Anda di halaman 1dari 45

Daftar Gambar viii I. PENDAHULUAN ...

1.1LATAR BELAKANG...1

1.2TUJUAN PENELITIAN...5

1.3KERANGKA BERFIKIR...5

1.4RUMUSAN MASALAH...9

1.5MANFAAT PENELITIAN...9

1.6NOVELTY (KEBARUAN GAGASAN) ...10

II. TINJAUAN PUSTAKA...11

2.1EKOWISATA SEBAGAI KONSEP PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN...11

2.2DEFINISI EKOWISATA...12

2.2.1 Konsep Ekowisata Indonesia ...16

2.2.2 Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Kawasan...19

2.2.3 Penataan Ruang Kawasan Wisata...22

2.3 PEMANFAATAN KAWASAN KONSERVASI UNTUK WISATA...23

2.3.1 Pemanfaatan kawasan suaka margasatwa ...27

2.3.2. Pemanfaatan blok pada kawasan suaka margasatwa ...29

2.3.3 Konsep daya dukung dalam pengembangan kawasan wisata...31

III. GAMBARAN UMUM KABUPATEN POLEWALI MANDAR ...35

3.1.RUPABUMI DAN BENTUK WILAYAH...37

3.2PENGGUNAN LAHAN...38

3.3IKLIM DAN HIDROLOGI...39

3.4KEPENDUDUKAN...41

3.5KONDISI UMUM SUAKA MARGASATWA MAMPIE-LAMPOKO...42


3.6INVENTORI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA (ODTW)...43

IV. METODOLOGI PENELITIAN ...44

(9)

4.1.1 Lokasi penelitian ...44

4.1.2 Waktu penelitian...44

4.2DESAIN PENELITIAN...44

4.3JENIS DATA DAN INFORMASI...45

4.4VARIABEL PENELITIAN...46

4.5METODE PENGAMBILAN DATA...47

4.6METODE ANALISA DATA...48

4.6.1 Analisis contingen valuation ...49

4.6.2Analisa daya dukung kawasan...49

4.6.3 Pendekatan sistem dalam desain model pengembangan ekowisata...50

4.6.4 Teknik prospektif ...52

4.6.5 Analisis keruangan...55

V. KONSEP MODEL EKOWISATA ...56

5.1PENDEKATAN SISTEM...56

5.2RUANG LINGKUP KAJIAN MODEL...60

5.3 INTEGRASI MODEL...61

5.4MODEL PENGEMBANGAN EKOWISATA (MESM) ...64

5.4.1 Sub-model kelestarian kawasan...65

5.4.2 Sub model dampak negatif minimum (polusi) ...71

5.4.3 Sub model pendapatan lokal dan wisatawan...76


5.4.4 Sub-model partisipasi masyarakat ...85

5.5VERIFIKASI MODEL PENGEMBANGAN EKOWISATA...89

VI. KONDISI EKSISTING PENGEMBANGAN EKOWISATA ...91

6.1KELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM DAN BUDAYA...91

6.1.1 Kondisi fisik– kimia...91

6.1.2 Kondisi biologis...93

6.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat...97

6.1.4 Persepsi pengunjung tentang keunikan budaya...98

6.2DAMPAK NEGATIF MINIMUM...99

6.2.1 Polusi udara ...99

6.2.2 Polusi air...100

(10)

5.2.4 Degradasi budaya ...100

6.3KONTRIBUSI PADA PEREKONOMIAN LOKAL...101

6.3.1 Kontribusi pada kawasan...101

6.4PARTISIPASI MASYARAKAT...103

6.5PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN...107

6.6PERMINTAAN PASAR...108

6.6.3 Tingkat kepuasan wisatawan ...112

6.1.5 Daya dukung kawasan ...114

VII. STRATEGI PENGEM BANGAN EKOWISATA...118

7.1ANALISA STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA...118

7.1.1 Identifikasi faktor kunci...118


7.2KONSEP MODEL PENGEMBANGAN EKOWISATA...121

7.3PENYUSUNAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA...122

7.3.1 Strategi pengembangan progresif ...124

7.3.2 Strategi pengembangan moderat ...128

7.3.3 Strategi pengembangan pesimis...131

7.4PERBANDINGAN ANTAR STRATEGI PENGEMBANGAN


EKOWISATA...134

7.5ARAHAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA...136

7.6STRATEGI PENATAAN RUANG KAWASAN...141

7.6.1 Pola pembagian ruang ...143

7.6.2 Rencana peruntukan ruang ...145

7.6.3 Rencana kegiatan ...147

7.6.4. Rencana lansekap...149

7.6.5 Rencana aksesibilitas ...153

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ...157

8.1KESIMPULAN...157

8.2SARAN...159 DAFTAR PUSTAKA

(11)

NoTabel Teks Hal

1 Dampak negatif pembangunan pariwisata 12 2 Unsur unsur penting dalam


ecotourism 16 3 Beberapa penelitian mengenai wisata di Indonesia 18

4 Kegiatan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan pada

kawasan konservasi

25
5 Hubungan karakteristik antara unsur ekowisata dan fungsi

kawasan suaka margasatwa

30

6 Satuan landform 38

7 Jenis penggunaan lahan di kabupaten Polewali-mandar 40 8 Inventory obyek


dan daya tarik wisata 44 9 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam
penelitian 46

10 Responden dan pakar 46

11 Kriteria pengembangan ekowisata 47

12 Pedoman pengisian dari matriks keterkaitan antar faktor 54

13 Matriks Prospektif 55

14 Matriks kebutuhan stakeholder 58

15 Matriks analisis kebutuhan sistem ekowisata 59

16 Analisis formulasi masalah 60

17 Jumlah kamar untuk setiap ruangan berdasarkan spesifikasi 69 18 Tipe


kendaraan dan penggunaan konsumsi bahan bakar 75 19 Tipe rumah tangga dan
jumlah limbah padat 76 20 Tipe penginapan dan jumlah limbah padat 76

21 Share penginapan / tipe wisatawan 82

22 Kapasitas kendaraan 86

23 Kondisi fisik perairan 93

24 Parameter kimia perairan Polewali-mandar 93 25 Karakteristik jenis mangrove


diperairan Teluk Mandar 94 26 Nilai kerapatan jenis lamun diperairan Teluk
Mandar 95 27 Flora pada suaka margasatwa Mampie - lampoko 96 28 Daftar
fauna di suaka margasatwa Mampie-lampoko 97

(12)

30 Hasil analisis dari kriteria dampak negatif minimum 102 31 Hasil analisis dari
konstribusi pada perekonomian lokal 104 32 Hasil analisis dari kriteria partisipasi
masyarakat 107 33 Hasil analisis dari kriteria pendidikan dan pembelajaran 108
34 Karakteristik wisatawan mancanegara 111

35 Karakteristik wisatawan nusantara 112

36 Hasil analisis permintaan pasar 114

37 Indikator jenis tanah dan kemiringan lereng untuk faktor erosi 116

38 Faktor faktor yang dapat mempengaruhi RCC 117

39 Tabel prospektif 120

40 Keterkaitan antar faktor dan kondisi untuk analisis prospektif 122 41 Rencana
strategi pengembangan ekowisata 124

42 Implikasi strategi progresif 128

43 Implikasi terhadap strategi moderate 131

44 Implikasi strategi pesimis 134

45 Target strategi pengembangan ekowisata 136 46 Dasar pola pembagian ruang


suaka margasatwa Mampie -lampoko 143

47 Pola aktifitas setiap blok 144

48 Karakteritik pengunjung dan unsur kegiatan dalam kawasan 147 49 Jenis jenis
sirkulasi di kawasan suaka margasatwa 156

(13)

No Gambar Teks Hal

1 Kerangka pikir strategi pengembangan ekowisata 8 2 Diagram hipotetical


(tourism area lifecycle-TALC) 22

3 Daya dukung wisata 34

4 Peta kabupaten polewali mandar 37

5 Neraca air di kabupaten Polewali-mandar dan sekitarnya 41 6 Trend


pertumbuhan penduduk kabupaten Polewali-mandar 42

7 Kerangka rancangan penelitian 49


8 Simulasi analisis prospektif 55

9 Konsep input output pengembangan ekowisata 61

10 Model pengembangan ekowisata 63

11 Sub-model kelestarian 67

12 Sub model dampak minimum 73

13 Sub model pendapatan lokal dan wisatawan 78

14 Sub model partisipasi masyarakat 87

15 Hubungan antara jumlah wisawan dan pendapatan 91 16 Hubungan antara


jumlah wisawan dan tenaga kerja 91 17 Persepsi pengunjung mengenai keunikan
sosia l budaya 99 18 Distribusi total pengeluaran pengunjung 103 19 Persepsi
masyarakat mengenai pariwisata 107

20 Grafik jumlah wisatawan mancanegara 109

21 Pasar utama wisatawan domestik 110

22 Minat wisatawan mancanegara ke Sulawesi Selatan 113 23 Tingkat kepuasan


wisatawan mancanegara 113 24 Simulasi model keterkaitan antar faktor dalam
pengembangan

ekowisata

121 25 Perbandingan skenario pertumbuhan wisatawan 135 26 Peta pola


pembagian ruang kawasan Mampie –lampoko 145

(14)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut


Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak,
fotocopi, microfilm dan sebagainya

(15)

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Fenomena kepariwisataan dunia dalam beberapa dekade terakhir ini berkembang


menjadi sebuah industri sipil yang sangat besar dan kegiatan sosial ekonomi yang
membentuk ciri perekonomian dunia yang semakin kompleks. Sebagai sebuah
kekuatan sosial-ekonomi, pariwisata berperan aktif merubah gaya hidup manusia
dan menjadikannya sebagai komponen paling progresif dalam pertukaran nilai
budaya dan perdamaian di dunia internasional. Walaupun, fakta menunjukkan
bahwa dalam dua dasawarsa terakhir ini telah terjadi berbagai peristiwa ketidak
stabilan keamanan diberbagai belahan dunia seperti peperangan, bencana alam
dan ancaman terorisme, akan tetapi kualitas dan kuantitas pertumbuhan wisatawan
baik nusantara dan mancanegara terlihat terus bertumbuh dengan pesat. Bahkan
pariwisata dan peranannya dalam pembangunan berkelanjutan pada saat ini
mendapat perhatian besar di berbagai belahan dunia, hal ini terlihat dari sejumlah
studi dan konfrensi telah menguji implikasi pendekatan hijau (green approach)
terhadap pariwisata yang berkaitan dengan pola berkelanjutan, untuk menjaga
kestabilan sosial dan lingkungan hidup (Gullick et al. 2000; Slingger, 2000).

Dalam konteks kepariwisataan Indonesia, berbagai sumber data memperlihatkan


bahwa pertumbuhan wisatawan mancanegara bertumbuh sangat mengesankan
sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Sebagai gambaran umum,
pada tahun 1990 jumlah wisatawan mancanegara bertumbuh dari ± 2 juta
wisatawan, kemudian meningkat dua kali lipat hingga mencapai 5 juta wisatawan
dengan devisa $6 millyar pada awal 1997. Kinerja kepariwisataan di Indonesia
kemudian berfluktuasi ditahun tahun berikutnya. Proyeksi yang sangat optimis
diharapkan untuk tahun 2005 adalah 6 juta wisatawan dengan perolehan devisa
sebesar $6 milyar (Wacik, 2005). Akan tetapi, proyeksi tersebut hanya mampu
dipenuhi sebesar ± 92 %, sehingga untuk pencapaian 2006 diharapkan
pertumbuhan yang lebih tinggi dari target nasional sebesar 6,5 juta wisatawan
mancanegara

Dari proyeksi pertumbuhan kepariwisataan tersebut diharapkan dapat memberikan


dampak yang berkesinambungan terhadap penciptaan lapangan kerja,

(16)

peningkatan pendapatan masyarakat lokal, pertumbuhan ekonomi nasional dan


membuka isolasi geografis pada kawasan timur Indonesia (KTI) serta mendorong
upaya pelestarian lingkungan. Karena itu tidaklah mengherankan jika pemerintah
Republik Indonesia merancang sektor ini menjadi salah satu andalan penerimaan
negara yang utama, setelah merosotnya perolehan devisa dari berbagai komoditas
unggulan seperti garment dan minyak bumi.

Apabila kita merujuk pada permintaan pasar wisata dunia, terlihat perubahan
minat berwisata dari wisata massal (mass tourism) yang mengandalkan 5S (Sun,
Sea, Sand, Scenery and Sex) mengarah pada wisata yang berwawasan lingkungan
(environmentally sound tourism) dan wisata yang berkelanjutan (sustainable
tourism). Hal ini dibuktikan dengan berubahnya pangsa pasar wisata internasional,
mengarah pada kegiatan wisata berwawasan lingkungan pada kawasan kawasan
wisata alam di Afrika dan Asia Pasifik (Mysak, 2001; Rahman et al. 1997).
Perubahan tersebut terjadi (shifting trend) sebagai akibat tingginya overvisitasi

pada kawasan wisata yang telah terkenal sebelumnya di kawasan Eropa dan
Amerika serta munculnya kejenuhan wisatawan untuk mengunjungi kawasan
wisata artifisial (artificial tourism zone) yang mengubah lansekap alam dan
merusak lingkungan alamiah.

Perubahan trend wisata dunia tersebut melahirkan sebuah konsep baru berwisata
yang dikenal dengan ekowisata atau ecotourism, yang dinyatakan sebagai konsep
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berwawasan lingkungan melalui
pariwisata (Bachri, 2004:3 ; Ditjen PKA dan JICA, 2000: 2). Walaupun dalam
kenyataan, bagi para pelaku bisnis wisata konsep tersebut masih saja diasosiasikan
sebagai wisata minat khusus (niche tourism) yang dikaitkan dengan
penelitian/petualangan untuk menginterpretasikan keindahan fenomena alam yang
unik. Konsep tersebut juga diharapkan dapat menciptakan image baru bagi obyek
dan daya tarik wisata (ODTW) untuk keluar dari persoalan menurunnya
kunjungan wisatawan. Hal inilah yang mendorong aktivitas bisnis wisata untuk
terus berusaha meningkatkan kualitas lingkungan dan memasarkan produk wisata
yang ramah lingkungan.

Dalam banyak literatur, konsep ekowisata diinterpretasikan sebagai wisata alam


(nature based tourism), wisata budaya (cultural tourism), wisata pedesaan

(17)

(village tourism), wisata petualangan (adventure tourism), wisata buru (hunting


tourism) dan berbagai istilah lainnya yang lebih menekankan pada konsep
berwisata pada kawasan kawasan tertentu tanpa melihat nilai perlindungan sosial
budaya masyarakat, konservasi sumberdaya alam (Sadler, 1990; Lascurain, 1997;
Fandeli, 2000:2; Fennels, 2001; Avenzora, 2003). Karenanya, The International
Ecotourism Society-TIES (2002) kemudian meramu definisi ekowisata sebagai
“Suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang
dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan
serta kesejahteraan penduduk setempat”. Definisi tersebut kemudian
bermetamorfosis sebagai akibat dari perkembangan visi, konsep dan bentuk
kegiatan ekowisata yang disesuaikan kondisi suatu wilayah, untuk Indonesia
definisi ekowisata dijabarkan dalam RENSTRA ekowisata nasional sebagai:

“Konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis


pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan serta berintikan partisipasi aktif
masyarakat dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan
pembelajaran, berdampak negatif minimum terhadap lingkungan, memberikan
konstribusi positif terhadap pembangunan daerah dan diberlakukan pada kawasan
lindung, kawasan terbuka, kawasan binaan serta kawasan budaya ”(dalam
Sekartjakrarini, 2004).

Dengan merujuk pada definisi diatas, terlihat bahwa ekowisata menawarkan


kesatuan nilai berwisata yang terintegratif antara keseimbangan menikmati
keindahan alam dan upaya melestarikannya. Sehingga ekowisata kemudian
menjadi pilihan yang paling awal untuk dapat dijadikan pilar utama pengelolaan
lingkungan dan pengembangan pariwisata Indonesia yang kaya dengan keaneka
ragaman hayati, keindahan alam dan keragaman budaya.

Untuk dapat menjabarkan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan,


diperlukan model pengembangan kawasan yang terintegratif dengan melibatkan
kesatuan visi dari seluruh stakeholdernya. Sehingga dalam mengembangkan
sebuah daerah tujuan wisata (DTW), ekowisata dapat berperan secara aktif untuk
memberikan solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi
dalam pengembangan kawasan. Fokus utama dari pengembangan model
ekowisata tersebut didasarkan atas potensi dasar kawasan dimana kelestarian alam
dan budaya lokal dikedepankan, dengan tidak mengembangan wisata dan
infrastruktur yang bersifat massal.

(18)

Untuk dapat melihat aktualisasi pengembangan daerah tujuan wisata, penelitian


ini diaplikasikan pada kawasan suaka margasatwa Mampie- lampoko (SMML)
yang merupakan salah satu kawasan konservasi (berdasarkan SK MENTAN no.
699/Kpts/Um/11/1978 tanggal 13 November 1978) yang oleh pemerintah daerah
kabupaten Polewali mandar pengembangannya ditujukan untuk kegiatan wisata
alam. Kawasan dengan luasan hampir mencapai 2000 ha, mempunyai keunikan
lansekap, biodiversitas yang cukup tinggi, mempunyai peranan ekologis penting
bagi masyarakat sekitarnya dan merupakan habitat burung endemis Ibis mandar
(Ralidae atau Aramislopsir paletei).

Merujuk pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Dirawan et al.

(1998) dalam Pola Dasar Pengembanga n Pariwisata Kabupaten POLMAS dan


Rahman et al. (1997) dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Sulawesi
Selatan (RIPP-SS) terlihat bahwa kajian produk untuk pengembangan kawasan
Mampie- lampoko yang merupakan bagian dari daerah tujuan wisata (DTW)
Teluk Mandar diarahkan untuk produk wisata alam terbatas dengan potensi
unggulan lansekap pesisir dan fauna endemis serta merupakan kawasan koridor
bagi destinasi utama wisata propinsi Sulawesi Selatan yaitu kabupaten Tana-
Toraja dan Mamasa. Kenyataannya, dari kedua penelitian tersebut tidak
menjabarkan kajian yang lebih mendalam mengenai potensi daya dukung wisata,
strategi pengembangan kawasan wisata. Selanjutnya, berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan (2003) dan Dirawan (2004)
memperlihatkan pertumbuhan wisatawan mancanegara untuk kabupaten Polewali-
mandar meningkat dengan rata rata pertumbuhan sebesar ± 14 % per tahun dari ±
570 wisatawan pada tahun 2000 menjadi ± 840 wisatawan pada tahun 2003. Hal
ini memperlihatkan bahwa kawasan tersebut mempunyai kemampuan untuk
dikembangkan menjadi kawasan wisata unggulan.

Sebagai bahan banding bagi penelitian ini, merujuk pada pengembangan


ekowisata pada kawasan Jervis Bay Marine Park, Boodeere National Park di
New South Wales yang dilakukan oleh National Centre Development Studies-
NCDS

(2000), dalam penelitian tersebut ekowisata telah terintegrasi sebagai konsep


pengembangan kawasan yang melibatkan masyarakat lokal (Aborigin) sebagai
pelaku utama. Model wisata lainnya yang menjadi bahan rujukan adalah

(19)

pengembangan kawasan Cartier Island (pulau Pasir) di perbatasan Northen


Territory dan Indonesia serta Chatam Island di New Zealand.

Dengan melihat berbagai argumentasi diatas, tentunya pengembangan konsep


ekowisata pada kawasan suaka alam seperti suaka margasatwa Mampie-lampoko
menjadi penting untuk dikaji mengingat kawasan suaka margasatwa merupakan
kawasan suaka burung yang sangat rentan terhadap perubahan habitat dan
ekosistem. Sehingga penelitian ini diharapkan menghasilkan strategi
pengembangan ekowisata yang berdaya guna dan berhasil guna yang dapat
memberikan nilai tambah pada pembangunan kawasan dengan menjaga
kelestarian alam dan budaya

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merancang strategi

pengembangan ekowisata pada kawasan suaka margasatwa. Dengan melihat

tujuan utama diatas maka, dijabarkan beberapa tujuan antara penelitian yaitu: 1.
Mengidentifikasi dan mengevaluasi kriteria ekowisata yang

mempengaruhi pengembangan kawasan suaka margasatwa yang difokuskan untuk


menghitung daya dukung wisata.

2. Merancang model dinamik pengembangan ekowisata.


3. Merumuskan strategi pengembangan ekowisata pada kawasan suaka
margasatwa khususnya pada suaka margasatwa Mampie lampoko.

4. Merancang tata ruang kawasan dan menjabarkan kegiatan yang diperlukan


dalam pengelolaan kawasan wisata.

1.3 Kerangka Berfikir

Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) pada


kabupaten Polewali- mandar merupakan bagian dari pengembangan pariwisata
regional di propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Visi dan misi
pengembangan pariwisata dikabupaten Polewali- mandar didasarkan atas potensi
keragaman obyek dan daya tarik wisata seperti; daya tarik flora dan fauna
khususnya burung endemis seperti Ibis mandar (Ralidae atau Aramislopsir
paletei), burung Rangkong, bahkan menjadi tempat persinggahan burung

(20)

Pelecanus conspicilatus; ekosistem kawasan mangrove, padang lamun dan


terumbu karang; keindahan lansekap pesisir; keunikan nilai budaya pesisir
berbagai peninggalan tradisional.

Dengan menggunakan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan


diharapkan, pengelolaan kawasan suaka margasatwa Mampie-lampoko akan lebih
mengedepankan aspek perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, keseimbangan,
dan berkelanjutan, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bukan hanya
kepada peningkatan devisa negara dan pendapatan daerah, serta menimbulkan
nilai tambah terhadap perekonomian masyarakat lokal. Disamping itu juga
diharapkan mampu menciptakan rasa aman, mampu mempertahankan kelestarian
budaya dan lingkungan.

Dengan merujuk pada definisi ekowisata yang dirumuskan pada Rencana Strategi
Pengembangan Ekowisata Nasional yang menyatakan bahwa ekowisata adalah
suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis
pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan serta berintikan partisipasi aktif
masyarakat dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran,
berdampak negatif terhadap lingkungan, memberikan konstribusi positif terhadap
pembangunan daerah dan diberlakukan pada kawasan lindung, kawasan terbuka,
kawasan binaan serta kawasan budaya (Sekartjakrarini, 2004). Sehingga model
pengembangan ekowisata pada kabupaten Polewali- mandar didasarkan pada
kriteria dari penerapan konsep ekowisata pada pengembangan kawasan yaitu:

1. Perlindungan terhadap kelestarian lingkungan dan budaya setempat. 2.


Memberikan dampak negatif yang minimum.
3. Konstribusi positif pada perekonomian lokal. 4. Partisipasi aktif masyarakat.

5. Pendidikan dan pembelajaran.

Merujuk pada kriteria diatas, maka rancangan model dinamik pengembangan


ekowisata dapat dibagi atas 4 submodel yaitu: sub model kelestarian sumber daya
alam, sub model wisatawan dan pendapatan lokal yang memperlihatkan jumlah
penerimaan masyarakat lokal dan jumlah wisatawan termasuk didalamnya, sub
model partisipasi masyarakat yang didasarkan jumlah tenaga kerja, sub model
polusi yang memperlihatkan dampak negatif dari kegiatan

(21)

wisata. Selanjutnya salah satu faktor kunci dalam pengembangan pariwisata


adalah pengaturan ruang kawasan dengan didasari oleh Undang Undang no. 5
tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem dan
Peraturan Pemerintah no. 68 tahun 1999 tentang kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam serta PP no. 18 tahun 1994 tentang pengusahaan
pariwisata alam diharapkan dapat dihasilkan sebuah pola pengaturan ruang
kawasan yang disesuaikan dengan kebijakan pengembangan kawasan wisata.
Diharapkan dari strategi dan model pengembangan wisata tersebut dapat
menghasilkan kebijakan yang menyeluruh bagi pembangunan sektor pariwisata di
kabupaten Polewali- mandar.

(22)

Gambar 1. Kerangka pikir strategi pengembangan ekowisata

Konsep Pariwisata Berkelanjutan Visi dan Misi Pembang unan

Daerah

Potensi Dasar Daerah

Daya Tarik Flora/ Fauna Nilai Budaya Pesisir Peninggalan Tradisional Keindahan
Alam

Potensi Permintaan Wisata

Kondisi Ekonomi Perkembangan Global

Stakeholder

Pemerintah Masyarakat
Swasta Wisatawan

Model Pengembangan Ekowisata

Model Sistem Pengembangan Kawasan

Sub model kelestarian sumberdaya Sub model dampak minimum Sub model
partisipasi masyarakat Sub model wisatawan dan pendapatan lokal

Strategi Pengembangan Ekowisata

Strategi Tata Ruang Kawasan

Strategi Pengelolaan

Arahan Kebijakan Pengembangan Ekowisata

Infrastruktur wisata Akomodasi Transpotasi Telekomunikasi

Pemanfaatan kawasan konservasi

(23)

1.4 Rumusan Masalah

Untuk dapat merancang model pengembangan ekowisata pada kawasan suaka


margasatwa, terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan diantaranya:

Kurangnya koordinasi antar stakeholders dalam pengembangan kawasan wisata,


tidak adanya kepastian hukum dalam pengembangan wisata, lemahnya data base
dan sistem informasi, kurang efektifnya strategi promosi menyebabkan
kepariwisataan Indonesia tidak mampu mengoptimalkan sumber daya yang
dimilikinya Selain itu kebijakan pariwisata di Indonesia masih diarahkan pada

hospitality dan travel management dimana para penyelenggaraan kegiatan wisata


diasumsikan sebagai sebuah industri penghasil devisa tanpa usaha perlindungan
kelestarian kawasan wisata.

Disisi lain, UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, memicu konflik
antar stakeholder dalam pemanfaatan kawasan khususnya pada kawasan
konservasi seperti suaka margasatwa Mampie- lampoko. Disatu sisi masyarakat
berusaha untuk dapat mengambil keuntungan ekonomis dari kawasan dengan
merambah daerah hutan mangrove dan membuka areal pertambakan dengan
mengatasnamakan hak kepemilikan adat menjadi sebuah fakta yang memilukan.
Di sisi lainnya pemerintah daerah juga berupaya untuk mendapat keuntungan
ekonomis dengan mencoba mengalih fungsikan kawasan tersebut menjadi
kawasan pemukiman penduduk dan kawasan yang mempunyai fungsi ekonomis
dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini tentunya bertentangan
dengan kewenangan dalam pengelolaan kawasan suaka margasatwa berada pada
pemerintah pusat. Tarik menarik kepentingan tersebut akhirnya menimbulkan
konflik yang tidak hanya menimbulkan degradasi lingkungan, akan tetapi
menimbulkan konflik sosial yang kemudian berujung pada kondisi status quo,
tanpa adanya upaya untuk menjaga kelestarian.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh oleh para stakeholder dari penelitian ini
adalah bahan masukan bagi pihak:

(24)

1. Pemerintah merupakan masukan untuk landasan pengelolaan dan pengaturan


areal wisata dalam kawasan suaka marga satwa khususnya pada suaka
margasatwa Mampie- lampoko dan obyek dan daya tarik wisata la innya di
kabupaten Polewali- mandar.

2. Industri pariwisata; diversifikasi obyek dan daya tarik wisata (ODTW) untuk
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

3. Peneliti dan pendidik ; usaha usaha untuk dapat mengembangkan penelitian,


pendidikan lingkungan hidup dan pariwisata kepada masyarakat.

4. Masyarakat; pengembangan kawasan ini dapat diijadikan sebagai upaya untuk


mengubah pola pikir masyarakat dengan tidak hanya mengeksploitasi kawasan
tersebut akan tetapi mengenalkan kepada masyarakat kegiatan yang menghasilkan
nilai ekonomis disamping upaya untuk pelestarian kawasan. 5. Wisatawan,
penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai

perlunya pelestarian lingkungan hidup dan strategi yang dapat dilakukan untuk
melestarikan kawasan konservasi.

1.6 Novelty (kebaruan gagasan)

Aplikasi konsep ekowisata dalam pengembangan dan penyelenggaraan wisata


terbatas pada kawasan suaka margasatwa.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ekowisata Sebagai Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Ekowisata merupakan sebuah terminologi baru yang masih mencari jati diri,
sebagai sebuah konsep pariwisata yang berkelanjutan, ekowisata telah merubah
paradigma berwisata secara gradual di berbagai belahan dunia dan telah menjadi
mode baru dalam pengembangan pariwisata (Epplerwood, 2004; UN EP, 2002).
Dengan didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan
oleh World Commission for Environmental and Development (WCED) (1984:36)
sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Sejalan
dengan konsep tersebut, Agenda 21 for the travel tourism industry; toward
sustainable development menjabarkan konsep pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan, sebagai:

“Pariwisata berkelanjutan memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima


pada saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang
akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa
sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil
memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanekaragaman hayati
dan sistem pendukung kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan yang
dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan lokal, masyarakat, dan budaya,
sehingga mereka menjadi penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban
pembangunan kepariwisataan” (KLH, 2001).

Dari konsep diatas, makna pariwisata yang berkelanjutan memperlihatkan sebuah


konsep yang memaduserasikan dan mengintegrasikan antara nilai nilai sosial-
budaya, ekologi dan ekonomi dalam konteks pembangunan dimana ekowisata
merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan tersebut sesuai dengan
pernyataan the Quebec Declaration on Ecotourism, dalam IYHE (2001) yang
menyatakan bahwa ekowisata "embraces the principles of sustainable tourism...
and the following principles which distinguish it from the wider concept of
sustainable tourism. Karenanya ekowisata dijadikan benchmark bagi
pembangunan karena dapat memberikan keuntungan ekonomis, ekologis dan
sosial yang besar, dan tidak merusak alam bila dibandingkan dengan industri
lainnya.

(26)

Untuk dapat mencapai bentuk pembangunan pariwisata yang berkelanjutan


(sustainable tourism), ekowisata diharapkan dapat mengeliminir potensi
kerusakan budaya dan lingkungan alam yang mungkin akan terjadi. Karenanya
perlu dilakukan identifikasi terhadap potensi dampak ne gatif dari pembangunan
pariwisata seperti pada Tabel 1 menjadi penting untuk dilakukan guna
memberikan rambu rambu dalam penerapan konsep ekowisata dalam
pengembangan kawasan wisata.
Tabel 1. Dampak negatif pembangunan pariwisata

Komponen lingkungan Fenomena dampak negatif Kegiatan pariwisata yang


menimbulkan dampak negatif

Gangguan perkembang biakan Pengamatan burung ( bird watching)

Gerak jalan ( hiking)

Hilang atau kepunahan Perburuan ( hunting)

Hewan dan bagian hewan diawetkan

Masakan istimewa (unique dishes)

Padatnya visitasi

Perubahan pola migrasi hewan Perjalanan dalam jalur migrasi Flora dan Fauna

Kerusakan vegetasi Pembangunan sarana wisata

Kegiatan wisata pada kawasan hutan lindung

Polusi Air dan tanah Limbah cair

Ceceran minyak dan bahan kimia Pembuangan sampah padat

Polusi Udara Emisi kendaraan bermotor

Polusi

Polusi Suara Kemacetan lalu lintas

Kehidupan malam Tingginya visitasi

Pengikisan permukaan tanah Lalu lintas yang padat

Longsor Lingkungan binaan yang tidak

terkendali

Penggundulan hutan Erosi

Kerusakan DAS Wisata sungai yang tidak terkendali

Kepadatan pengunjung Habisnya cadangan air tanah


dan air permukaan

Banyaknya kawasan terbangun Kerusakan sumber air

Sumber Daya Alam

Tingginya kemungkinan kebakaran

Api yang tidak terkendali Sumber : Soeriatmaja (1997) dan Heriawan (2004)

2.2 Definisi ekowisata

Sebagai penjabaran dari pengembangan pariwisata berkelanjutan, dalam beberapa


literatur dinyatakan bahwa ekowisata merupakan konsep dari pengembangan
pengelolaan lingkungan hidup melalui sektor pariwisata yang memberikan nilai
tambah terhadap upaya pelestarian lingkungan (Braddon, 2001). Hal ini
terinspirasi proses awal lahirnya konsep ekowisata yang didasarkan dari

(27)

kisah perjalanan penjelajah dunia seperti Darwin, Humbolt, Bates, Wallace, Van
steins dan lain lain dalam mempelajari menemukan dunia baru (new frontier)
dengan berbagai kebudayaan kuno dan tradisional (Fandeli, 2000). Selanjutnya,
pada tahun 1966 hingga 1967 usaha wisata untuk mendukung konservasi mulai
digalakkan, sebagai contoh; wisata whale watching dijadikan sebagai alternatif
dari penghapusan kuota penangkapan ikan paus di laut Artic. Akan tetapi, pada
saat itu, konsep ekowisata belum dirumuskan sebagai bagian dari konsep
pembangunan berkelanjutan walaupun konsep wisata yang mendukung konservasi
terus berkembangan dengan cepat diberbagai negara terutama setelah

Club of Rome (1971) mengeluarkan buku Limit To Grow yang memberikan


kesadaran kepada khalayak dunia tentang makna keterbatasan dalam
mengeksploitasi lingkungan (Lascurain, 1996). Dikemudian hari, konsep tersebut
kemudian berkembang sebagai wisata berbasis alam yang dilakukan kawasan
yang mempunyai pemandangan alam yang eksotik dan mempunyai keunikan flora
dan fauna menjadi kawasan wisata.

Secara terminologi, ekowisata juga dikenal dengan wisata-eko yang diartikan


sebagai suatu kegiatan wisata yang memanfaatkan ekologi atau ekosistem (Boo,
1992:54). Dilain pihak, ekowisata juga sering dipadanankan sebagai economic
tourism karena nilainya yang sangat tinggi (Gahey, 2000). Selanjutnya, beberapa
terminologi mengenai ekowisata yang banyak digunakan oleh berbagai pihak
yang cenderung membingungkan seperti halnya: green tourism, low impact
tourism, smale scale tourism, low density tourism, soft tourism dan lain
sebagainya akan menimbulkan kerancuan dalam mencari bentuk pengembangan
konsep tersebut dilapangan (Avenzora, 2003).

Sebagai sebuah istilah yang masih mencari bentuknya pada awalnya

ekowisata seperti yang dideklarasikan oleh Lascurain (1997) sebagai “Traveling


to undisturb area or uncontaminated natural areas with a specific objective of
studying , admiring and enjoying the scenery and its wild plants and animals”.
Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Boo (1992), Chamberlain (1993:20) dan
Williams (1999:10). Selanjutnya WTO (1999) menambahkan “... as well as a
cultural aspectfound in those area “.

(28)

Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan sektor pariwisata, istilah ekowisata


kemudian berkembang dengan melihat suatu hubungan timbal balik antar kegiatan
wisata dan lingkungan dimana dalam pemamfaatan jasa lingkungan tentunya
diharapkan dapat menimbulkan dampak ekonomis yang lebih besar terhadap
masyarakat sekitarnya sehingga tidak menimbulkan upaya untuk merusak/
mengekploitasi sumber daya yang dimilikinya. Sesuai dengan pendapat Snores
dalam Mercer (1997) dimana ekowisata dinyatakan sebagai upaya memanfaatkan
sumber daya alami (ecologically sound tourism) termasuk spesies, habitat dan
bentang alam yang bertujuan untuk menambah variasi kegiatan berwisata yang
kemudian diharapkan juga dapat ikut beperan dalam upaya pelestarian dan
meningkatkan kesejahteran masyarakat sekitar.

The International Ecotourism Society-TIES (2002) yang merupakan salah satu


organisasi non-profit yang dideklarasikan di Vermont me ndefinisikan ekowisata
sebagai “Resposible travel to the natural areas that conserves the environment
and sustains the well being of lokal people“. Kemudian konsep tersebut dipertegas
oleh Western (1997) dengan menyatakan bahwa ekowisata mempunyai “strong
commitment to the nature and to the lokal community ”. Hal yang sama juga
dinyatakan oleh Australian Department of Tourism (dalam Mencer, 1997) dengan
menambahkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan
budaya masyarakat.

Terinspirasi pada masyarakat Cookstomb di Belize, pengertian ekowisata


kemudian banyak diadopsi pada berbagai negara dimana peranan masyarakat
lokal semakin menguat. Masyarakat tidak hanya berperan aktif dalam
merencanakan kawasan akan tetapi juga turut aktif dalam pengelolaan dan
pengembangan kawasan wisata akan tetapi dalam kenyataannya peranan/ tingkat
partisipasi masyarakat tersebut sangat bervariasi dalam pelaksanaannya
dilapangan, dan sangat tergantung kepada kondisi budaya, sosial, politik, tingkat
pendidikan dan persepsi masyarakat dalam proses pembangunan.
The Adventure Travel Society (dalam Mercer, 1997) mendefinisikan ecotourism
sebagai “environmentally responsible travel to experience the natural areas and
culture of a region while promoting conservation and economically contribution
to lokal communities”. Selanjutnya, Ziffer (1989) menyatakan “ a

(29)

form of tourism inspired primary by the natural history of an area, including its
indegeniouse cultures, the ecotourist visit underdeveloped areas in the spirit of
the appreciation, participation and sensivity”. Dari berbagai definisi diatas
terlihat bahwa konsep ekowisata sangat menekankan kegiatan wisata pada
kawasan alami dengan upaya konservasi dalam penyelenggaraannya.

Apabila kita merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Fennels (2001) masih
memperlihatkan begitu banyak variasi definisi mengenai ekowisata. Akan tetapi
terdapat beberapa unsur utama yang paling dominan dari penelitian tersebut
seperti konservasi (41,2%) dan pada kawasan alami (44,7%) (lihat Tabel 2). Hal
ini membuktikan bahwa pengertian dasar yang telah dibangun oleh Lascurain
(1997) masih menjadi fokus utama dari konsep tersebut.

Tabel 2. Unsur unsur penting dalam ekowisata

Unsur Sub unsur Jumah batasan %

Konservasi 33 41,2

Landasan Ekologi 29 34,1

Ekologi,budaya, ekonomi 28 32,9

Ekologi dan budaya 21 24,7

Ekologi dan ekonomi 6 7,1

Ekonomi 1 1,2

Tempat pelaksanaan Kawasan alami 38 44,7

Kawasan konservasi/lindung 3 3,5

Kawasan pedesaan 2 2,4

Kawasan belum dikembangkan 2 2,4

Pendidikan Pendidikan 9 10,6


Pemahaman 6 7,1

Interpretasi 4 4,7

Pembelajaran 4 4,7

Penelitian 3 3,5

Etika Penghormatan 7 8,2

Tanggungjawab 6 7,1

Manfaat setempat Ekonomi 19 22,4

Kesejahteraan 8 9,4

Pengembangan Masyarakat 1 1,2

Budaya Umum 38 44,7

Adat istiadat 3 3,5

Masyarakat Asli 1 1,2

Situs Purbakala 1 1,2

Misi usaha Bisnis/Pemasaran 9 10,6

Dampak Minimal/ rendah 13 15,3

Non consumptive 2 2,4

Pengelolaan Umum 7 8,2

Sumberdaya 2 2,4

Keberlanjutan Pembangunan berkelanjutan 21 24,7

Tujuan konservasi dan keberlanjutan 1 1,2

(30)

Dengan melihat berbagai konsep ekowisata yang dijabarkan sebelumnya dapat


ditarik sebuah simpulan bahwa ekowisata merupakan sebuah konsep wisata yang
bertujuan untuk dapat memberikan komitmen kuat akan usaha perlidungan
(konservasi) alam dan sosial budaya, memberikan dampak negatif minimum,

peningkatan ekonomi lokal disamping memberdayakan masyarakat lokal.

Konsep ekowisata juga melingkupi program pendidikan dan penyadaran tentang


pentingnya lingkungan dalam upaya meningkatkan kemandirian masyarakat lokal
dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

2.2.1 Konsep Ekowisata Indonesia

Masyarakat Ekowisata Indonesia (2003) mendefinisikan ekowisata sebagai


pariwisata berwawasan lingkungan yang merupakan salah satu bentuk rekreasi di
alam bebas dimana pengelolaannya didasari oleh komitmen terhadap pelestarian
alam dan lingkungan. Visi ekowisata yang dikembangkan oleh INDECON (1999)
menyatakan bahwa untuk menciptakan pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan melalui penyelenggaraan yang mendukung upaya pelestarian
lingkungan (alam dan budaya) dengan melibatkan masyarakat setempat

Akan tetapi dalam kenyataannya konsep ekowisata menjadi sangat bias terlebih
dalam operasional dilapangan. Konsep tesebut diatas umumnya ditafsirkan
sebagai wisata alam yang dikombinasikan dengan wisata budaya. Pada beberapa
kawasan wisata di Indonesia, konsep ekowisata lebih dispesialisasikan sebagai
kegiatan wisata minat khusus (niche turism) seperti;

trekking, hiking, penelusuran gua, arung jeram dan wisata out bound. Hal ini
tentunya akan memberikan bias karena kegiatan wisata alam di Indonesia belum
dapat menunjang usaha konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem,
dimana aspek perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari belum
dipertimbangkan sebagai bagian dala m perencanaan wisata (Ditjen PKA dan
JICA, 2000). Selanjutnya, pengembangan wisata pada kawasan konservasi
dianggap masih sangat beresiko, hal ini disebabkan penegakan hukum masih
sangat lemah ditambah dengan pengawasan pembangunan pada kawasan
konservasi yang belum sesuai dengan visi dan misi pembangunan berkelanjutan
(Benyamin, 1997; Mulyaningrum, 2004; Safri, 2003)

(31)

Dalam beberapa penelitian sebelumnya sebagai contoh studi awal pengembangan


ekowisata pada kawasan konservasi di Indonesia (Ditjen PKA dan JICA, 2000)
konsep ekowisata masih diadopsi dari pengertian awal sebagai perjalanan wisata
pada kawasan alami (dalam konteks ini kawasan konservasi) yang mana tataran
regulasi dan perencanaan pengembangannya masih didominasi dan diatur oleh
salah satu stakeholder yakni pemerintah (Ditjen PKA dan JICA, 2000:92). Hal ini
tentunya akan menimbulkan kerancuan dengan keinginan untuk memberdayakan
masyarakat, walupun dari sisi lain pemerintah tidak dapat disalahkan karena
masih banyaknya perbedaan persepsi mengena i ekowisata sebagai penerapan
konsep pariwisata yang berkelanjutan. Untuk itu terdapat beberapa unsur dalam
konsep ekowisata yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penerapannya di
lapangan, seperti:

1. Pemanfaatan lingkungan secara lestari.

2. Pembentukan masyarakat madani dan sensitif terhadap tata nilai budaya dan
sosial masyarakat.

3. Mampu menjawab pergeseran dari sisi pasar.

4. Memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah dan nasional


(Sekartjakrarini, 2004).

Upaya partisipasi masyarakat dalam konteks ekowisata adalah pembentukan


masyarakat madani, dimana masyarakat menjadi pelaku utama dalam
penyelenggaraan dan pengelolan kawasan, disamping itu masyarakat akan
bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan, pihak pemerintah
memberikan jaminan baik secara hukum maupun kebijakan untuk membantu
masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan, sementara pihak swasta
melakukan berbagai upaya promosi dan mengelola perjalanan wisatawan hingga
ke obyek dan daya tarik wisata. Dengan demikian terlihat sinergi kemitraan antara
pemerintah, masyarakat dan swasta akan terjalin dengan baik. Keadilan akan
akses pemanfaatan kawasan juga dapat terjalin sehingga proses pembangun yang
berkelanjutan akan dapat tercapai (Fennels, 2001). Terdapat beberapa penelitian
sebelumnya mengenai ekowisata yang dapat dijabarkan dalam Tabel 3.

(32)

Tabel 3. Beberapa penelitian mengenai wisata di Indonesia

No Peneliti Judul penelitian Gambaran umum penelitian 1 Benyamin

(1997)

Disertasi IPB Bogor

Proses Pengembangan Wisata Alam dan Dampak Lingkungan Terutama pada


Aspek Sosial-Ekonomi (Studi Kasus; Pantai Bali)

Mengevaluasi kondisi pengembangan wisata di pulau Bali dengan meliht kondisi


Biofisik, sosial ekonomi masyarakat.

2 M Yuwana
(2000)

Disertasi IPB Bogor

Pengelolaan lingkungan pulau pulau kecil dengan pengembangan ekowisata


(wisata alam): kajian peran serta masyarakat (studi kasus: Taman Nasional laut
Kepulauan Seribu)

Penelitian ini masih mengasumsikan ekowisata sama dengan wisata alam dengan
kajian difokuskan pada peran serta masyarakat.

3 Shelly, R. and G, Wall (2001) Jurnal

ELSEVIER SCIENCE

Evaluating ecotourism; the case North Sulawesi

Menjabarkan mengenai ekowisata, danya menjelaskan mengenai dampak


ekowisata terhadap lingkungan

4 Aryanto rudi (2003) Makalah pertemu wisata

Environmental marketing

pada ekowisata pesisir: menggerakan ekonomi rakyat daerah otonom

Menjabarkan pendekatan marketing dengan menggunakan benefit cost analisis


pada pendekatan ekowisata pada masyarakat pesisir

5 Dirawan G D Marini S hamidun Jalius (2003) mata kuliah ekowisata Evaluasi


pengembangan ekowisata Gunung Gede Pangrango; studi kasus Bedogol

Penelitian diarahkan untuk melihat kondisi taman nasional Gunung Gede


Pangrango dalam menerapan ekowisata dan melihat persepsi masyarakat
mengenai ekowisata 6 Safri (2003)

Disertasi IPB Bogor

Dampak Pariwisata Alam Taman Nasional Kerinci Seblat terhadap Ekonomi


Masyarakat Sekitar dan Wilayah Kabupaten Kerinci provinsi Jambi

Penelitian ini melihat dampak sosial ekonomi masyarakat sebagi akibat dari
pengembangan pariwisata alam

7 Widada (2004) Disertasi IPB Bogor


Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi
Masyarakat

Penelitian menjabarkan analsis sosial ekonomi taman nasional gunung Halimun-


Salak, dimana ekowisata hanya merupakan salah satu faktor dari pengelolaan TN
8 Heriawan

(2004)

Disertasi IPB Bogor

Peranan dan Dampak Pariwisata dalam Pereko-nomian Indonesia; Suatu


Pendekatan I-O dan SAM.

Penelitian ini mendesain konsep model pariwisata dengan pendekatan ekonomi 9


Satyawan dan Saragih (2004) Jurnal Elsevier Science

Lake Toba; the need for an integrtaed management sistem

Mengambarkan ekowisata sebagai salah satu bagian terintegrasi dari


pengembangan pengelolaan Danau Toba

(33)

No Peneliti Judul penelit ian Gambaran umum penelitian 10 Mulyaningrum

(2004)

Disertasi IPB Bogor

Strategi Pengembangan Wisata Alam Berkelanjutan dalam Perspektif Ekonomi.

Penelitian diarahkan untuk pengembangan pariwisata alam tanpa adanya


pembahasan mengenai ekowisata

11 Hengki (2006) Disertasi IPB Bogor

Analisis daya saing ekowisata Penelitian diarahkan untuk melihat daya saing
ekowisata secara ekonomis

dari berbagai penelitian diatas hanya memperlihatkan spesifik lingkungan yang


sangat bervariasi satu dengan yang lainnya. Hal tersebut sangat tergantung dari
kondisi sosial-ekologis dan faktor pendukung utama yang dimiliki oleh kawasan
serta konsep penyelenggaraan kegiatan wisata pada kawasan tersebut. Sehingga
penelitian mengenai aplikasi konsep ekowisata khususnya pada kawasan suaka
alam yang mempunyai nilai kerentanan yang sangat tinggi terhadap pengaruh luar.

2.2.2 Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Kawasan

Konsep pengembangan/ pengelolaan kawasan wisata menurut INDECON (1999)


seharusnya didasarkan pada kaidah alam yang mendukung upaya pelestarian
lingkungan (alam dan budaya) serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
dimana aspek pengelolaannya didasarkan oleh adanya kesatuan visi dari para
stakeholdernya. Strategi yang dibutuhkan untuk mengembangkan ekowisata
seharusnya memenuhi prinsip prinsip dasar seperti yang dikemukakan oleh
Wright (1993:2) diantaranya :

1. Ekowisata tidak menyebabkan degradasi sumber daya alam dan pengembangan


selalu berdasarkan prinsip ramah lingkungan.

2. Ekowisata seharusnya mendukung partisipasi dan pengalaman baru bagi


wisatawan.

3. Ekowisata seharusnya mencakup pengetahuan komunitas lokal, pemerintah,


lembaga swadaya masyarakat, industri, wisatawan sebelum dan sesudah
melakukan perjalanan.

4. Ekowisata seharusnya menemukan seluruh nilai intrinsik sumber daya. 5.


Ekowisata mencakup daya dukung sumberdaya.

6. Ekowisata mempromosikan saling pengertian dan menjembatani hubungan


antar pihak pihak terkait. Seluruh pihak terkait seharusnya mempromosikan
tanggung jawab perilaku moral dan etika yang berkaitan alam dan budayanya.

(34)

7. Ekowisata seharusnya memberikan keuntungan dalam jangka panjang untuk


sumberdaya, komunitas lokal dan industri dimana keuntungan tersebut dapat
berupa konservasi, ilmu pengetahuan dan budaya atau ekonomi.

8. Ekowisata berorientasi kepada tujuan pembangunan berwawasan lingkungan


dengan tetap mengindahkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 9.
Kegiatan ekowisata seharusnya menjamin bahwa etika dasar praktek

lingkungan yang bertanggung jawab diterapkan tidak hanya sebagai sumberdaya


eksternal yang menjadi atraksi wisata tetap juga faktor internal operasional.

Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan didasarkan pada


beberapa unsur utama, yaitu: Pertama, ketergantungan pada kualitas sumberdaya
alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kedua, melibatkan masyarakat. Ketiga,
meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan
sejarah dan budaya. Keempat, tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional
dan nasional. Kelima, sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan (Shelly
and Wall, 2001). Dengan kata lain, ekowisata menawarkan konsep low invest-
high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya sarana
cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat, karena seluruh aset produksi
menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal.

Inskeep (1991) menggambarkan proses pengembangan kawasan wisata dari waktu


ke waktu, dimana perkembangannya tidak lepas dari dukungan masyarakat
setempat. Pada tahap awal pengembangan wisata, respons terhadap potensi
ODTW akan mendorong bertumbuhnya aksesibilitas ke kawasan, hal ini ditandai
dengan bertumbuhnya sistem transportasi yang menghubungkan antar nodal
kawasan wisata dan nodal penyalur wisata. Dala m waktu yang sama
pertumbuhan jumlah wisatawan terus meningkat seiring dengan pembangunan
infrastruktur wisata yang berada dalam kawasan. Stakeholder yang berpengaruh
pada tahapan ekplorasi adalah pelaku bisnis wisata dan wisatawan yang terus
menerus berusaha untuk menemukan daerah tujuan wisatawa yang baru.

Pada tahap selanjutnya, dengan bertumbuhnya visitasi wisatawan pada kawasan


baru, maka peranan masyarakat sebagai penerima wisatawan juga mulai
diikutsertakan dalam pengembangan kawasan. Pada tahapan ini masyarakat akan

(35)

berperan lebih aktif dalam menyediakan sarana seperti akomodasi, restaurant,


cinderamata serta sarana lainnya sehingga potensi ekonomi masyarakat akan
berkembang. Hal ini tentunya akan menimbulkan peningkatan kebutuhan kerja
dan menarik migrasi dari kawasan lain disekitarnya.

Peranan pemerintah kemudian mulai terbentuk setelah proses pembangunan pada


kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukan kelembagaan wisata menjadi
bagian yang tidak terelakkan dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan
pemanfaatan ruang kawasan wisata. Untuk dapat melihat gambaran yang lebih
utuh mengenai perkembangan sebuah kawasan wisata dapat dilihat pada Gambar
2.

visitasi kawasan baru kontrol lokal pengembangan intitusi

rejuvenation stagnasi konsolidasi penurunan

pembangunan
eksplorasi keikutsertaaan waktu Gambar 2 Diagram hipotetikal (tourism area life
cycle- TALC)

Sumber : Gunn (1997); Cooper et al. (1993).

Untuk dapat melihat dampak dari pengembangan ekowisata terlebih dahulu perlu
diperhatikan hal-hal yang telah teridentifikasi dari perencana pengembangan
ekowisata karena hal ini akan menyangkut kelangsungan pertumbuhan kawasan
wisata dan juga tentunya akan menyangkut kelangsungan para pelaku wisata yang
berada dalam kawasan tersebut, diantaranya :

1. Volume atau jumlah wisatawan.

2. Karakteristik wisatawan dengan kebutuhannya.

3. Tipe dari aktifitas wisata yang dapat ditawarkan pada sebuah kawasan wisata
beserta dengan variasi wisata yang mungkin dilakukan.

(36)

4. Struktur masyarakat yang berada pada kawasan wisata tersebut. 5. Daya


dukung lingkungan.

6. Kemampuan masyarakat untuk dapat mengadaptasi dari berkembangnya


kepariwisataan.

7. Kebijakan yang mendukung pengembangan.

8. Pengelolaan kawasan yang terpadu (Wall and Wright, 1995; Justiano 1998)

2.2.3 Penataan Ruang Kawasan Wisata

Untuk dapat menjabarkan pemanfaatan ruang dalam kawasan wisata, dimana,


kawasan wisata adalah merupakan sebuah areal yang meliputi dimensi ruang dan
waktu yang dipergunakan sebagai tempat berwisata maka perlu diperhatikan
beberapa aspek yang mendukung hadirnya wisatawan dalam konteks keruangan.
Hakekat penataan ruang dalam penjelasan Undang Undang no. 23 tahun 1992,
yang menyatakan bahwa ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau
tempat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Kebutuhan akan ruang
berwisata dapat dijabarkan dalam pengelolaan waktu dan ruang dimana kebutuhan
akan ruang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dari individu atau sekelompok
orang untuk dapat memberikan kenikmatan (ekstase) dalam sebuah perjalanan
wisata.
Ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang
yang tidak dapat dipisah-pisahkan dimana ruang tersebut mempunyai potensi
yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tingkat intensitas yang berbeda untuk
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Potensi itu di antaranya sebagai
tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan, industri,
pertambangan, jalur perhubungan, obyek wisata, sumber energi, dan penelitian.

Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur pembentuk ruang


lingkungan alam, sosial, dan buatan yang secara hirarkis dan struktural
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Wujud struktural
pemanfaatan ruang di antaranya meliputi: hirarki pusat pelayanan seperti pusat
kota, pusat lingkungan, pusat pemerintahan, prasarana jalan, dan rancang bangun
kawasan.

Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan


ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan

(37)

alam. Wujud pola pemanfaatan ruang di antaranya meliputi pola lokasi, sebaran
permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah
perdesaan dan perkotaan. Hasil perencanaan tata ruang yang disebut sebagai
rencana tata ruang sesungguhnya adalah konsep, ide dan merupakan instrumen
pengendali pembangunan suatu wilayah pemerintahan yang menjadi pegangan
bersama segenap aktor pembangunan baik pemerintah, masyarakat maupun
swasta. Idealnya suatu rencana tata ruang disusun berdasarkan aspirasi kebutuhan
masyarakat yang dirumuskan dan dianalisis dengan metode dan teknik
perencanaan.

2.3 Pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata

Sejak taman nasional Yellowstone di Amerika Serikat dikembangkan sebagai


kawasan wisata yang kemudian menghasilkan pendapatan bagi usaha konservasi
kawasan. Hal ini mendorong beberapa negara di dunia ini untuk memanfaatkan
kawasan pelestarian dan perlindungan alam mereka sebagai ODTW untuk dapat
menghasilkan pendapatan bagi usaha mempertahankan kelangsungan usaha
konservasi (Wearing and Joanne, 1997; Wiratno et al. 2004). Dilain pihak,
pertumbuhan pemahaman mengenai usaha konservasi di seluruh dunia
menyebabkan upaya untuk mempertahankan kelangsungan ekologis dunia kian
meningkat, seiring dengan bertumbuhnya kesadaran tersebut tekanan sosial
ekonomi juga muncul dengan sangat pesat perkembangannya. Kawasan
konservasi kemudian menjadi bagian dari pengembangan wisata dunia, dengan
melakukan kegiatan wisata pada kawasan tersebut diharapkan akan timbul
kesadaran masyarakat dunia untuk dapat melestarikan lingkungan hidup.
Dari konsep awal yang dikembangkan oleh Lascurain (1997) dimana konsep
pengembangan ekowisata masih didominasi oleh kegiatan wisata alam pada
daerah alami khususnya pada kawasan konservasi yang berupa: taman nasional,
taman hutan raya, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru. Akan tetapi
dalam pengembangannya kemudian kegiatan wisata ini dilakukan juga pada
kawasan hutan produksi, ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, pesisir, di
daerah hulu atau muara sungai yang memiliki obyek dan daya tarik wisata yang
unik. Bahkan konsep ekowisata dapat diaplikasikan pada wisata

(38)

perkotaan, kawasan binaan dan cultural heritage asal sesuai dengan indikator
ekowisata yang telah dikembangkan sebelumnya (Sekartjakrini, 2004b).

Berdasarkan UU no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistem terdapat 3 kegiatan yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban
pemerintah dan masyarakat yaitu: perlindungan terhadap sistem kehidupan,
pengawetan keanekaragaman hayati jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Hal
ini tentunya akan berdampak terhadap kegiatan yang dapat dilakukan dan tidak
dapat dilakukan pada kawasan konservasi yang memiliki fungsi strategis dalam
mendukung kehidupan manusia. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan dan tidak
dapat dilakukan dalam kawasan konservasi dapat dilihat dalam tabel 4.

Tabel 4. Kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi

No Jenis Kawasan

Kegiatan yang dapat dilakukan pada kawasan

Kegiatan yang dilarang pada kawasan

1 Cagar alam Kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu


pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.

Kegiatan yang dapat mengakibat kan perubahan terhadap keutuhan kawasan cagar
alam dengan cara : melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam
kawasan; memasukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam
kawasan; memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan
tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan; menggali atau membuat lubang
pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan,
atau mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu
kehidupan tumbuhan dan satwa
(39)

2 Suaka margasatwa

Kegiatan untuk kepentingan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan,


pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lain yang menunjang budidaya adapun
kegiatan yang dapat dilakukan adalah: perlindungan dan pengamanan kawasan,

inventarisasi potensi kawasan penelitian dan pengembangan yang menunjang


pengawetan; pembinaan habitat dan populasi satwa

Melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan; memasukan


jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan; memotong,
merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa;
menggali atau membuat lubang pada tanah yang menggang- gu kehidupan
tumbuhan dan satwa, atau mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau
mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa

3 Taman Nasional

Kegiatan untuk kepentingan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan,


pendidikan, budidaya dan wisata alam dan rekreasi yang disesuaikan dengan zona.

Kegiatan yang dapat mengakibat- kan perubahan terhadap keutuhan zona inti

Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan

4 Taman Hutan Raya

Kegiatan untuk kepentingan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan,


pendidikan, budidaya dan wisata alam serta pelestarian budaya

Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya

5 Taman Wisata Alam

Kegiatan untuk kepentingan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan


yang berhubungan dengan wisata, pendidikan, budidaya dan wisata alam berupa
karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan
dokumentasi tentang potensi kawasan wisata alam tersebut

Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya

(40)
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa perbedaan yang mendasar dari upaya
pemanfaatan jasa lingkungan, untuk sektor wisata, merupakan salah satu yang
sangat penting dalam pemanfaatan kawasan konervasi. Pada kawasan suaka alam,
kegiatan wisata yang sifatnya terbatas hanya dapat dilakukan pada blok rimba
dalam kawasan suaka margasatwa. Hal ini didukung oleh PP no. 18 tahun 1994
tentang Pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam. Dimana jenis jenis usaha wisata yang dapat
dilakukan yaitu akomodasi, makanan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan
wisata, cinderamata dan sarana budaya. Dimana dalam pelaksanaannya harus
memenuhi beberapa persyaratan diantaranya:

1. Luas kawasan yang dimanfaatkan tidak lebih dari 10 % zona pemanfaatan


taman nasional, areal pemanfaatan taman hutan raya dan taman wisata alam yang
bersangkutan.

2. Bentuk bangunan bergaya arsitektur setempat. 3. Tidak mengubah bentangan


alam

Kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan dan dikembangkan di kawasan


tersebut di atas pada prinsipnya dapat digolongkan dalam dua tipe yaitu;

1. Wisata darat yang meliputi: lintas alam, mendaki gunung, menelusuri gua,
berburu, fotografi, rekreasi pantai, berkemah, penelitian dan pendidikan.

2. Wisata bahari yang meliputi: berenang, menyelam, berlayar, berselancar,


fotografi, memancing, rekreasi pantai, penelitian dan pendidikan

Adapun Undang Undang no. 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan tidak


memberikan pengaturan tentang pengelolaan wisata pada kawasan konservasi
walaupun salah satu persyaratan dalam pengembangan ODTW
mempertimbangkan kelestarian nilai nilai budaya dan mutu lingkungan. Untuk
menciptakan iklim dan peluang ekonomi secara profesional melalui kegiatan
wisata alam, pemerintah telah me ngeluarkan berbagai kebijakan. Departemen
Kehutanan dan Perkebunan telah mengantisipasi sejak tahun 1989, yaitu dengan
diterbitkannya SK Menteri Kehutanan no. 68/Kpts-II/1989 tentang pengusahaan
hutan wisata, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata laut. Demikian

(41)

pula dalam pengembangan wisata buru, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah no.
13 Tahun 1994 tentang perburuan.

2.3.1 Pemanfaatan kawasan suaka margasatwa


Dalam rangka perlindungan terhadap keanekaragaman hayati maka pemerintah
menetapkan usaha perlindungan terhadap kawasan yang merupakan habitat alami
dari suatu jenis tertentu flora atau fauna yang disebut dengan kawasan suaka alam.
Dimana berdasarkan PP no. 68 tahun 1999 tentang kawasan perlindungan alam
dan kawasan suaka alam, kawasan suaka alam didefinisikan sebagai kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.

Kawasan suaka margasatwa yang merupakan bagian dari kawasan suaka alam
didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman
dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan
pembinaan terhadap habitatnya. Merujuk PP no. 68 tahun 1998, penunj ukan
sebuah kawasan menjadi kawasan suaka margasatwa yang pengelolaannya
dikelola oleh pemerintah pusat dapat dilakukan apabila telah me menuhi kriteria
sebagai berikut ;

1. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu
dilakukan upaya konservasinya.

2. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.

3. Merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan
punah.

4. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

5. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.

Adapun fungsi dari suaka margasatwa adalah sebagai berikut:

1. Sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan jenis jenis satwa beserta


habitatnya.

2. Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan. 3. Sebagai


kawasan yang dimanfaatkan untuk

(42)

a. penelitian yang meliputi: penelitian dasar dan penelitian untuk dapat menunjang
pemanfaatan dan budidaya

b. pengembangan ilmu pengetahuan c. pendidikan


d. wisata alam terbatas

e. kegiatan penunjang budidaya.

Karenanya terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada kawasan suaka
maragasatwa dalam rangka pengawetan diantaranya: perlindungan dan
pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan
pengembangan yang menunjang pengawetan. pembinaan habitat dan populasi
satwa , adapun pembinaan habitat dan populasi satwa, meliputi kegiatan :

a. Pembinaan padang rumput

b. Pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa c.
Penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon

sumber makanan satwa d. Penjarangan populasi satwa

e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli, atau

f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa penggangu.

Berdasarkan definisi dan fungsinya maka kegiatan wisata alam terbatas dapat
dilakukan pada kawasan suaka margasatwa. Dimana wisata terbatas yang dapat
dikembangkan disesuaikan dengan unsur lain seperti usaha perlindungan kawasan,
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan disamping memberikan
kesempatan kepada wisatawan untuk menikmati keunikan kawasan dengan
mempertahankan kelestariannya. Karenanya pengembangan kawasan suaka
margasatwa dengan konsep ekowisata sangatlah tepat dilakukan mengingat
beberapa definisi ekowisata yang terdapat dalam RENSTRA ekowisata
dinyatakan sebagai “Konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan
pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan serta berintik an
partisipasi aktif masyarakat dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan
dan pembelajaran, berdampak negatif minimum terhadap lingkungan,
memberikan konstribusi positif terhadap pembangunan daerah dan diberlakukan

(43)

pada kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan binaan serta kawasan budaya ”
(Sekartjakrarini, 2004), akan dapat memberikan dampak positif bagi kelestarian
kawasan. Untuk dapat melihat secara utuh dapat dijabarkan dalam tabel berikut :

Tabel 5. Hubungan keterkaitan antara unsur ekowisata dan fungsi kawasan suaka
margasatwa.
Unsur Ekowisata dalam Renstra Fungsi dan kegiatan yang dapat dilakukan pada
kawasan suaka margasatwa

Kelestarian dan perlindungan terhadap kawasan

Adapun tujuan pokok dari penunjukan sebuah kawasan suaka margasatwa adalah
upaya perlindungan terhadap kelestarian dan keunikan kawasan yang mempunyai
ciri khas tertentu terutama satwa

Partisipasi aktif masyarakat Untuk dapat mempertahankan unsur pelestarian


dalam kawasan Undang undang 41/1999 tentang kehutanan mensyaratkan adanya
unsur pelibatan masyarakat dalam usaha perlindungan

Pendidikan Salah satu fungsi yang mungkin dilakukan dalam kawasan suaka
margasatwa adalah fungsi pendididkan dan

penelitian

Dampak negatif minimum Dengan adanya upaya perlindungan dan kelestarian


kepada kawasan maka diupayakan untuk dapat menekan dampak negatif minimun
yang terjadi dalam kawasan suaka margasatwa

Pembangunan ekonomi daerah Sistem penyanggah kehidupan yang terdapat


dalam salah satu fungsi kawasan suaka margasatwa bukan hanya berupa
penyangga kehidupan ekologis, akan tetapi juga menjadi penyanggah kehidupan
ekonomis dimana masyarakat sekitarnya akan mendapatkan manfaat yang cukup
agar usaha perlidungan pada kawasan tersebut dapat dilakukan secara bersama
sama dengan masyarakat sekitar.

Sumber : PP no. 68 tahun 1998, UU no. 5 tahun 1990

Berdasarkan hasil tabel diatas terlihat bahwa konsep ekowisata dapat dilakukan
sebagai bagian dalam pengembangan kawasan suaka margasatwa, karena unsur
unsur ekowisata yang menjadi standar minimum dalam menjaga kelestarian
kawasan SM dapat dipenuhi.

2.3.2. Pemanfaatan blok pada kawasan suaka margasatwa

Suaka margasatwa mempunyai tujuan pengelolaan usaha konservasi. Hal ini


sering menimbulkan masalah konflik pemanfaatan ruang dalam konteks UU no.
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Untuk mengatasi hal ini diperlukan
adanya inovasi sistem pengelolaan yang meningkatkan sistem

(44)
perlindungan sumberdaya alam dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
disekitar kawasan.

Menurut undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam,


terdapat beberapa blok yang dimungkinkan terdapat dalam suatu suaka
margasatwa adalah blok rimba dan, blok inti. Blok rimba adalah suatu daerah
dalam kawasan suaka margasatwa yang menjadi pusat kegiatan wisata terbatas.
Pendayagunaan potensi sumberdaya alam, baik sumberdaya alam hayati maupun
sumberdaya alam fisik semata- mata ditujukan untuk mengoptimalkan fungsi
wisata pada blok tersebut. Pengelolaan blok rimba sepenuhnya menjadi tugas dan
dan wewenang pengelola suaka margasatwa untuk mendapatkan jasa rekreasi
alam seoptimal mungkin. Wisata terbatas yang dapat dilakukan pada blok rimba
dibatasi terhadap luasan yang minimum ( < 10 % dari luasan blok rimba ) dengan
kegiatan terbatas yang tidak merusak habitat dan ekosistem yang ada. Hal ini
tentunya memerlukan pembatasan terhadap kedekatan potensi wisata yang
dimiliki oleh kawasan suaka margsatwa. Pembatasan terhadap jumlah wisatawan
juga merupakan hal penting dalam rangka menjaga daya dukung dari kawasan
suaka margasatwa.

Blok inti adalah bagian dari kawasan suaka margasatwa yang mutlak untuk
dilindungi. Kegiatan pengelolaan diarahkan untuk melindungi alam serta
memelihara proses-proses alamiah agar diperoleh contoh ekologis lingkungan
alam. Kegiatan yang dapat dilakukan di daerah ini adalah penjagaan dan kegiatan
pendidikan, penelitian yang dilakukan dengan izin khusus, dengan demikian
kegiatan pengelolaan kawasan ini adalah mutlak menjadi tanggung jawab balai
konservasi sumber daya alam (BKSDA).

Sedangkan daerah penyangga adalah wilayah-wilayah yang berada di luar


kawasan suaka margasatwa yang penggunaan tanahnya terbatas untuk lapisan
perlindungan tambahan bagi kawasan suaka margasatwa dan sekaligus bermanfaat
bagi masyarakat sekitarnya. Karenanya pengoptimalan pemanfaatan daerah
penyangga yang berada diluar atau diperbatasan kawasan konservasi menjadi
penting bagi masyarakat lokal dalam rangka peningkatan ekonomi lokal, sehingga
tidak merusak kawasan suaka margasatwa (Mac Kinnon et al. 1986).

(1)

J. E. Mbaiwa, F.E. Bernard, and C. E. Orford. 2001 . Limits of acceptable change


for tourism in the Okavango delta.

http://www.globalwetlands.org/docs/5%20Papers%20&%20Paper
%20Abstracts/Mba iwa,%20Bernard,%20Orford%205.4.doc. [20 September
2006]
INDECON. 1999. Pelatihan Ekowisata ; Memperkuat Perspektif Pemahaman
Ekowisata di Indonesia. Yayasan Indecon. Jakarta.

Inskeep, E. 1991. Tourism Planning an Integrated Sustainable Development


Approach, Van Notrand Reinhold, New York..

Justiano, M. nd. Learning trough travel ; A guide to teaching ecotourism about


wild life Conservation .web-site. http:
http://www.brazilenature.com/ingles/guido.html, [12 September 2003].

Kementrian Lingkungan Hidup. 2000. Agenda 21 untuk Pariwisata . Kementrian


Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta.

Kementrian Lingkugan Hidup .2004a. Keputusan Kepala Bapedal no 47 tahun


2001 tentang Pedoman pengukuran kondisi terumbu karang dalam himpunan
peraturan di bidang pengelolaan lingkungn hidup dan penegakan hukum
lingkungan. Jakarta.

__________________b. Keputusan Kepala Bapedal no 51 tahun 2004 tentang


Baku mutu air laut . dalam himpunan peraturan di bidang pengelolaan lingkungn
hidup dan penegakan hukum lingkungan. Jakarta.

Lascuarin, H. C. 1996 . Tourism ,Ecotourism and Protected Areas. IUCN-World


Conservation Union.

____________. 1997. Ekowisata Sebagai Suatu Gejala Menyebar ke Seluruh


Dunia [terjemahan].dalam buku the Ecotourism II, The Ecotourism Society. North
Bennington Vermont.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2005. Potensi Kelautan Kabupaten


Polewali- mandar. Kerjasama LIPI dan PEMDA kab upaten Polewali mandar.
Mac Kinnon. J, K. Mac Kinnon, G. Child and J.Thorsell. 1986. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. Masyarakat Ekowisata Indonesia. 2003. Ekowisata. Web-site

http://www.ekowisata.com/ind/. [ 23 Agustus 2004].

Mercer. 1997. On Definitions of Ecotourism. Annual Tourism Research 23 (2):


101-109. Muhammadi, E. Aminullah., B. Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis ;
Lingkungan

Hidup, Sosial. Manajemen . UMJ Press, Jakarta.

Mulyaninrum. 2004. Strategi Pengembangan Wisata Alam Berkelanjutan dalam


Perspektif Ekonomi. (disertasi). Institut Pertanian Bogor.
Mysak, M. 2001. How to be ecotourist. Web-site.

http://www.mysack.com/community/northern/lifestyle/travel/ecotourism/shtml.
[23 Agustus 2004].

(2)

Naisbit, J. 1987. Future Shock. Longman Ltd. Singapore.

[NCDS] National Center Development Studies. 2001a. Booderee National Park :


A Planning Review. [a report]. The National Center Development Studies, The
Australian National University. Canberra.

__________b. Jervis Bay Marine Park. [a report]. National Center Development


Studies, The Australian National University. Canberra.

Rahman, D., G. D. Dirawan dan T. Rahsen 1997. Rencana Induk Pengembangan


Pariwisata Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Pariwisata, Departemen
Pariwisata, POS dan Telekomunikasi Repubik Indonesia. Jakarta. Resusudarmo,
Ida Aju Pradjnja and C.J. P. Colfer [editor]. 2003. Kemana Harus

Melangkah; Masyarakat Hutan dan Permusan Kebijakan di Indonesia.. Resources


for the Future Washingtong DC, Center for International Forestry Research Bogor
Indonesia. Bogor.

Ross, G. F. 1994. The Psychology of Tourism. Melbourne Hospitality Press.


Melbourne. Sadler, I. 1990. Ekowisata Lestari; Dalam Prospek Pengembangan
Pariwisata

Berkelanjutan. Kumpulan Makalah Mata Kuliah Ekowisata. Institut Pertanian


Bogor.

Safri, M. 2003. Dampak Pariwisata Alam Taman Nasional Kerinci Seblat


terhadap Ekonomi Masyarakat Sekitar dan Wilayah Kabupaten Kerinci provinsi
Jambi. (disertasi). Institut Pertanian Bogor.

Saragih, B., and Satywan. S. 2001. Lake Toba; The Need for an Integrtaed
Management System. Annual Tourism Research 23 (1) : 110-121.

Sekartjakrarini, S. 2004. Ekowisata: Batasan dan Pengertian. Dalam Seri


Ekowisata. IdeA. Jakarta.

Sekartjakrarini, S. 2004 b. Ekowisata; Konsep Pengembangan dan


Penyelenggaraan Pariwisata Ramah Lingkungan. Dalam Seri Ekowisata. IdeA.
Jakarta. Sembiring, S. 2000. Perubahan Politik Kebijakan dan Hukum PSDA
Prasya rat

pengembangan Ekowisata Suaka Margasatwa. makalah dalam Lokakarya


Pengembangan Ekotourisme di Taman Nasional. Departemen Kehutanan dan
JICA . Cisarua Bogor.

Shelly, R. and G, Wall. 2001. Evaluating Ecotourism; the Case North Sulawesi.
Annual Tourism Research 23 [1]: 122-132.

Slingger, V. 2000. Ecotourism in the Last Indegoneouse Caribbean Community.


Annual Tourism Research 27 [2] : 520-523.

Soeriatmadja, R. E. 1997. Pariwisata yang Berwawasan Lingkungan dalam

Pembangunan yang Berkelanjutan . Kumpulan Makalah Mata K uliah Ekowisata.


Institut Pertanian Bogor.

Suprianto, M. 2000. Strategi Pengembangan Pulau Pulau Kecil (Studi Kasus:


Kepulauan Karimun Jawa). [disertasi]. Program studi Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.

(3)

Stephen F. McCool. 1998. Limits of acceptable change: a framework for


managing national protected areas: experiences from the United States. Northern
Arizona University.

[IYHE]The International Ecotorism Society. 2002. The Development of


Ecotourism. dalam Proceeding International Year of Ecotourism. May 2005.

[UNEP] United Nations Environmental Protection. 2002. About Ecotourism.


Web-site http://www.unep.fr. [22 agustus 2006].

[UNEP] United Nations Environmental Protection. 1999. Carrying capacity


assessment for tourism development. Coastal area management programme.
Egypt. [20

September 2006]

Wacik, J. 2005. Prospek Perkembangan Pariwisata Indonesia.Kompas: 4 (kolom


1-4) Wall, G., K. Wright. 1995. Environment Impact of Outdoor Recreation.
Publication

Series Department Geography University Waterloo. Ontario.


Wallace.G.N., 2000. Toward A Principles Evaluation of Ecotourism. Colorado
State University. Venture.

Wearing, S., M. Joanne. 1997. Developing Ecoturism; a community based


approach . School of Leisure and Tourism Studies , UTS, Sydney.

Western, D. 1997. Memberi Batasan Tentang Ekowisata. Terjemahan dari


Ecotourism II. The Ecotourism Society. North Bennington Vermont.

Whitten , J . 1998. Ecology Sulawesi . Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Whisman, A. S. 1998. Limit of acceptable change river management plan. West


Virginia Division on natural resources.

http://www.wvdnr.gov/LEnforce/White/RiverMgt/98lac_rpt.pdf. [20 September


2006]

Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung
Halimun bagi Masyarakat . [disertasi]. Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.

Williams, A. 1999. Conservation of Whitewater in Kenya. ELSEVIER 56: 42-56.


Wiranatha, A.A. 2001. A System Model for Regional Planning Towards
Sustainable

Development in Bali Indonesia. [disertasi]. Department of Geraphical Science and


Planning , The University of Quensland. Quensland.

Wiratno, D Indriyono, A Syarifuddin, A kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin


Retak ; Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional .
The Gibbon Faoundation Indonesia dan PILI . Jakarta.

[WCED] World Commission on Environment and Development. 1984. Our


Common Future. [ a report]. Brutland Commission. New York.

Wright, K. 1993. Tapping into Market Potential for Ecotourism. Annual Tourism
Research ELSEVIER SCIENCE 45 (2) : 56-67

(4)

[WTO] World Tourist Organisation. 1999. Copendium of Tourism Statistics. [a


report]. World Tourism Organisation. New York.
[WTO and UNEP] World Tourist Organisation and United Nations
Environmental Protection. 1992. Guidelines Development of National Parks and
Protected Areas of Tourism . WTO/UNEP. Joint Publisher. New York .

__________. 2002. Guidelines of Sustainable Tourism in Protected Areas.


WTO/UNEP. Joint Publisher. New York .

Yuwana. 2000. Pengelolaan Lingkungan Pulau Pulau Kecil dengan


Pengembangan Ekowisata (Wisata Alam): Kajian Peran Serta Masyarakat (Studi
K asus: Taman Nasional laut Kepulauan Seribu) [disertasi]. Program studi
Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

Ziffer, E. 1989. Ecotourism : the Uneasy Alliance. Conservation International.


Ernst and Young. Chicago.

(5)

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Fenomena kepariwisataan dunia dalam beberapa dekade terakhir ini berkembang


menjadi sebuah industri sipil yang sangat besar dan kegiatan sosial ekonomi yang
membentuk ciri perekonomian dunia yang semakin kompleks. Sebagai sebuah
kekuatan sosial-ekonomi, pariwisata berperan aktif merubah gaya hidup manusia
dan menjadikannya sebagai komponen paling progresif dalam pertukaran nilai
budaya dan perdamaian di dunia internasional. Walaupun, fakta menunjukkan
bahwa dalam dua dasawarsa terakhir ini telah terjadi berbagai peristiwa ketidak
stabilan keamanan diberbagai belahan dunia seperti peperangan, bencana alam
dan ancaman terorisme, akan tetapi kualitas dan kuantitas pertumbuhan wisatawan
baik nusantara dan mancanegara terlihat terus bertumbuh dengan pesat. Bahkan
pariwisata dan peranannya dalam pembangunan berkelanjutan pada saat ini
mendapat perhatian besar di berbagai belahan dunia, hal ini terlihat dari sejumlah
studi dan konfrensi telah menguji implikasi pendekatan hijau (green approach)
terhadap pariwisata yang berkaitan dengan pola berkelanjutan, untuk menjaga
kestabilan sosial dan lingkungan hidup (Gullick et al. 2000; Slingger, 2000).

Dalam konteks kepariwisataan Indonesia, berbagai sumber data memperlihatkan


bahwa pertumbuhan wisatawan mancanegara bertumbuh sangat mengesankan
sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Sebagai gambaran umum,
pada tahun 1990 jumlah wisatawan mancanegara bertumbuh dari ± 2 juta
wisatawan, kemudian meningkat dua kali lipat hingga mencapai 5 juta wisatawan
dengan devisa $6 millyar pada awal 1997. Kinerja kepariwisataan di Indonesia
kemudian berfluktuasi ditahun tahun berikutnya. Proyeksi yang sangat optimis
diharapkan untuk tahun 2005 adalah 6 juta wisatawan dengan perolehan devisa
sebesar $6 milyar (Wacik, 2005). Akan tetapi, proyeksi tersebut hanya mampu
dipenuhi sebesar ± 92 %, sehingga untuk pencapaian 2006 diharapkan
pertumbuhan yang lebih tinggi dari target nasional sebesar 6,5 juta wisatawan
mancanegara

Dari proyeksi pertumbuhan kepariwisataan tersebut diharapkan dapat memberikan


dampak yang berkesinambungan terhadap penciptaan lapangan kerja,

(6)

peningkatan pendapatan masyarakat lokal, pertumbuhan ekonomi nasional dan


membuka isolasi geografis pada kawasan timur Indonesia (KTI) serta mendorong
upaya pelestarian lingkungan. Karena itu tidaklah mengherankan jika pemerintah
Republik Indonesia merancang sektor ini menjadi salah satu andalan penerimaan
negara yang utama, setelah merosotnya perolehan devisa dari berbagai komoditas
unggulan seperti garment dan minyak bumi.

Apabila kita merujuk pada permintaan pasar wisata dunia, terlihat perubahan
minat berwisata dari wisata massal (mass tourism) yang mengandalkan 5S (Sun,

Sea, Sand, Scenery and Sex) mengarah pada wisata yang berwawasan lingkungan

(environmentally sound tourism) dan wisata yang berkelanjutan (sustainable

tourism). Hal ini dibuktikan dengan berubahnya pangsa pasar wisata internasional,

mengarah pada kegiatan wisata berwawasan lingkungan pada kawasan kawasan


wisata alam di Afrika dan Asia Pasifik (Mysak, 2001; Rahman et al. 1997).
Perubahan tersebut terjadi (shifting trend) sebagai akibat tingginya overvisitasi
pada kawasan wisata yang telah terkenal sebelumnya di kawasan Eropa dan
Amerika serta munculnya kejenuhan wisatawan untuk mengunjungi kawasan
wisata artifisial (artificial tourism zone) yang mengubah lansekap alam dan
merusak lingkungan alamiah.

Perubahan trend wisata dunia tersebut melahirkan sebuah konsep baru berwisata
yang dikenal dengan ekowisata atau ecotourism, yang dinyatakan sebagai konsep
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berwawasan lingkungan melalui
pariwisata (Bachri, 2004:3 ; Ditjen PKA dan JICA, 2000: 2). Walaupun dalam
kenyataan, bagi para pelaku bisnis wisata konsep tersebut masih saja diasosiasikan
sebagai wisata minat khusus (niche tourism) yang dikaitkan dengan
penelitian/petualangan untuk menginterpretasikan keindahan fenomena alam yang
unik. Konsep tersebut juga diharapkan dapat menciptakan image baru bagi obyek
dan daya tarik wisata (ODTW) untuk keluar dari persoalan menurunnya
kunjungan wisatawan. Hal inilah yang mendorong aktivitas bisnis wisata untuk
terus berusaha meningkatkan kualitas lingkungan dan memasarkan produk wisata
yang ramah lingkungan.

Dalam banyak literatur, konsep ekowisata diinterpretasikan sebagai wisata alam


(nature based tourism), wisata budaya (cultural tourism), wisata pedesaan

Parts

» Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merancang
strategi Kerangka Berfikir

» Rumusan Masalah Manfaat Penelitian

» Rencana aksesibilitas kawasan pemanfaatan perikanan tradisional adalah blok


yang

Show more

Dokumen yang terkait

Studi Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Suaka Margasatwa: Studi


Kasus Di Suaka Margasatwa Karang

0 23 9

Perencanaan Tata Letak Suaka Margasatwa Muara Angke untuk Kegiatan


Ekowisata

0 18 10

Strategi Pengembangan Ekowisata pada Suaka Margasatwa (Studi Kasus


Suaka margasatwa Mampie Lampoko)
2 46 181

Zonasi pengembangan wisata di Suaka Margasatwa Nantu Provinsi


Gorontalo

0 3 157

Zonasi pengembangan wisata di Suaka Margasatwa Nantu Provinsi


Gorontalo

0 2 147

Pengembangan usaha ekowisata di Suaka Margasatwa Cikepuh dan


sekitarnya

1 26 196

Perencanaan Tata Letak Suaka Margasatwa Muara Angke untuk Kegiatan


Ekowisata

0 0 113

Suaka Margasatwa di Indonesia dan hewan

0 1 11

STUDI KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN EKOWISATA


KAWASAN SUAKA MARGASATWA MANGROVE MAMPIE DESA
GALESO KABUPATEN POLEWALI MANDAR

0 3 125
STRATEGI PENGEMBANGAN SUAKA MARGASATWA PADANG
SUGIHAN SEBAGAI OBJEK WISATA ALAM DI KABUPATEN
BANYUASIN

0 0 14



o
o
o

 Dukungan
 info@id.123dok.com
 Syarat penggunaan
 Kebijakan tentang cara menjual dokumen

 Links
 Titles
 Topics

Copyright 123dok © 2017.

Anda mungkin juga menyukai