Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN


(INKONTINENSIA URINE)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik
Dosen Pengampu: Bapak H. Khairir Rizani, SST, M.Kes.

Disusun oleh :

Kelompok 5

1. Ahmad Rifa’i : P07120118044


2. Ivana Silvani Andre : P07120118071
3. Lia Apriliana : P07120118075
4. Muhammad Andreani : P07120118086
5. Norhaneda : P07120118098
6. Radiah : P07120118105

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN DIII KEPERAWATAN
BANJARBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.Tidak lupa
kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Adapun judul dari makalah ini yaitu “Asuhan Keperawatan Gerontik Pasien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan (Inkontinensia Urine)” yang merupakan salah satu dari tugas yang
dilaksanakan pada mata kuliah Keperawatan Gerontik yang dibimbing oleh Bapak H. Khairir
Rizani, SST, M.Kes. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Khairir Rizani, SST,
M.Kes. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin kami tidak akan menyelesaikan tugas ini.

Banjarbaru, Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................3


A. Konsep Dasar Lansia.............................................................................3
B. Konsep Dasar Inkontinensia Urine........................................................11

BAB IIl ASUHAN KEPERAWATAN...............................................................21


BAB IV PENUTUP..............................................................................................37
A. Kesimpulan ...........................................................................................37
B. Saran.......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih
sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan
penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-
uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan
vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bawah
yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi
dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Secara fisiologis dalam
setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu
kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-buli yang sempurna, proses
pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik serta setiap pengisian dan
pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal.
Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan, maka dapat timbul
gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di Amerika
Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Gangguan
ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan
bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%,
sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada
wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan
anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya
urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan
adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini
demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah
membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada

1
kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati
inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.

B. Rumusan Masalah ?
Bagaimana konsep inkontinensia urine dan gambaran asuhan keperawatannya?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari asuhan keperawatan ini adalah :
1. Tujuan Umum
a. Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan Gerontik dengan Gangguan
Sistem Perkemihan : Inkontinensia Urin.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Konsep Inkontinensia urine.
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Inkontinensia urine.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR LANSIA

1. Defenisi lansia
Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 lansia adalah manusia yang
umurnya melebihi 65 tahun (Rhosma, 2014). Di indonesia dikatan lansia
jika berumur lebih dari 60 tahun. Lansia bukan suatu penyakit namun
merukapan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan,
ditandai dengan kegagalan seseorang individu untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis dan juga berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk kehidupan serta peningkatan kepekaan
secara individual ( Setianto dan Pudjiastusi dalam Muhith, 2016).

2. Teori-Teori Proses Penuaan


Stanley dan Baere (2007), menyatakan bahwa teori- teori tejadinya
penuaan pada lansia dikelompokkan kedalam dua kelompok besar, yaitu
teori biologis dan psikososiologis.
a. Teori Biologis
Terjadinya perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang
usia dan kematian. Termasuk perubahan molekuler dan seluler dalam
sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara
adekuat dan melawan penyakit. Adanya beberapa teori yang
mendukung teori biologis yaitu :
1) Genetika
Terdiri dari teori DNA, teori ketepatan dan kesalahan
mutasi somatik, dan teori glikogen proses replikasi pada tingkatan
seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai
yang diberikan dari inti sel.

3
2) Wear-And-Tear
Akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak
sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekuler dan
akhirnya malfungsi organ tubuh.

1) Imunitas
Menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun
yang berhubungan dengan penuaan, Sehingga ketika
seseorang betambah tua maka pertahanan mereka terhadap
organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka
lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit.
2) Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara
universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang
diperlukan untuk menerima, memproses, dan bereaksi
terhadap perintah.

b. Teori Psikososiologis
Perubahan sikap dan prilaku yang menyertai peningkatan usia,
sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis seperti :
1) Kepribadian
Aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan
harapan atau luas spesifik lansia.
2) Tugas Perkembangan
Aktivitas dan tantangan yag harus dipenuhi seseorang pada tahap-
tahap spesifik dalam hidupnya. Mampu melihat kehidupan
seseorang sebagai kehidupan yang dijalani sebagai integritas.
3) Disengagement
Teori ini menggambarkan tentang proses penarikan diri oleh lansia
dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya
4) Aktivitas
Teori ini berbicara tentang pentingnya tetap aktif secara sosial

4
sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat pada lansia.
5) Kontinuitas
Teori ini bericara tentang penekanan koping kepribadian pada
individu lansia.

c. Teori Moral/ Spiritual


Teori moral / spiritual mendukung gagasan bahwa
seseorang yang lebih tua menemukan keutuhan spiritual, ini
melampaui kebutuhan untuk mendiami tubuh, dan mendekati
akhir kehidupan. Tahap ini tergantung pada interaksi sosial dan
diperoleh ketika seseorang mengembangkan pemahaman tentang
diri mereka sendiri di dalam dunia dan menerima siapa diri
mereka. Dari perspektif moral, seorang yang lebih tua mencapai
penalaran post-konvensional, tahap akhir kehidupan dan
merupakan persiapan untuk akhir hayat.
d. Teori Sosiologis
Teori sosiologis menjelaskan bahwa penuaan mengakibatkan
hubungan dalam peran menurun. Teori yang mendukung proses ini
meliputi teori pelepasan. Teori ini, adalah salah satu teori sosiologis
pertama yang menjelaskan penuaan, menyatakan bahwa karena
hubungan berubah atau berakhir untuk orang dewasa yang lebih tua,
baik melalui prosesnya pensiun, cacat, atau kematian, penarikan
bertahap membuktikan kurangnya keterlibatan lanjut usia dalam
aktivitas sehari - hari ,sementara itu hubungan tersebut tidak bisa
dipisahkan dengan kehidupannya. Teori lain yang mendukung teori ini
adalah teori aktivitas. Teori ini menyatakan bahwa aktivitas sosial
merupakan komponen penting terhadap kesuksesan penuaan.
Akibatnya, saat aktivitas sosial dihentikan karena kematian orang yang
dicintai, perubahan dalam hubungan, atau penyakit dan kecacatan, Itu
mempengaruhi hubungan, penuaan dipercepat dan kematian menjadi
semakin dekat.
Fokus teori aktivitas adalah hubungan antara aktivitas dan

5
selfconcept. Dengan kata lain, aktivitas sosial dan hubungan peran
bersifat integral untuk konsep diri dan berbahaya saat terganggu atau
berhenti. Untuk menghindari ini, peran baru harus dikembangkan untuk
menggantikan peran yang hilang. Misalnya di dalam ini teori, hilangnya
peran pekerjaan melalui pensiun bisa diganti dengan kegiatan rekreasi
atau relawan yang sesuai untuk menghindari bahaya efek dari
kehilangan pekerjaan pada konsep diri. Teori dalam sosiologis
perspektif adalah teori kontinuitas. Teori ini mendukung bahwa
individu bergerak melalui tahun-tahun berikutnya mencoba untuk
menjaga hal-hal agar tetap sama dan menggunakan kepribadian yang
serupa dan strategi penanggulangan untuk menjaga stabilitas sepanjang
hidup pada usia tua (Wallace, 2007).
Sudoyo (2007), menyatakan suatu teori mengenai penuaan dapat
dikatakan valid apabila ia dapat memenuhi tiga kriteria umum berikut;
teori yang dikemukakan tersebut harus terjadi secara umum, proses
yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif seiring
dengan berjalannya waktu, dan proses yang terjadi harus menghasilkan
perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan
kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu.
Beberapa teori proses menua menurut Sudoyo (2007), antara lain:
1) Teori Radikal Bebas
Teori ini menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme
oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) sangat bereaksi
berbagai komponen penting seluler. Termasuk protein, DNA, dan
lipid. Menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun
bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal
bebas diperkenalkan pertama kali oleh Harman (1956), yang
menyatakan bahwa proses menua normal merupakan akibat
kerusakan jaringan oleh radikal bebas. Dan bila kadarnya melebihi
kosentarasi ambang maka mereka akan berkontribusi pada
perubahan-perubahan yang sering kali dikaitkan dengan penuaan.

6
2) Teori Glikosilasi
Teori ini menyatakan bahwa proses glikosilasi non-
enzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang
disebut sebagai advanced glycation end products (AGES) dapat
menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain
termodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada manusia yang menua.
3) DNA Repair
Teori ini menyatakan bahwa adanya perbedaan pola laju
perbaikan kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV)
pada berbagai fibrolas pada spesies yang mempunyai umur
maksimum terpanjang menunjukan laju DNA repair terbesar.

3. Proses Menua
Fatimah (2010), macam-macam penuaan berdasarkan perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial yaitu:
a. Penuaan biologik
Merujuk pada perubahan struktur dan fungsi yang terjadi sepanjang
kehidupan.
b. Penuaan fungsional
Merujuk pada kapasitas individual mengenai fungsinya dalam
masyarakat, dibandingkan dengan orang lain yang sebaya.
c. Penuaan psikologik
Perubahan prilaku, perubahan dalam persepsi diri, dan reaksinya
terhadap perubahan biologis.
d. Penuaan sosiologik
Merujuk pada peran dan kebiasaan sosial individu di masyarakat.
e. Penuaan spiritual
Merujuk pada perubahan diri dan persepsi diri, cara berhubungan
dengan orang lain atau menempatkan diri di dunia dan pandangan
dunia terhadap dirinya.

7
4. Batasan Umur Lanjut Usia
UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan
“lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas”.
Kementrian kesehatan republik indonesia membagi batasan umur lansia
sebagai berikut:
a). Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun, keadaan ini dikatakan
sebagai masa virilitas;
b). Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium;
c). Kelompok usia lanjut (>65 tahun) yang dikatakan maa senium.
Menurut WHO (World Health Organization) kategori lanjut usia meliputi:
a). Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun,
b)Usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun,
c). Usia tua (old) : 75-90 tahun, d). Usia sangat tua (very old) di atas 90
tahun.

5. Tipe-Tipe Lanjut Usia


Nugroho (2008), mengatakan bahwa dijumpai banyak tipe lansia,
antara lain :
a. Tipe arif bijaksana
Lansia ini kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, randah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undang-undang dan menjadi
panutan.
b. Tipe mandiri
Lansia ini senang mengganti krgiatan yang hilang dengan kegiatan
baru, selektif dan mencari pekerjaan teman pergaulan, serta memenuhi
undangan.
c. Tipe tidak puas
Lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menetang proses
penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik
jasmani, kehilangan kekuasaan, status,teman yang disayangi, pemarah,

8
tidak sabr, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan pengkrtik.
d. Tipe pasrah
Lansia yang selalu menunggu dan menerima nasib baik,
mempunyai konsep habis (habis gelap datanglah terang), mengikuti
kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
e. Tipe bingung
Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
merasa minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.

6. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Akibat Proses Penuaan


a. Perubahan kondisi fisik
Maryam dkk (2008), menjelaskan perubahan- perubahan kondisi
fisik pada lansia yaitu :
1) Sel;
Ketika seseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam
tubuh akan berubah, seperti jumlahnya yang menurun, iukuran
lebih besar sehingga mekanisme perbaikan sel akan terganggu
dan proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati
berkurang.
2) Kardiovaskuler;
Katup jantung akan menebal dan kaku, kemampuan
memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah
menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer sehingga tekanan darah meningkat.
3) Respirasi
Otot – otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku,
elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehinga
menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun serta terjadi
penyempitan bronkus.
4) Persyarafan;

9
Saraf pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun
serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya
yang berhubungan dengan stress. Berkurangnya atau hilangnya
lapisan myelin akson sehingga menyebabkan berkurangnya
respon motorik dan reflek.
5) Musculoskeletal
Pada lansia terjadi penurunan kekuatan otot yang
disebabkan penurunan massa otot ( atropi otot). Ukuran otot
mengecil dan penurunan massa otot lebih banyak terjadi pada
ektermitas bawah. Kekuatan atau jumlah daya yang dihasilkan
oleh otot menurun dengan bertambahnya usia.
6) Genitourinaria
Ginjal akan mengalami pengecilan sehingga aliran darah ke
ginjal akan menurun.
7) Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan
pendengaran, tulang- tulang pendengaran mengalami
kekakuan.
8) Penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap
menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun dan
kekeruhan lensa atau katarak.
9) Kulit
Kulit keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut
memutih, kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh,
serta kuku kaki tumbuh seperti tanduk.
10) Endokrin
Produksi hormone menurun, menurunnya aktivitas tiroid,
menurunnya daya pertukaran gas dan memurunnya produksi
aldosteron.
b. Perubahan psikologis

10
Perubahan psikologis pada lansia meliputi memori jangka
pendek, frustasi, kesepian, takut kehilangan, takut menghadapi
kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan (Maryam
dkk, 2008).
c. Perubahan sosial
Perubahan sosial pada lansia meliputi perubahan peran,
keluarga, teman, masalah hukum, agama dan panti jompo (Maryam
dkk, 2008).

B. KONSEP DASAR INKONTINENSIA URINE

1. Pengertian
Inkontinensia urine adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak
mampu dikontrol oleh sfingter ekternal. (Mubarak dalam Yuli,2014).
Inkontinensia urin dalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekresi urin( wartonah dalam
Yuli, 2014).
Inkontinensia urine adalah keluarnya urin secara tidak terkendali
atau tidak pada tempatnya (soeparmaan dalam Yuli,2014).

2. Etiologi

Etiologi inkontinensia urine menurut Soeparman dalam Yuli (2014), yaitu:

a. Poliuria, nokturia

b. Gagal jantung

c. Factor usia: lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi estrogen menyebabkan atropi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan dapat mengakibatkan
penurunan otot-otot dasar panggul.

11
2) Perokok

3) Minum alcohol

4) Obesitas

5) Infeksi saluran kemih (ISK)

3. Klasifikasi

Klasifikasi Inkontinensia menurut Yuli (2014):

a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tidak dapat
pergi ketoilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teraratasi
mak inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin
fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
panggul, stroke, artrittis dan sebagainya.

Retensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat


pula menyebabkan inkontinensia urine. Keadaan inflamasi pada
vagina dan uretra (vaginitis dan urhetritis) mungkin akan memicu
inkontinensia urin. Konstipasi juga sering mengakibatkan
inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria
dapat memicu terjadinya inkontinensia urine, seperti glukosuria
atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan
terjadinya inkontinensia urine nocturnal. Berbagai macam obat
juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti
kalsium chanel blocker, against andregenik alfa, analgesik
narkotik, psikotropik, antikolinergik daan diuretik.
b. Inkontinensia Urine Persisten
Inkontinensia urine persisten daapat diklasifikasikan dalam

12
berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk
kepentingan praktek klinis, kalsifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi:

a. Inkontinensia dorongan
Merupakan kedaan dimana seseorang mengalaami
pengeluaran urine tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat berkemih. Inkontinensia urine jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali
(detrusor overactivity). Maslah-masalah neurologis sering
dikaitkan dengan inkontinensia urine urgensi ini, meliputi
stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medulla
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di
toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul
peristiwa inkontinensia urine.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia diatas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien megalami kontraksi
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urine
stress, overflow dan obstruksi.
b. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
kehilangan urine kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan
tekanan intra abdomen, seperti pada saat batuk, bersin atau
berolahraga.Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul,merupakan penyebab tersering inkontinensia urine
pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita
tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan sfingter
uretra setelah pembedahan transsuretral dan radiasi. Pasien

13
menegeluh mengeluarkan urine pada saat tertawa, batuk, atau
berdiri. Jumlah urine yang keluar dapat sedikit atau banyak.
c. Inkontinensia reflex
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai
jumlah tertentu.
d. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak
terkendalinya pengeluaran urine akibat factor-faktor diluar
saluran kemih. Penyebab terseringnya adalah demensia berat,
masalah muskuloskletal berat, factor lingkungan yang
menyebakan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan fktor
psikologis. Seringkali inkontinensia urine pada lansia muncul
dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari
satu tipe inkontinensia urine. Penatalaksanaan yang tepat
memerlukan identifikasi semua komponen.
e.Inkontinensia urine overflow
Merupakan suatu keadaan tidak terkendalinya pengeluaran
urine dikaittkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, factor neurogenik pada diabetes mellitus
atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan factor-faktor obat-obatan.
Pasien uumunya mengeluh keluarnya sedikit urine tanpa adanya
sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

4. Patofisiologi

Yuli (2008),Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai

14
manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada system perkemihan.
Kapasitas kandung kemih (vesika urinaria) yang normal
sekitar 300- 600ml. dengan sensasi keinginan untuk berkemih
diantara 150-350ml. berkemih dapat ditunda 1-2jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau
miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter ekternal
relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda
hamper semua urin dikeluarkan dengan proses ini.
Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu
urine 50ml attau kurang dianggap adekuat. Jumla yang lebih dari
100ml mengindiikasikan adanya retensi urine. Perubahan lainnya
pada proses pnuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih
tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi estrogen
menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar panggul
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih.

Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran


kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai
kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu
menyebabkan kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
Fungsi Sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih
bocor bila batuk atau bersin.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut Yuli (2014), yaitu:

a. Inkontinensia dorongan
Gejalanya adalah berkemih sering disertai oleh tingginya
frekuensi berkemih (lebih sering 2 jam sekali). Spasme
kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah kecil

15
(kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari
500ml).
b. Inkontinensia stress
Gejalanya adalah keluarnya urine pada saat tekanan intra
abdomen meningkat dan seringnya berkemih.
c. Inkontinensia reflex
Gejalanya adalah tidak menyadari bahwa kandung
kemihnya sudah terisi, kurangnya berkemih, kontraksi spasme
kandung kemih yang tidak dicegah.
d. Inkontinensia fungsional
Gejalanya adalah mendesaknya keinginan untuk berkemih
menyebabkan urine keluar sebelum mencapai tempat yang
sesuai.
e. Inkontinensia urine overflaw
Gejalanya adalah mengeluh keluarnya sedikit urine tanpa
adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi
kndung kemih.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang inkontinensia urine menurut Soeparman


dan Waspadji dalam Yuli (2014). Uji urodinamik sederhana dapat
dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.Sisa-sisa urine paska
berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang
spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau katerisasi urine.
Merembesnya urine pada saat dilakukan penekanan dapat juga
dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk
ketika sedang diperiksa dalam posisi lithotomic atau berdiri.
Merembesnya urine sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak

16
adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kanduung
kemih.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:

a. Urinalis
Dilakukan terhadap specimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urine seperti hematuri, piouri, baktheriuri, glukosuria,
dan proteinuria.
b. Pemeriksaan darah
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum
dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan
Seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium,
glukosa, sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan
Perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:
1) Tes urodinamik untuuk mengetahui anatmoi fungsi saluran
kemih bagian bawah.
2) Tes tekanan urethra untuk mengukur tekanan didalam urethra
saat istirahat dan saat dinamis
3) Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bagian bawah.

e. Catatan berkemih

Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola


berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah
urine saat mengalami inkontinensia urine dan tidak inkontinensia
urine, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urine. Pencatatan
pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari.

17
Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon
terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karea
dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya
inkontinensia urine pada dirinya.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urine menurut (muller dalam


yuli,2014) adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan
homeostatis, mengontrol inkontinensia urine, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut
dapat diatas, dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula wakktu, jumlah
dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hyperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretic, hiperglikemi, dan lain-lain. Adapun terapi
yang dapat dilakukan:

1) Melakukan latihan menahan kemih(memperpanjang interval waktu


berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi
berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih 2-3 jam.

18
2) Membiasakan berkemih pada waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara
mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif(berpikir).

3) Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengontraksikan


otot dasar panggul secara berulang-ulang

Adapun cara mengontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah


dengan cara:

a) Berdiri dilantai dengan kedua kaki diletakkan dalam


keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan
dan kekiri ±10 kali, kedepan dan kebelakang ±10kali, dan
berputar searah dan berlawanan dengan arah jarum jam ±10
kali.
b) Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang
air besar dilakukan ±10 kali. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup
dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen
adalah antikolinergik seperti Oxybuttinin, Propanetteine, Dyclomine,
flasvoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa
andregenic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi
uretra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis, seperti
bethanecol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapi non farmaakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia overflow umunya memerlukan tindakan

19
pembedahan untuk menghilangka retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikum, hyperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urine, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan pispot.
1) Pampers
Digunakan pada kondisi akut maupun kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan
masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya
tamping pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit
menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan
kulit, gatal, dan alergi.
2) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, daan juga
terjadi pembentukan batu. Teknik kateter sementara hanya
untuk pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemihnya sendiri.
3) Alat bantu toilet
Seperti urinal dan bedpan yang digunakan oleh lansia yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu
tersebut akan menolong lansia terhindar dan jatuh serta
membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam
menggunakan toilet.

20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus
Ny.W berusia 63 tahun dengan BB 76kg ketika datang kerumah sakit Dr. Soetomo
dengan keluhan BAK terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga sampai ke toilet. Ny.W
mengatakan kencing sebanyak lebih dari 10 kali dalam sehari,dengan jumlah urine 1000-1500ml.
Ny.W juga mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menahan kencingnya untuk sampai ke toilet
dan terasa perih pada area perianalnya. Karena sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi
minum dan sering menahan haus, dan mengalami penurunan BB sebanyak 5kg menjadi 71kg.
Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air kencingnya yang
menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat ditanyakan tentang riwayat kehamilan,
anak klien mengatakan bahwa klien memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami
keguguran. Anaknya mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti
itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. Dulunya klien adalah seorang penjahit di
rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu sudah tidak lagi bekerja. Setelah dilakukan
pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan membran mukosa kering, turgor kulit kering dan
keriput serta lecet-lecet pada kulitnya. Hasil dari TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi
90x/menit, RR 19x/menit, dan Suhu 370C.

21
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien dan penanggung jawab
a. Identitas klien
Nama : Ny. W
Tempat/Tanggal lahir : Solo, 12 Mei 1956
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5

b. Identitas penanggung jawab


Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMK
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka No. 5
Hubungan dengan klien : Anak kandung

22
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan BAK terus-menerus, tidak bisa menahannya sehingga
mengompol.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan frekuensi
lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien tidak bisa menahan kencingnya untuk pergi
ke toilet sampai klien mengompol. Klien mengaku mengurangi minum dan menahan
rasa haus.

c. Riwayat penyakit keluarga


Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit
seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
d. Riwayat psikologi
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan bau kencingnya
sangat menyengat.
e. Riwayat kehamilan
Klien memiliki 2 orang anak dan tidal pernah mengalami keguguran.

3. Pola fungsi kesehatan


a. Pola manajemen kesehatan/penyakit
1) Tingkat pengetahuan kesehatan/penyakit
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini.
2) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan
Klien mengatakan belum berobat kemanapun saat mengalami penyakit ini.
3) Faktor-faktor resiko sehubungan dengan kesehatan
Klien mengatakan tidak tahu penyebab penyakit ini.
b. Pola aktivitas dan latihan
1) Sebelum sakit
Aktifitas 0 1 2 3 4

23
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √
Mobilisasi di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √

2) Saat sakit

Aktifitas 0 1 2 3 4
Makan √
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √ Keterangan :
Mobilisasi di tempat √
tidur
Berpindah √
Ambulasi √
Naik tangga √

1 : Mandiri
2 : Dibantu sebagian
3 : Dibantu orang lain
4 : Dibantu orang lain dan peralatan
5 : Ketergantungan / tidak mampu
c. Pola istirahat dan tidur
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00 WIB
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan tidur siang ±2 jam dari jam 13.00-15.00 WIB
b) Klien mengatakan tidur malam ±8 jam dari jam 21.00-05.00 WIB
d. Pola nutrisi dan metabolik
1) Sebelum sakit

24
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan lauk, habis 1
porsi
b) Klien mengatakan minum 7 – 8 gelas sehari
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan makan 3 x 1 sehari dengan menu nasi dan lauk, habis 1
porsi
b) Klien mengatakan minum 4 – 5 gelas sehari
e. Pola eliminasi
1) Sebelum sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat, bau khas dan
warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 2 – 6 kali sehari, warnanya kuning bening
2) Saat sakit
a) Klien mengatakan BAB normal 1 kali sehari konsisten padat, bau khas dan
warna kecoklatan.
b) Klien mengatakan BAK ± 9 – 10 kali sehari, warnanya kuning keruh dan
bau urin menyengat.
f. Pola toleransi - koping
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas sehari-hari (menjahit).
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan
bau kencingnya sangat menyengat.
g. Pola hubungan peran
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bisa berkumpul berbincang dengan keluarga dan tetangganya
dan menjahit.
2) Saat sakit
Klien mengatakan merasa malu untuk berkumpul berbincang dengan
tetanggannya dan sudah tidak bisa menjahit lagi.
h. Pola nilai dan keyakinan

25
1) Sebelum sakit
Klien mengatakan bahwa ia beribadah 5 waktu sehari.
2) Saat sakit
Klien mengatakan dapat beribadah 5 waktu sehari dan berdoa meminta
kesembuhan oleh ALLAH untuk sabar dan pasrah akan kesembuhannya.

4. Pengkajian fisik
a. Penampakan umum
Keadaan umum Klien tampak sakit sedang, klien tampak
lemas.
Kesadaran Composmentis
BB 71 kg TB : 155 cm
TD:160/90mmHg 0
Suhu:37 C RR:19x/me Nadi:90x/
nit menit
b. Kepala dan leher
1) Rambut
a) Inspeksi
Rambut klien tampak bersih, berwarna hitam dan putih dan potongan
rambut pendek
b) Palpasi
Rambut klien tampak bersih, lembut dan tidak ada nyeri tekan.
2) Mata
a) Inspeksi
Bentuk mata simetris antara kanan dan kiri dan konjungtiva pucat
pandangan kabur dan berkunang-kunang.
b) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada mata.
3) Telinga
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi telinga simetris, tidak ada cairan yang keluar seperti
nanah atau darah.
b) Palpasi

26
Tidak ada nyeri tekan pada telinga.
4) Hidung
a) Inspeksi
Bentuk dan posisi hidung simetris, tidak ada pendarahan dan tanda – tanda
infeksi.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada hidung.
5) Mulut
a) Inspeksi
Bentuk mulut simetris, lidahnya berwarna putih dan mukosa bibir kering.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada bagian bibir.
6) Leher
a) Inspeksi
Pada leher terlihat normal dengan gerakan ke kanan dan ke kiri.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada leher.
7) Dada
a) Inspeksi
Bentuk dada simetris antara kanan dan kiri.
b) Palpasi
Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.
c) Perkusi
Tidak ada masalah.
d) Auskultrasi
Bunyi jantung normal.
8) Jantung
a) Inspeksi
Jantung tidak nampak dari luar.
b) Palpasi
Terjadi palpitasi jantung.

27
c) Perkusi
Tidak dilakukan pemeriksaan.
d) Aukultrasi
Detak jantung takikardi 90x/menit.
9) Abdomen
a) Inspeksi
Tampak simetris, tidak nampak lesi, bersih.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak ada pembesaran hepar.
c) Perkusi
Tidak flatulen.
d) Auskultrasi
Terdengar suara bising usus.
10) Inguinal dan genetalia
a) Inspeksi
Tidak tampak adanya pembengkakan.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan.
11) Ekstrimitas
a) Inspeksi
Bagian atas dan bawah tampak simetris, tidak ada deformitas, pergerakan
normal.
b) Palpasi
Tidak ada nyeri tekan pada ekstrimitas atas dan bawah.
c) Kekuatan otot

Keterangan :
0 : otot tak mampu bergerak.

28
1 : jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi.
2 : dapat menggerakan otot/bagian yang lemah sesuai perintah.
3 : dapat menggerakan otot dengan tahanan.
4 : dapat bergerak dengan melawan hambatan yang ringan.
5 : bebas bergerak dan dapat melawan hambatan.
B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
.
DS : Kegagalan mekanisme Kekurangan volume
- Klien mengatakan regulasi cairan
mengurangi
minum.
- Klien mengatakan
sering merasa
haus.
DO :
- Membran mukosa
kering.
- Turgor kulit
kering.
- TTV :
- TD : 160/90
mmHg.
- N : 90x/menit.
- RR : 19x/menit.
- S : 37°C.
- BB 71kg
- Frekuensi minum
4-5 gelas dalam
sehari.

2. DS : Gangguan fungsi kognisi Inkontinensia

29
- Klien mengatakan urinarius fungsional
kencing sebanyak
lebih dari 10 kali
dalam sehari.
- Klien mengatakan
bahwa dirinya
tidak bisa menahan
kencing untuk
sampai ke toilet.
DO :
Klien sering mengompol.
3. DS : Gangguan turgor kulit Kerusakan integritas
- Klien mengatakan kulit
perih di daerah
perinealnya.
DO :
- Tampak
kemerahan di area
perineal.
Turgor kulit kering.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme regulasi.
2. Inkontinensia urinarius fungsional berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine.

D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
. keperawatan

30
1. Kekurangan Setelah dilakukan asuhan Jaga intake/asupan yang
volume keperawatan selama 1x24 akurat dan catat output.
cairan jam klien mampu
berhubungan menunjukan hidrasi yang Monitor status hidrasi
dengan adekuat, dengan kriteria : (misalnya : membran
kegagalan 1. Keseimbangan mukosa lembab,denyut
mekanisme intake dan output nadi adekuat, dan tekanan
regulasi dalam 24 jam. darah ortostatik.
2. Turgor kulit elastis.
3. Kelembapan Monitor tanda tanda vital

membran mukosa. pasien.

4. TTV stabil.
Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian.
Distribusikan asupan
cairan salama 24 jam.

2. Inkontinensia Setelah dilakukan asuhan Jaga privasi klien saat


urinarius keperawatan selama 1x24 berkemih.
fungsional jam klien mampu
Modifikasi pakaian dan
berhubungan mengontrol pola
lingkungan untuk
dengan berkemih, dengan kriteria
mempermudah akses ke
gangguan :
toilet.
fungsi 1. Klien dapat Batasi intake cairan 2-3
kognitif. merespon saat jam sebelum tidur.
kandung kemih
penuh dengan tepat
Instruksikan klien untuk
waktu.
minum minimal 1500 cc
air per hari.

31
3. Kerusakan Setelah dilakukan asuhan Bantu pasien
integritas keperawatan selama 1x24 membersihkan perineum.
kulit jam klien mampu
berhubungan menunjukan perbaikan Jaga agar area perineum
dengan keadaan turgor dan tetap kering.
irigasi mempertahankan
kontras oleh keutuhan kulit, dengan Bersihkan area perineum
urine. kriteria : secara teratur.
1. Kulit perianal tetap
Berikan posisi yang
utuh.
nyaman.
2. Urin jernih dengan
sedimen minimal. Berikan lotion
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).

E. Implementasi dan Evaluasi


No.
Tanggal Implementasi Evaluasi
Dx
23-09-19 1. 1. Menjaga intake/asupan S :
(07.00 s/d yang akurat dan catat - Klien mengatakan
14.00 output. mengurangi minum.
WIB) - Respon : Klien - Klien mengatakan
mengatakan masih sering sering merasa haus.
merasakan haus karena
intake dibatasi. O:
2. Memonitor status hidrasi - Membran mukosa
(misalnya : membran kering.
mukosa lembab,denyut - Turgor kulit kering.

32
nadi adekuat, dan tekanan - TTV :
darah ortostatik. - TD : 160/90
- Respon : mmHg
- Membran mukosa - N : 90x/menit.
tampak kering. - RR : 19x/menit.
- Turgor kulit tidak - S : 37°C.
elastis. - BB 71 kg
3. Memonitor tanda tanda - Frekuensi minum 4-5
vital pasien. gelas dalam sehari.
- Respon :
- TD : 160/90 mmHg. A:
- N : 90x/menit. Masalah belum teratasi.
- RR : 19x/menit.
- S : 37°C. P:
4. Berkolaborasi dengan Intervensi dilanjutkan :
keluarga untuk mengawasi - Menjaga
asupan cairan pasien. intake/asupan yang
- Respon : Keluarga akurat dan catat
mengatakan pasien output.
sering mengeluh haus. - Memonitor status
hidrasi (misalnya :
membran mukosa
lembab,denyut nadi
adekuat, dan tekanan
darah ortostatik.
- Memonitor tanda
tanda vital pasien.
- Berkolaborasi dengan
keluarga untuk
mengawasi asupan
cairan pasien.

33
24-09-19 2. 1. Menjaga privasi klien saat S :
(07.00 s/d berkemih. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien tampak frekuensi pipis masih
WIB) lebih nyaman saat 10x dalam sehari.
sedang berkemih dan - Klien mengatakan
tidak merasa bahwa dirinya masih
malu/terganggu dengan belum bisa menahan
orang di sekitar. pipis untuk sampai ke
2. Memodifikasi pakaian dan toilet.
lingkungan untuk
mempermudah akses ke O :
toilet. - Tampak masih
- Respon : Klien sudah mengompol.
terlihat lebih mudah saat
akan berkemih. A:
Masalah belum teratasi.
3. Membatasi intake cairan P :
2-3 jam sebelum tidur. Intervensi dilanjutkan :
- Respon : Klien masih - Memodifikasi
terlihat mengompol pakaian dan
tetapi dalam jumlah yang lingkungan untuk
sedikit/jarang. mempermudah akses
4. Menginstruksikan klien ke toilet.
untuk minum minimal - Membatasi intake
1500 cc air per hari. cairan 2-3 jam
- Respon : Klien sebelum tidur.
mengatakan/tampak
tidak mengalami
dehidrasi karena output
berlebih.
25-09-19 3. 1. Membantu pasien S :

34
(07.00 s/d membersihkan perineum. - Klien mengatakan
14.00 - Respon : Pasien terlihat perih pada area
WIB) lebih nyaman jika perinealnya.
perenieumnya bersih.
2. Menjaga agar area O :
perineum tetap kering. - Terdapat lecet di area
- Respon : Pasien tampak perineal.
sangat memperhatikan
perenieumnya agar tidak A :
lembab/basah. Masalah belum teratasi.
3. Membersihkan area
perineum secara teratur. P:
- Respon : Pasien tampak Intervensi dilanjutkan :
sering mengeluh perih - Menjaga agar area
saat sedang dibersihkan. perineum tetap
4. Memberikan posisi yang kering.
nyaman. - Membersihkan
- Respon : Pasien masih area perineum
tampak kurang nyaman secara teratur
dan sering - Memberikan posisi
berganti/berpindah yang nyaman.
posisi.
5. Memberikan lotion
perlindungan yang tepat
(misalnya : zink oksida,
petrolatum).
- Respon : Pasien tampak
tidak khawatir lagi
dengan keadaan
pereniumnya setelah
diberikan lotion.

35
36
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan menahan air kencing. Inkontinensia urin
merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat
dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-
tiba. inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol
urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini dapat lebih membantu mahasiswa dalam memperluas dan
menambah pengetahuan tentang Asuhan keperawatan gerontic dengan gangguan system
perkemihan

37
DAFTAR PUSTAKA

Aspriani, Reny Yuli, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Jilid 1,Jakarta: Cv Trans
Info Media

Artinawati, Sri. 2014. Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: In Media

BPS. (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia.

Dewi, Julianti Karjoyo, 2017. Pengaruh Senam Kegel Terhadap Frekuensi Urine Pada Lanjut
Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Tumpaan Minahasa Selatan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar


Indonesia (Riskesdas) 2013.

Dinas Kesehatan Sumbar. (2017). Profil Dinas Kesehatan Sumbar tahun 2017, Retrieved from
www.depkes.go.id

Effendi,Ferry, 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori Dan Praktik Dalam


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Herdman, T. Heather & Kamitsuru, Shigemi. 2015. Diagnosis Keperawatan Defenisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Egc

Juananda D, Febriantara D. 2017. Inkontinensia Urine Pada Lanjut Usia Di Panti Werdha
Provinsi Riau

Kartina, Nita Aprila, 2016.Asuhan Keperawatan Pada Pasien Inkontinensia Di Panti Sosial
Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Pada Tahun 2016.Kti. Poltekkes Kemenkes
Padang

38
Kemenkes RI. (2013). Kementrian Kesehatan RI

Maryam, R. Siti, Dkk, 2008. Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta:Salemba
Medika.

Muhith, Abdul Dan Siyoto, Sandu. 2016.Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Cv


Andi Offset

Menurut Nanda , 2017 . Skripsi KTI . Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia
Urine di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin

NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Gerontik Definisi dan Klasifikasi 2015- 2017, Edisi
10 Jakarta: EGC

Nugroho,Wahyudi. 2008. Keperawatan Gerontik, Jakarta: Penerrbit Buku


Kedokteran,Egc.

Padila. 2013. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Mediak


Rhosma, Sofia Dewi, 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Yogyakrata: Depublisher.

Sunaryo, Dkk. 2015. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta, Cv Andi Offset Tamheer
Dan Noorkasiani, 2011. Kesehatan Usia Lanjut Dengan PWiratna , Sujarweni V. 2014.
Metodologi Penelitian Keperawatan, Yogyakarta: Penerbit Gava Media

Tamheer Dan Noorkasiani, 2011. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Wiratna , Sujarweni V. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan, Yogyakarta: Penerbit Gava


Media

39

Anda mungkin juga menyukai