Makalah Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya
memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan
rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam
(tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal ma’rifat kepada Allah .[1] Tingkat
pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan
prilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat,[2] atau jalan untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh
pengenalan (ma’rifat) yang berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Maqamat merupakan sesuatu yang dapat diperoleh dari usahanya orang itu sendiri. sedangkan Ahwal
merupakan situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah dan bukan hasil dari
usahanya. Untuk mencapai tujuan hubungan batin dan kedalaman rohaniah, jalan yang harus ditempuh
oleh seorang sufi bukanlah jalan yang mudah,tidak hanya seperti ahwal yang merupakan karunia dari
Allah yang bisa kita dapatkan kapan saja, namun penuh dengan rintangan dan hambatan yang
membutuhkan perjuangan keras. Mereka harus menempuh tahapan-tahapan spiritual yang dalam
tradisi tasawuf dinamakan dengan istilah maqam atau stasion. Untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun
berikutnya menghendaki usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.
Dalam makalah ini kami akan mencoba menyajikan uraian-uraian mengenai ahwal dan maqamat
menurut para sufi, serta struktur maqamat dan ahwal sehingga diharapkan terangkum dalam rangkaian
sejarah pemikiran tentang maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf.
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAQAMAT
a. Pengertian Maqamat
Secara etimologis Maqamat berarti jamak dari maqam yang artinya kedudukan, posisi, tingkatan(station)
atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan secara terminology, Maqamat
berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-
Nya.[3]
1. Menurut Abu Nasr As-Sarraj (salah seorang sufi) : Maqamat berarti kedudukan manusia dihadapan
Allah yang disebabkan karena ibadahnya, mujahadahnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya kepada
Allah.
2. Menurut Imam Al Qusyairi : Maqamat berarti tahapan adab (etika) seorang hamba dalam kepada-
Nya dengan macam-macam upayanya. Diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.[4]
b. Tingkatan Maqamat
Mengenai struktur dan berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh para sufi, di kalangan mereka
tidak sama pendapatnya. Ada beberapa tokoh yang tentang jumlah maqamat yang harus dilalui,
misalnya:
1. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagaimana dikutip
Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-
zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal ,al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
2. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu
al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridla.
3. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan,
yaitu al-taubah, al-shabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.[5]
1) Tobat
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat
terendah, tobat menyangkut dosa yang telah dilakukan jasad atau anggota-amggota badan. Sedangkan
pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula
pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut
usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat
berarti penyesalan atas kelengahan fikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah
penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.[6]
2) Zuhud
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini
agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.
Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta
kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu,
kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
3) Faqr (fakir)
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalani kehidupan didunia. Sikap faqr penting
dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan
manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain
Allah.
4) Sabar
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan
sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut
sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[7]
5) Syukur
Syukur diperlukan karena semuan yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah.
Allah-lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan,
keamanan,[8] maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.
6) Rela (Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Swt.[9] Orang yang
rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk
sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan
kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak
merasakan sakit atas cobaan tersebut, hanyalah para ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap
seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya
bertemu dengan yang dicintainya.[10]
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa
yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan
akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah.[11]
7) Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah.[12]
Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi
sebagai landasan tawakal.
Sebagaimana telah disinggung bahwa hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara
lain adalah waspada dan wawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb),
cinta (hubb), takut (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah),
dan yakin.
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang
mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama
dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
Waspada (muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan
rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun
mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau
malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
2. Cinta (hub)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama
seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah
anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-
anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau
kecantikan.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-
orang yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari
kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia
sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang
berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat
tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu
pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan
Tuhan.
Berkaitan dengan ini, Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah
untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya itu mereka dapat
dekat kepada Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena
membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri di masa yang akan datang. Khauf dapat
mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat
maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga
sebaliknya, apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan
meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.
4. Rindu (syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa rindu hidup dengan
subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut
merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang
rindu kepada Tuhan, maut dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi
pertemuan ‘abid dengan Ma’bud-nya.
5. Intim (uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adlah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa
sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns :
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya
sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang merasa
bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya
semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau
berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.”
Sebelum kita sampai menguraikan maqaam-maqaam, yaitu derajat-derajat yang diperoleh dengan
usaha sendiri, perlulah kita ketahui hal-hal yang mengganggu kita dalam mencapai maqaam-maqaam
itu, antara lain ialah:
a. Kufrun Jahiliyyun, kufur karena bodoh, tiada mengetahui, seperti kufurnya orang awam.
b. kufrun Jahudiyyun, seperti kufurnya Fir’aun sesudah diutusnya Musa dan Harun dia tidak percaya,
karena dia lebih mulia dari kedua Nabiyullah itu, sebab keduanya orang biasa, ia takabbur dan tiada
percaya aas utusan Allah itu.
d. Kufrun Ibliesun, abaa was takbara wa kaana minal kaafirien. Ia disuruh sujud kepada Adam, tapi
enggan dan takabbur dan adalah ia dari golongan mereka yang kafir.
e. Kufrun Hukmiyyun, tiada terpelihara lidah dan anggota badan dan tiada memperhatikan suruhan
agama, seperti menganggap enteng terhadap yang perlu dimuliakan dan dikerjakan.
f. Kufrun A’raabun, bersikap masa bodoh, nerlaku apatis, orang mau Islam terserah, tidakpun
terserah, bukan urusan saya, demikian pendirinya.
Orang munafik adalah orang bermuka dua, lain di bibir lain pula di hati, lain di sikap lain pula maksud.
Orang riyaa’ adalah orang bekerja dengan menginginkan pujian orang, bukan karena Allah yang ikhlas
dari hati.
3) An nifaaqu : Orang bermuka dua.
Memang sukar mengetahui orang munafik, tetapi tanda-tandanya dapat dilihat. Al Hadits :
“Bila ia berkata, ia berdusta, nila ia berjanji, tiada ditapatinya; bila ia percaya, ia berkianat.”
Diriwayatkan oleh Syaikhaan (Bukhari dan Muslim) dari Abu Hurairah.
5) Al-ishyaan : Adalah maksiat , ya muruna bil munkar, wa yanhauna anil ma’ruuf, menyuruh dengan
munkar. Mencegah dari ma’ruuf. Rajin mengerjakan tegahan, enggan mengamalkan suruhan.
Adapaun dua hal yang penting dalam agama ialah menjauhi larangan dan mengerjakan suruhan.
Menjauhi adalah berat sekali.
Seluruh badan harus dijaga, terutama bagian-bagian jasmani yang tujuh, yaitu :
1. Mata
Gunakanlah untuk melihat keindahan dan keajaiban alam yang dijadikan Allah, jangan dipergunakan
untuk melihat wanita yang bukan muhrimmu, sesuatu yang menimbulkan nafsu berahi, sesame muslim
dengan sombong dan benci, mengejek dan menghina mereka.
2. Telinga
Jagalah telingamu jangan mendengarkan perkataan-perkataan yang tidak baik, tapi gunakanlah untuk
mendengar ayat-ayat al-Quran , Hadits-hadits Rasulullah SAW , ilmu yang manfaat.
3. Lidah
Pergunakan lidahmu untuk memuji Allah, membaca ayat-ayat suci-Nya dan Hadits-Hadits Rasul-Nya,
bertabligh, berdoa, jangan engkau pergunakan untuk mengumpat dan memfitnah.
Hindarkanlah diri dari usaha-usaha untuk mengganggu orang lain. Cubitlah diri sendiri, kalau sakit,
jangan mencubit orang lain. Maksudnya mengadakan huru-hara, usaha dan perbuatan yang
mengganggu orang lain.
10) Al Bakhyu: Berarti aniaya terhadap orang yang tidak bersalah, seperti melangar hak orang lain atau
berlawanan dengan hak-hak individu atau jama’ah dan golongan.
B. AHWAL
a. Pengertian Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologis
Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan
mental seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal masuk dalam hati
seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa
usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja.
Maka sebagaimana dikatakan al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedang
hal adalah karunia (mawahib). Sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang
cukup lama dan kadang datang hanya sekejap. [13]
Hanya saja hal tidak datang dengan tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan harus menjadi
kepribadian seseorang. Menurut al-Qusyairi, dalam hal mengandung keadaan-keadaan tertentu yang
tidak tetap, jika keadaan ini menjadi tetap akan naik menuju keadaan lain yang lebih halus dan begitu
seterusnya.
Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari hal, banyak kalangan yang menyatakan bahwa jika
dipahami lebih dalam, pada dasarnya hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya
maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sunggh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan
dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia
namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal
baik atau ibadah. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ahwal dan maqamat
adalah satu kesatuan.
b. Tingkatan Ahwal
1. Muroqobah, Yaitu usaha merasakan kedekatan kepada Allah SWT atau merasa diawasi oleh Allah.
No.
Maqamat
Ahwal
1.
Sifatnya tetap, sebab untuk mencapai tingkatan maqam yang lebih tinggi, seseorang masih menguasai
tingkat maqam sebelumnya
2.
3.
Meskipun hal dan maqamat memiliki perbedaan, namnn hal dan maqamat bagaikan dua sisi mata uang
yang berbeda yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berkaitan, antara satu dengan yang lain.
Karena kenaikan maqam dari satu jenjang ke jenjang berikutnya tidak terlepas dengan hal yang telah
sempurna. Oleh karena itu hal yang bersifat mawhibah itu, dapat menaikkan maqam yang diperoleh
melalui usaha ke jenjang yang lebih tinggi.[15]
Kalau Al Maqaamaat min nataaijil a’mal, yaitu al maqaamaat adalah kesimpulan atau hasil dari amal-
amal, maka al ahwaal min nataaijil maqaamaat, yaitu al ahwaal adalah kesimpulan atau hasil dari
maqaamaat.
Adapun Al Ahwal, yaitu derajat-derajat yang diperoleh dengan anugerah Allah, atau dikatakan juga
dengan MAUHIBIYAH.
a. Al Muraaqabah, mendekatkan diri kepada Allah kemudian senantiasa Allah mengawasi diri.
Seakan-akan seekor kucing menuggu tikus keluar dari lobangnya, tikus pasti akan keluar, tapi apabila ia
keluar, belum diketahui, demikianlah selalu mendekatkan diri kepada Allah.
c. Al Mahabbah, Tuhanku, pada suara hewan yang melata pada desiran daun di pohon kayu, pada
suara air mengalir, pada kepakan sayap burung yang sedang terbang pada lindungan pohon ledek dan
kilat di awan, tiada kuperoleh melainkan semuanya makhluk-Nya di alam ini.
d. Al Khaufu, Timbul kepada Allah semata, berani kepada selain Allah, lebih-lebih berani terhadap
memberantas hal-hal yang memurkakan Allah. Berani melaksanakan larangan-larangan Allah, melawan
nawaahi yang dimunkarkanya dengan tangan, lidah ataupun dengan hati secara minimum; Allah Maha
Besar, adapun yang lain semua kecil.
e. Asy Syauq, Dalam lubuk jiwa hidup dengan suburnya rasa rindu, rindu ingin segera bertemu
dengan Tuhan. Kata orang “Maut adalah bukti cinta yang benar dan luput Allah dari ingatan lebih
bahaya daripada maut.” Al mautu aayatul hubbish shaadiq; Al fautu, asjaddu minal mauti. Mati berarti
bertemu dengan Tuhan, sebab hidup adalah merintangi pertemuan Abid dengan Ma’budnya.
f. Al Unsu, Man lam yazuq, lam yakhfaa.siapa yang tiada merasa, merasa Allah selalu dekat dengan
dirinya, tiadalah ia takut.
Maka, pada ahwal ini engkau merasa, bahwa engkau selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ada
orang merasa sepi dalam keramaian, ialah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab ia sedang
dimabuk cinta seperti pemuda dan pemudi. Ada orang merasa bising dalam kesepian, ialah orang yang
selalu memikirkan atau merencanakan tugasnya semata-mata.
Adapun ilmu bertingkat-tingkat, pertama adalah ma’rifat atau tahu, kedua ialah dirayat atau dialami,
letiga ialah yakin atau nyata. Yakin terbagi tiga, yaitu:
1. Ilmu yaqien
2. Ainul yaqien
3. Haqqul yakien
Alat untuk mencapai ilmu yaqien adalah pada dhahir dan bathin. Yang dhahir seperti pendengaran,
penglihatan, perasaan lidah, kulit dan hidung. Yang bathin seperti: akal, kehendak, angan-angan dan
nafsu.
Setelah keyakinan kita terpateri d dalam hati, maka timbullah rasa tentram di dalamnya, dinamakan:
D. KONKLUSI FORMULA
Konklusi formula atau batjah daripada rumus pembagian empat dalam memasuki lapangan sufi, yaitu
berturut-turut secara tartil (kronologis) dasri Al Manaazil, Al Masyaahid, Al Maqaamaat, sampai pada Al
Ahwal ialah:
MA’RIFAT yang berisi keindahan yang dirasakan oleh bathin karena isyq, yaitu rindu untuk mengetahui.
Dalam hal Ma’rifat ini ada beberapa pendidiran daripada ahli Tasawuf antara lain ialah:
a. WAHDATUL AF’AAL
b. WAHDATUL ASMAA
c. WAHDATUS SHIFAAT
d. WAHDATUZ DZAAT
1. Wahdatul Af’aal : berdasarkan sifat Allah Qaadirun dan Muridun. Tentng dzikir mereka
berpendapat, adab makhluk kepada khaliqnya di dalam tingkatan:
2. Wahdatul Asmaa : Berdasarkan Al asmaaul Husnaa yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
Pendapat mereka adalah :
- yang ada ini atau yang mumkinul wujud menunjukkan adanya DIA.
- Oleh karena itu, adanya semua ini hanyalah pemberian dan adanya DIA; Haadzaa min fadhli
Rabbika.
3. Wahdatus Shifaat : Berdasarkan shifat Allah Alli mun, sami’un, Bashirun dan Mutakalimun.
Pendapat mereka adalah :
Maka kalau kita berpegang kepada semua sifat-sifat Allah kita dapati tidak ada ajaran tamalluk di dalam
islam, tidak ada anjuran untuk menjilat atau memperhambakan diri, kecuali hanya kepada Allah. Apalagi
tujuan kaum Shufi adalah Jamaal, jalaal dan kaaal.
- Yang hanya tahu hakikat yang sebenarnya hanyalah Nabi Muhammad SAW.
- Segala yang adda minal mumkinaat ini menjadi dalil adanya DIA.
- Oleh karena itu, yang ada ini hanyalah DIA yang Waajibul wujuud : Laa maujuda illalaah.
Dengan ma’rifat kita menurut salah satu dari empat pendirian ini, maka kita Aalimun bil ilmi, Aarifun bil
Laahi.
Dengan thariqat atau tanpa thariqat bukanlah soal atau bukanlah prinsip, yang penting adalah suluk.
DAFTAR PUSTAKA
Solihin, 2002, Kamus Tasawuf, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
[1]Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi, Madhkal Ila At-Tashawwuf Al-Islam, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, “Sufi Dari
Zman ke Zaman”, Pustaka, Bandung, 1985, hlm.35.
[2] Thariqat yang penulis maksudkan disini bukan thariqat dalam pengertian tarekat dalam bahasa
Indonesia (pemahaman dalam bahasa Indonesia, tarekat berarti jalan para sufi yang sudah melembaga
atau berbentuk institusi-institusi yang kita kenal, misalnya tarekat Naqsabandiyah, Tijaniyah dan
sebagainya), tetapi tarekat yang penulis maksudkan disini adalah thariqat yang belum melembaga
menjadi sebuah institusi, tetapi baru hanya berupa pendekatan-pendekatan ruhaniyah.
[6] Lihat : Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum Al-Din, Jilid IV, hlm. 10-11.
[9] Barmawie Umarie, Systematika Tasawuf, penerbit Siti Syamsiyah, Sala, 1966, hlm. 81.
[10] Ahmad Faridh, Tazkiyat An-Nufus, trans. Nabhani Idris, Pustaka, Bandung. 1989. hlm. 166.
[11] Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, Al-Luma’, yang ditahqiq oleh : Abdul Halim Mahmud dan Thaha Abd
Baqi Surur, Dar Al-Kutub Al-Haditsah dan Maktabah Al-Mutsanna Baghdad, Mesir, 1960, hlm. 278.
[14] http://tasawuf.multiply.com
[15] In’amuzzahidin Masyhudi, Wali Gila, (Semarang: Syifa Press, 2007), hlm.34
gurukreatifbanget.blogspot.com di 2:31 PM