Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH PENGANTAR STUDI HADIS

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

DOSEN PEMBIMBING

Kelompok 2 :
Ina Isnawati
Rida Nurrohmah
Wita Larasati

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


SUKABUMI

2020
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

A. Pengertian Hadis
Mayoritas ahli hadis mendefinisikan hadis sebagai segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi
Muhammad SAW atau segala berita dari Rasulullah SAW yang berupa ucapan,
perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan) maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW.
Sementara itu, para ahli usul fikih menyebutkan, hadis merupakan segala perkataan, perbuatan,
dan takrir Rasulullah yang bersangkut paut dengan hukum. 
Ensiklopedi Islam menukilkan klasifikasi, berdasarkan sumbernya, hadis terdiri atas dua macam,
yaitu hadis qudsi dan hadis nabawi.
Hadis qudsi merupakan hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada
Rasulullah. Kemudian, beliau menerangkan kepada umatnya dengan susunan katanya sendiri dan
menyandarkannya kepada Allah. Bisa juga berarti bahwa hadis ini maknanya dari Allah,
sedangkan lafalnya berasal dari Rasulullah. Sementara itu, hadis nabawi adalah hadis yang lafal
dan maknanya berasal dari Nabi Muhammad sendiri.

B. Sejarah Perkembangan Hadis


1. Masa pembentukan hadis
Berita tentang perilaku Nabi Muhammad saw. (sabda, perbuatan, sikap dan persetujuan) didapat
dari seorang sahabat yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian
disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak
menyaksikan. Kemudian, berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabiin
(satu generasi dibawah sahabat). Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari
generasi selanjutnya lagi yaitu para tabiut tabiin dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku
hadis (mudawwin).

Pada masa sang nabi masih hidup, hadis belum ditulis dan berada dalam benak atau hafalan para
sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat nabi
masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Di antara sahabat tidak semua bergaulnya dengan nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang
beberapa kali saja bertemu nabi. Oleh sebab itu, hadis yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama
banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun, di antara para sahabat itu
sering bertukar berita (hadis) sehingga perilaku Nabi Muhammad saw. banyak yang diteladani,
ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya saat Nabi Muhammad saw.
masih hidup.

Dengan demikian, pelaksanaan hadis dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali
dan pengawasan Nabi Muhammad saw., baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Hadis yang telah
diamalkan atau ditaati oleh umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw. hidup ini oleh ahli
hadist disebut sebagai sunnah muttaba'ah ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran
hadis.

Meskipun pada masa itu hadis berada pada ingatan para sahabat, tetapi ada sahabat yang
menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di
antaranya ialah:

'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)


'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diat yaitu soal denda atau ganti
rugi).

2. Masa penggalian
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan
masalah mengenai hadis karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan
menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan
pemecahan, baik mengenai hadis ataupun Alquran, dan di antara mereka masih sering bertemu
untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khattab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah
Islamiah dan daulat Islamiah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul
masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan
macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meskipun para sahabat tempat tinggalnya
mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, tetapi kebutuhan untuk memecahkan berbagai
masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar hadis.

Kemudian, para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian hadis dari sumbernya ialah
para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat
kecil terutama para tabiin. Meskipun memerlukan perjalanan jauh, tidak segan-segan para tabiin
ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki al hadis yang sangat diperlukannya. Maka,
para tabiin mulai banyak memiliki hadis yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para
sahabat. Meskipun begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah hadis belum ditulis
apalagi dibukukan.

3. Masa penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah
itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang
tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan
kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang syariat dan akidah dengan membuat al-hadist
maudlu (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau
membenarkan dan menguatkan keinginan atau perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu.
Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Alquran, karena selain sudah didiwankan
(dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan
tafsir-tafsir Alquran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.

Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi
Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para
tabiin mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima hadis
baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para sahabat kecil dan
tabiin ini sangat berhati-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang
menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab, mereka ini tahu benar siapa-siapa yang
melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar
keadaan pribadi-pribadi sumber atau pemberita hadis. Misalnya, apakah seorang yang pelupa
atau tidak, masih kanak-kanak atau telah uzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan
suatu hadis dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya
ialah para tabiut tabiin.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M)
termasuk angkatan tabiin yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadis. Para kepala
daerah diperintahkannya untuk menghimpun hadis dari para tabiin yang terkenal memiliki
banyak hadis. Seorang tabiin yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin
'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan
untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan semboyannya yang
terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya:
sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa
saja).

Az-Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya


mana yang makbul dan mana yang mardud. Para ahli hadis menyatakan bahwa Az-Zuhri telah
menyelamatkan 90 hadis yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.

Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun hadis yang antara lain:
Makkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
Kuffah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan hadis dalam kitab-kitab pada
masa Abad II Hijriah ini, adalah bahwa hadis tersebut belum dipisahkan mana yang marfuk,
mana yang maukuf dan mana yang maktuk.

4. Masa pendiwanan dan penyusunan


Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku hadis disebut pendiwan) dan
penyusunan hadis dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali
dengan pengelompokan hadis. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana hadis yang
marfuk, maukuf dan maktuk. Hadis marfuk ialah hadis yang berisi perilaku Nabi Muhammad,
hadis maukuf ialah hadis yang berisi perilaku sahabat dan hadis maktuk ialah hadis yang berisi
perilaku tabiin. Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan oleh:
Ahmad bin Hambal
'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
Musaddad Al Bashri
Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
'Utsman bin Abi Syu'bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul
Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 hadis, 10.000 di
antaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya, sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang
disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadis yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini
selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr
Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang daif dan 4 hadis maudlu'.

Adapun pendiwanan hadis dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama
terkenal yang memelopori usaha ini adalah:
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An Nasai.

Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh
muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga
pendiwanan kitab al hadits terwujud dalam kitab Al-Jami'ush Sahih Bukhari, Al-Jamush Shahih
Muslim As-Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab pada
masa abad 3 hijriah.

Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk
memisahkan hadis yang sahih dari hadis yang tidak sahih sehingga tersusun 3 macam hadis,
yaitu:

Kitab Sahih - (Sahih Bukhari, Sahih Muslim) - berisi hadis yang sahih saja
Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian
ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi hadis sahih dan hadits daif yang tidak mungkar.
Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu
Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh sebab itu,
hanya berguna bagi para ahli hadis untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli hadis pada abad ke-3 hijriah tidak banyak yang
mengeluarkan atau menggali hadis dari sumbernya seperti halnya ahli hadis pada abad ke-2
Hijriah. Ahli hadis pada abad ke-3 umumnya melakukan tashih (koreksi atau verifikasi) saja atas
hadis yang telah ada di samping juga menghafalkannya, sedangkan pada masa abad ke-4 hijriah
dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan hadis, sedangkan pada abad ke-5 hijriah dan
seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadis, menghimpun yang terserakan dan
memudahkan mempelajarinya.

Anda mungkin juga menyukai