Anda di halaman 1dari 4

Etos dan Etika Kerja Bangsa-bangsa Asia Timur

Bangsa Asia Timur, khususnya China, Jepang dan Korea Selatan, telah memperlihatkan
dinamikanya yang sangat tinggi. Nilai-nilai budaya serta norma dalam keluarga ternyata telah
menjiwai semangat kerja dengan produktivitas tinggi. Dengan menelaah ketiga bangsa tersebut,
terbuka peluang untuk berperan membuka diri menyerap yang positif dari mereka.

Bangsa Asia Timur yakni China, Jepang dan Korea Selatan sejak lama memberikan perhatian
besar terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Sejak dari lingkungan keluarga, mereka
menyerap nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi semangat bekerja keras, berdedikasi tinggi
dan mampu beradaptasi dengan perubahan sekitarnya. Nilai-nilai itu tertanam dan dijaga dalam
perilaku sehari-hari dan bukan sekedar untuk pencitraan diri

Apakah budaya produktivitas tersebut lahir dengan sendirinya atau melalui pendidikan formal
dan ditanam oleh lingkungan keluarga dalam masyarakat (society education) ? Marilah kita
mengamati beberapa unsur yang menarik dalam arti pencerahan diri dalam kelompok-kelompok
kecil dari masing-masing ketiga negara tersebut. Dengan langkah-langkah segar dan
memperbaharui diri sejak akhir tahun 1990-an, terungkap mereka dapat memantapkan paradigma
baru dalam sikap dan sifat beretika dengan etos kerja baru.

China

Di China, sejak dulu kala dalam suasana rumah setiap individu menghayati :

1) kewajiban menjunjung tinggi nama keluarga dan tentunya bangsa,


2) menerima disiplin kerja ;
3) ketakutan berada dalam suasana tidak nyaman (fear of insecurity) memasuki masa depan ;
4) orientasi mengelompok, awalnya fungsional dan dengan kemajuan sarana komunikasi,
termasuk teknologi informasi, menjadi lintas fungsional ;
5) menumbuhkan jaringan kerja yang saling mendukung dan saling menguntungkan atas dasar
saling percaya dengan menjunjung tinggi tata krama dan etika. Berprestasi dulu, kemudian baru
penghargaan menyusul.

Dalam sejarah bangsa China, apalagi sejak dasawarsa 1980-an, terhitung bangsa yang tidak
banyak tuntutan hasil prestasi, baik di tingkat bawah maupun eselon menengah sampai ke
puncak pimpinan. Bonus akan mengalir bagi prestasi prima. Umumnya mereka tidak cepat lelah
(tireless workers).

Sejak tahun 1980an dengan kebijakan terbuka dan reformasi (gaige kaifang), bangsa China
mengejar ketinggalan mereka dengan semangat kerja, dalam banyak situasi dan kondisi bekerja
dalam semangat berkelompok (group orientation). Sama dengan dasarnya bangsa Jepang dan
Korea, bekerja keras untuk kepentingan dan kesejahteraan kelompok termasuk individual, demi
peningkatan kesejahteraan keluarga, termasuk harmoni dengan sekelilingnya.
Ajaran Konfusius yang pernah dihambat dalam eranya Mao Zedong (1949-1976), sejak awal
1980-an kembali dengan semangat baru yang melandasi etos kerja dan etika China. Bekerja
keras, tidak hanya karena mereka dididik untuk menghargai kerja keras, tetapi demi peningkatan
penghidupan dan derajat sosial (social esteem). Keberhasilan melalui kerja keras, sekalipun
hasilnya mengalami kegagalan, untuk menghargai jerih payah leluhur mereka.

Bekerja keras, tidak hanya karena mereka dididik untuk menghargai kerja keras, tetapi demi
peningkatan penghidupan dan derajat sosial (social esteem). Keberhasilan melalui kerja keras,
sekalipun hasilnya mengalami kegagalan, untuk menghargai jerih payah leluhur mereka.

Jepang

Masyarakat Jepang memiliki jiwa atau semangat makoto (bersungguh sungguh) dengan
menjunjung tinggi kemurnian batin dan motivasi , serta menolak adanya tujuan berkaryanya
semata-mata demi menonjolkan kepentingan diri sendiri. Ada yang menyebut bermental samurai
sebagai keteguhan hati untuk mencapai sesuatu tujuan dalam bertindak yang pantang menyerah,
karena sebelum menghunus samurai sudah dipikirkan matang.

Satu etos kerja dengan landasan etika dengan menyerap beberapa ungkapan yang diajarkan oleh
biarawan Zen, Suzuki Shosan (1579-1655). Kalau ditarik ke depan, maka hal yang menarik
adalah bahwa budaya Konfusianisme dan Zen Buddhisme mempunyai dampak dalam
masyarakat Jepang sampai dewasa ini.

Suzuki Shosan menganggap keserakahan sebagai pengejaran kekayaan merupakan racun rohani,
meskipin pada saat yang sama pekerjaan merupakan praktek Buddhisme . Melalui berkarya
manusia mampu mencapai "kebudhaan. Ia memandang pekerjaan duniawi sebagai bentuk
asketisme atau laku tapa. Setelah itu dalam era Tokugawa dan Meiji terungkap unsur humanisme
yang menjiwai etos kerja yang dijiwai semangat makoto dan berlangsung hingga kini.

Individu Jepang umumya tidak pernah bersentuhan dengan aliran etika Protestan, yang menurut
Max Weber merupakan cikal bakal etika kapitalisme. Tanpa memahami Injil Kristen masyarakat
Jepang telah mengembangkan sistem kapitalisme sendiri dan kenyataan, meskipun jiwa
kapitalisme Jepang berbeda dengan Barat. Banyak peneliti Asia luar Jepang-- termasuk
Indonesia -- baru belakangan ini menyadari semangat Jepang yang menjiwai penerapan
kapitalisme di negara itu, yang bukan berbentuk neo-liberalisme, melainkan lebih dikenal
sebagai kapitalisme humanistik.

Korea Selatan

Bangsa Korea Selatan dengan semangat etos kerja hahn merupakan keunikan tersendiri.
Semangat itu mengungkapkan suatu daya psikologis (psychic force).

Boye De Mente (peneliti masyarakat Asia Timur tahun 1990an) jauh-jauh hari menyebut hahn
merupakan suatu energi yang menggerakkan hasrat berpendidikan, bekerja dengan tekad tak
kenal menyerah (boldness), berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki disiplin
tinggi. Sekalipun mencurahkan dana dan daya serta waktu, tetap mengorbankan diri untuk
peningkatan mutu kehidupan dan penghidupan keluarga dan negara.

Semangat hahn, mereka lengkapi dengan ungkapan koenchanayo artinya baiklah, sudah cukup
baik (alright that is good enough), sekalipun sesuatu belum sesuai hasil yang dikerjakan. Mulai
sekarang, perbaiki diri dalam berkarya.

Perilaku dasar dan karakter (basic conduct and character) orang Korea Selatan itu dapat
ditelusuri dalam dasar dasar dan ajaran Konfusius, yang juga meresapi budaya negara secara
sosial dan politis sejak enam abad lalu .

Walaupun budaya di daerah perkotaan Korea Selatan tampak mendapatkan pengaruh Barat
(Amerika) sejak 1950-an, , namun jiwa perilaku dan sikap dasar --termasuk mereka yang tinggal
di luar kota atau daerah pedesaan-- masih tetap terjaga. Tetap adanya respek pada yang lebih
memiliki wewenang, yang lebih tua dan yang terpelajar. Nilai-nilai dalam keluarga, seperti
harmoni, tetap dijaga.

Demikian pula dengan standar etika seperti bersikap jujur, memegang janji, dan menghargai
waktu pihak ketiga. Etos kerja memunculkan produktivitas dalam karya. Ini bukan berarti tidak
ada kekecualian.

Tiga �Quotient�

Masyarakat bisnis dan organisasi kemasyarakatan kita terutama tingkatan kelas


puncak,menengah (middle class) dan penyelia/supervisor yang dalam organisasi sebagai
penggerak, perlu secara berkesinambungan menyadari dan memahami perilaku etos kerja
bangsa-bangsa Asia Timur itu, khususnya nilai-nilai positif yang telah menjiwai budaya
produktivitas tinggi mereka. Artinya There is no end in learning and re-learning dalam
kelompok-kelompok lintas fungsional, baik dalam suasana kerja intern organisasi, maupun di
luar kungkungan/pasung organisasi saling berbagi (sharing) dalam membangun :

IQ (Intelligence Quotient), kesadaran dan kemampuan intelektual yang makin dibutuhkan setiap
anggota manajemen puncak, menengah sampai penyelia. Dengan demikian berkembanglah
pemahaman yang semakin matang bagi setiap manajer terhadap kebutuhan, tantangan dan
sasaran-sasaran organisasi ;

EQ (Emotional Quotient), belajar membangun dalam diri sikap positif pada kehidupan dan
kerjasama dengan pihak ketiga ;

TQ (Tenacity Quotient), perilaku ketekunan dalam menghadapi benturan-benturan (bumps)


dalam menjalani hidup dan tidak mudah menjadi putus asa (depressed) karena harus menjalani
benturan itu. TQ sebagai pengertian, pernah diungkapkan oleh Yang Mianmian, Wakil Pimpinan
Industri Haier Group, 1992-an, dengan sikap ketenangan patience is a virtue , namun tetap
menghargai waktu, tidak tergesa-gesa tanpa kehilangan fokus dalam berstrategi..

Generasi muda Indonesia, baik yang sudah duduk dalam manajemen puncak/menengah,
demikian pula para penyelia/supervisor, perlu menarik pelajaran nyata dari semangat yang
menjiwai SDM ketiga bangsa tersebut. Artinya mereka perlu menghayati bahwa kesabaran
adalah suatu kebajikan (patience is a virtue) dengan menanggalkan segala ketergesaan yang
tidak keruan, dan yang mau mulai belajar kembali tanpa sikap curiga dan sifat bosan (*)

Anda mungkin juga menyukai