situasi tertentu), hipokondria (keyakinan terhadap adanya
gangguan organ di dalam tubuh yang sebenarnya tidak ada),
depersonalisasi (merasa asing terhadap diri sendiri, orang lain atau
lingkungan), ide yang terkait (keyakinan klien terhadap kejadian
yang banyak di lingkungan yang bermakna dan terkait pada
dirinya), pikiran magis dan waham.
10).Tingkat kesadaran; bingung, sedasi, stupor, orientasi waktu,
tempat dan orang.
11).Memori; adanya gangguan daya ingat jangka panjang, gangguan
daya ingat jangka pendek, gangguan daya ingat saat ini,
konfabulasi.
12).Tingkat konsentrasi dan berhitung; perhatian klien yang mudah
dialihkan, tidak mampu memperbaiki, tidak mampu berhitung.
13).Kemampuan penilaian; gangguan penilaian ringan dan gangguan
kemampuan penilaian bermakna.
14).Daya tilik diri; pengingkaran terhadap penyakit yang diderita,
menyalahkan hal-hal di luar dirinya.
g. Kebutuhan persiapan pulang
Observasi kemampuan klien akan; makan, BAB/BAK, mandi,
berpakaian, istirahat dan tidur, penggunaan obat, pemeliharaan
kesehatan, aktifitas di dalam dan di luar rumah
h. Mekanisme koping
Kaji koping adaptif ataupun maladaptif yang biasa digunakan
klien dengan menarik diri, seperti regresi (kemunduran ke tingkat
perkembangan yang lebih rendah dengan respon yang kurang matang),
represi (koping yang menekan keadaan yang tidak menyenangkan ke
alam bawah sadar), isolasi (respon memisahkan diri dari lingkungan
sosial).

i. Aspek medik
Jenis obat-obatan klien saat ini, baik obat fisik, psikofarmaka dan
terapi lainnya.

Data yang didapat dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu


data objektif dan subjektif. Data objektif ditemukan secara nyata dan
didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung, sedangkan
data subjektif merupakan data yang disampaikan oleh klien secara lisan
dan keluarga yang didapat melalui wawancara perawat kepada klien
dan keluarga.

2. Pohon Masalah
Pohon masalah pada klien dengan Isolasi sosial : menarik diri, yaitu:

Risiko perilaku
kekerasan Akibat
terhadap diri
sendiri

Ketidakefektifan Gangguan Gangguan


sensori/persepsi: Penyebab
penatalaksanaan pemeliharaan
program halusinasi pendengaran
kesehatan
terapeutik
Isolasi sosial: menarik diri Defisit perawatan
Masalah utama diri: Mandi dan
berhias

Ketidakefektifan Gangguan konsep diri:


koping keluarga: Harga diri rendah kronis Penyebab
ketidakmampuan
keluarga merawat klien
di rumah
Gambar 2. Pohon masalah isolasi sosial : menarik diri (Keliat, B. A., 2005)

1. Diagnosa Keperawatan
Keliat, B. A. (2005) merumuskan diagnosa keperawatan pada klien
dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri, sebagai berikut :
a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Defisit perawatan diri
f. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

2. Intervensi Keperawatan
Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan
Jiwa RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu :
a. Diagnosa 1. Isolasi Sosial
Tujuan:
Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
I. Pasien
SP 1 (pasien) :
1.1. Membina hubungan saling percaya
1.2. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.
1.3. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi
dengan orang lain.
1.4. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain.
1.5. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
1.6. Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
SP 2 (pasien) :
2.1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2.2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara
berkenalan dengan dua orang.
2.3. Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
SP 3 (pasien) :
3.1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
3.2. Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan
dua orang atau lebih.
3.3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan
harian.
II. Keluarga
SP 1 (keluarga) :
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial

SP 2 (keluarga) :
2.1. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan
isolasi sosial.
2.2. Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial.
SP 3 (keluarga) :
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
b. Diagnosa 2. Perubahan konsep diri :
harga diri rendah
Tujuan:
Pasien mempunyai konsep diri yang positif
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien.
1.2. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih
dapat digunakan.
1.3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai
dengan kemampuan pasien.
1.4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan.
1.5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai
kemampuan
2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
1 Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah
yang dialami pasien beserta proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
harga diri rendah
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien harga diri rendah
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (Discharge planning)
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

c. Diagnosa 3. Perubahan persepsi sensori :


halusinasi
Tujuan :
Pasien dapat mengontrol halusinasinya.
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien
1.2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien
1.3. Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien
1.4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien
1.5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
1.6. Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi
1.7. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan menghardik
1.8. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan berbincang
dengan orang lain
2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
SP 3 (Pasien)
3.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Melatih pasien cara kontrol halusinasi dengan kegiatan (yang
biasa dilakukan pasien).
3.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP IV (Pasien)
4.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Menjelaskan cara kontrol halusinasi dengan teratur minum
obat (prinsip 5 benar minum obat)
4.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, dan jenis
halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien halusinasi
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
halusinasi
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien halusinasi
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
d. Diagnosa 4. Koping individu tidak efektif
Tujuan :
Koping individu kembali efektif
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Identifikasi koping yang selama ini digunakan.
1.2. Membantu menilai koping yang biasa digunakan.
1.3. Mengidentifikasi cita-cita atau tujuan yang realistis.
1.4. Melatih koping: berbincang / assertif technics (meminta,
menolak, dan mengungkapkan / membicarakan masalah secara
baik).
1.5. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
SP 2 (Pasien)
2.1. Validasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih koping: beraktivitas.
2.3. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
SP 3 (Pasien)
3.1. Validasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Melatih koping: olah raga.
3.3. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
SP 4 (Pasien)
4.1. Validasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Melatih koping: relaksasi.
4.3. Membimbing memasukkan dalam jadwal kegiatan.
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala koping individu
inefektif yang dialami pasien beserta proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien koping individu
inefektif
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien koping
individu inefektif
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pasien
koping individu inefektif
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah
termasuk minum obat
3.2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau oleh
keluarga
e. Diagnosa 5. Defisit perawatan diri
Tujuan:
Pasien dapat mandiri melakukan perawatan diri
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri
1.2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
1.3. Melatih pasien cara menjaga kebersihan diri
1.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Menjelaskan cara makan yang baik
2.3. Melatih pasien cara makan yang baik
2.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 3 (Pasien)
3.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik
3.3. Melatih cara eliminasi yang baik.
3.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 4 (Pasien)
4.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Menjelaskan cara berdandan
4.3. Melatih pasien cara berdandan
4.4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
1.2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri
dan jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta
proses terjadinya
1.3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
defisit perawatan diri
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien defisit perawatan diri
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (Discharge planning)
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
f. Diagnosa 6. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain
dan lingkungan
Tujuan:
Pasien dapat mengontrol resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
I. Pasien
SP 1 (Pasien)
1.1. Mengidentifikasi penyebab PK
1.2. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
1.3. Mengidentifikasi PK yang dilakukan
1.4. Mengidentifikasi akibat PK
1.5. Mengajarkan cara mengontrol PK
1.6. Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam).
1.7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 2 (Pasien)
2.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2.2. Melatih pasien cara kontrol PK fisik II (memukul bantal /
kasur / konversi energi).
2.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 3 (Pasien)
3.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
3.2. Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal (meminta,
menolak dan mengungkapkan marah secara baik).
3.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 4 (Pasien)
4.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
4.2. Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa,
berwudhu, sholat).
4.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 5 (Pasien)
5.1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
5.2. Menjelaskan cara kontrol PK dengan minum obat (prinsip 5
benar minum obat).
5.3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
II. Keluarga
SP 1 (Keluarga)
1.1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
1.2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya PK.
1.3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.
SP 2 (Keluarga)
2.1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
PK.
2.2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien PK.
SP 3 (Keluarga)
3.1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
3.2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :


Salemba Medika

Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Keliat Budi Ana. 1999. Proses  Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I.


Jakarta : EGC

Anna Budi Keliat, SKp. (2006). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Sosial Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan


Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.

Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi


Dengan Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses
Interaksi (API). Jakarta : fajar Interpratama.

Anda mungkin juga menyukai