“KAWASAN KONSERVASI”
Disusun Oleh:
Anisa Septiani
20032188
JURUSAN BIOLOGI
2021
1. Permasalahan konservasi terkait keanekaragaman hayati di Indonesia
Jawaban:
Kawasan konservasi seluas 27,5 juta hektar tentu saja memiliki potensi
keanekaragaman hayati di mana terdapat 47,9 ribu lebih keanekaragaman hayati dan
sebagian besar adalah pohon. Terkait keanekaragaman hayati ini, masalah ke depan yang
harus dihadapi salah satunya menyangkut persoalan mikroba.
Ada apa dengan Mikroba. Jadi, mikroba bisa menjadi masalah sekaligus tantangan
untuk pengembangan lebih lanjut. Selain itu, mikroba adalah salah satu unsur yang sangat
sensitif, sekali satu sistem mikrobnya hilang maka akan hilang dan tidak akan pernah lagi
diketahui fungsinya, kelebihan dan lain-lain, padahal, mungkin mikroba tersebut
memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap mikro climate, makro climate atau
climate change sekaligus. Karenanya bagaimana kelimpahan potensi bisa dimaksimalkan,
kita perlu melakukan eksplorasi secara maksimal dan kerja keras untuk itu.
kawasan hutan konservasi banyak sekali keterlanjuran dan salah satunya disebabkan
masyarakat setempat atau ingin mencari kehidupan. Jadi, lebih karena faktor kemiskinan.
Belum lagi soal perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal yang
hingga kini masih berlangsung. Upaya-upaya pengendalian sesunguhnya telah
diupayakan, namun tetap saja belum tuntas.
Hal ini juga dampak dari penegakan hukum yang belum diprioritaskan bagi tokoh
intelektual dan pemuda. Penegakkan hukum baru diprioritaskan pada pelaku di lapangan
sehingga tidak bisa tuntas. Jika kita takut memperbaiki kerusakan yang ada, maka
tamatlah bumi ini. Ini bukan sekedar kewajiban, tapi perihal tanggung jawab bersama
Di dalam lingkungan pasti terjadi yang dinamakan proses ekologis. Proses ekologis
adalah peristiwa saling mempengaruhi antara segenap unsur pembentuk lingkungan
hidup (Dewobroto, 1995). Di dalam ekosistem yang rusak dan teregradasi diperlukan
sesegera mungkin upaya pemulihan spesies maupun komunitas yang pernah menghuni
ekosistem tersebut. Pemulihan ekosistem yang rusak berpotensi besar untuk memperkuat
sisem kawasan konservasi yang ada selama ini. Pemulihan ekologi (ecological
restoration) merupakan praktik perbaikan yang dapat didefinisikan sebagai proses yang
secara sengaja mengubah suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem
tertentu yang bersifat asli dan bernilai sejarah (Indrawan, 2007).
Perlindungan terhadap keaneragaman hayati adalah pusat dari biologi konservasi tetapi
frase “keanekaragaman hayati” (atau secara singkat biodifersitas) dapat mempunyai arti
yang berbeda. World Wildlife Fund mendefisikannya sebagai “jutaan tumbuhan hewan
dan mikroorganisme termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang
mereka bantu menjadi lingkungan hidup” (Indrawan, 2007).
Ada tiga aspek dalam sebuah pengelolaan sumber daya alam, yaitu eksplorasi,
eksploitasi, dan konservasi. Untuk menciptakan sistem pengelolaan Sumber daya hayati
yang partisipatif dan berbasis masyarakat maka ada beberapa komponen yang
seyogyanya dapat dijadikan target pelaksanaan, yaitu:
Krisis lingkungan yang sekarang kita rasakan akibatnya adalah karena kehidupan
manusia sudah melebihi daya dukung lingkungan tempat kita hidup. Prinsip
keberlanjutan ini meliputi: konservasi (conservation), pendaurulangan (recycling),
penggunaan sumber daya yang dapat dibarukan (renewable resource use), pengendalian
populasi (population control) dan restorasi (restoration). Prinsip keberlanjutan ini
sebenarnya dapat kita pelajari dari alam secara langsung yaitu pada ekosistem alam.
Jawaban :
Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena
kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan
hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hokum
pengelolaan sumber daya alam.
Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) yang berisikan konsepsi dan arah pembangunan, GBHN kemudian dijabarkan
oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun atau REPELITA.
Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan bahkan dengan tegas
mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk
memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak
mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang
sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk
memungut hasil hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan
konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan
konservasi. Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan
pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di sekitar mereka.
Secara lebih nyata -- dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi, HMN
diterjemahkan sebagai hak negara untuk mengambil tanah adat atau tanah milik
masyarakat yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal ini misalnya terjadi
di beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi seperti di Haruku,
Maluku, dan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Bahkan di Haruku yang telah
ditetapkan Pemerintah sebagai hutan lindung tapi muncul aktivitas pertambangan.
SampaI saat ini masih menjadi konflik antara masyarakat di satu sisi dengan Pemerintah
dan perusahaan di sisi lain.
Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang berlangsung pada bulan Nopember 1998
menghasilkan beberapa Ketetapan, yang diantaranya adalah tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia3.
Di dalam Tap MPR No. XV/1998 tersebut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Otonomi
Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di
daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,
dimana penyelenggaraan tersebut dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan
memperhatikan keanekaragaman daerah.