Anda di halaman 1dari 17

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gonore merupakan suatu kondisi klinis yang ditularkan secara seksual melalui

bakteri patogen yang secara mikrobiologi merupakan bakteri gram negatif

intraseluler diplokokus Neisseria gonorrhoeae (Walker, C. & Sweet, E. 2011).

2.2 Epidemiologi

WHO memperkirakan terdapat 62 juta insiden gonore setiap tahunnya di seluruh

dunia dan diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 718.000 insiden gonore

(Vickerman, P. dkk, 2005). Jumlah kasus yang dilaporkan seringkali

menunjukkan adanya underestimate dari jumlah kasus yang sebenarnya karena

adanya underdiagnosis dan underreporting Hal ini disebabkan oleh 50% wanita

dan 10% laki-laki yang terinfeksi gonore bersifat asimptomatis (Sehgal, V., 2010;

MacDonald, N. dkk, 2011).

Menurut WHO pada tahun 2008, insiden gonore meningkat sebanyak 21%

jika dibandingkan dengan tahun 2005. Dimana, pada tahun 2005 insiden gonore

sebanyak 87.5 juta kasus meningkat menjadi 106.1 juta kasus pada tahun 2008

dengan perbandingan insiden antara laki-laki dan wanita 60.3 : 49.7 berturut-turut

(WHO,2008). Sedangkan, pada tahun 2009 CDC memperkirakan di Amerika

Serikat terdapat 700.000 kasus baru yang terutama terdapat di daerah perkotaan.

Dimana, wanita lebih banyak terinfeksi dengan kecenderungan lebih banyak pada
2

wanita berkulit hitam dengan prevalensi 17 kali lebih besar dibandingkan dengan

wanita berkulit putih (Walker, C. & Sweet, E. 2011). Infeksi gonore tertinggi pada

wanita berusia 15 tahun sampai 19 tahun, pada laki-laki berusia 20 tahun sampai

24 tahun, dan pada laki-laki yang berhubungan seks sesama jenis. (Price.N.A.,

2006)

2.3 Etiologi

Penyebab gonore adalah Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri yang

lebih sering ditemukan secara berpasangan (diplococcus). Pada pewarnaan gram

dengan pewarnaan methylen blue dan eosin bersifat gram negatif. Bakteri ini

bersifat aerob, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering

yaitu dalam 1-2 jam, dalam pemanasan dengan suhu 55oC bakteri mati dalam 5

menit, tidak tahan terhadap suhu > 39oC, tahan asam, dan cenderung mengalami

autolisis dengan cepat (Murray, P. dkk, 2002; Tim Mikrobiologi FK Unibraw,

2003).

Neisseria gonorrhoeae berbentuk ginjal dengan diameter 0,6 hingga 1,0 µm,

tidak bergerak secara aktif (non-motil), tidak membentuk endospora, dan hanya

dapat menginfeksi manusia. Bakteri ini secara umum tidak berkapsul dan terdapat

5 macam tipe koloni berdasarkan perbedaan pada tipe antigen permukaannya.

Tipe 1 dan 2 virulen untuk manusia, sedangkan tipe 3,4,5 avirulen untuk manusia.

Tipe yang virulen relatif resisten terhadap fagositosis PMN dan memiliki vili. Vili

ini akan melekat pada mukosa epitel dan menimbulkan radang (Tim Mikrobiologi

FK Unibraw, 2003; Josodiwondo, S.,2010).


3

2.4 Patogenesis

Gonore dapat ditransmisikan melalui kontak seksual aktif dan juga melalui

transmisi dari ibu ke anak saat melahirkan apabila ibunya terinfeksi gonore. Pada

orang dewasa, N. gonorrhoeae hanya dapat menginfeksi membran mukosa

dengan columnar atau cuboidal epithelium serta noncornified ephitelium. Selain

itu, N. gonorrhoeae juga dapat menginfeksi wanita prapubertas melalui squamous

epitelhium yang immature (Daili, S. F., 2011 ; Patel A et al,2011). Seseorang yang

sembuh dari gonore tidak memiliki imunitas terhadap penyakit ini sehingga

seseorang dapat terinfeksi gonore lagi apabila melakukan kontak seksual dengan

orang yang terinfeksi gonore lainnya (Hook, E. & Handsfield, H, 1999; Cheng,

Z.Y. dkk, 2011).

Selama hubungan seksual, infeksi sel epitel genital oleh N.gonorrhoeae

merupakan proses yang kompleks, yang terdiri dari adherence, invasi,

intracellular survive dan eksositosis. Hal ini diawali dan dimediasi oleh

adherence N. gonorrhea pada sel epitel kuboid , kolumnar ataupun noncornified

ephitelium yang dimediasi oleh vili, opa dan protein membran lainnya (Imarai

dkk,2012). Kemudian, N. gonorrhoeae menginvasi sel epitel dan memperbanyak

diri di basement membrane. Bakteri ini menginvasi sel epitel melalui parasite-

directed endocytosis, dimana membran sel mukosa menarik dan menjepit

membrane-bound vacuole yang mengandung bakteri. Vakuola yang mengandung

bakteri ini di transportasikan ke dasar sel dan dilepaskan ke jaringan subepitel

dengan eksositosis. Pada hari ketiga setelah infeksi oleh N. gonorrhoeae, bakteri

ini sudah terdapat pada subepitel.


4

Selama infeksi, lipopolisakarida (LPS) bakteri dilepaskan oleh autolisis sel

atau ingesti oleh neutrofil. LPS menstimulasi produksi Tumor Nekrosis Faktor

(TNF) yang dapat menyebabkan kerusakan sel host. Selain vili, LPS ini juga

membantu N. gonorrhea untuk menghindari aktivitas bakterisidal dari host (Hook,

E. & Handsfield, H, 1999; Cheng, Z.Y. dkk, 2011).

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gonore sangat bervariasi yang dapat dibedakan menjadi infeksi

lokal simptomatis dan asimptomatis, komplikasi infeksi lokal serta komplikasi

sistemik dengan masa inkubasinya bervariasi antara 1-31 hari, biasanya sekitar 4

hari atau 2-8 hari.

Gambar berikut ini menunjukkan proporsi individu dengan berbagai

sindroma klinis dan hubungan diantaranya dalam bentuk sederhana.

Gambar 2.1 Spektrum Klinis Infeksi gonococcus (Hook, E. & Handsfield,


H, 1999)
5

2.5.1 Infeksi Lokal Simptomatis dan Asimptomatis

2.5.1.1 Infeksi Uretra pada Laki-Laki

Infeksi gonococcus tersering pada laki-laki adalah uretritis anterior akut

dengan masa inkubasi yang bervariasi antara 1-14 hari atau lebih. Namun

biasanya gejala sudah muncul dalam 2-5 hari setelah terinfeksi. Gejala yang

dikeluhkan dapat berupa rasa panas dan gatal di bagian distal uretra di

sekitar orifisium uretra eksterna, edema, eritema pada meatus uretra,

demam serta nyeri saat ereksi. Namun, gejala dapat hilang dalam waktu

beberapa minggu (Daili, S. F., 2011; Comkornruecha Metee, 2013).

Discharge urethral yang terkadang disertai darah serta disuria merupakan

gejala utama dari uretritis. Meskipun pada awal terinfeksi discharge atau

eksudat berjumlah sedikit dan tampak mukoid atau mukopurulent, namun

pada kebanyakan laki-laki, eksudat menjadi purulent dan banyak dalam

waktu 24 jam. Pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran pada kelenjar

getah bening inguinal unilateral atau bilateral. Sekitar 10% penderita

uretritis tidak menimbulkan gejala sama sekali (asimptomatis) (Hook, E. &

Handsfield, H, 1999; Daili, S. F., 2011).

2.5.1.2 Infeksi Urogenital pada Wanita

Sekitar 20-80% infeksi pada wanita bersifat asimptomatis.atau dengan

gejala yang cenderung lebih ringan. Kebanyakan gejala muncul dalam 10

hari setelah infeksi. Gejala terseringnya meliputi disuria (nyeri atau rasa
6

terbakar saat kencing), pendarahan abnormal pada vagina saat menstruasi

serta meningkatnya jumlah vaginal discharge yang berwarna kuning atau

kehijauan yang menimbulkan bau tidak enak. Gejala ini dapat muncul

secara terpisah atau kombinasi dari semuanya dengan intensitas yang

bervariasi dari ringan hingga berat (Hook, E. & Handsfield, H, 1999;

Cheng, Z.Y, 2012). Wanita pada masa prapubertas sering terinfeksi

gonococcus yang dapat menyebabkan vulvovaginitis karena epitel vagina

belum berkembang sempurna dan sangat tipis. Sedangkan wanita pada

masa menopause disebabkan oleh selaput lendir vagina yang atrofi serta

penurunan kadar glikogen yang menguntungkan pertumbuhan gonococcus

(Daili, S. F., 2011, Comkornruecha Metee, 2013).

Selain itu, banyak wanita yang terinfeksi mengalami servisitis

dengan keluhan berupa rasa nyeri pada punggung bawah, discharge

purulent atau mucopurulent, eritema dan edema pada daerah ektopik, serta

pendarahan mukosa yang dipicu dengan meyentuh endoserviks.

Dispareunia dapat terjadi pada endoservisitis. Pada 70-90% wanita yang

terinfeksi mengalami uretritis yang biasanya diakibatkan oleh histerektomi

(pengangkatan uterus). Gejala utama pada uretritis adalah disuria , namun

terkadang dapat berupa poliuria, eritema pada orifisium uretra eksterna,

edema dan terdapat sekret mukopurulent (Hook, E. & Handsfield, H, 1999;

Comkornruecha Metee, 2013). Manifestasi gonore selama hamil tidak jauh

berbeda dengan kecenderungan lebih jarang mengalami Pelvic

Inflammatory Disease (PID) dan lebih sering mengalami infeksi


7

pharyngeal. Komplikasi yang mungkin muncul apabila terinfeksi gonore

pada saat hamil meliputi aborsi spontan, rupture premature pada membran

fetus, bayi lahir prematur dan chorioamnionitis akut (Hook, E. &

Handsfield, H, 1999; Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

2.5.1.3 Infeksi pada Rektal (Proktitis)

Sebanyak 10% dari infeksi pada rektum yang disebabkan oleh gonococcus

bersifat asimptomatis. Pada laki-laki homoseksual, infeksi disebabkan oleh

hubungan seksual melalui rektum. Sedangkan, pada wanita disebabkan oleh

adanya kontaminasi pada perineal akibat eksudat dari serviks yang

terinfeksi. Meskipun terkadang dapat pula disebabkan oleh hubungan

seksual genitoanal seperti pada pria ( Daili, S. F., 2011).

Adapun gejala dari infeksi pada rektum sangat bervariasi dimulai

dari adanya anal pruritus, mucopurulent discharge yang tidak nyeri yang

sering bermanifestasi dengan adanya feses yang terselimuti oleh eksudat,

sedikit pendarahan pada rektum, hingga nyeri yang sangat hebat, tenesmus

dan konstipasi. Dalam pemeriksaan fisik pada anus bagian eksternal maka

akan terlihat eritema dan discharge yang abnormal. Tetapi dalam anoscopy

dapat terlihat adanya eritema, edema, serta discharge mucoid atau purulent

yang seringkali berasal dari anal crypt (Hook, E. & Handsfield, H, 1999).
8

2.5.1.4 Infeksi Pharingeal

Sering ditemukan adanya infeksi ekstragenital gonore yaitu pada faring

yang dapat meningkatkan resiko terjadinya DGI (Daili, S. F., 2011).

Infeksi pharingeal ini terjadi pada 3-7% laki-laki heteroseksual, 10-20%

wanita heteroseksual, dan 10-25% laki-laki homoseksual. Infeksi

ditransmisikan ke faring melalui kontak seksual orogenital (fellatio,

cunnilingus). 90% infeksi pada faring bersifat asimptomatis dan hanya 10%

yang menunjukkan gejala yang biasanya dapat sembuh spontan dalam

waktu 12 hari. Dalam pemeriksaan di daerah orofaring akan tampak

eksudat mukopurulent yang ringan atau sedang (Hook, E. & Handsfield, H,

1999; Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2003).

2.5.1.5 Infeksi Lokal di Tempat Lain

Konjungtivitis jarang terjadi pada orang dewasa, yang biasanya

disebabakan oleh autoinokulasi. Selain itu, konjungtivitis, scalp abses dan

DGI juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita

gonore (Hook, E. & Handsfield, H, 1999; Daili, S. F., 2011). Konjungtivitis

atau opthalmia neonartum biasanya terjadi 1-4 hari setelah bayi dilahirkan.

Gejala yang ditimbulkan dapat berupa fotofobia, edema dan eritema pada

konjungtiva, serta keluarnya eksudat mukopurulent. Apabila tidak diobati

maka dapat mengakibatkan terjadinya ulkus kornea, rupture globe (bulbus

okuli), panoftalmitis hingga kebutaan (Cheng, Z.Y., 2012; Comkornruecha

Metee, 2013).
9

Gambar 2.2 Opthalmia Neonartum pada Infant (Chamberlain, N., 2009)

2.5.2 Komplikasi Lokal

2.5.2.1 Komplikasi Lokal pada Laki-laki

Pada laki-laki, komplikasi infeksi lokal yang paling sering terjadi adalah

epididimitis terutama saat belum tersedianya antibiotika yang tepat untuk

N. gonorrhoeae. Orang dengan epididimitis akut seringkali mengeluhkan

nyeri dan bengkak pada testis unilateral dan apabila mengenai kedua

epididimis maka dapat mengakibatkan infertilitas (Hook, E. & Handsfield,

H, 1999; Daili, S. F., 2011). Salah satu komplikasi minor akibat uretritis

adalah adanya penile lymphangitis seperti penile edema yang terkadang

berhubungan dengan lymphadenitis dengan keluhan terdapatnya palpable

cord. Postinflamatory urethral stricture juga merupakan komplikasi gonore

yang berhubungan dengan infeksi yang berulang oleh N. gonorrhoeae.

Komplikasi berupa abses periuretral jarang terjadi tetapi dapat saja terjadi

parauretritis. Parauretritits sering terjadi pada orang dengan orifisium uretra

eksterna yang terbuka atau hipospadia. Infeksi pada duktusnya, ditandai


10

dengan keluarnya pus pada kedua muara parauretra (Hook, E. &

Handsfield, H, 1999; Daili, S. F., 2011).

Selain itu dapat terjadi komplikasi berupa tysonitis yang biasanya

terjadi pada penderita dengan kebersihan yang kurang baik. Gejalanya

dapat berupa nyeri tekan dan edema pada daerah frenulum. Apabila duktus

tertutup maka akan timbul abses dan menjadi sumber infeksi laten.

Cowperitis menjadi komplikasi gonore yang bersifat asimptomatis apabila

yang terinfeksi hanya duktusnya. Tetapi, apabila kelenjar Cowper yang

terinfeksi maka akan menimbulkan gejala seperti adanya abses, nyeri dan

adanya benjolan pada daerah perineum yang disertai rasa penuh dan panas,

nyeri pada waktu defekasi, dan disuria (Daili, S. F., 2011).

2.5.2.2 Komplikasi Lokal pada Perempuan

Salpingitis akut atau PID merupakan komplikasi tersering yang dialami

oleh perempuan gonorrhea yaitu sekitar 10-20%. Gejala yang ditimbulkan

PID akut dan dapat menimbulkan efek jangka panjang seperti 13-21%

beresiko infertilitas, 18% beresiko nyeri pelvis yang kronis dan

meningkatkan resiko kehamilan ektopik hingga 6-10 kali lipat. Kehamilan

ektopik ini adalah kehamilan dimana embryo terletak di luar kavitas uterus

dan menyebabkan konjungtivitis pada bayi yang dilahirkan. Gejala PID

dapat berupa kombinasi dari demam, nyeri pada abdomen bawah,

menggigil, mual, muntah, nyeri saat melakukan hubungan seksual di daerah

pinggul atau dispareunia, siklus menstruasi irregular, serta intermenstrual


11

bleeding (Cheng Z. Y. dkk, 2012; Comkornruecha Metee, 2013). Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nyeri tekan pada abdomen

bawah, discharge cervical yang abnormal, serta terkadang adanya massa

adnexal ataupun abses pada tuboovarian (Hook, E. & Handsfield, H, 1999).

Selain PID, abses pada kelenjar Bartholin juga merupakan

komplikasi di daerah urogenital yang sering terjadi pada wanita dengan

gonore. Gejala awalnya dapat berupa pembesaran, eritema dan nyeri tekan

pada kelenjar Bartholin. Apabila terjadi penyumbatan pada saluran kelenjar

Bartholin maka dapat menimbulkan abses lalu pecah, dan apabila tidak

diobati maka dapat menjadi rekuren ataupun menjadi kista (Hook, E. &

Handsfield, H, 1999; Daili, S. F., 2011).

2.5.3 Komplikasi sistemik

DGI merupakan komplikasi sistemik tersering pada gonorrhea yang terjadi sekitar

1% dari seluruh kasus gonore dan biasanya terjadi pada wanita yang sebelumnya

asimptomatis karena terlambatnya diagnosis dan pengobatan. Selain itu wanita

yang beresiko mengalami DGI adalah saat menstruasi, kehamilan, dan saat

periode postpartum karena meningkatnya peluruhan endoservikal dan

menurunnya aktivitas bakterisidal. Pada wanita dengan DGI, kebanyakan gejala

yang muncul dalam 7 hari setelah menstruasi (Daili, S. F., 2011; Walker, C. &

Sweet, E. 2011). DGI diakibatkan oleh adanya bakteremia gonococcus yang

mungkin terjadi 7-30 hari setelah infeki dan sering bermanifestasi berupa

sindroma arthritis-dermatitis akut seperti arthritis akut, tenosynovitis, dermatitis


12

ataupun kombinasi dari ketiganya. Apabila tidak diobati, dapat menyebabkan

nyeri sendi yang kronis serta sepsis yang mengancam nyawa (Hook, E. &

Handsfield, H, 1999).

Dermatitis yang biasanya terdapat pada pasien DGI adalah lesi

vesikopapular, pustule yang nekrosis dengan dasar eritema, nyeri tekan, makula,

papula, petechiae, bulla ataupun ecchymosis yang seringkali tampak pada palmar

dan plantar dengan jumlah biasanya kurang dari 30. Kebanyakan pasien dengan

dermatitis gonococcal juga mengalami arthralgia atau tenosynovitis pada awal

penyakit, yang kemuadian dapat menjadi frank arthritis dengan efusi. Persendian

yang biasanya terlibat adalah pergelangan tangan, metacarpophalangeal dan sendi

lutut (Hook, E. & Handsfield, H, 1999; Comkornruecha Metee, 2013).

Gonococcal endokarditis merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat

bakteremia gonococcus yang diperkirakan terjadi pada 1-3% pada pasien DGI.

Gonococcal endokarditis ini dapat dengan cepat menyebabkan kerusakan valvular

dan berkonsekuensi mengancam jiwa. Katup aorta adalah katup yang tersering

terkena pada pasien dengan gonokoccal endokarditis dan gagal jantung akut

dalam 6 minggu apabila tidak diobati dengan antibiotika yang tepat. Sedangkan,

kurang dari 25 kasus meningitis gonococcal menjadi komplikasi pada sistemik

Pasien yang menunjukkan gejala tipikal meningitis bakteri akut biasanya tidak

disertai dengan gejala umum DGI. Untuk membedakan penyebab dari meningitis

antara N. gonorrhoeae atau N. meningitidis dapat dilakukan pengecatan Gram

pada cairan cerebrospinalnya. (Hook, E. & Handsfield, H, 1999)


13

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik akan ditemukan gejala-gejala

seperti yang telah dijabarkan dalam subbab manifestasi klinis. Sedangkan

pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis menurut

Guideline Eropa pada tahun 2012 adalah :

a. Diagnosis infeksi gonore ditegakkan dengan mengidentifikasi N.

gonorrhoeae pada eksudat genital, rektal, faring atau okular.

b. N. gonorrhoeae dapat dideteksi dengan Nucleic Acid Ampliffication Test

(NAATs) atau kultur. Bakteri juga dapat dilihat melalui mikroskop dengan

hasil pewarnaan smear saluran genital untuk mendapatkan diagnosis yang

cepat pada pasien yang simptomatis.

c. Pada mikroskop dengan pembesaran 1000x menggunakan Gram staining

atau methylene blue staining untuk mengidentifikasi adanya diplokokus di

dalam polimorfonuklear limfosit dengan sensitivitas ≥ 95% pada laki-laki

yang simptomatis dengan adanya eksudat uretra. Sedangkan untuk laki-

laki yang asimptomatis, pemeriksaan menggunakan mikroskop memiliki

sensitivitas yang buruk ≤55% dan pada infeksi rektal memiliki sensitivitas

≤40% sehingga tidak direkomendasikan penggunaanya. Penggunaan

mikroskop juga tidak direkomendasikan pada infeksi pharyngeal karena

sensitivitas dan spesifisitas yang buruk.

d. Kultur merupakan alat uji diagnosis yang spesifik, murah dan satu-satunya

alat uji diagnosis yang memungkinkan untuk menguji kepekaan antibiotika


14

sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi dan memonitor adanya

resistensi antibiotika. Penggunaan media kultur yang selektif mengandung

antibiotika direkomendasikan. Sedangkan, media yang tidak selektif

mengandung antibiotika dapat digunakan sebagai tambahan dalam

menguji sampel dari urogenital dan konjungtiva. Kultur tepat digunakan

untuk sampel yang didapat dari endoservikal, uretra, rektal, pharingeal dan

konjungtiva, tetapi tidak untuk urine. Sensitivitas kultur tinggi pada

sampel yang diambil dari genital dengan proses pengumpulan, transport,

penyimpanan dan isolasi yang optimal. Kultur bersamaan dengan NAAT

dapat dilakukan untuk menguji sensitivitas antibiotika pada pasien dengan

infeksi yang menetap atau masih terdapatnya gejala setelah dilakukan

penatalaksanaan ataupun jika diduga penatalaksanaan yang telah

dilakukan gagal.

e. Dibandingkan dengan kultur, NAAT lebih sensitif karena dapat menguji

sampel dengan jenis yang lebih luas dan tidak terlalu bergantung pada

kualitas, transportasi dan penyimpanan sampel. Sensitivitasnya tinggi

≥96% baik pada infeksi simptomatis ataupun asimptomatis. NAAT

menunjukkan sensitivitas yang sama pada spesimen yang diambil dari

urine dan uretra pada laki-laki, serta sensitivitas yang sama pada spesimen

vulvovaginal yang diswab oleh dokter ataupun yang di swab oleh diri

sendiri dan swab endoservikal pada wanita. NAAT merupakan uji

diagnosis pilihan pada infeksi asimptomatis. Pada wanita, sampel yang

berasal dari urine memiliki sensitivitas yang lebih rendah jika


15

dibandingkan dengan spesimen yang berasal dari saluran genital sehingga

urine bukan merupakan spesimen yang optimal untuk diuji.

f. NAAT lebih sensitif dalam mendeteksi adanya infeksi pada faring dan

rektal, serta digunakan untuk screening infeksi gonococcus pada

pharyngeal dan rektal. Sebelum menggunakan NAAT untuk menguji

sampel rektal dan pharyngeal, disarankan untuk melakukan evaluasi lokal

pada daerah ini. Setelah evaluasi diperlukan adanya uji konfirmasi dengan

mengulang NAAT.

g. Wanita dengan infeksi asimptomatis biasanya dilakukan screening

gonorrhea dengan tes vulvovaginal atau endoserviks.

h. Adapun indikasi untuk dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu :

1) Adanya tanda atau gejala eksudat uretra pada laki-laki

2) Vaginal discharge dengan faktor resiko IMS ( <30 tahun, sexual

partner baru)

3) Servisitis mukopurulent

4) Orang yang terdiagnosis IMS lain

5) Sexual partner atau orang dengan IMS atau PID

6) Adanya epididymo-orchitis pada laki-laki berumur <40 tahun

7) Pelvic Inflamatory Disease (PID)

8) Saat screening, dewasa muda (berumur <25 tahun) yang IMS

9) Saat screening, individu dengan sexual partner yang baru atau

multiple

10) Konjungtivitis purulent pada neonates atau orang dewasa


16

11) Ibu dengan anak yang dilahirkan mengalami opthalmia neonartum

i. Pada laki-laki homoseksual dengan gonore (20-30%) yang mengalami

infeksi di berbagai tepat, spesimen yang diuji diharapkan berasal dari

uretra/urine, rectum dan faring (Unemo Magnus & Bignell Chris, 2012).

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksaan gonore berkembang dengan cepat dari waktu ke waktu karena

sering adanya resistensi terhadap antibiotika. Berdasarkan CDC 2010,

penatalaksaan gonore dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Penatalaksanaan Infeksi gonococcus

Infeksi Gonore Regimen yang direkomendasikan


Infeksi lokal gonore pada Cefriaxone 250 mg IM dosis tunggal
serviks, Uretra, dan rektum atau jika bukan pilihan
Cefixime 400 mg oral dosis tunggal
atau
Injeksi Cephalosporin dosis tunggal
Atau
Azithromycin 1 g oral dosis tunggal
Atau
Doxycycline 100 mg oral 2x sehari selama 7 hari
Infeksi lokal gonore pada Cefriaxone 250 mg IM dosis tunggal
faring Ditambah
Azithromycin 1 g oral dosis tunggal
Atau
Doxycycline 100 mg oral 2x sehari selama 7 hari
Gonore pada kehamilan Azithromycin 2 g oral dosis tunggal
17

Tabel 2.1 Lanjutan

Infeksi Gonore Regimen yang direkomendasikan


Gonore pada infant- Cefriaxone 25-50 mg/kg IV atau IM dosis tunggal,
opthalmia neonartum tidak lebih dari 125 mg
Komplikasi sistemik- Cefriaxone 1 g IM atau IV setiap 24 jam
Disseminated Gonococcal atau regimen alternatif
Infection (DGI) Cefotaxime 1 g IV setiap 8 jam
atau
Ceftizoxime 1 g IV setiap 8 jam
Gonococcal Meningitis dan Ceftriaxone 1-2g IV setiap 12 jam
Endokarditis
Sumber : (CDC, 2010,49-55 )

Anda mungkin juga menyukai