Oleh :
dr. I Putu Surya Sujana
PENDAHULUAN
Pada 11 Februari 2020, WHO mengumumkan Coronavirus Disease (COVID-
19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan telah
menyebar secara luas ke 190 negara dan teritori lainnya.1,2 Pada 12 Maret 2020, WHO
mengumumkan COVID-19 sebagai wabah pandemi dunia. Kasus COVID-19 telah
ditetapkan sebagai bencana non alam dan menjadi kasus kegawatdaruratan secara
mendunia. Hingga akhir Nopember 2020, terdapat 60.4 juta kasus dan 1.42 juta jumlah
kematian di seluruh dunia, sementara di Indonesia terdapat 517.534 kasus dengan
positif COVID-19 dan 16.352 kasus kematian.2 Penyebaran dan penularannya yang
sangat cepat membuat angka morbiditas dan mortalitas infeksi virus SARS-CoV-2
kian hari kian meningkat. Infeksi virus SARS-CoV-2 tanpa gejala hingga
menyebabkan keluhan demam, sakit kepala, dan gejala pernapasan seperti batuk, sesak
napas, pneumonia, sindrom ganguan pernapasan akut (acute respiratory distress
syndrome/ARDS), hingga kerusakan organ multipel yang berujung pada kematian.3
Morfologi SARS-CoV-2
Pada gambar 2.1 Struktur SARS-CoV-2, Virus SARS-CoV-2 mengandung
RNA rantai tunggal, berkapsul dan tidak bersegmen, yang memiliki kesamaan struktur
dengan SARS-CoV dalam satu family Coronaviridae. Famili virus ini memiliki
karakteristik berupa adanya Protein Spike (S), Membran (M), Envelope (E), tertanam
pada membrane lipid ganda yang membungkus nukelocapsid heliks yang mengandung
genom RNA virus. Protein M dan E berperan dalam morfogenesis virus, perakitan dan
perkembangan virus, sedangkan protein S berperan dalam perlekatan virus pada sel
1
host yang mengandung peptide penanda sinyal dan domain pengikat reseptor. Struktur
dari Protein S dan protease pada virus ini menjadi petunjuk dalam perkembangan
terapi terbaru infeksi COVID-19.3,7
Gambar 2.3 Jalur Penularan SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dari Inang Alami ke
Berbagai Inang3
4
Penularan Antar Hewan
Pada tahun 2005, kelompok penelitian individu melaporkan virus corona baru
yang terkait dengan SARS-CoV manusia, yang dinamai virus yang terkait SARS-CoV
atau virus korona mirip SARS, pada kelelawar tapal kuda (genus Rhinolophus).
Berdasarkan penelitian ini, dapat diterapkan bahwa kelelawar mungkin telah menjadi
inang alami untuk SARS-CoV sementara musang hanya bertindak sebagai perantara.
Satu studi lagi mengungkap koeksistensi beragam SARSr-CoV dalam populasi
kelelawar yang menghuni salah satu gua di provinsi Yunnan, Cina, yang juga
merupakan informasi pertama mengenai ACE2 manusia (angiotensin-converting
enzyme 2) sebagai reseptor untuk virus korona mirip SARS kelelawar. Lebih lanjut,
telah diketahui bahwa genom coronavirus sering mengalami rekombinasi (Lai dan
Cavanagh 1997), menunjukkan kemungkinan tinggi munculnya SARS-CoV baru
melalui rekombinasi SARS-CoV kelelawar yang ada di gua kelelawar yang sama atau
lainnya. Cui dkk. (2019) berspekulasi bahwa SARS-CoV melalui rekombinasi dalam
kelelawar, dan kemudian diteruskan ke musang yang dibudidayakan dan mamalia lain
yang menyebabkan infeksi virus ke musang melalui penularan fecal-oral. Musang
yang mengandung virus ini diangkut ke pasar Guangdong di mana mereka
menginfeksi musang pasar dan selanjutnya bermutasi sebelum menginfeksi manusia.
Investigasi filogenetik CoV baru menunjukkan adanya beberapa peristiwa penularan
lintas spesies. Frekuensi rekombinasi CoV yang tinggi pada kelelawar menunjukkan
kelelawar menjadi reservoir penting untuk rekombinasi dan evolusi CoV.3
5
Penularan Di Antara Manusia
Data dari berbagai penelitian sejauh ini mengimplikasikan asal usul zoonosis
dari SARS-CoV dan SARS-CoV-2, dan penyebarannya yang cepat di antara manusia
mengkonfirmasi bahwa terjadi penularan diantara manusia. Virus ini menyebar oleh
orang yang terinfeksi saat batuk atau bersin meninggalkan tetesan kecil di udara atau
melalui tinja. Jadi orang yang menghirup tetesan tersebut atau menyentuh permukaan
yang terinfeksi juga dapat terinfeksi. Dalam karya terbaru, SARS-CoV-2 hidup telah
terdeteksi dalam tinja pasien yang membuktikan keberadaan SARS-CoV di saluran
pencernaan yang membenarkan gejala gastrointestinal, kemungkinan kekambuhan,
dan penularan virus melalui rute fecal-oral. Namun, tidak pasti apakah konsumsi
makanan yang terkontaminasi virus dapat menyebabkan infeksi dan penularan.
Penularan SARS-CoV-2 dari orang ke orang dapat terjadi karena paparan yang lama
dan tidak terlindungi dengan orang yang terinfeksi yang menunjukkan tekanan
patogen konstan yang mengarah ke infeksi dan penyakit.3
Infeksi virus dimulai melalui reseptor inang tertentu yang mengikat kemudian
bergabung dengan membran sel. Lonjakan virus mengikat reseptor ACE2 dari sel
inang potensial jika terjadi penularan SARS-CoV dari manusia ke manusia. Fitur yang
paling menarik adalah bahwa lonjakan SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki
kemiripan yang menunjukkan rute umum mereka untuk masuk ke sel inang melalui
reseptor ACE2.3,8
Patogenesis SARS-CoV-2
Masuknya virus ke dalam sel host yang menjadi targetnya itu bergantung dari
pengikatan protein Spike terhadap reseptor seluler dan priming protein Spike oleh
protease sel host. Sama halnya dengan SARS-CoV lainnya, SARS-CoV-2
memerlukan reseptor ACE2 untuk internalisasi ke sel host dan memerlukan protease
serin TMPRSS2 untuk priming protein Spike. SARS-CoV-2 mampu menimbulkan
gejala ekstrapulmoner oleh karena persebaran ekspresi reseptor ACE2 juga ada di
jaringan-jaringan tubuh lainnya, seperti di mukosa oral, nasal, nasofaring, paru,
lambung, usus halus, usus besar, kulit, hepar, ginjal, sel epitel alveolus paru, sel
enterosit usus halus, sel endotel arteri dan vena serta sel otot polos. Penelitian
melaporkan bahwa protein Spike pada SARS-CoV-2 memiliki daya afinitas 10-20 kali
lipat lebih kuat dibandingkan SARS-CoV lainnya.9,10
Pada Gambar 2.6 tentang Masuk dan Replikasi SARS-CoV dalam Sel Inang
dijelaskan adanya ikatan antara protein Spike dan reseptor ACE2 pada sel host
menyebabkan adanya perubahan konformasi pada protein Spike, selanjutnya
mengakibatkan berfusinya protein Envelop virus dengan membrane sel host sehingga
virus masuk ke sel host melalui jalur endosomal. Proses entry virus ini diikuti dengan
pelepasan rantai RNA virus ke dalam sitoplasma sel yang akan mengalami translasi
dan replikasi polyprotein pp1a dan ppib yang nantinya akan dipecah oleh proteinase
virus menjadi protein-protein kecil. Replikasi virus dalam sitoplasma sel host
mencetak banyak RNA subgenomik melalui transkripsi terputus yang mengkode
protein virus. Selanjutnya akan terjadi perakitan virion-virion baru (genom RNA dan
protein nukleokapsid) di retikulum endoplasma dan kompleks Golgi (Endoplasmic
6
Reticulum-Golgi Intermediate Compartment/ERGIC) yang nantinya vesikel-vesikel
ERGIC mengandung virion-viron baru dan akan dilepaskan dari sel melalui
eksositosis.3,11
8
Mekanisme detail mengenai presentasi antigen dalam respon imun terhadap
infeksi SARS-CoV-2 masih memerlukan penelitian lebih lanjut, sehingga mekanisme
respon imun tubuh terhadap infeksi COVID19 yang dipahami saat ini berdasarkan
pada mekanisme respon tubuh terhadap infeksi strain Corovirus sebelumnya yang
serupa yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV oleh karena analoginya.3,10 Pada gambar 2.8
Imunopatologi pada Infeksi COVID19, respon imun yang terlibat dalam infeksi virus
adalah respon imun seluler melalui sel T dan respon imun humoral melalui sel B.
Respon imun humoral dimediasi oleh antibodi spesifik terhadap antigen virus yang
diproduki melalui diferensiasi sel B menjadi sel plasma atas bantuan sel T helper.
Dalam hal respon imun terhadap virus tersebut, Antigen Presenting Cells (APC), salah
satunya dalam bentuk sel dendritik, memegang peranan penting dalam
mempresentasikan peptida antigen virus yang membentuk kompleks dengan molekul
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I dan II. MHC kelas I akan berikatan
dengan sel T CD8, sedangkan MHC kelas II akan berikatan dengan sel T CD4. Sel
dendritik ini yang membantu dalam memahami mekanisme imunopatologi infeksi
SARS-CoV.11,13,14
Infeksi SARS-CoV-2 menimbulkan gangguan sistem imunitas tubuh dan
respon inflamasi ysng tidak terkontrol pada pasien dengan gejala berat dan kritis.
Pasien-pasien tersebut mengalami limfopenia, disfungsi dan aktivasi limfosit,
abnormalitas granulosit dan monosit, serta peningkatan level sitokin dan antibodi.
Limfopenia merupakan kondisi yang utama terjadi pada pasien dengan infeksi
COVID-19, khususnya pada kasus berat. Pasien yang menjalani perawatan dengan
kondisi berat seringkali menunjukkan presentase limfosit yang kurang dari 20%.
Pasien juga mengalami penurunan pada signifikan pada jumlah sel T CD4+, sel T
CD8+, dan sel NK (natural killer), presentase sel T helper memori juga mengalami
penurunan pada pasien dengan gejala berat dibandingkan dengan pasien gejala ringan.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa limfopenia dapat digunakan sebagai indikator
keparahan dan prognosis pasien dengan infeksi COVID-19.11,15
Penelitian pada 128 pasien sembuh menunjukkan adanya respon sel T CD8+
lebih tinggi dibandingkan sel T CD4+. Selain itu, pada kasus yang berat juga
mengalami peningkatan level interferon (IFN)-γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan
interleukin (IL)-2 dibandingkan pada pasien dengan gejala ringan-sedang. Peningkatan
sel T terjadi pada tahap simptomatik dibandingkan saat tahapan prodromal dan
mencapai level puncak saat kondisi berat.11
Selain limfosit, jumlah neutrofil dan monosit juga abnormal pada pasien
dengan infeksi COVID-19. Neutrofil dan rasio neutrofil dan limfosit (neutrophil-to-
lymphocyte ratio/NLR) menjadi indikator penting pada kasus berat dan prognosis yang
buruk. Infeksi COVID-19 berat juga ditandai dengan peningkatan yang ekstrim pada
interleukin (IL) yaitu IL-1β, IL-6, IL-10, IL-7, IL-8, granulocyte-colony stimulating
factor (G-CSF), granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF), IFN-γ,
TNF-α, dan sitokin-sitokin lainnya yang menyebabkan terjadinya badai sitokin/
cytokine storm. IL-1β, IL-6, IL-10 adalah tiga jenis sitokin tertinggi yang muncul pada
kasus infeksi berat dan kritis.7,11
9
Gambar 2.7 Imunopatologi pada Infeksi COVID1911
Antibodi mampu menghambat virus sebelum memasuki sel inang dan berperan
dalam mencegah kekambuhan infeksi ke depannya. Dalam studi mengenai infeksi
SARS-CoV-2 dilaporkan bahwa ACE2 (Angiotensin-Converting Enzyme 2)
merupakan reseptor yang berada di sel inang serta protein Spike dan epitope sel T
pada SARS-CoV dan SARS-CoV-2 memiliki struktur mayor yang sama.3 Antibodi
selaku imunitas spesifik humoral hanya efektif saat virus dalam fase ekstraseluler.
Virus hanya dapat ditemukan ekstraseluler saat awal infeksi sebelum virus masuk ke
dalam sel atau bila dilepas oleh sel yang sudah terinfeksi. Antibodi berperan dalam
menetralkan virus, mencegah virus menempel pada sel dan mencegah virus masuk ke
dalam sel inang. Namun,
epitop sel B memerlukan lokasi yang spesifik pada protein
virus, lain halnya dengan epitop sel T yang berlokasi di berbagai tempat pada protein
virus. Antibodi yang terbentuk saat terjadi infeksi virus ini berupa IgM dan IgG yang
dimediasi oleh sel T helper. IgM akan hilang pada akhir minggu ke 12, sedangkan IgG
akan bertahan lebih lama dalam tubuh sehingga menjadi tanda adanya proteksi poten
terhadap infeksi tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa adanya respon sel T helper
menjadi kunci keberhasilan pengendalian SARS-CoV dan MERS-CoV yang
kemungkinan juga berlaku pada infeksi SARS-CoV-2 (Yong et al. 2019).3,10,12,14
Respon imun seluler adalah mekanisme imunitas adaptif yang berespon
terhadap virus intraseluler dan dimediasi oleh sel limfosit T dengan menyerang dan
menghancurkan sel yang sudah terinfeksi virus (sel T sitotoksik/Cytotoxic T
Lymphocyte (CTL). Pada kasus infeksi oleh SARS-CoV dan MERS-CoV dilaporkan
bahwa pasien yang sudah sembuh dari infeksi SARS-CoV masih memiliki sel T
memori CD4 dan CD8 yang berperan dalam proliferasi sel T dan produksi interferon
10
gamma. Untuk dapat berdiferensiasi penuh, sel CD8 memerlukan sitokin yang
diproduksi sel CD4 dan kostimulator yang diproduksi oleh sel yang terinfeksi. Bilas el
yang terinfeksi bukan dalam bentuk APC maka sel yang terinfeksi akan dimakan oleh
APC, misalnya sel dendritik, untuk dapat dipresentasikan pada MHC II dan mampu
berikatan dengan sel CD8.7,11,13
Pada gambar 2.8 Mekanisme SARS-CoV-2 Menginduksi Imunopatologi,
penelitian melaporkan pada infeksi COVID-19 terjadi penurunan jumlah dan disfungsi
sel T. Hal ini disebabkan oleh SARS-CoV- 2 yang mampu menginfeksi langsung sel T
dan makrofag. Oleh karena virus tersebut mampu menginfeksi sel epitel saluran napas
melalui interaksi protein S (Spike) pada virus dengan reseptor ACE-2 sehingga
dipikirkan bahwa sel limfosit memiliki reseptor ACE-2 yang membuat virus bisa
masuk ke dalam sel limfosit dan mengakibatkan penurunan serta disfungsi dari
limfosit. Studi lainnya menjelaskan bahwa penurunan jumlah sel T tersebut bekorelasi
terbalik terhadap TNF-α, IL-6, dan IL-10 yang mengindikasikan bahwa peningkatan
level sitokin inflamasi mampu memicu “kelelahan” pada populasi sel T seiring dengan
progresivitas penyakit. Selain itu, virus SARS-CoV-2 juga merusak organ limfatik,
termasuk limpa dan nodus limfe yang menyebabkan limfopenia.7,11
Peningkatan neutrofil terjadi pada pasien dengan infeksi COVID-19 yang erat
kaitannya dengan kondisi limfopenia. Infeksi mikroba dapat menyebabkan rekruitmen
neutrofil ke lokasi infeksi sehingga kondisi limfosit yang rusak pada infeksi COVID-
19 dapat menyebabkan infeksi pada mikroba lainnya yang menyebabkan aktivasi dan
rekruitmen neutrofil di darah pasien sehingga akan terjadi peningkatan jumlah
neutrofil.7,11,12
Infeksi SARS-CoV-2 dapat dengan cepat mengaktivasi sel T-CD4+ menjadi sel
T helper (Th) 1 patogenik yang akan memproduksi GM-CSF, yang nantinya akan
menginduksi monosit dengan level IL-6 yang meningkat dan mempercepat proses
inflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa terjadi respon Th17 pada pasien konfirmasi
COVID-19 dimana sel Th17 akan memproduksi IL17 yang akan menambah rekrutmen
makrofag dan neutrofil menuju lokasi infeksi serta mampu menstimulasi kaskade
sitokin lainnya, seperti IL-1β dan IL-6. Dengan demikian, IL-6 merupakan mediator
utama dalam perkembangan badai sitokin pada kasus COVID-19.7,11
Pada infeksi virus MERS (Middle East Respiratory Syndrome) terdapat
antibodi monokonal yang berikatan dengan domain protein S virus sehingga
memudahkan virus masuk ke dalam sel dimana Fc site pada antibodi akan berikatan
dengan reseptor Fc pada sel inang. Hal ini mendukung adanya hubungan antara
antibodi yang meningkat seiring dengan prognosis buruk pasien dengan COVID-19.11
11
13
Tiga jenis CoV terbaru yaitu SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2
memiliki mekanisme penghindaran kekebalan tubuh yang sama oleh karena ketiganya
berasal dari genera yang sama, yaitu Betacoronavirus.3 Selama infeksi SARS-CoV,
isolasi RNA virus terjadi di dalam vesikel membran ganda pada sel inang yang
diyakini mampu menjadi pelindung virus dari deteksi oleh PRR sitosol. Pada setiap
infeksi virus, interferon (IFN) memilikki peran yang sangat penting dalam eliminasi
virus. Coronavirus mamiliki strategi yang baik dalam mengganggu sistem kekebalan
IFN yang dikeluarkan tubuh dengan menghancurkan regulator utamanya. Selain itu,
virus tersebut juga mampu mengacaukan pensinyalan IFN, induksi IFN, bahkan
mengganggu Interferon-Stimulated Gene (ISG) yang diinduksi oleh interferon guna
menghambat pertumbuhan virus.3
15
Gambar 2.12 Implikasi Klinis Imunopatologi yang Dipicu SARS-CoV-211
16
Gambar 2.13 Pendekatan Imunoterapi pada COVID-194
Berbagai penelitian dan studi klinis melaporkan efek antitumor sel NK yang
menjanjikan, dimana sel NK mampu mengaktivasi respon imun untuk melawan sel
kanker. Pada terapi COVID-19, terapi ini telah disetujui dan dikembangkan di Cina
untuk dapat memberi efek pertahanan antivirus dan peningkatan respon imun tubuh.
Imunomodulator merupakan suatu substansi yang mempengaruhi fungsi imun tubuh
sehingga menjadi strategi terapeutik yang potensial pada COVID-19. Interferon alfa-
2a dan 2b yang telah disetujui sebagai terapi pada hepatitis B dan C dapat
dimanfaatkan untuk menstimulasi respon antiviral non spesifik pada infeksi COVID-
19. Imunomodulator lainnya seperti Pseudomonas aeruginosa dan timosin diyakini
efektif pada terapi COVID-19 oleh karena fungsi regulasi imun yang dimilikinya.11
Terapi plasma konvalesens sedang banyak digunakan saat ini untuk mengobati
para pasien COVID-19 dengan gejala berat dan kritis. Plasma konvalesens diperoleh
dari pasien yang sudah sembuh dari infeksi COVID-19. Antibodi yang terdapat di
17
plasma konvalesens diyakini mampu menghambat viremia pada pasien yang terinfeksi.
Penelitian menunjukkan rendahnya agka mortalitas pada pasien yang mendapat terapi
plasma konvalesens dibandingkan mereka yang tidak mendapat terapi tersebut selama
perawatan. Bebrapa penelitian menyebutkan bahwa pemberian terapi plasma
konvalesens ini akan lebih efektif bila diberikan kepada pasien sejak dini pada tahap
awal infeksinya. Namun, pelaksanaan terapi ini hanya bisa dilakukan di rumah sakit
dan memerlukan volume infus yang cukup besar. Selain itu, beberapa efek samping
yang ditimbulkan dari terapi ini antara lain: demam, reaksi alergi, bronkospasme,
transfusion-related acute lung injury (TRALI), overload cairan sirkulasi pada pasien
dengan gangguan kardiorespirasi.4,11
Terapi lainnya yang saat ini sedang dikembangkan dan sudah diinisiasi di Cina
adalah MCS-based therapy. Transplantasi sel stem mesenkimal ini memiliki efek
antiinflamasi yang mampu melawan badai sitokin, memperbaiki kerusakan sel
epithelial paru, dan memicu adanya klirens cairan alveolar. Terapi ini mampu secara
signifikan memperbaiki angka kesembuhan pasien ARDS yang disebabkan oleh virus
H7N9 (Asian Lineage Avian Influenza). Virus H7N9 memiliki gejala komplikasi yang
sama dengan COVID-19 seperti ARDS, gagal napas, dan gagal multi organ) sehingga
terapi MSC ini merupakan terapi yang potensial untuk dikembangkan dalam strategi
penyembuhan COVID-19.11
Imunoterapi berbasis interferon juga sedang dikembangkan saat ini mengingat
interferon merupakan komponen penting pada sistem imun dan SARS-CoV-2
memiliki kemampuan untuk mengganggu jalur pensinyalan interferon dengan
menghalangi produksi interferon melalui inhibisi transduksi sinyal dan menghambat
kerja activator transkripsi 1 (STAT-1). Selain itu, interferon juga mampu memicu
aktivasi jalur sinyal JAK-STAT dengan mengaktivasi faktor transkripsi yang nantinya
akan memicu ekspresi Interferon-Stimulated Gene (ISG). Di sisi lain pemberian terapi
berbasis interferon ini sangat dipengaruhi oleh tahapan penyakit. Dalam proses
imunitas tubuh, interferon memegang peran penting dalam memicu respon imun yang
adekuat terhadap virus pada tahap awal COVID-19, sedangkan pada tahap akhir atau
kondisi kritis pasien, respon imun tubuh dimediasi oleh granulosit, limfosit, monosit,
dan makrofag. Aktivasi yang tidak terkontol dari monosit dan makrofag menyebabkan
produksi yang berlebihan pada sitokin proinflamasi sehingga pemberian terapi
interferon ini sebaiknya dilakukan secara dini pada tahap awal infeksi untuk dapat
memicu respon antiviral tubuh yang maksimal sebab pemberian terapi berbasis
interferon ini di tahap akhir penyakit mampu memicu hiperaktivasi respon imun dan
memperparah kondisi badai sitokin yang telah terjadi.4,11,17
Antibodi monoklonal sebelumnya sudah banyak digunakan pada terapi infeksi
SARS-CoV untuk memblok perlekatan dan masuknya virus ke dalam sel. Selain itu,
terapi ini juga menargetkan protein Spike pada SARS-CoV dan MERS-CoV sehingga
antibody monoklonal menjadi strategi terapi yang potensial pada infeksi COVID-19,
terlebih Teknik monoclonal antibody cocktail atau tekanik kombinasi berbagai varian
antibody monoklonal mampu mengenali berbagai epitop virus yang berbeda sehingga
dapat meningkatkan ekfektivitas terapi dalam eliminasi virus.4,17,18
18
Pengobatan COVID-19 yang menargetkan sitokin dan sedang diinisiasi saat ini
di Cina adalah Tocilizumab, sebuah antibodi anti reseptor IL-6, yang juga digunakan
sebagai terapi pada rheumatoid artritis dan artritis idiopatik juvenil. IL-6 merupakan
faktor penting yang dapat memicu badai sitokin sehingga menempatkan IL-6 sebagai
target terapi adalah strategi terapi yang menjanjikan. Beberapa penelitian melaporkan
tidak ada reaksi efek samping yang jelas pada pasien yang diberikan terapi ini dan
90,5% pasien mampu sembuh dalam kisaran waktu 13,5 hari setelah mendapat
Tocilizumab selama perawatannya. Suatu studi uji klinis juga melaporkan bahwa
Tocilizumab juga mampu mengontrol gejala demam dan memperbaiki gangguan
fungsi paru yang dialami pasien COVID-19 bergejala berat hingga dinyatakan
sembuh.11,19,20
Simpulan
20
Mekanisme spesifik mengenai presentasi antigen dalam respon imun terhadap
infeksi SARS-CoV-2 masih memerlukan penelitian lebih lanjut, sehingga mekanisme
respon imun tubuh terhadap infeksi COVID19 yang dipahami saat ini berdasarkan
pada mekanisme respon tubuh terhadap infeksi strain Corovirus sebelumnya yang
serupa yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV oleh karena analoginya. Penguraian
mekanisme replikasi SARS-CoV-2 dan respon imun tubuh terhadap virus tersebut,
diharapkan dapat membantu pemahaman patogenesis dan mengidentifikasi target
khusus untuk mengembangkan obat antiviral yang efektif kedepannya.
Pemahaman mengenai respons imun tubuh dalam menghadapi infeksi maupun
penyakit lain semakin berkembang, demikian pula penelitian mengenai komponen
yang dapat memengaruhi respons imun tersebut. Adanya pengetahuan mengenai
komunikasi atau interaksi sel memungkinkan kita untuk mengembangkan cara
memanipulasi jalur komunikasi tersebut. Bahan yang dapat memodulasi sistem imun
tubuh dikenal sebagai imunomodulator. Imunomodulator terdiri dari imunostimulator,
imunorestorator, dan imunosupresor. Secara klinis imunomodulator digunakan pada
pasien dengan gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan, HIV/AIDS,
malnutrisi, alergi, dan lain-lain.
21
Daftar Pustaka
22
progression in African Patients: UGLY SARS-CoV-2 study protocol. JMIR
Research Protocols: ReseachGate Juni 2020. DOI: 10.2196/preprints.21242
16. Thiel V, Weber F. Interferon and cytokine responses to SARS-coronavirus
infection. Cytokine and Growth Factor Reviews 19 Elsevier (2008). P. 121-132.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cytogfr.2008.01.001
17. AminJafari A, Ghasemi S. The possible of immunotherapy for COVID-19: a
systematic review. International Immunopharmacology 83 (2020) 106455.
https://doi.org/10.1016/j.intimp.2020.106455
18. Jodele S, Kohl J. Tackling COVID-19 infection through complement-targeted
immunotherapy. Br J Pharmacol 2020. p. 1-17. https://doi.org/
10.1111/bph.15187
19. Abbasifard M, Khorramdelazad. The bio-mission of interleukin-6 in the
pathogenesis of COVID-19: a brief look at potenstial therapeutic tactics. Life
Sciences 257 (2020). https://doi.org/10.1016/j.lfs.2020.118097
20. Buckley LF, et. al. Role of anti-cytokine therapies in severe coronavirus disease
2019. Crit Care Expl 2020. Vol. 2. DOI: 10.1097/CCE.000000000000017
21. Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemnkes
RI Nomor HK. 02.02/4/1/2021. Petunjuk teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam
Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Januari 2021.
23