Anda di halaman 1dari 9

TUGAS JURNAL

Disusun Oleh:
Annisa Apriani
Rode Arnita
Theresia Merry Christmash

DosenPengampu :
Edizal Hatmi, SE, M. Pd.

JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TATA RIAS

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2018
Kompetensi Guru : Profesional dan Cerdas Emosi dalam
Mengajar
Oleh :
Annisa Apriani, Rode Arnita, dan Theresia Merry Christmash
Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Prodi Pendidikan Tata Rias 2015, Fakultas Teknik,
Universitas Negeri Medan

ABSTRAK

Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta
pendidikan anak usia dini yang meliputi: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial. Dalam hal keterampilan, seorang guru harus menguasai keterampilan mengajar, yaitu:
membuka dan menutup pelajaran, bertanya, memberi penguatan, dan mengadakan variasi
mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, guru memegang peran sebagai sutradara sekaligus
aktor dan merupakan faktor yang sangat dominan dalam menentukan keberhasilan proses
belajar-mengajar di kelas. Salah satu faktor penting yang relevan kopetensi kepribadian dan
kompetensi sosial guru adalah kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi jika berkembang dan
terlatihkan dengan baik pada diri guru, ia akan menjadi salah satu pendorong bagi tercapainya
kepribadian guru profesional yang matang dan sebagaimana digagaskan oleh Maister
“professionaism is predominantly an attitude, not a set of competencies only”. Ini berarti bahwa
seorang guru profesional adalah pribadi-pribadi unggul terpilih.

Kata Kunci : Kompetensi guru, Cerdas emosi, Mengajar

PENDAHULUAN
Guru sebagai pengajar atau pendidik menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan
setiap upaya pendidikan. Upaya pendidikan dalam meningkatan mutu sumber daya manusia
selalu bermuara pada faktor guru. Guru yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas pula. Kualitas guru dapat dilihat dari kompetensi yang dimilikinya. Hal
ini senada dengan pendapat Hamalik (2002:39) bahwa “Guru akan mampu melaksanakan
tanggung jawabnya apabila dia memiliki kompetensi yang diperlukan”.
Kompetensi merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru yang dikembangkan
berdasarkan pada analisis tugas-tugas guru. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen yang berisi, “Seorang guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan
nasional.”
Dalam UU Pasal 27 ayat (3) Tahun 1989 disebutkan bahwa guru adalah tenaga pengajar
merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada
jenjang pendidikan dasar menengah. Di samping itu, dalam UU Nomor 20 Pasal 1 ayat (6)
Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Selanjutnya dalam Pasal 39 ayat (2) dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pendidikan guru pada LPTK program S1 antara lain bertujuan menghasilkan calon guru
yang menguasai pengetahuan dasar mengenai ilmu yang diajarkannya secara konprehensif,
mantap dan cukup mendalam sehingga para lulusan dapat mengembangkan dan menyesuaikan
diri dengan berbagai situasi dan perubahan yang terjadi di tempat tugasnya.
Guru juga mempunyai kemampuan, keahlian atau sering disebut dengan kompetinsi
profesional. Kompetensi profesional yang dimaksud tersebut adalah kemampuan guru untuk
menguasai masalah akademik yang sangat berkaitan dengan pelaksanaan proses belajar
mengajar, sehingga kompetensi ini mutlak dimiliki guru dalam menjalankan tugasnya sebagai
pendidik dan pengajar.
Tugas profesi guru saat ini dan ke depan sangat berat. Guru bukan hanya haruis memiliki
sejumlah kompetensi akademis semisal penguasaan materi pelajaran, kepiawaian dalam
meracang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran dengan berbagai metode mutakhir, serta
terampil dalam menggunakan alat peraga dan media pembelajaran, melainkan juga ia harus
memiliki kematangan dan ketegaran kepribadian.
Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran kepribadian adalah
kecerdasan emosi (Emotional Intellegence) atau Emotional Quotiens (EQ). Kecerdasan ini
berkaitan dengan kemampuan seorang guru dalam mengelolah emosi terhadap diri dan oranglain,
menghadapi dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta kasih yang tulus, dan tanggung jawab.

PEMBAHASAN
1. Kompetensi Guru
Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya.
Dalam PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28 ayat (3) dinyatakan bahwa kompetensi sebagai
agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia
dini meliputi: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dalam hal
profesional, seorang guru harus menguasai keterampilan mengajar dalam hal: membuka dan
menutup pelajaran, bertanya, memberi penguatan, dan mengadakan variasi mengajar. Wijaya
(1992: 25-30) menyatakan bahwa kemampuan profesional yang harus dimiliki guru dalam
proses belajar mengajar adalah: (1) menguasai bahan, (2) mengelola program belajar
mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media sumber, (5) menguasai landasan-
landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar mengajar, (7) menilai prestasi peserta
didik untuk kepentingan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan
dan penyuluhan, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (10)
memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasilhasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran.
Kompetensi tersebut dengan tujuan: (1) meningkatkan keterampilan bertanya bagi guru
baru agar proses belajar mengajar tidak berlangsung monoton dan tidak hanya terjadi interaksi
satu arah, (2) meningkatkan keterampilan guru baru dalam pengelolaan kelas agar proses
belajar mengajar dapat berlangsung dengan aman dan tertib, (3) meningkatkan keterampilan
guru baru dalam mengadakan variasi mengajar, terutama variasi penggunaan media, variasi
pandangan dan perhatian, serta variasi penggunaan metode mengajar, dan (4) meningkatkan
keterampilan guru baru dalam menjelaskan materi yang diajarkan.
Salah satu bentuk bimbingan profesional yang diberikan kepada guru baru berdasarkan
kebutuhannya adalah melalui daur ulang (supervisi klinis) yang sistematis mulai dari tahap
perencanaan, pengamatan yang cermat atas pelaksanaan dan analisis yang sistematis dan
intensif terhadap penampilan mengajar sesungguhnya.
Balikan dari hasil analisis itu digunakan untuk merencanakan dan melaksanakan
pengajaran kembali dan seterusnya, guna meningkatkan keterampilan dasar mengajar dan
menumbuhkembangkan sikap profesional guru baru.

2. Cerdas Emosi
Pusat Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Rasional dalam Otak.
Otak manusia adalah massa protoplasma yang paling kompleks yang pernah dikenal di
alam semesta. Organ ini terdiri dari tiga bagian dasar, masing-masing dengan struktur saraf
tugas-tugas tertentu, yang oleh Dr. Paul McLean (1990) disebut "otak triune". Ketiga bagian
tersebut adalah: batang atau otak reptil, sistem limbik atau otak mamalia, dan neokorteks
(Bobbi DePorter & Mike Hernacki;1999).
Dalam buku Quantum Learning dijelaskan bahwa bagian manusia yang disebut otak
mamalia (sistem limbik) bertanggung jawab atas fungsi-fungsi emosional dan kognitif serta
pengaturan bioritme seseorang, seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, gairah seksual,
dan metabolisme dalam tubuh. Dalam mekanisme yang terjadi pada sistem limbik inilah
kecerdasan emotional (EI = Emotional Intelligence, nama lain dari EQ) seseorang ditentukan.
Joseph LeDoux (1992) seorang ahli saraf di Center for Neural Science di New York
University mengungkapkan bahwa dalam saat-saat yang kritis kecerdasan emosi akan lebih
cepat menentukan keputusan dari pada kecerdasan intelektual. Hal itu sejalan dengan kajian
Dr. Jalaluddin Rakhmat (1999) yang menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi sangat
mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan. Bahkan tidak ada satu pun keputusan
yang diambil manusia murni dari pemikiran rasional kerena seluruh keputusan manusia
memiliki warna emosional.
Konsep Dasar Kecerdasan Emosi
Istilah "Emotional Intelligence, kecerdasan emosional" - selanjutnya disebut kecerdasan
emosi - pertamakali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Kecerdasan ini berhubungan
dengan kualitas-kualitas psikologis tertentu yang oleh Salovey dikelompokkan ke dalam lima
karakter kemampuan:
1) Mengenali emosi diri; wilayah ini merupakan dasar kecerdasan emosi. Penguasaan
seseorang akan hal ini akan memiliki kepekaan atas pengambilan keputusan-keputusan
masalah pribadi.
2) Mengelola emosi; kecerdasan emosi seseorang pada bagian ini ditunjukkan dengan
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau
ketersinggungan sehingga dia dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari
kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
3) Memotivasi diri sendiri; kecerdasan ini berhubungan dengan kamampuan seseorang dalam
membangkitkan hasrat, menguasai diri, menahan diri terhadap kepuasan dan kecemasan.
Keberhasilan dalam wilayah ini akan menjadikan seseorang cenderung jauh lebih produktif
dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan.
4) Mengenali emosi orang lain. Berkaitan erat dengan empati, salah satu kecerdasan emosi
yang merupakan "keterampilan bergaul" dasar. Orang yang empatik lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
5) Membina hubungan. Seni membina hubungan, menuntut kecerdasan dan keterampilan
seseorang dalam mengelola emosi orang lain. Sangat diperlukan untuk menunjang
popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi.

Kecerdasan Emosi Eksekutif.


Kecerdasan Emosional Eksekutif (EQ-Executive) secara singkat dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam rangka menghadapi dan memberikan
tindakan antisipasi maupun solusi terhadap prob-lematika yang dhadapi dalam menjalankan
profesi dalam suatu intitusi. Berdasarkan gagasan Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001),
EQ-Executive yang akan analisis dalam penelitian ini didasarkan kepada empat pilar utama:
1) Kesadaran Emosional Literasi; bertujuan membangun tempat kedudukan bagi kepiawaian
dan rasa percaya diri pribadi melalui kejujuran emosi, energi emosi, umpan balik emosi,
intuisi, rasa tanggung jawab dan koneksi.
2) Kebugaran emosi; bertujuan mempertegas kesejatian, sifat dapat dipercaya, dan keuletan,
memperluas kepercayaan, dan kemampuan mendengarkan, mengelola konflik dan
mengatasi kekecewaan dengan cara palinmg konstruktif.
3) Kedalaman emosi (emotional deepth); mengeksplorasi cara-cara menye-laraskan hidup dan
kerja dengan potensi serta bakat unik seseorang, mendukungnya dengan ketulusan,
kesetiaan pada janji, rasa tanggung jawab yang pada gilirannya memperbesar pengaruh
tanpa mengobral kemenangan.
4) Al-kimia emosi (emotional alchemi); memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk
mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan dan bersaing demi masa depan
dengan membangun ketarampilan untuk lebih peka akan adanya kemungkinan-
kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih terbuka.
5) Indikator-indikator yang menunjukkan seberapa jauh karakter-karakter dari masing-masing
pilar di atas terdapat pada diri seseorang dalam penelitian ini akan diungkap dengan
instrumen EQ_MAPTM. Instrumen ini merupakan hasil penelitian yang mendalam, andal
secara statistik dan teruji secara baku terhadap tenaga kerja di USA dan Kanada.

3. Proses Belajar-Mengajar
Peningkatan kualitas lulusan pendidikan dasar dan pendidikan menengah harus bertumpu
pada peningkatan kualitas proses belajarmengajar. Soedijarto (1991: 160-161) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan proses-belajar adalah segala pengalaman belajar yang dihayati
oleh peserta didik. Makin intensif pengalaman yang dihayati oleh peserta didik makin
tinggilah kualitas proses belajar yang dimaksud.
Dalam proses belajar-mengajar ini perlu diperhatikan dua teori psikologi, yaitu teori
tingkah laku dan teori kognitif. Kedua teori itu mempunyai perbedaan dalam hal anak-anak
belajar. Teori tingkahlaku lebih menekankan atau lebih memperhatikan pada apa yang
dipelajari anak sedangkan teori kognitif lebih menekankan kepada bagaimana anak belajar.
Akbar (1991: 2) menyatakan bahwa para ahli ilmu jiwa seperti Piaget, Bruner, Brownell,
Skemp, percaya bahwa jika hendak memberi pelajaran tentang sesuatu kepada anak kita perlu
memperhatikan tingkat perkembangan berpikir anak yaitu, (1) tahap sensori motor, (2) tahap
pra operasional, (3) tahap operasional dan (4) tahap formal.
Bruner (dalam Akbar, 1991: 3) menekankan bahwa setiap individu pada waktu
mengalami (mengenal) peristiwa (benda) di dalam lingkungannya, menemukan cara untuk
menyatukan peristiwa (benda) tersebut di dalam pikir-annya, yaitu suatu model mental
tentang peristiwa (benda) yang dialaminya (dikenalnya). Selanjutnya dikemukakan bahwa hal
tersebut dilakukan menurut urutan tingkat, yaitu (1) enactive, (2) ikonic, dan (3) symbolic.
Intensitas pengalaman belajar dapat dilihat dari tingginya keterlibatan pelajar dalam
hubungan belajar mengajarnya dengan guru dan obyek belajar. Bila dalam proses belajar
mengajar sebagian besar waktu pelajar digunakan untuk mendengarkan dan mencatat
penjelasan guru, dalam ukuran pengertian kualitas proses belajar, suasana kelas demikian
dipandang sebagai kurang memiliki kualitas yang memadai.
Tingkat partisipasi aktif peserta didik dalam proses belajar merupakan salah satu
indikator proses belajar yang berkualitas. Rasa keterlibatan yang dilandasi oleh motivasi dan
minat yang tinggi dari pihak peserta didik dalam mengikuti proses belajar di kelas merupakan
indikator dari proses yang berkualitas.
Soedijarto (1991: 161) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi langsung
proses belajar adalah guru dan pelajar, namun yang paling berpengaruh terhadap mutu hasil
belajar adalah latar belakang kognitif pelajar disusul dengan sistem evaluasi dan kualitas
proses belajar. Sedang yang mempengaruhi langsung kepada guru adalah materi dan sistem
penyajian bahan, sistem administrasi, dan sistem evaluasi.
Dalam proses belajar-mengajar yang pada hakekatnya adalah suatu pekerjaan mendidik
dan bukan semata-mata mengajar dalam arti teknis, harus terjadi interaksi yang merupakan
komunikasi dua arah, sebab manusia pada hakekatnya juga tumbuh dan berkembang dalam
hubungan dengan sesamanya. Di samping itu, guru memegang peran sebagai sutradara
sekaligus aktor yang sangat dominan dalam menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar
di kelas.
Dalam kurikulum SMU 1994, dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar-
mengajar, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik
aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial. Memperhatikan bahan ajaran
yang di dalam kurikulum, jelas bahwa proses belajar mengajar perlu lebih menekankan
kepada keterlibatan secara optimal para peserta didik secara sadar.
Untuk itu dewasa ini tengah dikaji manfaat dari cara belajar peserta didik yang
dilaksanakan di sekolah, namun pada dasarnya strategi tersebut bukanlah hal yang sama sekali
baru. Proses belajar mengajar tersebut bertumpu pada upaya: (1) optimalisasi interaksi antar
unsur-unsur yang terdapat dalam proses belajar itu, dan (2) optimalisasi keikutsertaan seluruh
sense peserta didik selama proses belajar mengajar berlangsung.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan beberapa kesimpulan berikut :
1) Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
2) Guru masa kini dan masa depan tengah dan akan selalu berhadapan dengan tantangan
perkembangan zaman yang kian berat dan kompleks. Untuk itu para guru harus memiliki dua
kompetensi yaitu karakter guru profesional dan modal kecerdasan emosi yang memadai serta
tangguh.
3) Kompetensi mengajar seorang guru baru adalah menguasai keterampilan mengajar dalam hal:
membuka dan menutup pelajaran, bertanya, memberi penguatan, dan mengadakan variasi
mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Hendri, E. ,. (2010). jurnal saung guru. GURU BERKUALITAS: PROFESIONAL DAN

CERDAS EMOSI, 1(2), 1-11. Retrieved from Jurnal saung guru, 2010 - file.upi.edu

Saragih, A. H. (2008). Jurnal Tabularasa Pps Unimed. KOMPETENSI MINIMAL SEORANG

GURU DALAM MENGAJAR, 5(1), 1-12. Retrieved from Jurnal Tabularasa, 2008 -

digilib.unimed.ac.id

Anda mungkin juga menyukai