Kelompok : VII
Kelas : XII IPS 3
Anggota :
1. Dewi Rengganis (09)
2. Muhammad Al Fathir (15)
3. Risma Septian Kusmawanti (21)
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat,
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang mungkin sangat sederhana.
Makalah ini berisikan tentang analisis tata guna lahan dan kesehatan
lingkungan yang berupa cabang dari ilmu geografi. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman dan juga
berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu, saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover ............................................................................................................. i
BAB I : Pendahuluan
BAB II :Pembahasan
1. Kesimpulan................................................................................................ 8
2. Saran.......................................................................................................... 8
iii
BAB 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Penggunaan Lahan Pertanian
2. Penggunaan Lahan Hutan
3. Penggunaan Lahan Pertambangan
4. Kerusakan Fasilitas Kesehatan Akibat Bencana Alam
5. Kawasan Pemukiman Kumuh
6. Kawasan Pembuangan Sampah
3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh guru dalam materi tata guna
lahan dan kesehatan lingkungan
2. Mengetahui lebih dalam lagi tentang analisis penggunaan lahan
3. Semoga bermanfaat bagi para pembacanya dan pemahaman yang lebih dari
penyusunnya.
1
BAB 2
Pembahasan
Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan Tahun 2012 Penggunaan lahan Kabupaten
Bandung secara spasial disajikan pada peta penggunaan lahan Kabupaten Bandung.
Hasil interpretasi penggunaan lahan di Kabupaten Bandung dari Citra Landsat
mengelompokan penggunaan lahan menjadi enam jenis penggunaan lahan yaitu
hutan, perkebunan, tanaman pertanian lahan kering (TPLK), tanaman pertanian
lahan basah (TPLB), lahan terbangun, dan badan air.
Perubahan Penggunaan Lahan dan Polanya Penggunaan lahan di Kabupaten
Bandung cenderung mengalami perubahan yang cukup signifikan setiap tahunnya.
Peta perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung disajikan pada
Pola perubahan penggunaan lahan dicermati dengan penggunaan lahan
sebelumnya dan arah perubahan menjadi penggunaan lahan apa. Ada lima pola
perubahan penggunaan lahan yang terjadi yaitu TPLB menjadi lahan terbangun,
TPLK menjadi lahan terbangun, TPLB menjadi TPLK, perkebunan menjadi lahan
terbangun dan hutan menjadi lahan terbangun. Pola perubahan penggunaan lahan
terbesar adalah penggunaan lahan TPLB menjadi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan Penggunaan Lahan
Kebutuhan akan ruang yang semakin meningkat dengan ketersediaan lahan yang
terbatas mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan
pertanian seperti TPLB dan TPLK seringkali menjadi sasaran untuk dikonversi
menjadi lahan terbangun.
2
4
Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih
yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan
yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit
menular.
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda, antara
lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang
memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada
bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan
gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif
lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta
menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan leptospirosis. Terkait
dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga faktor
yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat
bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan
penduduk (Pan American Health Organization, 2006).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1). Bayi, balita
dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang
cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam
Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara
Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian dari
kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu
diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi,
pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.
Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai.
Hal ini terjadi antara lain akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya
jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan,
terbatasnya dana operasional pelayanan di lapangan. Hasil penilaian cepat paska
gempa Bantul 2006, misalnya, mencatat sebanyak 55,6 persen Puskesmas Induk
dan Perawatan dari 27 unit yang ada di Kabupaten Bantul mengalami kerusakan
berat, begitu juga dengan kondisi Puskesmas Pembantu (53,6 persen) serta Rumah
Dinas Dokter dan Paramedis (64,8 persen). Bila tidak segera ditangani, kondisi
tersebut tentunya dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat bencana
tersebut.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada
masyarakat dalam waktu relatif lama. Studi Hapsari dkk (2009) mengidentifkasi
temuan menarik berkaitan dengan kebutuhan pelayanan keluarga berencana (KB)
paskabencana gempa bumi di Bantul (Yogyakarta) pada tahun 2006. Satu tahun
paskagempa, mereka yang menggunakan alat KB suntik dan implant cenderung
menurun, sebaliknya mereka yang menggunakan pil KB dan metode pantang
berkala cenderung meningkat. Studi ini juga menunjukkan bahwa prevalensi
kehamilan tidak direncanakan lebih tinggi dijumpai pada mereka yang sulit
mengakses pelayanan KB dibandingkan mereka yang tidak mengalami kendala.
Oleh karena itu, peran penting petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya untuk
memberikan pelayanan KB pada situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi
pasangan untuk mencegah kejadian kehamilan yang tidak direncanakan.
5
5. Kawasan Pemukiman Kumuh
Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir
semua kota-kota besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara
berkembang lainnya. Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada
umumnya mencakup tiga segi, yaitu, pertama, kondisi fisiknya. Kondisi fisik
tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat
dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak
diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum
dikelola dengan baik. Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang
bermukim di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
berada di kawasan permukiman kumuh antara lain mencakup tingkat
pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang
mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang
apatis. Ketiga, dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering
juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran,
sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada
kehidupan keseluruhannya.
Kawasan permukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang
harus diatasi. Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang
mendorong pertumbuhan permukiman. Sedangkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat dan kemampuan pengelola kota akan menentukan kualitas
permukiman yang terwujud. Permukiman kumuh adalah produk pertumbuhan
penduduk kemiskinan dan kurangnya pemerintah dalam mengendalikan
pertumbuhan dan menyediakan pelayanan kota yang memadai.
Jumlah penduduk global di perkotaan diperkirakan akan mencapai 60%
pada tahun 2030, dan 70% pada tahun 2050. Jumlah kota berpenduduk lebih
dari 1 juta jiwa akan mencapai 450 kota, dengan lebih dari 20 kota sebagai
megacity, dengan penduduk melampaui 10 juta jiwa. Kondisi kota-kota di
Indonesia yang berkembang dan berfungsi sebagai pusat-pusat kegiatan
mengundang penduduk daerah sekitarnya untuk datang mencari lapangan
kerja dan kehidupan yang lebih baik. Mereka yang bermigrasi ke perkotaan
relatif meningkat dari tahun ke tahun. Mereka ini berasal dari latar belakang
sosial ekonomi yang berbeda-beda dan sebagian dari mereka datang tanpa
tujuan yang jelas.
Di lain pihak kota belum siap dengan rencana sistem perkotaan guna
mengakomodasi perkembangan kegiatan perkotaan dalam sistem rencana tata
ruang kota dengan berbagai aspek dan implikasinya termasuk di dalamnya
menerima, mengatur dan mendayagunakan pendatang. Akibatnya terjadi
aktivitas yang sangat heterogen dan tidak dalam kesatuan sistem kegiatan
perkotaan yang terencana, yang mengakibatkan terjadinya kantong-kantong
kegiatan yang tidak saling menunjang, termasuk dengan munculnya
permukiman yang berkembang di luar rencana sehingga terbentuklah
permukiman-permukiman kumuh.
Terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah untuk penataan dan
pengelolaan kota dalam menghadapi masalah kependudukan tersebut di atas
juga telah menyebabkan fasilitas perumahan dan permukiman menjadi
terbatas dan mahal pembiayaannya.
6
Di daerah perkotaan, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas
perumahan dan permukimannya secara memadai adalah mereka yang
tergolong berpenghasilan rendah dan atau dengan kata lain orang miskin.
Abrams (1964) misalnya mengatakan bahwa pada waktu seseorang
dihadapkan pada sebuah masalah mengenai pengeluaran yang harus dilakukan
untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, makan, berpakaian, dan
pengobatan untuk kesehatan, maka yang pertama dikorbankan adalah
pengeluaran untuk rumah dan tempat tinggalnya.
Masalahnya, bagi mereka masyarakat miskin yang berpenghasilan
rendah, tidak dapat mengabaikan begitu saja kebutuhan akan rumah dan
tempat tinggal karena masalah ini penting dalam dan bagi kehidupan mereka,
tetapi di satu sisi mereka juga tidak mampu untuk mengeluarkan biaya
prioritas bagi pengembangan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan
permukimannya agar layak untuk dihuni. Semakin kecil bagian dari
penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan pemeliharaan rumah dan
fasilitas permukiman, semakin kumuh pula kondisi permukimannya.
6. Pembuangan Sampah
Pengelolaan sampah kawasan secara mandiri mengutamakan prinsip
bahwa pengelolaan sampah harus selesai terkelola di sumber sampah. Kriteria
kawasan dan yang termasuk dalam pengelolaan sampah secara mandiri adalah
sebagai berikut:
A. KESIMPULAN
Perencanaan Penggunaan Lahan merupakan Pemahaman dasar yang telah
dibuat oleh Kelompok Kerja Terpadu Perencanaan Penggunaan Lahan dinyatakan
sebagai berikut: Perencanaan penggunaan Lahan merupakan suatu proses berulang-
ulang yang didasarkan pada dialog antara semua yang mempunyai kepentingan yang
bertujuan untuk menenegosiasi dan hasil dari keputusannya digunakan untuk
penggunaan lahan secara berkelanjutan hal ini dilakukan pada daerah pedesaan yang
meliputi: memulai dan memantau pelaksanaannya.
Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan sumbangan/peran yang cukup
penting dengan perencanaan pembangunan daerah, dengan memberikan informasi dan
data yang akurat tentang kondisi lahan, tanah, lingkungan dengan berbagai karakter dan
keragamannya. Hal ini membantu untuk menentukan dan mengembangkan alternatif
pembangunan yang sesuai dengan keadaan lahan maupun kebutuhan masyarakatnya.
Kesehatan lingkungnan yaitu bagian integral ilmu kesehatan masyarakat yang
khusus menangani dan mempelajari hubungan manusia dengan lingkungan dalam
keseimbangan ekologis.
Cara-cara Pemeliharaan Kesehatan Lingkungan :
- Tidak mencemari air dengan membuang sampah disungai
- Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor
- Mengolah tanah sebagaimana mestinya
- Menanam tumbuhan pada lahan-lahan kosong
B. SARAN
Di dalam makalah ini mungkin ada kesalahan dan kekurangan oleh karena itu
penulispun meminta agar kiranya pembaca juga memberi keritik dan saranya agar
kiranya makalah ini bisa menjadi lebih sempurna lagi.