Anda di halaman 1dari 23

Imunopatogenesis Corona Virus Disease 19 (COVID-19)

Oleh :
dr. I Putu Surya Sujana

PENDAHULUAN
Pada 11 Februari 2020, WHO mengumumkan Coronavirus Disease (COVID-
19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan telah
menyebar secara luas ke 190 negara dan teritori lainnya.1,2 Pada 12 Maret 2020, WHO
mengumumkan COVID-19 sebagai wabah pandemi dunia. Kasus COVID-19 telah
ditetapkan sebagai bencana non alam dan menjadi kasus kegawatdaruratan secara
mendunia. Hingga akhir Nopember 2020, terdapat 60.4 juta kasus dan 1.42 juta jumlah
kematian di seluruh dunia, sementara di Indonesia terdapat 517.534 kasus dengan
positif COVID-19 dan 16.352 kasus kematian.2 Penyebaran dan penularannya yang
sangat cepat membuat angka morbiditas dan mortalitas infeksi virus SARS-CoV-2
kian hari kian meningkat. Infeksi virus SARS-CoV-2 tanpa gejala hingga
menyebabkan keluhan demam, sakit kepala, dan gejala pernapasan seperti batuk, sesak
napas, pneumonia, sindrom ganguan pernapasan akut (acute respiratory distress
syndrome/ARDS), hingga kerusakan organ multipel yang berujung pada kematian.3

Respon imun tubuh pasien terhadap infeksi SARS-CoV-2 memegang peranan


penting dalam proses pathogenesis dan manisfestasi klinis dari infeksi COVID-19.
Virus SARS-CoV-2 tidak hanya mengaktivasi respon imun tubuh dalam
mengeliminasi virus, namun juga menyebabkan respon inflamasi tubuh yang tidak
terkontrol ditandai oleh adanya sitokin-sitokin proinflamasi yang dikeluarkan tubuh
pada infeksi COVID-19 yang sudah parah dan berujung pada gangguan multi organ
tubuh.3 Mekanisme pathogenesis infeksi COVID-19 yang dilandasi oleh abnormalitas
sistem imun tubuh perlu diteliti dan dipahami lebih lanjut sebagai petunjuk
menajemen klinis infeksi virus tersebut. Selain itu, langkah terapi rasional yang perlu
dikembangkan adalah meningkatkan kemampuan antiviral tubuh disertai dengan
mengurangi respon inflamasi sistemik yang berlebihan.5

Berikut akan diuraikan tentang bagaimana respon imunopatogenesis Covid19


dan manfaatnya pada tatalaksana pada Covid19. Tinjauan pustaka ini dibuat dengan
melakukan review tentang imunopatogenesis dengan melakukan telusur Google
Schoolar dengan kata kunci Imunopatogenesis Covid19.

Morfologi SARS-CoV-2
Pada gambar 2.1 Struktur SARS-CoV-2, Virus SARS-CoV-2 mengandung
RNA rantai tunggal, berkapsul dan tidak bersegmen, yang memiliki kesamaan struktur
dengan SARS-CoV dalam satu family Coronaviridae. Famili virus ini memiliki
karakteristik berupa adanya Protein Spike (S), Membran (M), Envelope (E), tertanam
pada membrane lipid ganda yang membungkus nukelocapsid heliks yang mengandung
genom RNA virus. Protein M dan E berperan dalam morfogenesis virus, perakitan dan
perkembangan virus, sedangkan protein S berperan dalam perlekatan virus pada sel
1  
 
host yang mengandung peptide penanda sinyal dan domain pengikat reseptor. Struktur
dari Protein S dan protease pada virus ini menjadi petunjuk dalam perkembangan
terapi terbaru infeksi COVID-19.3,7

Gambar 2.1 Struktur SARS-CoV-23


Coronavirus, tergolong dalam family Coronaviridae, yang menggunakan
protein Spike untuk dapat berikatan dengan membran sel inang dan menyebabkan
gangguan pernapasan. Golongan virus ini terdiri dari empat jenis, yaitu Alpha CoVs,
BetaCoVs (antara lain SARS-CoV dan MERS-CoV), Gamma CoVs, dan Delta CoVs.3
SARS-CoV-2 memiliki unit pengikat reseptor dengan struktur domain yang sama
dengan SARS-CoV sehingga protein Spike pada COVID19 mampu berikatan dengan
reseptor ACE2 di permukaan sel inang untuk dapat menginfeksi sel inangnya.
Penelitian menunjukkan terdapat enzim Furin di sel inang yang diyakini mampu
mengaktifkan SARS-CoV-2 sehingga memegang peranan penting dalam entry SARS-
CoV-2 dan keparahan virus tersebut sebab enzim ini tidak terdapat di SARS-CoV dan
MERS-CoV. Selain itu, enzim ini juga diekspresikan di berbagai organ seperti paru-
paru, usus kecil, dan hati sehingga COVID19 diprediksi berpotensi menginfeksi
berbagai organ manusia. Hal inilah yang mempengaruhi penularan serta stabilitas
virus dalam tubuh inangnya.3,6,7

Organisasi Genom SARS-CoV-2


Ukuran genom coronavirus berkisar 26-32 kb dan terdiri dari 6-11 open
reading frames (ORFs) yang mengkode 9680 poliprotein asam amino. Gambar 2.2
Organisasi Genom SARS-CoV-2, struktur ORF pertama terdiri dari 67% genom yang
mengkode 16 protein nonstruktural, sedangkan ORF lainnya mengkode protein
struktural dan aksesori. Variasi urutan antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada ORFs dan protein nonstruktural (non-
2  
 
structural proteins/nsps). Nsps mencakup dua protease sistein virus termasuk protease
mirip papain (nsp3), protease mirip chymotrypsin, mirip 3C, atau utama (nsp5),
polimerase RNA yang bergantung RNA (nsp12), helikase (nsp13), dan struktur
lainnya yang nantinya akan terlibat dalam transkripsi dan replikasi SARS-CoV-2.
Selain nsps, genom juga mengkodekan empat protein struktural utama yaitu Protein
Spike (S), Membran (M), protein Nukleokapsid (N), amplop (E) dan protein aksesori.
N-terminal glikosilasi ektodomain terdapat di ujung N-terminal protein M yang terdiri
dari tiga domain transmembran (TM) dan domain C-terminal CT Panjang.3,6

Gambar 2.2 Organisasi Genom SARS-CoV-23

Protein M dan E diperlukan untuk morfogenesis virus, perakitan, dan budding,


sedangkan S glikoprotein adalah protein virus fusi yang terdiri dari dua subunit S1 dan
S2. Subunit S1, yang memiliki 70% identitas urutan dengan CoV mirip SARS
kelelawar dan SARS-CoV manusia, terdiri dari peptida sinyal, domain terminal-N
(NTD), dan domain pengikat reseptor (receptor binding domain/RBD). Sebagian besar
perbedaan ditemukan di subdomain eksternal yang terutama bertanggung jawab atas
interaksi Protein Spike dengan reseptor ACE2. Ektodomain protein S (1–1208 residu
asam amino) diklon, diekspresikan dan dikristalisasi untuk memperoleh informasi
struktur glikoprotein Spike SARS-CoV-2.3,6
Studi juga mengungkapkan bahwa daerah pengikat reseptor (RBD)
menunjukkan divergensi struktural tertinggi. Subunit S2 yang memiliki 99% identitas
urutan yang mirip dengan SARS-CoV kelelawar dan SARS-CoV manusia terdiri dari
dua daerah berulang heptad yang dikenal sebagai HR-N dan HR-C, yang membentuk
struktur kumparan melingkar yang dikelilingi oleh protein ektodomain. Protein S telah
ditemukan menunjukkan situs pembelahan furin (PRRARS'V) pada antarmuka antara
subunit S1 dan S2 yang diproses selama biogenesis.3,6

Siklus Penularan SARS-CoV


Coronavirus (SARS-CoV) sebagai agen penyebab SARS ditularkan langsung
ke manusia dari musang pasar dan diperkirakan berasal dari kelelawar. Pada gambar
2.3 Jalur Penularan SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dari Inang Alami ke Berbagai Inang,
penelitian sebelumnya telah dilakukan, CoV yang serupa secara genetik diisolasi dari
musang dan anjing rakun. Studi menunjukkan bahwa SARS-CoV memiliki
kemampuan untuk menginfeksi dan menghasilkan penyakit pada kera dan musang,
sementara tidak menghasilkan gejala pada kucing. Sebuah penelitian baru-baru ini
melaporkan sekitar 80% kesamaan gen antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV. Sejalan
dengan itu, satu studi lagi melaporkan 96% kesamaan urutan antara SARS-CoV-2 dan
3  
 
CoV yang diisolasi dari Rhinolophus affinis yang menunjukkan kelelawar sebagai
sumber virus.3
Gambar 2.4 Mekanisme Potensial Penularan Lintas Spesies, menunjukkan jalur
transmisi tentatif dari inang alami ke manusia. Inang alami CoV dianggap sebagai
kelelawar. Meskipun spesiesnya berbeda, CoV masih dapat bermigrasi dari inang
alami ke manusia melalui inang perantara tergantung pada kemampuannya untuk
mengakses sel inang. Sejak beberapa dekade terakhir, CoV telah berevolusi dan
beradaptasi untuk dapat mengikat reseptor untuk masuk ke dalam sel inang melalui
glikoprotein permukaannya. Glikoprotein pada permukaan menunjukkan variasi yang
signifikan yang memungkinkan virus untuk mengikat berbagai spesies inang mamalia.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diasumsikan bahwa terdapat mekanisme peralihan
reseptor pada CoV yang mengarah pada kombinasi protein Spike. SARS-CoV dan
SARS-CoV-2 dipikirkan telah mengikuti salah satu mekanisme ini.3

Gambar 2.3 Jalur Penularan SARS-CoV dan SARS-CoV-2 dari Inang Alami ke
Berbagai Inang3

Gambar 2.4 Mekanisme Potensial Penularan Lintas Spesies3

4  
 
Penularan Antar Hewan
Pada tahun 2005, kelompok penelitian individu melaporkan virus corona baru
yang terkait dengan SARS-CoV manusia, yang dinamai virus yang terkait SARS-CoV
atau virus korona mirip SARS, pada kelelawar tapal kuda (genus Rhinolophus).
Berdasarkan penelitian ini, dapat diterapkan bahwa kelelawar mungkin telah menjadi
inang alami untuk SARS-CoV sementara musang hanya bertindak sebagai perantara.
Satu studi lagi mengungkap koeksistensi beragam SARSr-CoV dalam populasi
kelelawar yang menghuni salah satu gua di provinsi Yunnan, Cina, yang juga
merupakan informasi pertama mengenai ACE2 manusia (angiotensin-converting
enzyme 2) sebagai reseptor untuk virus korona mirip SARS kelelawar. Lebih lanjut,
telah diketahui bahwa genom coronavirus sering mengalami rekombinasi (Lai dan
Cavanagh 1997), menunjukkan kemungkinan tinggi munculnya SARS-CoV baru
melalui rekombinasi SARS-CoV kelelawar yang ada di gua kelelawar yang sama atau
lainnya. Cui dkk. (2019) berspekulasi bahwa SARS-CoV melalui rekombinasi dalam
kelelawar, dan kemudian diteruskan ke musang yang dibudidayakan dan mamalia lain
yang menyebabkan infeksi virus ke musang melalui penularan fecal-oral. Musang
yang mengandung virus ini diangkut ke pasar Guangdong di mana mereka
menginfeksi musang pasar dan selanjutnya bermutasi sebelum menginfeksi manusia.
Investigasi filogenetik CoV baru menunjukkan adanya beberapa peristiwa penularan
lintas spesies. Frekuensi rekombinasi CoV yang tinggi pada kelelawar menunjukkan
kelelawar menjadi reservoir penting untuk rekombinasi dan evolusi CoV.3

Penularan dari Hewan ke Manusia


Asal usul zoonosis SARS-CoV-2 di Wuhan, Cina, sangat terkait dengan pasar
hewan. Penelitian saat ini mengkonfirmasi lebih dari 95% kesamaan genom antara
SARS-CoV-2 dan kelelawar coronavirus, menunjukkan kelelawar sebagai inang
pertama yang paling memungkinkan. Selain kelelawar, beberapa inang hewan lain
dilaporkan sebagai reservoir virus. Ular dan trenggiling (Manis javanica) sebagai
kemungkinan reservoir virus untuk infeksi manusia diidentifikasi berkaitan dengan
virus corona terkait SARS-CoV-2. 3
Penularan ini terjadi melalui beberapa tahapan, yang memfasilitasi CoV untuk
menimbulkan infeksi pada manusia. Peluang penularan dari hewan ke manusia diatur
oleh berbagai faktor seperti dinamika penyakit pada inang hewan, tingkat paparan
virus, dan kerentanan manusia. Semua faktor ini dapat diringkas menjadi tiga tahap
utama yang menggambarkan cara penularan virus. Tahap utama mendefinisikan
tekanan patogen pada inang manusia, yaitu jumlah virus yang berinteraksi dengan
manusia pada saat tertentu yang diatur oleh prevalensi dan penyebaran virus dari inang
hewan, diikuti oleh kelangsungan hidup, perkembangan, dan penyebarannya di luar
inang hewan. Pada tahap selanjutnya, perilaku manusia dan vektor menentukan
kemungkinan pajanan virus, jalur masuk, dan jumlah virus. Tahap terakhir
dipengaruhi oleh genetika, status fisiologis, dan imunologis inang manusia yang
menentukan tingkat keparahan infeksi.3,8

5  
 
Penularan Di Antara Manusia
Data dari berbagai penelitian sejauh ini mengimplikasikan asal usul zoonosis
dari SARS-CoV dan SARS-CoV-2, dan penyebarannya yang cepat di antara manusia
mengkonfirmasi bahwa terjadi penularan diantara manusia. Virus ini menyebar oleh
orang yang terinfeksi saat batuk atau bersin meninggalkan tetesan kecil di udara atau
melalui tinja. Jadi orang yang menghirup tetesan tersebut atau menyentuh permukaan
yang terinfeksi juga dapat terinfeksi. Dalam karya terbaru, SARS-CoV-2 hidup telah
terdeteksi dalam tinja pasien yang membuktikan keberadaan SARS-CoV di saluran
pencernaan yang membenarkan gejala gastrointestinal, kemungkinan kekambuhan,
dan penularan virus melalui rute fecal-oral. Namun, tidak pasti apakah konsumsi
makanan yang terkontaminasi virus dapat menyebabkan infeksi dan penularan.
Penularan SARS-CoV-2 dari orang ke orang dapat terjadi karena paparan yang lama
dan tidak terlindungi dengan orang yang terinfeksi yang menunjukkan tekanan
patogen konstan yang mengarah ke infeksi dan penyakit.3
Infeksi virus dimulai melalui reseptor inang tertentu yang mengikat kemudian
bergabung dengan membran sel. Lonjakan virus mengikat reseptor ACE2 dari sel
inang potensial jika terjadi penularan SARS-CoV dari manusia ke manusia. Fitur yang
paling menarik adalah bahwa lonjakan SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki
kemiripan yang menunjukkan rute umum mereka untuk masuk ke sel inang melalui
reseptor ACE2.3,8

Patogenesis SARS-CoV-2
Masuknya virus ke dalam sel host yang menjadi targetnya itu bergantung dari
pengikatan protein Spike terhadap reseptor seluler dan priming protein Spike oleh
protease sel host. Sama halnya dengan SARS-CoV lainnya, SARS-CoV-2
memerlukan reseptor ACE2 untuk internalisasi ke sel host dan memerlukan protease
serin TMPRSS2 untuk priming protein Spike. SARS-CoV-2 mampu menimbulkan
gejala ekstrapulmoner oleh karena persebaran ekspresi reseptor ACE2 juga ada di
jaringan-jaringan tubuh lainnya, seperti di mukosa oral, nasal, nasofaring, paru,
lambung, usus halus, usus besar, kulit, hepar, ginjal, sel epitel alveolus paru, sel
enterosit usus halus, sel endotel arteri dan vena serta sel otot polos. Penelitian
melaporkan bahwa protein Spike pada SARS-CoV-2 memiliki daya afinitas 10-20 kali
lipat lebih kuat dibandingkan SARS-CoV lainnya.9,10
Pada Gambar 2.6 tentang Masuk dan Replikasi SARS-CoV dalam Sel Inang
dijelaskan adanya ikatan antara protein Spike dan reseptor ACE2 pada sel host
menyebabkan adanya perubahan konformasi pada protein Spike, selanjutnya
mengakibatkan berfusinya protein Envelop virus dengan membrane sel host sehingga
virus masuk ke sel host melalui jalur endosomal. Proses entry virus ini diikuti dengan
pelepasan rantai RNA virus ke dalam sitoplasma sel yang akan mengalami translasi
dan replikasi polyprotein pp1a dan ppib yang nantinya akan dipecah oleh proteinase
virus menjadi protein-protein kecil. Replikasi virus dalam sitoplasma sel host
mencetak banyak RNA subgenomik melalui transkripsi terputus yang mengkode
protein virus. Selanjutnya akan terjadi perakitan virion-virion baru (genom RNA dan
protein nukleokapsid) di retikulum endoplasma dan kompleks Golgi (Endoplasmic
6  
 
Reticulum-Golgi Intermediate Compartment/ERGIC) yang nantinya vesikel-vesikel
ERGIC mengandung virion-viron baru dan akan dilepaskan dari sel melalui
eksositosis.3,11

Gambar 2.5 Reseptor ACE2 di Berbagai Sistem Organ9

Gambar 2.6 Masuk dan Replikasi SARS-CoV dalam Sel Inang3


7  
 
Faktor virus dan pejamu sangat berperan dalam infeksi SARS-CoV. Keparahan
infeksi virus tersebut sangat dipengaruhi oleh efek sitopatik virus dan kemampuannya
mengalahkan respons imun.3,11 Gangguan regulasi pada sistem imun ini akan
menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Temuan patologis pada pasien yang terinfeksi
SARS-CoV-2 sangat mirip dengan pasien yang terinfeksi SARS-CoV dan MERS-
CoV.10 Analisis sampel darah perifer dengan flow cytometric menunjukkan adanya
penurunan yang signifikan dari sel CD4 dan CD8. Perubahan kondisi pneumonia yang
dialami pasien dapat terlihat jelas melalui rontgen thorax. Biopsi paru pada pasien
terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan adanya eksudat fibromiksoid seluler yang difus
secara bilateral. Selain itu, terjadi deskuamasi pneumosit dan pembentukan membrane
hialin yang mencirikan tanda ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Virus
yang mampu bereplikasi di saluran napas bawah akan memicu respon imun bawaan
dan spesifik.3
Tahap awal infeksi di paru, akan terjadi kerusakan difus alveolar, makrofag,
dan infiltrasi sel T serta proliferasi pneumosit tipe 2, infiltrat yang dominan disusun
oleh limfosit pada sel-sel paru pasien terinfeksi SARS-CoV-2. Ruang intraalveolar
juga akan mengandung sel sinsitial berinti banyak dengan pembesaran pneumosit
atipikal. Virus juga mampu bereplikasi di enterosit sehingga menyebabkan diare dan
gangguan perncernaan lainnya. Hasil biopsi hepar menunjukkan adanya steatosis
(penumpukan lemak hepar) pada mikrovaskuler dan lobular. Di samping itu, jaringan
jantung juga menunjukkan adanya infiltrat-infiltrat mononuklear yang menunjukkan
adanya inflamasi pada interstisial. Perubahan patologis ini dapat memberikan
wawasan baru tentang patogenesis pneumonia yang disebabkan oleh SARS-CoV-2
yang dapat membantu dokter menangani pasien COVID-19 secara efektif.3,11,12

Respon Imun Tubuh terhadap SARS-CoV-2


Imunopatologi pada infeksi SARS memiliki kemiripan dengan infeksi COVID-
19 oleh karena adanya kemiripan struktur antara kedua agen penyebab infeksi tersebut
yang berasal dari family yang sama.7 Respon imun pada infeksi virus ini diawali oleh
sistem imun bawaan atau non spesifik (innate immune system) yang mampu mengenali
pathogen-patogen yang masuk ke tubuh dan menginduksi sitokin-sitokin proinflamasi
untuk memicu respon imun tubuh. Kemudian, akan diikuti oleh respon imun oleh
sistem imun adaptif atau spesifik (adaptive immune system) berupa sel T yang mampu
membunuh dan menghancurkan langsung sel yang terinfeksi virus serta sel B yang
memproduksi antibodi spesifik terhadap patogen.13,14,15 Sitokin-sitokin yang
diproduksi selama respon imun terjadi juga mampu “mengundang” sel-sel
proinflamasi seperti makrofag dan neutrofil untuk datang ke lokasi infeksi dan
menginduksi respon inflamasi lebih banyak lagi. Meskipun respon imun tubuh ini
berperan dalam eliminasi virus dalam tubuh, namun juga dapat merusak sel-sel tubuh
yang normal. Sejauh ini, tidak ada bukti yang menjelaskan adanya perubahan respon
tubuh seperti: limfopenia, disfungsi limfosit, serta abnormalitas granulosit dan monosit
pada infeksi SARS. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan respon tubuh
tersebut merupakan profil imun yang khas dan spesifik pada infeksi COVID-19.7,15

8  
 
Mekanisme detail mengenai presentasi antigen dalam respon imun terhadap
infeksi SARS-CoV-2 masih memerlukan penelitian lebih lanjut, sehingga mekanisme
respon imun tubuh terhadap infeksi COVID19 yang dipahami saat ini berdasarkan
pada mekanisme respon tubuh terhadap infeksi strain Corovirus sebelumnya yang
serupa yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV oleh karena analoginya.3,10 Pada gambar 2.8
Imunopatologi pada Infeksi COVID19, respon imun yang terlibat dalam infeksi virus
adalah respon imun seluler melalui sel T dan respon imun humoral melalui sel B.
Respon imun humoral dimediasi oleh antibodi spesifik terhadap antigen virus yang
diproduki melalui diferensiasi sel B menjadi sel plasma atas bantuan sel T helper.
Dalam hal respon imun terhadap virus tersebut, Antigen Presenting Cells (APC), salah
satunya dalam bentuk sel dendritik, memegang peranan penting dalam
mempresentasikan peptida antigen virus yang membentuk kompleks dengan molekul
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I dan II. MHC kelas I akan berikatan
dengan sel T CD8, sedangkan MHC kelas II akan berikatan dengan sel T CD4. Sel
dendritik ini yang membantu dalam memahami mekanisme imunopatologi infeksi
SARS-CoV.11,13,14
Infeksi SARS-CoV-2 menimbulkan gangguan sistem imunitas tubuh dan
respon inflamasi ysng tidak terkontrol pada pasien dengan gejala berat dan kritis.
Pasien-pasien tersebut mengalami limfopenia, disfungsi dan aktivasi limfosit,
abnormalitas granulosit dan monosit, serta peningkatan level sitokin dan antibodi.
Limfopenia merupakan kondisi yang utama terjadi pada pasien dengan infeksi
COVID-19, khususnya pada kasus berat. Pasien yang menjalani perawatan dengan
kondisi berat seringkali menunjukkan presentase limfosit yang kurang dari 20%.
Pasien juga mengalami penurunan pada signifikan pada jumlah sel T CD4+, sel T
CD8+, dan sel NK (natural killer), presentase sel T helper memori juga mengalami
penurunan pada pasien dengan gejala berat dibandingkan dengan pasien gejala ringan.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa limfopenia dapat digunakan sebagai indikator
keparahan dan prognosis pasien dengan infeksi COVID-19.11,15
Penelitian pada 128 pasien sembuh menunjukkan adanya respon sel T CD8+
lebih tinggi dibandingkan sel T CD4+. Selain itu, pada kasus yang berat juga
mengalami peningkatan level interferon (IFN)-γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan
interleukin (IL)-2 dibandingkan pada pasien dengan gejala ringan-sedang. Peningkatan
sel T terjadi pada tahap simptomatik dibandingkan saat tahapan prodromal dan
mencapai level puncak saat kondisi berat.11
Selain limfosit, jumlah neutrofil dan monosit juga abnormal pada pasien
dengan infeksi COVID-19. Neutrofil dan rasio neutrofil dan limfosit (neutrophil-to-
lymphocyte ratio/NLR) menjadi indikator penting pada kasus berat dan prognosis yang
buruk. Infeksi COVID-19 berat juga ditandai dengan peningkatan yang ekstrim pada
interleukin (IL) yaitu IL-1β, IL-6, IL-10, IL-7, IL-8, granulocyte-colony stimulating
factor (G-CSF), granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF), IFN-γ,
TNF-α, dan sitokin-sitokin lainnya yang menyebabkan terjadinya badai sitokin/
cytokine storm. IL-1β, IL-6, IL-10 adalah tiga jenis sitokin tertinggi yang muncul pada
kasus infeksi berat dan kritis.7,11

9  
 
Gambar 2.7 Imunopatologi pada Infeksi COVID1911
Antibodi mampu menghambat virus sebelum memasuki sel inang dan berperan
dalam mencegah kekambuhan infeksi ke depannya. Dalam studi mengenai infeksi
SARS-CoV-2 dilaporkan bahwa ACE2 (Angiotensin-Converting Enzyme 2)
merupakan reseptor yang berada di sel inang serta protein Spike dan epitope sel T
pada SARS-CoV dan SARS-CoV-2 memiliki struktur mayor yang sama.3 Antibodi
selaku imunitas spesifik humoral hanya efektif saat virus dalam fase ekstraseluler.
Virus hanya dapat ditemukan ekstraseluler saat awal infeksi sebelum virus masuk ke
dalam sel atau bila dilepas oleh sel yang sudah terinfeksi. Antibodi berperan dalam
menetralkan virus, mencegah virus menempel pada sel dan mencegah virus masuk ke
dalam sel inang. Namun,   epitop sel B memerlukan lokasi yang spesifik pada protein
virus, lain halnya dengan epitop sel T yang berlokasi di berbagai tempat pada protein
virus. Antibodi yang terbentuk saat terjadi infeksi virus ini berupa IgM dan IgG yang
dimediasi oleh sel T helper. IgM akan hilang pada akhir minggu ke 12, sedangkan IgG
akan bertahan lebih lama dalam tubuh sehingga menjadi tanda adanya proteksi poten
terhadap infeksi tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa adanya respon sel T helper
menjadi kunci keberhasilan pengendalian SARS-CoV dan MERS-CoV yang
kemungkinan juga berlaku pada infeksi SARS-CoV-2 (Yong et al. 2019).3,10,12,14
Respon imun seluler adalah mekanisme imunitas adaptif yang berespon
terhadap virus intraseluler dan dimediasi oleh sel limfosit T dengan menyerang dan
menghancurkan sel yang sudah terinfeksi virus (sel T sitotoksik/Cytotoxic T
Lymphocyte (CTL). Pada kasus infeksi oleh SARS-CoV dan MERS-CoV dilaporkan
bahwa pasien yang sudah sembuh dari infeksi SARS-CoV masih memiliki sel T
memori CD4 dan CD8 yang berperan dalam proliferasi sel T dan produksi interferon
10  
 
gamma. Untuk dapat berdiferensiasi penuh, sel CD8 memerlukan sitokin yang
diproduksi sel CD4 dan kostimulator yang diproduksi oleh sel yang terinfeksi. Bilas el
yang terinfeksi bukan dalam bentuk APC maka sel yang terinfeksi akan dimakan oleh
APC, misalnya sel dendritik, untuk dapat dipresentasikan pada MHC II dan mampu
berikatan dengan sel CD8.7,11,13
Pada gambar 2.8 Mekanisme SARS-CoV-2 Menginduksi Imunopatologi,
penelitian melaporkan pada infeksi COVID-19 terjadi penurunan jumlah dan disfungsi
sel T. Hal ini disebabkan oleh SARS-CoV- 2 yang mampu menginfeksi langsung sel T
dan makrofag. Oleh karena virus tersebut mampu menginfeksi sel epitel saluran napas
melalui interaksi protein S (Spike) pada virus dengan reseptor ACE-2 sehingga
dipikirkan bahwa sel limfosit memiliki reseptor ACE-2 yang membuat virus bisa
masuk ke dalam sel limfosit dan mengakibatkan penurunan serta disfungsi dari
limfosit. Studi lainnya menjelaskan bahwa penurunan jumlah sel T tersebut bekorelasi
terbalik terhadap TNF-α, IL-6, dan IL-10 yang mengindikasikan bahwa peningkatan
level sitokin inflamasi mampu memicu “kelelahan” pada populasi sel T seiring dengan
progresivitas penyakit. Selain itu, virus SARS-CoV-2 juga merusak organ limfatik,
termasuk limpa dan nodus limfe yang menyebabkan limfopenia.7,11  
Peningkatan neutrofil terjadi pada pasien dengan infeksi COVID-19 yang erat
kaitannya dengan kondisi limfopenia. Infeksi mikroba dapat menyebabkan rekruitmen
neutrofil ke lokasi infeksi sehingga kondisi limfosit yang rusak pada infeksi COVID-
19 dapat menyebabkan infeksi pada mikroba lainnya yang menyebabkan aktivasi dan
rekruitmen neutrofil di darah pasien sehingga akan terjadi peningkatan jumlah
neutrofil.7,11,12
Infeksi SARS-CoV-2 dapat dengan cepat mengaktivasi sel T-CD4+ menjadi sel
T helper (Th) 1 patogenik yang akan memproduksi GM-CSF, yang nantinya akan
menginduksi monosit dengan level IL-6 yang meningkat dan mempercepat proses
inflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa terjadi respon Th17 pada pasien konfirmasi
COVID-19 dimana sel Th17 akan memproduksi IL17 yang akan menambah rekrutmen
makrofag dan neutrofil menuju lokasi infeksi serta mampu menstimulasi kaskade
sitokin lainnya, seperti IL-1β dan IL-6. Dengan demikian, IL-6 merupakan mediator
utama dalam perkembangan badai sitokin pada kasus COVID-19.7,11
Pada infeksi virus MERS (Middle East Respiratory Syndrome) terdapat
antibodi monokonal yang berikatan dengan domain protein S virus sehingga
memudahkan virus masuk ke dalam sel dimana Fc site pada antibodi akan berikatan
dengan reseptor Fc pada sel inang. Hal ini mendukung adanya hubungan antara
antibodi yang meningkat seiring dengan prognosis buruk pasien dengan COVID-19.11

11  
 
 

   
 
 

 
 
 
 

 
 
 

Gambar 2.8 Mekanisme SARS-CoV-2 Menginduksi Imunopatologi11

Gambar 2.9 Respon Imun pada Infeksi SARS-CoV-27


12  
 
Sindrom Badai Sitokin pada infeksi SARS-CoV-2
Sindrom badai sitokin merupakan peningkatan tajam produksi sitokin-sitokin
dalam tubuh oleh karena reaksi yang berlebihan sistem imun tubuh terhadap partikel
asing. Pada gambar 2.10 Badai Sitokin sebagai Komplikasi COVID19 menjadi
penyebab utama keparahan kondisi bahkan kematian pada infeksi COVID19 dalam
bentukk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pada kondisi ARDS, sel-sel
efektor imun tubuh melepas kemokin dan sitokin proinflamasi dalam jumlah banyak
dan menyebabkan respon inflamasi sistemik yang tidak terkontrol. Kondisi ini
menyebabkan kerusakan jaringan-jaringan tubuh yang berujung pada gagal multi
organ bahkan kematian. Obat-obatan yang menargetkan Interleukin (IL)-18, IL-1, IL-
16 dan interferon gamma akhir-akhir ini dilaporkan efektif untuk pengobatan sindorm
badai sitokin pada infeksi virus lainnya sehingga dipikirkan dapat diterapkan pada
infeksi COVID19 untuk mengurangi dampak keparahan infeksi tersebut. Terapi yang
memblok IL-6 diyakini mampu efektif dalam terapi kasus baru infeksi COVID19 di
Cina.4,11,16

Gambar 2.10 Badai Sitokin sebagai Komplikasi COVID1911

Strategi SARS-CoV-2 Menghindari Respon Imun Tubuh


Infeksi Coronavirus pada manusia merupakan infeksi virus yang paling
patogen dan virus ini akan melakukan berbagai strategi untuk menghindari sistem
kekebalan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa famili CoV secara signifikan mampu
menghindarkan diri dari pengawasan sistem imun melalui berbagai mekanisme.
Kondisi inilah yang dipikirkan mampu menjelaskan masa inkubasi virus yang cukup
lama, yaitu 2-11 hari. Mereka secara efisien mampu menghindari deteksi Pattern
Recognition Receptor (PRR) seluler dari respons kekebalan tubuh pada fase awal
infeksi.3

13  
 
Tiga jenis CoV terbaru yaitu SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2
memiliki mekanisme penghindaran kekebalan tubuh yang sama oleh karena ketiganya
berasal dari genera yang sama, yaitu Betacoronavirus.3 Selama infeksi SARS-CoV,
isolasi RNA virus terjadi di dalam vesikel membran ganda pada sel inang yang
diyakini mampu menjadi pelindung virus dari deteksi oleh PRR sitosol. Pada setiap
infeksi virus, interferon (IFN) memilikki peran yang sangat penting dalam eliminasi
virus. Coronavirus mamiliki strategi yang baik dalam mengganggu sistem kekebalan
IFN yang dikeluarkan tubuh dengan menghancurkan regulator utamanya. Selain itu,
virus tersebut juga mampu mengacaukan pensinyalan IFN, induksi IFN, bahkan
mengganggu Interferon-Stimulated Gene (ISG) yang diinduksi oleh interferon guna
menghambat pertumbuhan virus.3

Gambar 2.11 Mekanisme SARS-CoV Menghindari Respon Imun Tubuh3  

Pada gambar 2.11 Mekanisme SARS-CoV Menghindari Respon Imun Tubuh,


dijelaskan   mekanisme SARS-CoV menghindari sistem kekebalan tubuh melalui
beberapa strategi. Coronavirus mampu menghambat pensinyalan PRR sitosolik
terhadap RNA virus yang masuk ke dalam sel inang. Pensinyalan PRR ini nantinya
akan memicu Interferon Regulatory Factor 3 (IRF3) yang berperan dalam aktivasi
interferon (IFN). Induksi IFN tertunda ini akan mengaktifkan sitokin proinflamasi dan
makrofag ke dalam paru-paru dan karenanya mengakibatkan kebocoran pembuluh
darah dan juga merusak respons imun adaptif. Selain itu, SARS-CoV juga
menghambat aktivasi NF-kB (Nuclear Factor-kappaB), yaitu suatu kompleks protein
yang mengontrol transkripsi asam nukleat, produksi sitokin, dan respon pertahanan sel
dari rangsangan luar, termasuk patogen virus. Interferon yang bisa diaktivasi sebagai
respon terhadap virus yang masuk ke dalam tubuh juga mampu dihambat kerjanya
14  
 
oleh SARS-CoV melalui penghambatan Signal Transducer and Activator of
Transcription 1/2 (STAT 1/2) yang berperan dalam ekspresi gen guna pertahanan sel,
viabilitas, dan respon sel terhadap patogen. Strategi penghindaran kekebalan juga
dengan menghindari respons imun adaptif di mana aktivasi sel T berkurang dengan
menurunkan pengaturan presentasi antigen oleh molekul MHC I dan II.3  

Implikasi Klinis Imunopatologi yang Dipicu SARS-CoV-2


Respon imun yang muncul akibat infeksi SARS-CoV-2 memunculkan gejala
dan komplikasi pada pasien. Pada kasus ringan, terjadi peningkatan sel T terutama sel
T CD8 dan sel T helper. Peningkatan IgM dan IgG SARS-CoV-2 secara progresif
ditemukan dari hari ke-7 hingga ke-20. Selain itu, tidak ditemukan peningkatan
kemokin dan sitokin proinflamasi meskipun saat bergejala.11,12
Pasien dengan infeksi COVID-19 berat pada umumnya akan memburuk
beberapa hari setelah infeksi (sekitar hari ke 9 setelah infeksi) yang diikuti dengan
peningkatan respon proinflamasi. Limfopenia, sebagai salah satu respon imun tubuh
terhadap infeksi SARS-CoV-2, merupakan faktor penting yang berkaitan dengan
keparahan penyakit dan angka mortalitas. Kondisi limfopenia ini mempengaruhi
adanya infeksi sekunder pada pasien terinfeksi COVID 19 seperti infeksi mikroba atau
jamur. Suatu penelitian melaporkan adanya peningkatan β-d-glucan (polisakarida yang
menyusun komponen dinding sel jamur) pada pasien COVID-19 bergejala berat yang
disertai level limfosit yang rendah dibandingkan pada pasien dnegan level limfosit
yang tinggi.5,11
Selain itu, kondisi limfopenia juga menyebabkan pasien lebih cenderung
terinfeksi mikroba secara sekunder. Di sisi lain, peningkatan produksi sitokin pada
infeksi COVID-19 memicu adanya sepsis, ARDS, gagal napas, syok, gagal multi
organ, bahkan kematian. Komplikasi infeksi COVID-19 dan melaporkan sebanyak
43% pasien yang ditelitinya mengalami gangguan fungsi hepar yang ditandai dengan
level SGOT dan SGPT yang melebihi nilai normal, sebanyak 99% pasien mengalami
disfungsi miokard ditandai dengan peningkatan kreatinin kinase dan laktat
dehidrogenase, serta gangguan fungsi ginjal dengan ureum dan kreatinin yang
meningkat. Kerusakan jaringan-jaringan tersebut berkaitan dengan peningkatan level
sitokin pada infeksi COVID-19 berat. Peningkatan level sitokin IL-6 sangat erat
kaitannya dengan biomarker disfungsi hepar, ginjal, dan jantung. Hal ini menjadi
petunjuk dalam terapi dan target prevensi pada pasien dengan infeksi COVID-19
bergejala berat dan kritis.11

15  
 
Gambar 2.12 Implikasi Klinis Imunopatologi yang Dipicu SARS-CoV-211

Strategi Terapi COVID-19 Berbasis Imunopatogenesis


Imunopatologi yang menginduksi SARS-CoV-2 diketahui memiliki korelasi
yang kuat dengan progresivitas COVID-19. Di sisi lain, obat-obatan seperti antivirus,
glukokortikoid, dan terapi immunoglobulin hingga saat ini belum memberikan
perbaikan yang signifikan bagi para pasien COVID-19 dengan gejala berat hingga
kritis. Dengan demikian, terapi yang menargetkan profil imun spesifik COVID-19
diyakini menjadi strategi yang menjanjikan pada kasus-kasus berat, misalnya
pemberian vaksin atau penambahan level limfosit dengan terapi berbasis sel NK
(natural killer), imunomodulator berbasis interferon atau antibodi, dan terapi plasma
konvalesens. Di samping itu, strategi untuk menghambat inflamasi, seperti terapi
berbasis sel stem mesenkimal (mesenchymal stem cell/MSC), terapi berbasis sel T
regulator (Treg), manajemen badai sitokin, purifikasi darah, blokade sinyal IL-6, dan
inhibitor JAK (Janus Kinase), juga dapat dikembangkan dan menjadi kunci dalam
terapi COVID-19.4,16,17,18

16  
 
Gambar 2.13 Pendekatan Imunoterapi pada COVID-194
Berbagai penelitian dan studi klinis melaporkan efek antitumor sel NK yang
menjanjikan, dimana sel NK mampu mengaktivasi respon imun untuk melawan sel
kanker. Pada terapi COVID-19, terapi ini telah disetujui dan dikembangkan di Cina
untuk dapat memberi efek pertahanan antivirus dan peningkatan respon imun tubuh.
Imunomodulator merupakan suatu substansi yang mempengaruhi fungsi imun tubuh
sehingga menjadi strategi terapeutik yang potensial pada COVID-19. Interferon alfa-
2a dan 2b yang telah disetujui sebagai terapi pada hepatitis B dan C dapat
dimanfaatkan untuk menstimulasi respon antiviral non spesifik pada infeksi COVID-
19. Imunomodulator lainnya seperti Pseudomonas aeruginosa dan timosin diyakini
efektif pada terapi COVID-19 oleh karena fungsi regulasi imun yang dimilikinya.11
Terapi plasma konvalesens sedang banyak digunakan saat ini untuk mengobati
para pasien COVID-19 dengan gejala berat dan kritis. Plasma konvalesens diperoleh
dari pasien yang sudah sembuh dari infeksi COVID-19. Antibodi yang terdapat di
17  
 
plasma konvalesens diyakini mampu menghambat viremia pada pasien yang terinfeksi.
Penelitian menunjukkan rendahnya agka mortalitas pada pasien yang mendapat terapi
plasma konvalesens dibandingkan mereka yang tidak mendapat terapi tersebut selama
perawatan. Bebrapa penelitian menyebutkan bahwa pemberian terapi plasma
konvalesens ini akan lebih efektif bila diberikan kepada pasien sejak dini pada tahap
awal infeksinya. Namun, pelaksanaan terapi ini hanya bisa dilakukan di rumah sakit
dan memerlukan volume infus yang cukup besar. Selain itu, beberapa efek samping
yang ditimbulkan dari terapi ini antara lain: demam, reaksi alergi, bronkospasme,
transfusion-related acute lung injury (TRALI), overload cairan sirkulasi pada pasien
dengan gangguan kardiorespirasi.4,11
Terapi lainnya yang saat ini sedang dikembangkan dan sudah diinisiasi di Cina
adalah MCS-based therapy. Transplantasi sel stem mesenkimal ini memiliki efek
antiinflamasi yang mampu melawan badai sitokin, memperbaiki kerusakan sel
epithelial paru, dan memicu adanya klirens cairan alveolar. Terapi ini mampu secara
signifikan memperbaiki angka kesembuhan pasien ARDS yang disebabkan oleh virus
H7N9 (Asian Lineage Avian Influenza). Virus H7N9 memiliki gejala komplikasi yang
sama dengan COVID-19 seperti ARDS, gagal napas, dan gagal multi organ) sehingga
terapi MSC ini merupakan terapi yang potensial untuk dikembangkan dalam strategi
penyembuhan COVID-19.11
Imunoterapi berbasis interferon juga sedang dikembangkan saat ini mengingat
interferon merupakan komponen penting pada sistem imun dan SARS-CoV-2
memiliki kemampuan untuk mengganggu jalur pensinyalan interferon dengan
menghalangi produksi interferon melalui inhibisi transduksi sinyal dan menghambat
kerja activator transkripsi 1 (STAT-1). Selain itu, interferon juga mampu memicu
aktivasi jalur sinyal JAK-STAT dengan mengaktivasi faktor transkripsi yang nantinya
akan memicu ekspresi Interferon-Stimulated Gene (ISG). Di sisi lain pemberian terapi
berbasis interferon ini sangat dipengaruhi oleh tahapan penyakit. Dalam proses
imunitas tubuh, interferon memegang peran penting dalam memicu respon imun yang
adekuat terhadap virus pada tahap awal COVID-19, sedangkan pada tahap akhir atau
kondisi kritis pasien, respon imun tubuh dimediasi oleh granulosit, limfosit, monosit,
dan makrofag. Aktivasi yang tidak terkontol dari monosit dan makrofag menyebabkan
produksi yang berlebihan pada sitokin proinflamasi sehingga pemberian terapi
interferon ini sebaiknya dilakukan secara dini pada tahap awal infeksi untuk dapat
memicu respon antiviral tubuh yang maksimal sebab pemberian terapi berbasis
interferon ini di tahap akhir penyakit mampu memicu hiperaktivasi respon imun dan
memperparah kondisi badai sitokin yang telah terjadi.4,11,17
Antibodi monoklonal sebelumnya sudah banyak digunakan pada terapi infeksi
SARS-CoV untuk memblok perlekatan dan masuknya virus ke dalam sel. Selain itu,
terapi ini juga menargetkan protein Spike pada SARS-CoV dan MERS-CoV sehingga
antibody monoklonal menjadi strategi terapi yang potensial pada infeksi COVID-19,
terlebih Teknik monoclonal antibody cocktail atau tekanik kombinasi berbagai varian
antibody monoklonal mampu mengenali berbagai epitop virus yang berbeda sehingga
dapat meningkatkan ekfektivitas terapi dalam eliminasi virus.4,17,18

18  
 
Pengobatan COVID-19 yang menargetkan sitokin dan sedang diinisiasi saat ini
di Cina adalah Tocilizumab, sebuah antibodi anti reseptor IL-6, yang juga digunakan
sebagai terapi pada rheumatoid artritis dan artritis idiopatik juvenil. IL-6 merupakan
faktor penting yang dapat memicu badai sitokin sehingga menempatkan IL-6 sebagai
target terapi adalah strategi terapi yang menjanjikan. Beberapa penelitian melaporkan
tidak ada reaksi efek samping yang jelas pada pasien yang diberikan terapi ini dan
90,5% pasien mampu sembuh dalam kisaran waktu 13,5 hari setelah mendapat
Tocilizumab selama perawatannya. Suatu studi uji klinis juga melaporkan bahwa
Tocilizumab juga mampu mengontrol gejala demam dan memperbaiki gangguan
fungsi paru yang dialami pasien COVID-19 bergejala berat hingga dinyatakan
sembuh.11,19,20

Gambar 2.14 Pendekatan Terapi Menargetkan IL-619

Strategi Vaksinasi COVID19


Strategi imunoterapeutik yang kini juga sedang dikembangkan yaitu imunitas
berbasis antibodi. Imunoterapi pasif yang sudah banyak diaplikasikan adalah terapi
plasma konvalesens dan intravenous immunoglobulin therapy (IVIG). Namun, terapi
ini menimbulkan tanatangan tersendiri yaitu adanya keterbatasan sumber daya dan
fasilitas serta harga yang tidak terjangkau. Di sisi lain, langkah imunoterapi aktif yang
dapat digunakan yaitu vaksin antvirus yang telah dicanangkan sejak awal pandemi.
Vaksin merupakan bioproduk yang mampu ”membangkitkan” kekebalan aktif tubuh
setelah tubuh dipaparkan dengan antigen spesifik virus, antigen virus yang tidak aktif,
vaksin DNA/RNA virus, ataupun virus yang telah dilemahkan.3
19  
 
Vaksin RNA mengandung RNA/mRNA virus dalam suatu vector nanopartikel
lipid yang ekspresinya diharapkan mampu menginduksi sistem imun adaptif untuk
memproduksi antibodi untuk melawan antigen target yang diinjeksikan melalui vaksin.
Vaksin jenis ini memberi hasil yang menjanjikan pada studi sebelumnya dengan kasus
malignansi dan penyakit-penyakit infeksius. Vaksin ini mampu mengkode antigen
multiple, yaitu protein Spike (S) dan Receptor-Binding Domain (RBD, yaitu bagian
virus yang terdapat pada Spike dan berperan dalam perlekatan virus di sel inang.
Namun, teknik vaksin ini berisiko menimbulkan gangguan autoimun oleh karena
mampu menginduksi produksi interferon type I dan menstimulasi respon imun
berlebihan yang tidak diharapkan. Pengembang vaksin yang menggunakan strategi ini
yaitu produksi Moderna+National Institute of Allergy and Infectious Diseases
(NIAID) dan Pfizer Inc.+BioNTech.21 Di sisi lain, vaksin berbasis DNA juga sedang
diteliti dan dikembangkan dengan melibatkan plasmid yang mengekspresikan antigen
disertai vaktor pembawa plasmid tersebut. Selain DNA dan RNA, protein Spike juga
menjadi target pengembangan vaksin berdasar antigen.3,4
Pendekatan terapi lainnya yang kini sudah mulai diaplikasikan adalah vaksin
dengan vector virus hidup (non replicating). Teknik terapi ini menggunakan virus
sebagai vektor hidup yang mengandung sekuens genetic pengkode antigen virus.
Vektor virus yang berasal dari Retrovirus, Lentivirus, atau Adenovirus ini diharapkan
mampu mengintegrasikan genom yang dikandungnya dengan genom sel inangnya
sehingga mampu menstimulasi respon imun adaptif pada sel inang. Vaksin yang
menggunakan Teknik terapi ini adalah vaksin Ad5-nCoV dan produksi AstraZeneca
yang dikembangkan oleh University of Oxford. Beberapa studi preklinis dan 2 studi
klinis juga sedang mengevaluasi keamanan dan efikasi dari peran vaksin vector hidup
ini untuk melawan infeksi virus COVID-19.4,21
Strategi imunoterapi konvensional yang sudah dikembangkan dari dulu yaitu
vaksin dengan menggunakan virus yang sudah dilemahkan (inactivated/attenuated
vaccine). Jenis vaksin ini sudah banyak terbukti berhasil untuk melawan berbagai jenis
virus berbeda, seperti influenza, dan cacar air (measles). Beberapa institusi sudah
mempublikasikan studi-studi terkait efektifitas dan efikasi dari vaksin jenis ini, seperti
Sinovac Research and Development Co.,Ltd dan produksi Sinopharm + Beijing
Institute of Biological Products.21 Partikel virus yang sudah lemah dan diinjeksikan ke
tubuh pasien ini mampu menginduksi beragam respon imun sel tubuh sehingga pasien
memiliki imunitas yang kuat melawan virus.4

Simpulan

Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute


Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dapat menular dari manusia ke
manusia dan telah menyebar secara luas dan telah dimumkan WHO sebagai wabah
pandemi dunia. Virus ini menyebar oleh orang yang terinfeksi saat batuk atau bersin
meninggalkan tetesan kecil di udara atau melalui tinja. Jadi orang yang menghirup
tetesan tersebut atau menyentuh permukaan yang terinfeksi juga dapat terinfeksi.
Penularan SARS-CoV-2 terjadi karena paparan yang lama dan tidak terlindungi
dengan orang yang terinfeksi, yang menunjukkan bahwa tekanan patogen konstan
yang mengarah ke infeksi dan penyakit.

20  
 
Mekanisme spesifik mengenai presentasi antigen dalam respon imun terhadap
infeksi SARS-CoV-2 masih memerlukan penelitian lebih lanjut, sehingga mekanisme
respon imun tubuh terhadap infeksi COVID19 yang dipahami saat ini berdasarkan
pada mekanisme respon tubuh terhadap infeksi strain Corovirus sebelumnya yang
serupa yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV oleh karena analoginya. Penguraian
mekanisme replikasi SARS-CoV-2 dan respon imun tubuh terhadap virus tersebut,
diharapkan dapat membantu pemahaman patogenesis dan mengidentifikasi target
khusus untuk mengembangkan obat antiviral yang efektif kedepannya.
Pemahaman mengenai respons imun tubuh dalam menghadapi infeksi maupun
penyakit lain semakin berkembang, demikian pula penelitian mengenai komponen
yang dapat memengaruhi respons imun tersebut. Adanya pengetahuan mengenai
komunikasi atau interaksi sel memungkinkan kita untuk mengembangkan cara
memanipulasi jalur komunikasi tersebut. Bahan yang dapat memodulasi sistem imun
tubuh dikenal sebagai imunomodulator. Imunomodulator terdiri dari imunostimulator,
imunorestorator, dan imunosupresor. Secara klinis imunomodulator digunakan pada
pasien dengan gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan, HIV/AIDS,
malnutrisi, alergi, dan lain-lain.

Dengan kemajuan dalam bidang imunologi, diharapkan peranan


imunomodulator serta imunoterapi pada umumnya dalam pengobatan infeksi virus
akan menjadi lebih besar. Penelitian telah banyak dilakukan dan imunomodulator saat
ini mempunyai prospek yang cukup baik secara tunggal maupun sebagai terapi
tambahan dalam pengobatan infeksi virus.

21  
 
Daftar Pustaka

1. World Health Organization (WHO). Coronavirus Disease (COVID-19)


Situation Report. July 2020. https://www.who.int/publications-
detail/surveillance-strategies-for-covid-19-human-infection.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging
Kementerian Kesehatan RI Update hingga 20 Juli 2020 pukul 08.00 WIB.
Diunduh dari: https://covid19.kemkes.go.id/category/situasi-infeksi-emerging/
3. Saxena SK. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Epidemiology,
Pathogenesis, Diagnosis, and Therapeutics. Medical Virology: from
pathogenesis to disease control: Springer 2020. https://doi.org/10.1007/978-
981-15-4814-7
4. Esmaeilzadeh A, Elahi R. Immunobiology and immunotherapy of COVID-19: a
clinically updated overview. J Cell Physiol 2020. p. 1-25. DOI:
10.1002/jcp.30076
5. Lee KY, Rhim JW, Kang JH. Immunopathogenesis of COVID-19 and early
immunomodulators. CEP 2020. Vol. 6, No. 7, 239-250. https://doi.org./
10.3345 /cep.2020.00759
6. Brian DA, Baric RS. Coronavirus Genome Structure and Replication. CTMI
Springer-verlag 2005. Vol. 287; p. 1-30
7. Velikova et. al. Immunological aspects of COVID-19: what do we know?.
World J Biol Chem 2020. September 2020; 11(2): p. 14-29.
https://dx.doi.org/10.4331/wjbc.v11.i2.14
8. Nasab MG, Saghazadeh A, Rezaei N. SARS-CoV-2: a tough opponent for the
immune system. Archives of Medical Research (2020) Elsevier.
https://doi.org/10.1016/j.arcmed.2020.05.020
9. Vabret N, et. al. Immunology of COVID-19: current state of the science.
Immunity 52: Elsevier Juni 2020. p. 910-941. https://doi.org/10.1016/
j.immuni.2020.05.002
10. Cameron MJ, Bermejo-Martin JF, Danesh A, Muller MP, Kelvin DJ. Human
immunopathogenesis of severe acute respiratory syndrome (SARS).
ScienceDirect: Virus Research 2008. Vol. 133, p. 13-19. doi: 10.1016/
j.virusres.2007.02.2014
11. Yang L, Liu S, Liu J, Zhang Z, Wan X, Huang B, et. al. COVID-19:
immunopathogenesis and immunotherapeutics. Signal Transduction and
Targeted Therapy: Springer Nature July 2020. Vol. 5:128.
https://doi.org/10.1038/s41392-020-00243-2
12. Jahan S, Tahir R, Shahzad F, Javed K, Kashif M, Afzal N. Immunological basis
of COVID-19. Biomedica 2020; 36 (COVID19-S2): p. 114-118.
13. Chiappelli, F. Khakshooy A, Greenberg G. COVID-19 Immunopathology &
immunotherapy. Bioinformation 16(3): 219-222 (2020). DOI: 10.6026/
97320630016222
14. Azkur AK, et. al. Immune response to SARS-CoV-2 and mechanisms of
immunopathological changes in COVID-19. 2020. https://doi.org/
10.1111/ALL.14364
15. Iwalokun BA, et. al. Improving the understanding of immunopathogenesis of
lymphopenia as a correlate of SARS-CoV-2 infection risk and disease

22  
 
progression in African Patients: UGLY SARS-CoV-2 study protocol. JMIR
Research Protocols: ReseachGate Juni 2020. DOI: 10.2196/preprints.21242
16. Thiel V, Weber F. Interferon and cytokine responses to SARS-coronavirus
infection. Cytokine and Growth Factor Reviews 19 Elsevier (2008). P. 121-132.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cytogfr.2008.01.001
17. AminJafari A, Ghasemi S. The possible of immunotherapy for COVID-19: a
systematic review. International Immunopharmacology 83 (2020) 106455.
https://doi.org/10.1016/j.intimp.2020.106455
18. Jodele S, Kohl J. Tackling COVID-19 infection through complement-targeted
immunotherapy. Br J Pharmacol 2020. p. 1-17. https://doi.org/
10.1111/bph.15187
19. Abbasifard M, Khorramdelazad. The bio-mission of interleukin-6 in the
pathogenesis of COVID-19: a brief look at potenstial therapeutic tactics. Life
Sciences 257 (2020). https://doi.org/10.1016/j.lfs.2020.118097
20. Buckley LF, et. al. Role of anti-cytokine therapies in severe coronavirus disease
2019. Crit Care Expl 2020. Vol. 2. DOI: 10.1097/CCE.000000000000017
21. Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemnkes
RI Nomor HK. 02.02/4/1/2021. Petunjuk teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam
Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Januari 2021.

23  
 

Anda mungkin juga menyukai