Terdapat beberapa indikator perburukan akut yang seringkali tidak terlihat oleh dokter dan
perawat sehingga terjadi peningkatan kejadian tidak diharapkan seperti henti jantung, dan
peningkatan jumlah pasien readmisi perawatan intensif yang berkontribusi terhadap
peningkatan angka kematian. Upaya yang digunakan untuk mengurangi kejadian yang tidak
diharapkan tersebut adalah penggunaan sistem skoring peringatan dini dengan perspektif
respon medis yang tepat waktu. Sistem peringatan dini (EWS) didefinisikan sebagai suatu
prosedur khusus untuk deteksi dini suatu kasus klinis dengan memonitoring sampel populasi
yang berada dalam risiko.
Observasi pasien yang efektif merupakan kunci pertama dalam mengidentifikasi perburukan
pasien dan penanganan efektif terhadap perawatannya. Kegagalan staf klinis merespon
terhadap perburukan fungsi pernapasan atau fungsi serebral serta berbagai intervensi medis
biasanya akan membawa pasien terhadap risiko henti jantung dan henti napas. Tindakan yang
tidak tepat dalam merespon fisiologi abnormal dan berbagai mekanisme penyakit dapat
menyebabkan kematian yang tidak dapat dihindarkan. Identifikasi risiko perburukan pada
pasien rawat inap secara dini melalui penggunaan suatu protokol sederhana yang berdasarkan
parameter fisiologi dapat mengurangi jumlah resusitasi pre-ICU. Salah satu instrumen yang
seing digunakan adalah EWS.
Untuk memastikan EWS berkualitas, terdapat 4 dimensi kualitas yang perlu diperhatikan:
Dokumentasi dan interpretasi tanda vital bersamaan dengan pelaporan perburukan yang tepat
waktu diserahkan pada perawat. Perawat profesional bertanggung jawab dalam memahami
observasi pasien yang signifikan, dan penyelamatan pasien seringkali bergantung pada
keputusan perawat dalam meminta bantuan.
Manfaat EWS
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa EWS merupakan suatu instrumen yang sensitif
dalam mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi terjadi perburukan. Peningkatan insidensi
henti napas henti jantung berkorelasi dengan pasien yang memiliki skor EWS yang tinggi.
Laju pernapasan ditunjuk sebagai penentu terbaik dalam mengidentifikasi pasien yang berada
dalam risiko. Berbagai penelitian yang berhubungan juga mengkonfirmasi bahwa EWS
merupakan instrumen yang valid dan reliabel.
Keterbatasan EWS
Pada pasien yang menderita infark miokard dimana menunjukkan tanda vital yang normal
dan memiliki skor EWS=1, kematian yang terjadi seringkali disebabkan oleh aritmia yang
cenderung terjadi secara tiba-tiba, sehingga dalam situasi tersebut, aplikabilitas EWS akan
kurang bermanfaa. Suatu studi yang membandingkan EWS dengan parameter biokimia
(CRP/rasio albumin) menunjukkan bahwa rasio biokimia lebih bermanfaat pada pasien lanjut
usia, terutama pada pasien dengan eksaserbasi akut penyakit kronis sebagai prediktor
outcome pasien.
Tahun: 2013
Tujuan penelitian: Dengan melakukan konsensus, studi ini bertujuan untuk mengembangkan
dan memvalidasi bentuk dan isi chart observasi bagi perawat menggunakan MEWS sebagai
parameter fisiologi untuk digunakan sebagai bedside monitoring di ruang perawatan umum di
rumah sakit umum Afrika Selatan.
Metode: metode delphi dan modifikasi metode face-to-face nominal group consensus untuk
mengembangkan dan memvalidasi cart observasi yang digunakan di UK MEWS.
Partisipan: satu anastesiologi, satu dokter spesialis emergency, 2 perawat ICU dan 8 perawat
bangsal senior dengan keahlian bedside monitoring (N=12).
Hasil: 5 pertemuan konsensus mencapai ≥ 70% untuk cut points pada 5 dari 7 parameter
fisiologi: laju repirasi & jantung, BP sistolik, temperatur, dan urine output. Algoriteme yang
dilaporkan telah dibentuk dan digabungkan pada cart MEWS yang menunjukkan aturan
keputusan dalam menentukan derajat kedaruratan pasien. Parameter dan cut point berbeda
dengan MEWS yang digunakan pada negara berkembang.
Kesimpulan: MEWS untuk negara berkembang sedikitnya harus memiliki 7 parameter. Para
ahli dari berbagai negara berkembang dapat menetapkan cut point pada parameter fisiologi.
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengeksplorasi kemampuan cart MEWS untuk
mengidentifikasi perburukan fisikdan klinis.
Tahun: 2007
Tekanan darah. Peningkatan tekanan darah diperlihatkan pada 46-56% pasien ICH.
Peningkatan tekanan darah secara langsung menyebabkan perluasan hematoma masih belum
jelas dibuktikan, namun pasien yang memiliki peningkatan sistolik, diastolik, dan MAP
memiliki hubungan dengan outcome rendah pada pasien ICH. Bagaimanapun, dokter
terkadang enggan untuk mengobati hipertensi pada pasien ICH karena ketakutan akan
penanganan tekanan darah yang terlalu agresif dapat menurunkan tekanan perfusi serebral
dan secara teori memperburuk injuri otak, khusunya pada seting TTIK. Panduan manajemen
pasien ICH oleh American Heart Association Stroke Council merekomendasikan untuk
mempertahankan MAP di bawah 130 mmHg pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi.
Pada pasien dengan TIIK yang menggunakan monitor TIK, CPP harus dipertahankan > 70
mmHg.