Disusun oleh :
Kelompok 5
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.Tidak lupa
kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Adapun judul dari makalah ini yaitu “Asuhan Keperawatan Gerontik Pasien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan (Inkontinensia Urine)” yang merupakan salah satu dari tugas yang
dilaksanakan pada mata kuliah Keperawatan Gerontik yang dibimbing oleh Bapak H. Khairir
Rizani, SST, M.Kes. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Khairir Rizani, SST,
M.Kes. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin kami tidak akan menyelesaikan tugas ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih
sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan
penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-
uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan
vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bawah
yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi
dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Secara fisiologis dalam
setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu
kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-buli yang sempurna, proses
pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik serta setiap pengisian dan
pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal.
Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul
gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di Amerika
Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan
ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan
bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%,
sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada
wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan
anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya
urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan
adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini
demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah
membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada
1
kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati
inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.
B. Rumusan Masalah ?
Bagaimana konsep inkontinensia urine dan gambaran asuhan keperawatannya?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan Umum
a. Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Gerontik dengan Gangguan
Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Konsep Inkontinensia urine.
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Inkontinensia urine.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi lansia
Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 lansia adalah manusia yang
umurnya melebihi 65 tahun (Rhosma, 2014). Di indonesia dikatan lansia
jika berumur lebih dari 60 tahun. Lansia bukan suatu penyakit namun
merukapan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan,
ditandai dengan kegagalan seseorang individu untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis dan juga berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk kehidupan serta peningkatan kepekaan
secara individual ( Setianto dan Pudjiastusi dalam Muhith, 2016).
3
2) Wear-And-Tear
Akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak
sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekuler dan
akhirnya malfungsi organ tubuh.
1) Imunitas
Menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun
yang berhubungan dengan penuaan, Sehingga ketika
seseorang betambah tua maka pertahanan mereka terhadap
organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka
lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit.
2) Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang
diperlukan untuk menerima, memproses, dan bereaksi
terhadap perintah.
b. Teori Psikososiologis
Perubahan sikap dan prilaku yang menyertai peningkatan usia,
sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis seperti :
1) Kepribadian
Aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan
harapan atau luas spesifik lansia.
2) Tugas Perkembangan
Aktivitas dan tantangan yag harus dipenuhi seseorang pada tahap-
tahap spesifik dalam hidupnya. Mampu melihat kehidupan
seseorang sebagai kehidupan yang dijalani sebagai integritas.
3) Disengagement
Teori ini menggambarkan tentang proses penarikan diri oleh lansia
dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya
4) Aktivitas
Teori ini berbicara tentang pentingnya tetap aktif secara sosial
4
sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat pada lansia.
5) Kontinuitas
Teori ini bericara tentang penekanan koping kepribadian pada
individu lansia.
5
selfconcept. Dengan kata lain, aktivitas sosial dan hubungan peran
bersifat integral untuk konsep diri dan berbahaya saat terganggu atau
berhenti. Untuk menghindari ini, peran baru harus dikembangkan untuk
menggantikan peran yang hilang. Misalnya di dalam ini teori, hilangnya
peran pekerjaan melalui pensiun bisa diganti dengan kegiatan rekreasi
atau relawan yang sesuai untuk menghindari bahaya efek dari
kehilangan pekerjaan pada konsep diri. Teori dalam sosiologis
perspektif adalah teori kontinuitas. Teori ini mendukung bahwa
individu bergerak melalui tahun-tahun berikutnya mencoba untuk
menjaga hal-hal agar tetap sama dan menggunakan kepribadian yang
serupa dan strategi penanggulangan untuk menjaga stabilitas sepanjang
hidup pada usia tua (Wallace, 2007).
Sudoyo (2007), menyatakan suatu teori mengenai penuaan dapat
dikatakan valid apabila ia dapat memenuhi tiga kriteria umum berikut;
teori yang dikemukakan tersebut harus terjadi secara umum, proses
yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif seiring
dengan berjalannya waktu, dan proses yang terjadi harus menghasilkan
perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan
kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu.
Beberapa teori proses menua menurut Sudoyo (2007), antara lain:
1) Teori Radikal Bebas
Teori ini menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme
oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) sangat bereaksi
berbagai komponen penting seluler. Termasuk protein, DNA, dan
lipid. Menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun
bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal
bebas diperkenalkan pertama kali oleh Harman (1956), yang
menyatakan bahwa proses menua normal merupakan akibat
kerusakan jaringan oleh radikal bebas. Dan bila kadarnya melebihi
kosentarasi ambang maka mereka akan berkontribusi pada
perubahan-perubahan yang sering kali dikaitkan dengan penuaan.
6
2) Teori Glikosilasi
Teori ini menyatakan bahwa proses glikosilasi non-
enzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang
disebut sebagai advanced glycation end products (AGES) dapat
menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain
termodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada manusia yang menua.
3) DNA Repair
Teori ini menyatakan bahwa adanya perbedaan pola laju
perbaikan kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV)
pada berbagai fibrolas pada spesies yang mempunyai umur
maksimum terpanjang menunjukan laju DNA repair terbesar.
3. Proses Menua
Fatimah (2010), macam-macam penuaan berdasarkan perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yaitu:
a. Penuaan biologik
Merujuk pada perubahan struktur dan fungsi yang terjadi sepanjang
kehidupan.
b. Penuaan fungsional
Merujuk pada kapasitas individual mengenai fungsinya dalam
masyarakat, dibandingkan dengan orang lain yang sebaya.
c. Penuaan psikologik
Perubahan prilaku, perubahan dalam persepsi diri, dan reaksinya
terhadap perubahan biologis.
d. Penuaan sosiologik
Merujuk pada peran dan kebiasaan sosial individu di masyarakat.
e. Penuaan spiritual
Merujuk pada perubahan diri dan persepsi diri, cara berhubungan
dengan orang lain atau menempatkan diri di dunia dan pandangan
dunia terhadap dirinya.
7
4. Batasan Umur Lanjut Usia
UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan
“lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas”.
Kementrian kesehatan republik indonesia membagi batasan umur lansia
sebagai berikut:
a). Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun, keadaan ini dikatakan
sebagai masa virilitas;
b). Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium;
c). Kelompok usia lanjut (>65 tahun) yang dikatakan maa senium.
Menurut WHO (World Health Organization) kategori lanjut usia meliputi:
a). Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun,
b)Usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun,
c). Usia tua (old) : 75-90 tahun, d). Usia sangat tua (very old) di atas 90
tahun.
8
tidak sabr, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan pengkrtik.
d. Tipe pasrah
Lansia yang selalu menunggu dan menerima nasib baik,
mempunyai konsep habis (habis gelap datanglah terang), mengikuti
kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
e. Tipe bingung
Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
merasa minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.
9
Saraf pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun
serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya
yang berhubungan dengan stress. Berkurangnya atau hilangnya
lapisan myelin akson sehingga menyebabkan berkurangnya
respon motorik dan reflek.
5) Musculoskeletal
Pada lansia terjadi penurunan kekuatan otot yang
disebabkan penurunan massa otot ( atropi otot). Ukuran otot
mengecil dan penurunan massa otot lebih banyak terjadi pada
ektermitas bawah. Kekuatan atau jumlah daya yang dihasilkan
oleh otot menurun dengan bertambahnya usia.
6) Genitourinaria
Ginjal akan mengalami pengecilan sehingga aliran darah ke
ginjal akan menurun.
7) Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan
pendengaran, tulang- tulang pendengaran mengalami
kekakuan.
8) Penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap
menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun dan
kekeruhan lensa atau katarak.
9) Kulit
Kulit keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut
memutih, kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh,
serta kuku kaki tumbuh seperti tanduk.
10) Endokrin
Produksi hormone menurun, menurunnya aktivitas tiroid,
menurunnya daya pertukaran gas dan memurunnya produksi
aldosteron.
b. Perubahan psikologis
10
Perubahan psikologis pada lansia meliputi memori jangka
pendek, frustasi, kesepian, takut kehilangan, takut menghadapi
kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan (Maryam
dkk, 2008).
c. Perubahan sosial
Perubahan sosial pada lansia meliputi perubahan peran,
keluarga, teman, masalah hukum, agama dan panti jompo (Maryam
dkk, 2008).
1. Pengertian
Inkontinensia urine adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak
mampu dikontrol oleh sfingter ekternal. (Mubarak dalam Yuli,2014).
Inkontinensia urin dalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekresi urin( wartonah dalam
Yuli, 2014).
Inkontinensia urine adalah keluarnya urin secara tidak terkendali
atau tidak pada tempatnya (soeparmaan dalam Yuli,2014).
2. Etiologi
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi estrogen menyebabkan atropi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan dapat mengakibatkan
penurunan otot-otot dasar panggul.
11
2) Perokok
3) Minum alcohol
4) Obesitas
3. Klasifikasi
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tidak dapat
pergi ketoilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teraratasi
mak inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin
fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
panggul, stroke, artrittis dan sebagainya.
12
berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk
kepentingan praktek klinis, kalsifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi:
a. Inkontinensia dorongan
Merupakan kedaan dimana seseorang mengalaami
pengeluaran urine tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat berkemih. Inkontinensia urine jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali
(detrusor overactivity). Maslah-masalah neurologis sering
dikaitkan dengan inkontinensia urine urgensi ini, meliputi
stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medulla
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di
toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul
peristiwa inkontinensia urine.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia diatas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien megalami kontraksi
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urine
stress, overflow dan obstruksi.
b. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
kehilangan urine kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan
tekanan intra abdomen, seperti pada saat batuk, bersin atau
berolahraga.Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul,merupakan penyebab tersering inkontinensia urine
pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita
tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan sfingter
uretra setelah pembedahan transsuretral dan radiasi. Pasien
13
menegeluh mengeluarkan urine pada saat tertawa, batuk, atau
berdiri. Jumlah urine yang keluar dapat sedikit atau banyak.
c. Inkontinensia reflex
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai
jumlah tertentu.
d. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak
terkendalinya pengeluaran urine akibat factor-faktor diluar
saluran kemih. Penyebab terseringnya adalah demensia berat,
masalah muskuloskletal berat, factor lingkungan yang
menyebakan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan fktor
psikologis. Seringkali inkontinensia urine pada lansia muncul
dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari
satu tipe inkontinensia urine. Penatalaksanaan yang tepat
memerlukan identifikasi semua komponen.
e.Inkontinensia urine overflow
Merupakan suatu keadaan tidak terkendalinya pengeluaran
urine dikaittkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, factor neurogenik pada diabetes mellitus
atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan factor-faktor obat-obatan.
Pasien uumunya mengeluh keluarnya sedikit urine tanpa adanya
sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4. Patofisiologi
14
manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada system perkemihan.
Kapasitas kandung kemih (vesika urinaria) yang normal
sekitar 300- 600ml. dengan sensasi keinginan untuk berkemih
diantara 150-350ml. berkemih dapat ditunda 1-2jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau
miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter ekternal
relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hamper semua urin dikeluarkan dengan proses ini.
Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu
urine 50ml attau kurang dianggap adekuat. Jumla yang lebih dari
100ml mengindiikasikan adanya retensi urine. Perubahan lainnya
pada proses pnuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih
tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi estrogen
menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar panggul
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih.
5. Manifestasi Klinis
a. Inkontinensia dorongan
Gejalanya adalah berkemih sering disertai oleh tingginya
frekuensi berkemih (lebih sering 2 jam sekali). Spasme
kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah kecil
15
(kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari
500ml).
b. Inkontinensia stress
Gejalanya adalah keluarnya urine pada saat tekanan intra
abdomen meningkat dan seringnya berkemih.
c. Inkontinensia reflex
Gejalanya adalah tidak menyadari bahwa kandung
kemihnya sudah terisi, kurangnya berkemih, kontraksi spasme
kandung kemih yang tidak dicegah.
d. Inkontinensia fungsional
Gejalanya adalah mendesaknya keinginan untuk berkemih
menyebabkan urine keluar sebelum mencapai tempat yang
sesuai.
e. Inkontinensia urine overflaw
Gejalanya adalah mengeluh keluarnya sedikit urine tanpa
adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi
kndung kemih.
6. Pemeriksaan Penunjang
16
adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kanduung
kemih.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:
a. Urinalis
Dilakukan terhadap specimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urine seperti hematuri, piouri, baktheriuri, glukosuria,
dan proteinuria.
b. Pemeriksaan darah
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum
dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium,
glukosa, sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
Perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:
1) Tes urodinamik untuuk mengetahui anatmoi fungsi saluran
kemih bagian bawah.
2) Tes tekanan urethra untuk mengukur tekanan didalam urethra
saat istirahat dan saat dinamis
3) Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bagian bawah.
e. Catatan berkemih
17
Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon
terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karea
dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya
inkontinensia urine pada dirinya.
7. Penatalaksanaan
18
2) Membiasakan berkemih pada waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara
mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif(berpikir).
19
pembedahan untuk menghilangka retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikum, hyperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urine, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan pispot.
1) Pampers
Digunakan pada kondisi akut maupun kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan
masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya
tamping pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit
menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan
kulit, gatal, dan alergi.
2) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, daan juga
terjadi pembentukan batu. Teknik kateter sementara hanya
untuk pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemihnya sendiri.
3) Alat bantu toilet
Seperti urinal dan bedpan yang digunakan oleh lansia yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu
tersebut akan menolong lansia terhindar dan jatuh serta
membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam
menggunakan toilet.
20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus
Ny.W berusia 63 tahun dengan BB 76kg ketika datang kerumah sakit Dr. Soetomo
dengan keluhan BAK terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga sampai ke toilet. Ny.W
mengatakan kencing sebanyak lebih dari 10 kali dalam sehari,dengan jumlah urine 1000-1500ml.
Ny.W juga mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menahan kencingnya untuk sampai ke toilet
dan terasa perih pada area perianalnya. Karena sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi
minum dan sering menahan haus, dan mengalami penurunan BB sebanyak 5kg menjadi 71kg.
Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air kencingnya yang
menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat ditanyakan tentang riwayat kehamilan,
anak klien mengatakan bahwa klien memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami
keguguran. Anaknya mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti
itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. Dulunya klien adalah seorang penjahit di
rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu sudah tidak lagi bekerja. Setelah dilakukan
pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan membran mukosa kering, turgor kulit kering dan
keriput serta lecet-lecet pada kulitnya. Hasil dari TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi
90x/menit, RR 19x/menit, dan Suhu 370C.
21
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien dan penanggung jawab
a. Identitas klien
Nama : Ny. W
Tempat/Tanggal lahir : Solo, 12 Mei 1956
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5
22
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan BAK terus-menerus, tidak bisa menahannya sehingga
mengompol.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan frekuensi
lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien tidak bisa menahan kencingnya untuk pergi
ke toilet sampai klien mengompol. Klien mengaku mengurangi minum dan menahan
rasa haus.
23
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √
2) Saat sakit
Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √ Keterangan :
Mobilisasi di tempat √
tidur
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √
1 : Mandiri
2 : Dibantu sebagian
3 : Dibantu orang lain
4 : Dibantu orang lain dan peralatan
5 : Ketergantungan / tidak mampu
c. Pola istirahat dan tidur
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00 WIB
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00 WIB
d. Pola nutrisi dan metabolik
1) Sebelum sakit
24
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan lauk, habis 1
porsi
b) Klien mengatakan minum 7 – 8 gelas sehari
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan lauk, habis 1
porsi
b) Klien mengatakan minum 4 – 5 gelas sehari
e. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat, bau khas dan
warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 2 – 6 kali sehari, warnanya kuning bening
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat, bau khas dan
warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 9 – 10 kali sehari, warnanya kuning keruh dan
bau urin menyengat.
f. Pola toleransi - koping
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas sehari-hari (menjahit).
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan
bau kencingnya sangat menyengat.
g. Pola hubungan peran
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bisa berkumpul berbincang dengan keluarga dan tetangganya
dan menjahit.
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu untuk berkumpul berbincang dengan
tetanggannya dan sudah tidak bisa menjahit lagi.
h. Pola nilai dan keyakinan
25
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bahwa ia beribadah 5 waktu sehari.
2) Saat sakit
Klien mengatakan dapat beribadah 5 waktu sehari dan berdoa meminta
kesembuhan oleh ALLAH untuk sabar dan pasrah akan kesembuhannya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampakan umum
Keadaan umum Klien tampak sakit sedang, klien tampak
lemas.
Kesadaran Composmentis
BB 71 kg TB : 155 cm
TD:160/90mmHg 0
Suhu:37 C RR:19x/me Nadi:90x/
nit menit
b. Kepala dan leher
1) Rambut
a) Inspeksi
Rambut klien tampak bersih, berwarna hitam dan putih dan potongan
rambut pendek
b) Palpasi
Rambut klien tampak bersih, lembut dan tidak ada nyeri tekan.
2) Mata
a) Inspeksi
Bentuk mata simetris antara kanan dan kiri dan konjungtiva pucat
pandangan kabur dan berkunang-kunang.
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada mata.
3) Telinga
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi telinga simetris, tidak ada cairan yang keluar seperti
nanah atau darah.
b) Palpasi
26
Tidak ada nyeri tekan pada telinga.
4) Hidung
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi hidung simetris, tidak ada pendarahan dan tanda – tanda
infeksi.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada hidung.
5) Mulut
a) Inspeksi
Bentuk mulut simetris, lidahnya berwarna putih dan mukosa bibir kering.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada bagian bibir.
6) Leher
a) Inspeksi
Pada leher terlihat normal dengan gerakan ke kanan dan ke kiri.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher.
7) Dada
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris antara kanan dan kiri.
b) Palpasi
Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.
c) Perkusi
Tidak ada masalah.
d) Auskultrasi
Bunyi jantung normal.
8) Jantung
a) Inspeksi
Jantung tidak nampak dari luar.
b) Palpasi
Terjadi palpitasi jantung.
27
c) Perkusi
Tidak dilakukan pemeriksaan.
d) Aukultrasi
Detak jantung takikardi 90x/menit.
9) Abdomen
a) Inspeksi
Tampak simetris, tidak nampak lesi, bersih.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak ada pembesaran hepar.
c) Perkusi
Tidak flatulen.
d) Auskultrasi
Terdengar suara bising usus.
10) Inguinal dan genetalia
a) Inspeksi
Tidak tampak adanya pembengkakan.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan.
11) Ekstrimitas
a) Inspeksi
Bagian atas dan bawah tampak simetris, tidak ada deformitas, pergerakan
normal.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada ekstrimitas atas dan bawah.
c) Kekuatan otot
Keterangan :
0 : otot tak mampu bergerak.
28
1 : jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi.
2 : dapat menggerakan otot/bagian yang lemah sesuai perintah.
3 : dapat menggerakan otot dengan tahanan.
4 : dapat bergerak dengan melawan hambatan yang ringan.
5 : bebas bergerak dan dapat melawan hambatan.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
.
DS : Kegagalan mekanisme Kekurangan volume
- Klien mengatakan regulasi cairan
mengurangi
minum.
- Klien mengatakan
sering merasa
haus.
DO :
- Membran mukosa
kering.
- Turgor kulit
kering.
- TTV :
- TD : 160/90
mmHg.
- N : 90x/menit.
- RR : 19x/menit.
- S : 37°C.
- BB 71kg
- Frekuensi minum
4-5 gelas dalam
sehari.
29
- Klien mengatakan urinarius fungsional
kencing sebanyak
lebih dari 10 kali
dalam sehari.
- Klien mengatakan
bahwa dirinya
tidak bisa menahan
kencing untuk
sampai ke toilet.
DO :
Klien sering mengompol.
3. DS : Gangguan turgor kulit Kerusakan integritas
- Klien mengatakan kulit
perih di daerah
perinealnya.
DO :
- Tampak
kemerahan di area
perineal.
Turgor kulit kering.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme regulasi.
2. Inkontinensia urinarius fungsional berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine.
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
. keperawatan
30
1. Kekurangan Setelah dilakukan asuhan Jaga intake/asupan yang
volume keperawatan selama 1x24 akurat dan catat output.
cairan jam klien mampu
berhubungan menunjukan hidrasi yang Monitor status hidrasi
dengan adekuat, dengan kriteria : (misalnya : membran
kegagalan 1. Keseimbangan mukosa lembab,denyut
mekanisme intake dan output nadi adekuat, dan tekanan
regulasi dalam 24 jam. darah ortostatik.
2. Turgor kulit elastis.
3. Kelembapan Monitor tanda tanda vital
4. TTV stabil.
Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian.
Distribusikan asupan
cairan salama 24 jam.
31
3. Kerusakan Setelah dilakukan asuhan Bantu pasien
integritas keperawatan selama 1x24 membersihkan perineum.
kulit jam klien mampu
berhubungan menunjukan perbaikan Jaga agar area perineum
dengan keadaan turgor dan tetap kering.
irigasi mempertahankan
kontras oleh keutuhan kulit, dengan Bersihkan area perineum
urine. kriteria : secara teratur.
1. Kulit perianal tetap
Berikan posisi yang
utuh.
nyaman.
2. Urin jernih dengan
sedimen minimal. Berikan lotion
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).
32
nadi adekuat, dan tekanan - TTV :
darah ortostatik. - TD : 160/90
- Respon : mmHg
- Membran mukosa - N : 90x/menit.
tampak kering. - RR : 19x/menit.
- Turgor kulit tidak - S : 37°C.
elastis. - BB 71 kg
3. Memonitor tanda tanda - Frekuensi minum 4-5
vital pasien. gelas dalam sehari.
- Respon :
- TD : 160/90 mmHg. A:
- N : 90x/menit. Masalah belum teratasi.
- RR : 19x/menit.
- S : 37°C. P:
4. Berkolaborasi dengan Intervensi dilanjutkan :
keluarga untuk mengawasi - Menjaga
asupan cairan pasien. intake/asupan yang
- Respon : Keluarga akurat dan catat
mengatakan pasien output.
sering mengeluh haus. - Memonitor status
hidrasi (misalnya :
membran mukosa
lembab,denyut nadi
adekuat, dan tekanan
darah ortostatik.
- Memonitor tanda
tanda vital pasien.
- Berkolaborasi dengan
keluarga untuk
mengawasi asupan
cairan pasien.
33
24-09-19 2. 1. Menjaga privasi klien saat S :
(07.00 s/d berkemih. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien tampak frekuensi pipis masih
WIB) lebih nyaman saat 10x dalam sehari.
sedang berkemih dan - Klien mengatakan
tidak merasa bahwa dirinya masih
malu/terganggu dengan belum bisa menahan
orang di sekitar. pipis untuk sampai ke
2. Memodifikasi pakaian dan toilet.
lingkungan untuk
mempermudah akses ke O :
toilet. - Tampak masih
- Respon : Klien sudah mengompol.
terlihat lebih mudah saat
akan berkemih. A:
Masalah belum teratasi.
3. Membatasi intake cairan P :
2-3 jam sebelum tidur. Intervensi dilanjutkan :
- Respon : Klien masih - Memodifikasi
terlihat mengompol pakaian dan
tetapi dalam jumlah yang lingkungan untuk
sedikit/jarang. mempermudah akses
4. Menginstruksikan klien ke toilet.
untuk minum minimal - Membatasi intake
1500 cc air per hari. cairan 2-3 jam
- Respon : Klien sebelum tidur.
mengatakan/tampak
tidak mengalami
dehidrasi karena output
berlebih.
25-09-19 3. 1. Membantu pasien S :
34
(07.00 s/d membersihkan perineum. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien terlihat perih pada area
WIB) lebih nyaman jika perinealnya.
perenieumnya bersih.
2. Menjaga agar area O :
perineum tetap kering. - Terdapat lecet di area
- Respon : Pasien tampak perineal.
sangat memperhatikan
perenieumnya agar tidak A :
lembab/basah. Masalah belum teratasi.
3. Membersihkan area
perineum secara teratur. P:
- Respon : Pasien tampak Intervensi dilanjutkan :
sering mengeluh perih - Menjaga agar area
saat sedang dibersihkan. perineum tetap
4. Memberikan posisi yang kering.
nyaman. - Membersihkan
- Respon : Pasien masih area perineum
tampak kurang nyaman secara teratur
dan sering - Memberikan posisi
berganti/berpindah yang nyaman.
posisi.
5. Memberikan lotion
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).
- Respon : Pasien tampak
tidak khawatir lagi
dengan keadaan
pereniumnya setelah
diberikan lotion.
35
36
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan menahan air kencing. Inkontinensia urin
merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat
dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-
tiba. inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol
urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini dapat lebih membantu mahasiswa dalam memperluas dan
menambah pengetahuan tentang Asuhan keperawatan gerontic dengan gangguan system
perkemihan
37
DAFTAR PUSTAKA
Aspriani, Reny Yuli, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Jilid 1,Jakarta: Cv Trans
Info Media
Dewi, Julianti Karjoyo, 2017. Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Urine Pada Lanjut
Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan.
Dinas Kesehatan Sumbar. (2017). Profil Dinas Kesehatan Sumbar tahun 2017, Retrieved from
www.depkes.go.id
Herdman, T. Heather & Kamitsuru, Shigemi. 2015. Diagnosis Keperawatan Defenisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Egc
Juananda D, Febriantara D. 2017. Inkontinensia Urine Pada Lanjut Usia Di Panti Werdha
Provinsi Riau
Kartina, Nita Aprila, 2016.Asuhan Keperawatan Pada Pasien Inkontinensia Di Panti Sosial
Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Pada Tahun 2016.Kti. Poltekkes Kemenkes
Padang
38
Kemenkes RI. (2013). Kementrian Kesehatan RI
Maryam, R. Siti, Dkk, 2008. Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta:Salemba
Medika.
Menurut Nanda , 2017 . Skripsi KTI . Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia
Urine di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Gerontik Definisi dan Klasifikasi 2015- 2017, Edisi
10 Jakarta: EGC
Sunaryo, Dkk. 2015. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta, Cv Andi Offset Tamheer
Dan Noorkasiani, 2011. Kesehatan Usia Lanjut Dengan PWiratna , Sujarweni V. 2014.
Metodologi Penelitian Keperawatan, Yogyakarta: Penerbit Gava Media
Tamheer Dan Noorkasiani, 2011. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
39