Anda di halaman 1dari 54

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING

TERHADAP PENGETAHUAAN FAKTUAL DALAM PEMBELAJARAN


IPS SD

(Proposal)

Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana


pada Jurusan Pendidikan Guru Sekolah dasar

Oleh

AISYAH FITRI LUTHFIA SARI


18060127

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2021

i
HALAMAN PERSETUJUAN

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING


TERHADAP PENGETAHUAAN FAKTUAL DALAM PEMBELAJARAN
IPS SD

Proposal
Sebagaisalahsatusyaratdalammenyelesaikan Program
PendidikanSarjanapadaJurusanPendidikan Guru Sekolahdasar

Oleh
AISYAH FITRI LUTHFIA SARI
18060127

Mengetahui
KomisiPembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

YesiBudiarti, M.Pd YunniArnida, M.Pd


NIDN.0229058602 NIDN.0229097801

Ketua Program Studi


Pendidikan Guru SekolahDasar

YunniArnida, M.Pd
NIDN. 0229097801

ii
HALAMAN PENGESAHAN

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING


TERHADAP PENGETAHUAAN FAKTUAL DALAM PEMBELAJARAN
IPS SD

Tim Penguji

Ketua : YesiBudiarti, M.Pd ...................................

Seketaris : YunniArnida, M.Pd ...................................

PengujiUtama : Drs. Yulianto, M.Pd ...................................

DekanFakultasKeguruandanIlmuPendidikan

Rahma Faelasofi, S.Si., M.Sc


NIP. 19850202 201504 2 001

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan
Hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan proposal penelitian
dengan judul “pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe make a match
terhadap hasil belajar pada mata pelajaran IPS siswa SD” guna memenuhi salah
satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan
Guru SekolahDasar (PGSD).
Penulis dalam menyelesaikan penyusunan Proposal Penelitian ini tidak lepas dari
dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Drs. H. Wanawir Am., M.M.,M.Pd. Selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
2. Rahma Faelasofi, S.Si.,M.Sc. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Unviersitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
3. Yunni Arnida, M.Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
4. Drs. Yulianto, M.Pd. Selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan
saran demi kesempurnaan proposal penelitian ini.
5. Bapak/Ibu Dosen, karyawan di lingkungan Universitas Muhammadiyah
Pringsewu Lampung yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan
selama perkuliahan.
6. Kedua orangtuaku yang senantiasa memberikan doa, serta dukungan yang
tidak henti-hentinya kepada peneliti.
7. Rekan-rekan seperjuangan FKIP Universitas Muhammadiyah Pringsewu Prodi
PGSD yang senantiasa memberikan semangat dan masukan dalam
menyelesaikan Proposal Penelitian.
Penulis menyadari dalam penulisan Proposal Penelitian ini masih banyak
kekurangan baik isi maupun cara penulisannya, untuk itu diharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun guna perbaikan penulisan dimasa yang akan
datang.

iv
Pringsewu, Juni 2021

Aisyah Fitri Luthfia Sari


NPM.18060127

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN.................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN PENELITIAN........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
DAFTAR ISI................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL.........................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
C. Tujuan penelitian ...............................................................................
D. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................
E. Manfaat Penelitian .............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori dan Masalah yang diteliti .........................................................
1. Pengertian Guru............................................................................
2. Peran Guru....................................................................................
3. Tata Tertib di Sekolah..................................................................
4. Pelanggaran Tata Tertib disekolah ..............................................
B. Penelitia Relevan ...............................................................................
C. Kerangka Pikir ...................................................................................
D. Hipotesis Penelitian............................................................................
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain penelitian ................................................................
B. Populasi dan Sampel penelitian .........................................................
C. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
D. Data dan Sumber Data penelitian ......................................................
E. Subyek dan Objek penelitian..............................................................
F. Teknik Pengumpulan Data ................................................................
G. Teknik Analisis Data .........................................................................
H. Uji Kredibilitas Data...........................................................................

vi
I. Jalanya Penelitian ...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik sacara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas, 2003). Pendidikan

merupakan wahana yang paling tepat dalam memberikan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap tentang kepedulian lingkungan kepada manusia. Hal ini,

melalui proses pendidikan di harapkan dapat membantu setiap siswa sebagai

anggota masyarakat akan kesadaran dan kepekaan terhadap permasalahan

lingkungan hidup. Melalui pembelajaran IPS di sekolah dasar di rasa

sangat tepat dalam mengajarkan pendidikan lingkungan hidup kepada siswa.

Pembelajaran lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS dapat di lakukan

dengan mengkaji isu-isu permasalahan global. Permasalahan global dalam

pembelajaran IPS adalah “isu-isu lingkungan terutama berkaitan dengan akibat

eksploitasi sumber daya manusia dan pengelolaan kekayaan bumi: tanah, hutan

dan unsur lainnya” (Sapriya, 2011:135). Isu-isu global tersebut seperti

permasalahan sampah, banjir, polusi udara, pemanasan global.

Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini sangat penting untuk segera

di tindak lanjuti, dan menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat, di

1
harapkan dengan mengintegrasikan pendidikan lingkungan hidup ke dalam

pembelajaran IPS di sekolah dasar mampu menanamkan kepada peserta didik

untuk mencintai lingkungan seperti dengan penanaman bibit pohon tahunan,

membuat taman, dan membersihkan lingkungan sekolah.Pendidikan lingkungan

hidup di harapkan bisa menciptakan rasa tanggung jawab dan menumbuhkan

kepedulian anak terhadap kelestarian lingkungan di sekitarnya. Dari urian tersebut

maka di perlukan pembelajaran IPS di sekolah dasar yang berbasis pendidikan

lingkungan hidup.

Pengertian pengetahuan menurut Jujun S Suriasumantri (1996:104),

pengetahuaan hakekatnya adalah segenap yang di ketahui manusia mengenai

suatu objek tertentu yang merupakan khasanah kekayaan mental diperoleh melalui

rasional dan pengalaman. Pengetahuan yang diperoleh merupakan informasi yang

ditangkap oleh panca indra manusia. Informasi tersebut kemudian dikembangkan

melalui bahasa dan kemampuan berpikirnya. Dimensi pengetahuan mempunyai

empat kategori diantaranya: pengetahuaan faktual, pengetahuaan konseptual,

pengetahuaan prosedural, dan pengetahuaan metakognitif.

Pengetahuan faktual, mencakup pengetahuan tentang terminologi yaitu

pengertian atau definisi, dan pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen

yang spesifik yaitu pengetahuaan tentang peristiwa, lokasi, tanggal, orang, sumber

informasi dan lainnya yang berdasar pada fakta. Pengetahuan konseptual,

merupakan oengetahuan yang lebih kompleks berbentuk klasifikasi, kategori,

prinsip dan generalisasi. Pengetahuan prosedural, berupa rangkaian langkah yang

harus diikuti mencakup tentang keterampilan, alogaritme(urutan langkah-langkah

2
logis pada penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis), teknik, metoda

dan teknik khusus dan pengetahuan untuk melakukan prosedur yang tepat.

Pengetahuan metakognitif, mencakup pengetahuan strategis, yaitu strategi belajar

dan berfikir untuk memecahkan masalah.

Penelitian ini menitikberatkan pada dimensi pengetahuaan faktual, salah

satu masalah yang dihadapi dalam pelajaran IPS adalah adanya kecenderungan

pengelolaan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru lebih berorientasi kepada

proses menghafal materi pelajaran dengan pola komunikasi satu arah yaitu dari

guru kepada siswa (Salam,2017). Selain itu, fokus pembelajaran IPS yang

diajarkan oleh guru kelas di sekolah tersebut hanya bersifat text book (Budiyono,

2018). Sehingga pembelajaran IPS di sekolah tidak memaksa siswa untuk

memecahkan masalah sosial yang terjadi di kehidupan nyata.

Dalam kurikulum ruang lingkup kompetensi pengetahuan IPS diabdikan

dalam 3 lingkup dimensi sosial yaitu menekankan pada rasionalitas, perilaku

terampil, dan rasionalitas. Muatan pembelajaran IPS mencakup mengenai

persoalan manusia dan lingkungannya yang tidak dapat difokuskan melalui

hafalan semata, tetapi diperlukan pemahaman, pengamatan, dan penerapan dalam

kehidupan sehari–hari yang dimana hal ini menuntut pengetahuan kognitif siswa

untuk dapat memahami dan menerapkan ilmu pengetahuannya dalam kehidupan

sehari – hari.

Pengetahuan faktual berisikan elemen-elemen dasar yang harus diketahui

siswa jika mereka akan mempelajari suatu disiplin ilmu atau menyelesaikan

masalah dalam disiplin ilmu tersebut. Pengetahuan Faktual terdiri dari

3
pengetahuan terminologi (knowledge of terminology) (Aa) dan tentang detail-

detail dan elemen-elemen yang spesifik (knowledge of specific details and

element) (Ab). Pengetahuan tentang Terminologi melingkupi pengetahuan tentang

label dan simbol verbal dan nonverbal (misalnya kata, angka, tanda, dan gambar).

Pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik merupakan

pengetahuan tentang peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber informasi, dan

semacamnya. Pengetahuan ini meliputi semua informasi yang medetail dan

spesifik. Terminologi jamaknya mempresentasikan konvensi dan kesepakatan

dalam suatu bidang sedangkan fakta mempresentasikan temuan-temuan yang

diperoleh bukan berdasarkan kesepakatan dan tidak dimaksudkan sebagai alat

berkomunikasi.

Salah satu inovasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan

dalam pembelajaran IPS diatas yaitu dengan menerapkan model pembelajaran

discovery learning (DL). Model discovery learning (DL) merupakan salah satu

model yang dapat menumbuhkan kratifitas dan keaktifan siswa (Pane, Nyeneng,

& Distrik, 2020; Yuliana, 2018) . Model discovery learning mengedepankan

peran aktif siswa dalam pembelajaran, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator

dalam membantu siswa menemukan dan mengonstruksikan pengetahuan yang

dipelajari (Lieung,2019). Discovery learning merupakan suatu model

pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk menggunakan seluruh

kmampuannya secara maksimal untuk mencari dan menemukan sesuatu baik itu

berupa benda, manusia, serta peristiwa secara sistematis, logis,kritis, analitis yang

kemudian dapat dirumuskan sendiri oleh peserta didik dengan penuh percaya diri

4
(Lidiana, Gunawan, & Taufik, 2018;Patandung, 2017). Sependapat dengan hal

tersebut Astari, Suroso, & Yustinus (2018) menyatakan bahwa model

pembelajaran discovery learning merupakan proses pembelajaran yang diperoleh

melalui pengamatan atau percobaan dan menciptakan suasana pembelajaran baru

yang dapat membuat peserta didik belajar aktif untuk menemukan

pengetahuan sendiri sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.Terkait dengan

hal tersebut maka dapat dirangkum bahwa Model discovery learning merupakan

model pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam

mencari dan menemukan sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) dalam kegiatan

pengamatan atau percobaan dan menciptakan pada proses pembelajaran yang

nantinya suatu konsep yang ditemukan dapat dirumuskan sendiri oleh peserta

didik.

Pada umumnya guru lebih sering menggunakan metode pengajaran

konvensional yang memusatkan pada metode pembelajaran ceramah membuat

peserta didik kurang dalam memahami materi yang diberikan. Hal ini

mengakibatkan kurangnya antusias peserta didik dalam proses pembelajaran di

sekolah.

Berdasarkan masalah di atas peneliti mengambil judul: “Pengaruh Model

Pembelajaran Discovery Learning Terhadap Pengetahuaan Faktual Dalam

Pembelajaran IPS Sekolah Dasar”.

5
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh

model pembelajaran discovery learning terhadap pengetahuan faktual dalam

pembelajaran IPS siswa sekolah dasar?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

apakah terdapat pengaruh model pembelajaran discovery learning terhadap

pengetahuan faktual dalam pembelajaran IPS siswa sekolah dasar.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka ruang lingkup penelitian ini

yaitu:

1. Penelitian ini akan di laksanakan di SDN 2 Fajaresuk dan SD 3 Fajaresuk,

tepatnya di Desa Fajaresuk, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Pringsewu

2. Peneliti akan meneliti seorang pendidik yang menggunakan model

discovery learning terhadap pengetahuaan faktual dalam pembelajaran

IPS, terkhusus pada kelas rendah yaitu kelas 3 tema “kelestarian

lingkungam alam dan buatan”

3. Peneliti berfokus pada cara penggunaan model discovery learning terhadap

pengetahuaan faktual siswa tingkat pemahaman dan penerapan dalam

pembelajaran IPS

6
E. Manfaat Peneltian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian bermanfaat memberikan konsep-konsep, teori-teori

terhadap ilmu pengetahuan faktual siswa sekolah dasar.

2. Manfaat Praktis

1) Bagi Guru

a) Mendapatkan pengetahuan dan wawasan tentang model discovery

learning terhadap pengetahuaan faktual dalam pembelajaran IPS di

Sekolah Dasar

2) Bagi Peserta Didik

a) Siswa dapat mengoptimalkan pengetahuaan fakual dalam

pembelajaran IPS melalui model pembelajaran discovery learning

b) Memperoleh pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna

3) Bagi peneliti

a) Memberikan pengalaman dan wawasan bagi peneliti dalam

melaksanakan model pembelajaran discovery learning terhadap

pengetahuaan faktual dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar

b) Memotivasi peneliti agar dapat melakukan pembelajaran yang

inovatif dan menyenangkan

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning

a. Pengertian Model Pembelajaran

Joyce and Well mendefinisikan model pembelajaran sebagai suatu

perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam

melaksanakan pembelajaran di kelas atau pebelajaran dalam tutorial dan

untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran. Model

pembelajaran merupakan suatu pendekatan yang menyeluruh. Sedangkan

menurut Arends, model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang

disiapkan untuk membantu peserta didik mempelajari secara lebih spesifik

berbagai ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Jadi yang dinamakan

model pembelajaran adalah suatu rencana yang dipijak dari teoti psikologi

yang digunakan sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan

melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Model pembelajaran adalah

bentuk pembelajaran yang menggambarkan kegiatan dari awal sampai

akhir yang disajikan secara khas oleh guru.

b. Pengertian Discovery learning

Model Discovery Learning merupakan suatu model yang pertama

kali dikembangkan oleh Bruner pada tahun 1961. Pengembangan model

ini didasari oleh pemikiran bahwa jika keunggulan intelektual yang

8
dimiliki seseorang terhadap semua yang dia tahu bergantung pada

kelengkapan pemahaman masing-masing, maka hal tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan keunggulan pribadi seseorang terhadap semua yang dia

tahu bergantung pada apa yang ia ditemukan untuk dirinya sendiri

(Bruner, 1961:21). Bruner berpikir bahwa individu akan menjadi dirinya

sendiri dengan belajar esensi budaya di mana mereka hidup, dan esensi

budaya ini memiliki potensi untuk memotivasi anak-anak secara intrinsik.

Dia juga berpikir bahwa struktur kedisiplinan akan memfasilitasi proses

pembelajaran; serta discovery learning akan memungkinkan anak-anak

untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran. Oleh karena itu,

akan menciptakan pembelajaran yang bermakna (Takaya, 2008:7).

Discovery Learning didefinisikan sebagai model pembelajaran

yang tidak menyampaikan keseluruhan materi. Materi disampaikan secara

terpisah hanya sebagian saja yang disampaikan secara langsung,

sedangkan yang lainnya di temukan sendiri oleh siswa. Siswa didorong

untuk aktif dalam menemukan bagian pengetahuan yang belum

disampaikan. Secara utuh siswa membangun suatu konsep dan

generalisasi dari pecahan temuan – temuan yang mereka dapatkan.

Tentunya proses tersebut tetap memerlukan bimbingan guru. Guru

membimbing siswa untuk menemukan dan membangun konsep serta

generalisasi. Model Discovery Learning adalah teori belajar yang

didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak

disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan

9
mengorganisasi sendiri (Kemendikbud, 2013:2). (Supriyadi, 2011:62)

juga mendukung definisi tersebut melalui pernyataan bahwa, proses

mengajar-belajar dengan sistem instruksional discovery menghendaki

guru untuk menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk yang final

(utuh dari awal hingga akhir) atau dengan kata lain, guru hanya

menyajikan sebagian. Selebihnya diserahkan kepada siswa untuk mencari

dan menemukannya sendiri.

Jerome Brunner (Hosnan, 2014: 281) mengungkapkan bahwa

model discovery learning adalah model yang mendorong siswa untuk

mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip

umum praktis contoh pengalaman. J.Brunner memakai cara dengan apa

yang disebutnya discovery learning, yaitu murid mengorganisasikan

bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.

Menurut Bell (Hosnan, 2014: 281), belajar penemuan adalah

belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa memanipulasi, membuat

struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ia

menemukan informasi baru.

Model discovery learning merupakan suatu model pembelajaran

melaluipenemuan. Model ini menekankan pentingnya pemahaman

struktur atau ide-idepenting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui

keterlibatan siswa secara aktif dalamproses pembelajaran. Jerome Brunner

(Hosnan,2014:281) mengungkapkan bahwamodel discovery learning

adalah model yang mendorong siswa untuk mengajukanpertanyaan dan

10
menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis

contohpengalaman. Belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagai

hasil dari siswamemanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan

informasi sedemikiansehingga ia menemukan informasi baru. Dalam

belajar penemuan, siswa dapatmembuat perkiraan (conjucture),

merumuskan suatu hipotesis dan menemukankebenaran dengan

menggunakan proses induktif atau proses deduktif, melakukanobservasi

dan membuat masalah (Hosnan,2014:281). Model discovery

learningadalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses

intuitif untukakhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery

learning terjadi bila individuterlibat, terutama dalam penggunaan proses

mentalnya untuk menemukan beberapakonsep dan prinsip. Discovery

learning dilakukan melalui observasi, klasifikasi,pengukuran, prediksi,

dan penentuan.

Roestiyah (2001: 20) mengemukakan model discovery learning

adalahmodel mengajar mempergunakan teknik penemuan. Model

discovery learningadalah proses mental dimana siswa mengasimilasi

suatu konsep atau prinsip. Prosesmental tersebut misalnya mengamati,

menggolongkan, membuat dugaan,menjelaskan, mengukur, membuat

kesimpulan, dan sebagaimya. Dalam teknik inisiswa dibiarkan

menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guruhanya

membimbing dan memberikan instruksi. Model pembelajaran

discoverylearning adalah model mengajar yang mengatur pengajaran

11
sedemikian rupasehingga anak memperoleh pengetahuan yang

sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan,

sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran

discovery learning kegiatan atau pembelajaran yang dirancang

sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan

prinsipprinsip melalui proses mentalnya sendiri.

Berdasarkan uraian yang telah dituliskan maka model discovery

learning adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student

oriented). Dengan menerapkan model ini siswa akan menguasai teknik-

teknik penemuan diri individu yang bersangkutan. Penerapan model ini

merubah situasi belajar dimana siswa yang pasif belajar menjadi aktif

belajar. Siswa aktif menemukan informasi sendiri. Discovery Learning

adalah model yang mendorong siswa untuk sampai pada suatu kesimpulan

berdasarkan kegiatan dan pengamatan mereka sendiri (Balim, 2009:2).

Model discovery learning (DL) memiliki ciri-ciri utama yang

membedakan dari model – model pembelajaran lainnya, adapun ciri

utamanya yaitu : (1) berpusat pada peserta didik, (2) melakukan

eksplorasi dan memecahkan masalah guna dapat menciptakan dan

menggeneralisasi pengetahuan, (3) kegiatan kegiatan pembeajaran yang

ada bertujuan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan

yang sudah ada (Cintia, Kristin, & Anugraheni, 2017; Lieung, 2019).

Pada dasarnya Discovery Learning merupakan proses pembentukan

konsep-konsep, kemudian dapat membentuk suatu generalisasi. Discovery

12
adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-

sistem coding (Kemendikbud, 2013: 2). Pembentukan kategori-kategori

dan sistemsistem coding tersebut dirumuskan sedemikian rupa sebagai

relasi-relasi (similaritas dan difference) antar obyek-obyek dan kejadian-

kejadian (events). Bruner memandang bahwa suatu konsep atau

kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu

konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: (1)

Nama; (2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; (3)

Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; (4) Rentangan

karakteristik; (5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Membentuk suatu

konsep meliputi kegiatan mengidentifikasi dan menempatakan contoh-

contoh ke dalam kelompok dengan menggunakan kriteria tertentu.

Sedangkan mengidentifikasi dan menempatkan merupakan suatu proses

mengkategori yang keduanya membutuhkan proses berpikir yang berbeda.

Pada proses pembelajaran penemuan, partisipasi aktif dari tiap

siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan

merupakan hal yang penting. Untuk itu dalam menunjang proses proses

pembelajaran penemuan perlu diciptakan lingkungan yang memfasilitasi

rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dikenal

dengan discovery learning environment, yaitu sebuah lingkungan yang

memfasilitasi siswa untuk melakukan eksplorasi, terhadap penemuan baru

yang belum dikenal atau mirip dengan pengetahuan yang sudah diketahui.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus

13
berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat

perkembangan kognitif siswa (Kemendikbud, 2013). Manipulasi bahan

pelajaran dilakukan dengan tujuan memfasilitasi kemampuan dan

ketrampilan siswa dalam berpikir (mengomunikasikan apa yang

ditemukan) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Pada perkembangan

kognitif terjadi tiga tahapan perkembangan. Ketiga tahapan tersebut

ditentukan oleh kondisi lingkungan. Ketiga tahapan tersebut adalah

enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive, seseorang melakukan

aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya,

artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan

pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan

sebagainya.

Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau duanianya

melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam

memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan

(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah

mampu memiliki ide-ide ataugagasan-gagasan abstrak yang sangat

dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Secara

sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic

adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan

atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan

berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic dia

menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia

14
menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase

symbolic (Sukmadinata, 2011:85). Hal yang menarik dalam pendapat

Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan

kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang

scientis, historin, atau ahli matematika. (Kemendikbud, 2013). Guru

dalam penerapan discovery learning sedapat mungkin mengaktifkan siswa

untuk pembelajaran mandiri. Ketika mengaplikasikan model discovery

learning, guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara aktif (Iswati,

2015:84). Sehingga dampak penerapan discovery learning adalah guru

memberikan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver,

seorang scientist, historian. Akhirnya siswa dapat menguasai,

menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

c. Langkah-Langkah dalam Pembelajaran Discovery Learning

Sebagai suatu model, discovery learning memiliki langkah praktis

dalam pembelajaran. Adapun langkah tersebut menurut Kadri (2015:32)

adalah (1) Stimulasi, (2) Pernyataan Masalah, (3) Pengumpulan data, (4)

pengolahan data, dan (5) verifikasi atau generalisasi. Sejalan dengan

Kadri Supriyadi (2011: 62) juga menjelaskan prosedur pelaksanaan model

ini adalah (1) Stimulation (Stimulasi/ Pemberian Rangsangan), (2)

Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah), (3) Data Collection

(Pengumpulan Data), (4) Data Processing (Pengolahan Data), (5)

Verification, (6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi).

15
Stimulasi berarti memulai kegiatan pembelajaran dengan

mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar

lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Identifikasi

masalah berarti memberi kesempatan untuk mengidentifikasi sebanyak

mungkin agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian

salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban

sementara). Pengumpulan data berarti memberi kesempatan kepada para

siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan

untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pengolahan data

berarti mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa

melalui wawancara, observasi, dan sebagainya lalu ditafsirkan. Verivikasi

beberarti melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan

benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi, dihubungkan dengan

hasil data processing. Generalisasi berarti menarik sebuah kesimpulan

yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian

atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.

Langkah-langkah tersebut menunjukkan langkah penelitian ilmiah. Yaitu

suatu langkah untuk meneliti suatu masalah atau fakta untuk menemukan

suatu konsep kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan

(generalisasi). Lebih lanjut, berdasarkan langkah-langkah tersebut

menunjukkan bahwa discovery learning merupakan model pembelajaran

berbasis penelitian.

16
d. Karakteristik Discovery Learning

Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery learning

sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial

(pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari

pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru

menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problem

disajikan kepada siswa. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya

dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih

besar untuk belajar sendiri. Dalam mengaplikasikan model discovery

learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana

pendapat guru harus dapatmembimbing dan mengarahkan kegiatan belajar

siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2007:145).

e. Kelebihan dan Kekurangan Discovery Learning

Kelebihan dalam pembelajaran discovery learning siswa aktif

dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan menggunakan kemampuan

untuk menemukan hasil akhir. Siswa memahami benar bahan pelajaran,

sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh

dengan cara ini lebih lama diingat, proses menemukan sendiri

menimbulkan rasa puas siswa. Kepuasan batin ini mendorong ingin

melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat. Siswa

17
yang memperoleh pengetahuan dengan penemuan akan lebih mampu

mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.

Dalam pembelajaran discoverylearning juga terdapat kendala yang

dihadapi siswa, kendala ini menjadi kekurangan dalam pembelajaran

discovery learning. Kendala yang dihadapimisalnya membutuhkan waktu

belajar yang lebih lama dibandingkan dengan belajar menerima. Untuk

mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan bantuan guru. Bantuan

guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan dengan

memberikan informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi tersebut

dapat dimuat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang telah dipersiapkan

oleh guru sebelum pembelajaran dimulai.

2. Pengertian Dimensi Pengetahuan Faktual

a. Pengertian Pengetahuan

Menurut Suriasumantri (2003:4) “Pengetahuan adalah segenap apa

yang diketahui manusia tentang suatu objek tertentu termasuk didalamnya

ilmu yang akan memperkaya khasanah mentalnya baik secara langsung

ataupun tidak langsung.” Pengetahuan diartikan juga sebagai suatu

kumpulan berbagai macam pengalaman, nilai-nilai dan informasi yang

saling berkaitan. Di dalamnya terkandung juga berbagai gagasan para ahli

dan informasi baru yang berkaitan dengan objek pengetahuan tersebut.

Dalam kelangsungannya, pengetahuan tersebut tidak hanya disimpan

sebagai ingatan, tetapi juga dilibatkan dalam berbagai proses terapan.

18
Berdasarkan uraian sebagaimana diuraikan di atas maka yang

dimaksud dengan pengetahuan dalam penelitian ini adalah segenap yang

diketahui siswa tentang alat-alat fisika yang berbentuk :

Fakta, adalah informasi tentang nama orang, tempat, kejadian,

julukan istilah, symbol. Selain itu, fakta juga mengenai hubungan antar

informasi tersebut. Pengetahuan fakta merupakan landasan bagi seseorang

untuk menguasai ragam pengetahuan lain. Elemen fakta adalah simbol-

simbol yang dikaitkan dengan benda konkret yang dapat memberikan

gambaran tentang pentingnya informasi tersebut. Jadi bisa dikatakan

ragam pengetahuan fakta berkaitan dengan :

1) Nama orang, tempat, yang menurut kebahasaan harus ditulis

dengan huruf awal besar,

2) Benda, baik konkret maupun abstrak, berbagai jabatan, profesi, dll,

3) Kejadian atau peristiwa, seperti siang hari yang panas,

4) Berbagai istilah, seperti Mekanika, Ozon = O3.

b. Pengetahuan Faktual

Pengetahuan Faktual meliputi elemen-elemen dasar yang

digunakan oleh para pakar dalam menjelaskan, memahami, dan secara

sistematis menata disiplin ilmu mereka. Elemen-elemen ini biasanya

digunakan oleh orang-orang yang bergulat dalam suatu disiplin ilmu, dan

tidak atau hanya sedikit berubah ketika digunakan dalam bidang lain.

Pengetahuan Faktual berisikan elemen-elemen dasar yang harus diketahui

siswa jika mereka akan mempelajari sutau disiplin ilmu atau

19
menyelesaikan mslaah dalam disiplin ilmu tersebut. Elemen-elemen ini

lazimnya berupa simbol-simbol yang mengandung informasi penting.

Pengetahuan faktual kebanyakan berada pada tingkat abstraksi yang relatif

rendah.

Pengetahuan faktual merupakan salah satu jenis dimensi

pengetahuan yang harus dimiliki oleh siswa untuk mempelajari satu

disiplin ilmu atau untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin

ilmu tertentu. Pengetahuan faktual merupakan salah satu keterampilanyang

harus dilatih secara berkelanjutan, oleh karena ituperlu strategi dan

langkah-langkah yang direncanakanuntuk mencapai komptensi tersebut.

Pembelajaran berbasispengetahuan faktual mengedepankan kemampuan

siswadalam mempelajari hal yang mendasar untuk memahamiproses

kognitif yang lebih rumit. Proses ini akanbermanfaat untuk menghasilkan

input materi yangdiajarkan lebih maksimal, dan output yang diharapkan

akanlebih berkualitas.

Dua hal dasar yang mencangkup perihalkemampuan faktual siswa

adalah pengetahuan tentangterminologi dan pengetahuan tentang detail-

detail elemen–elemen yang spesifik. Pengetahuan tentang terminologi

merupakan upaya untuk menjelaskan pengertian dari suatuistilah

kemudian memperjelasnya sehingga tidak melenceng dari pengertian yang

seharusnya. Selanjutnya, pengetahuan tentang detail-detail elemen-elemen

yang spesifik berfungsi untuk dapat menjelaskan tokoh yang berpengaruh,

waktu dan lokasi kejadian, serta proses kejadian suartu peristiwa. Pada

20
praktiknya, berpikir faktual tidak sekedar mengingat fakta-fakta yang ada,

tetapi turut juga diintegrasikannya dengan ide dan pengetahuan dari siswa

itu sendiri, guna melakukan generalisasi, eksplanasi maupun analisis suatu

fakta. Pada pembelajaran sejarah,berpikir faktual bisa diterapkan dengan

melalui serangkaian pertanyaan yang dilakukan secara menyeluruh

(5w+1H). Pertanyaan tidak terhenti pada apa, siapa, dimana, dan kapan,

melainkan pertanyaan “mengapa, dan bagaimana” turut disertakan agar

cakupan aspek eksplanasi terpenuhi. Rangkaian 5w+1H (what, who,

where, when,why, how) tidak dapat dipisahkan, sehingga dalam praktiknya

sejarah mampu memberikan fokus pengetahuanfaktual sekaligus

menguatkan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural siswa.

Tabel 1.1 Tuntutan Kemampuas pada Setiap Level Kognitif

Level 1 : Siswa pada level ini memiliki kemampuan standar minimum

dalam menguasai pembelajaran (Knowing)


a. Memperlihatkan ingatan dan pemahaman dasar terhadap materi

pelajaran dan dapat membuat generalisasi yang sederhana

b. Memperlihatkan tingkatan dasar dalam pemecahan masalah dalam

pembelajaran, paning tidak dengan satu cara

c. Memperlihatkan pemahaman dasar terhadap grafik-grafik, label-

label, dan materi visual lainnya

d. Mengkomunikasikan fakta-fakta dasar dengan menggunakan

terminologi yang sederhana


Lavel 2 : Siswa pada level ini memiliki kemampua (Applying)
a. Memperlihatkan pengetahuan dan pemahaman yang luas terhadap

21
materi pelajaran dan dapat mengaplikasikan gagasan-gagasan dan

konsep-konsep dalam konteks tertentu

b. Menginterprestasi dan menganalisis informasi da data

c. Memecahkan masalah-masalah rutin dalam pelajaran

d. Mengomunikasikan dengan jelas dan terorganisir penggunaan

terminologi
Lavel 3 : Siswa pada level ini memiliki kemampuan penalaran dan logika

(Reasoning)
a. Memperlihatkan pengetahuan dalam pemahaman yang luas

terhadap materi pelajaran dan dapat menerapkan gagasan-gagasan

dan konsep-konsep dalam situasi yang familiar, maupun dengan

cara yang berbeda

b. Menganalisis, mensistensis, dan mengevaluasi gagasan-gagasan

dan informasi yang faktual

c. Menjelaskan hubungan konseptual dan informasi yang faktual

d. Menginterprestasi dan menjelaskan gagasan-gagasan nyata yang

kompleks dalam pembelajaran

e. Mengekspresikan gagasan-gagasan nyata dan akurat dengan

menggunakan terminologi yang benar

f. Mendemostrasikan pemikiran-pemikiran yang original

Pada level satu menunjukan tingkat kemampuan yang rendah yang

meliputi pengetahuan dan pemahaman (knowing), level 2 menunjukan

tingkat kemampuan yang lebih tinggi yang meliputi penerapan (applying),

22
sedangkan level 3 menunjukan tingkat kemampuan yang tinggi yang

meliputi penalaran (reasoning)

Dalam penelitian ini level 1 menjadi fokus penelitian karena

populasi di kelas tiga dalam tingkat pemahama.n.

3. Pengertian Pendidikan Ilmu Pengetahuaan Sosial

a. Pengertian IPS

Ilmu pengetahuaan sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai

cabang ilmu-ilmu sosisal dan humaniora, yaitu: sosiologi, sejarah,

geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Ilmu pengetahuaan sosial

dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu

pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial di

atas.

Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang

memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan

kebulatan wawasan berkenaan dengan wilayah-wilayah. Adapun sejarah

memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai

periode. Antropologi meliputi studi-studi komperatif yang berkenaan

dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur sosial, aktivitas teknologi, dan

benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan

ekonomi tergolong dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-

aktifitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan

Psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep

peran, kelompok, institusi, proses interaksi, dan kontrol sosial. Secara

23
intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-

studi sosial.

Pembelajaran IPS di SD mengajarkan konsep-konsep esensi ilmu

sosial untuk membentuk subjek didik menjadi warga negara yang baik.

Istilah IPS mulai digunakan secara resmi di Indonesia sejak tahun 1975

adalah istilah Indonesia untuk Social Studies di Amerika. Kita mengenal

beberapa istilah seperti ilmu sosial, studi sosial, dan ilmu pengetahuaan

sosial.

Pertama, ilmu sosial tekanannya kepada keilmuan yang berkenaan

dengan kehidupan masyarakat atau kehidupan sosial. Secara khusus

dipelajari dan dikembangkan di beberapa fakultas. Ilmu sosial adalah ilmu

yang berkenaan dengan manusia dalam konteks sosial dengan kata lain,

semua bidang ilmu yang mempelajari manusia sebagai anggota

masyarakat. Aspek manusia sebagai anggota masyarakat, antara lain: a)

Aspek antar-hubungan manusia dalam kelompok; b) Aspek kejiwaan; c)

Aspek kebutuhan materi; d) Aspek norma, peraturan, dan hukum; e) Aspek

pemerintah dan kenegaraan; f) Aspek kebudayaan; g) Aspek

kesejahteraan; h) Aspek komunikasi; i) Aspek kebijaksanaan dan

kesejahteraan sosial; j) Aspek hubungan manusia dengan alam

llingkungan.

Karena luasnya cakupan ilmu sosial pembinaan harus dilakukan

secara berkesinambungan mulai dari tingakat terendah sampai ke tingkat

yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengajaran tentang kehidupan manusi di

24
masyarakat harus di mulai dari tingkat sekolah dasar bahkan sebelum SD.

Kedua, social study, istilah social study dikenal di Amerika sekitar tahun

1913, nama ini digunakan oleh komisi pendidikan. Komisi ini bertugas

untuk merumuskan dan membina kurikulum sekolah untuk mata pelajaran

sejaran dan geografi dan komisi ini yang memberikan nama resmi kepada

kurikulum sekolah untuk kedua mata pelajaran tersebut. Pada 1921 di

Washington DC dibentuklah National Council for the Social Studies,

dengan tugas mengembangkan pendidikan social studies. Sebagai mediu

komunikasi, lembaga ini menerbitkan jurnal yang diberi nama Social

Education.

Tuntutan masyarakat pada waktu itu terhadap social studien

sebagai program pendidikan adalah untuk dapat memberikan bekal kepada

siswa agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat

Amerika yang pluralistis dan sangat kompleks. Setelah tahun 1955 terjadi

perkembangan baru dalam kurikulum social studien di Amerika Serikat,

karena persaingan teknologi dengan Rusia. Kurikulum sekolah menjadi

tuntutan utama dalam mengejar ketinggalan Amerika Serikat dengan

Rusia. Tetapi kemajuan pendidikan di sini dititikberatkan pada kurikulum

matematikan dan IPA. Kedua program ini perlu diperbaiki untuk mengejar

ketinggalan Amerika dan Rusia. Pada 1967 perhatian yang besar terhadap

kerikulum social studien mulai diberikan oleh masyarakat.

Jarolimek (1977) mengisyaratkan bahwa studi sosial lebih bersifat

praktis, yaitu menberikan kemampuan kepada anak didik dalam mengelola

25
dan memanfatkan kekuatan-kekuatan fisik dan sosial dalam menciptakan

kehidupan yang serasi juga mempersiapkan anak didik untuk mampu

memecahkan masalah sosial dan memiliki keyakinan akan kehidupan masa

mendatang.

Sanusi (1971) melihat perbedaan antara ilmu sosial dan studi

sosial berkenaan dengan tempat diajarkan dan dipelajarinya. Jika ilmu

sosial diajarkan di perguruan tinggi, sedangkat studi sosial diajarkan dan

dipelajari sejak dari pendidikan rendah SD sampai SMA. Artinya, kalau

ilmu sosial lebih menitikberatkan kepada teori dan konsep keilmuannya,

maka studi sosial lebih menitikberatkan pada masalah-masalah yang dapat

dibahas dengan meninjau berbagai sudut yang ada hubungannya satu sama

lain. Jadi pengertian studi sosial adalah bidang pengetahuaan dan

penelaahan gejala dan masalah sosial di masyarakat yang ditinjau dari

berbagai aspek kehidupan sosial, dalam usaha mencari jalan keluar dari

masalah-masalah tersebut.

Ketiga, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). IPS seperti halnya bidang

studi IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, IPS sebagai bidang studi

memiliki garapan yang dipelajari cukup luas. Bidang garapannya meliputi

garapan-garapan dan masalah kehidupan manusia di masyarakat. Tekanan

yang dipelajari IPS berkenaan dengan gejala dan masalah kehidupan

masyarakat yang nyata. Dari gejala dan masalah tadi ditelaah, dianalisis

faktor-faktornya sehingga dapat dirumuskan jalan pemecahannya. Jadi

pengertian IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah,

26
menganalisis gejala, dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau

dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan.

b. Dimensi Pembelajaran IPS

Pencapaian pembelajaran pendidikan IPS di persekolahan

diperlukan pemahaman dan pengembangan program pendidikan yang

komprehensif. Program pendidikan IPS yang komprehensif tersebut

menurut Sapriya (2009: 48-56) adalah program pendidikan yang

mencakup empat dimensi, yaitu dimensi pengetahuan, dimensi

keterampilan, dimensi nilai dan sikap, dan dimensi tindakan.

1) Dimensi Pengetahuan

Pengetahuan adalah kemahiran dan pemahaman terhadap

sejumlah informasi dan ide-ide. Dimensi yang menyangkut

pengetahuan sosial mencakup: a) fakta; b) konsep, dan c) generalisasi

yang dipahami siswa. Pertama, fakta adalah data yang spesifik tentang

peristiwa, objek, orang dan hal-hal yang terjadi (peristiwa). Dalam

pembelajaran IPS siswa diharapkan dapat mengenal berbagai jenis

fakta khususnya yang terkait dengan kehidupan. Pada dasarnya, fakta

untuk para siswa hendaknya disesuaikan dengan usia dan tingkat

kemampuan berpikirnya. Secara umum, fakta untuk siswa SD

hendaknya berupa peristiwa, objek, dan hal-hal yang bersifat konkrit.

Oleh karena itu, guru perlu mengupayakan agar fakta disesuaikan

dengan karakteristik siswa kelas masing-masing.

27
Kedua, konsep merupakan kata-kata atau frasa yang

mengelompokan, berkategori, dan memberikan arti kepada kelompok

faktayang berkaitan. Konsep merujuk pada suatu hal atau unsur

kolektif yang diberi label,

Konsep dasar yang relevan untuk pembelajaran IPS diambil

terutama dari disiplin ilmu sosial. Banyaknya konsep yang terkait

dengan lebih dari satu disiplin, isu-isu sosial, dan tema-tema yang

berasal dari banyak dimensi ilmu sosial. Konsep-konsep tersebut

tergantung pula pada jenjang dan kelas sekolah.

Konsep yang dibentu secara multidisiplin berasal dari konsep

disiplin tradisional dan menjadi pemerkaya bagi kajian IPS. Konsep

ini muncul karena adanya kepedulian dan persepsi sosial serta

munculnya permasalahan sosial yang semakin kompleks.

Ketiga, generalisasi merupakan suatu pernyataan dari dua atau

lebih konsep yang saling terkait. Generalisasi memiliki kompleksitas

isin disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.

Perkembangan konsep dan generalisasi adalah proses

mengorganisasi dan memaknai sejumlah fakta dan cara hidup

bermasyarakat. Merumuskan generalisasi dan mengembangkan

konsep merupakan tujuan pembelajaran IPS yang harus dicapai oleh

siswa dengan bimbingan guru. Hubungan antara generalisasi dan fakta

bersifat dinamis. Memperkenalkan informasi baru yang dapat

28
mendorong siswa untuk merumuskan generalisasi merupakan cara

yang baik untuk mengkondisikan terjadinya proses belajar bagi siswa.

2) Dimensi Keterampilan

Keterampilan adalah pengembangan kemampuan-kemampuan

tertentu sehingga digunakan pengetahuan yang diperolehnya.

Keterampilan ini dalam pendidikan IPS terwujud dalam bentuk

kecakapan mengolah dan menerapkan informasi yang penting untuk

mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang mampu

berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat demokratis.

Keterampilan tersebut dalam mencakup keterampilan meneliti,

keterampilan berpikir, keterampilan partisipasi, dan keterampilan

berkomuniasi.

Pertama, keterampilan meneliti. Keterampilan ini diperlukan

untuk mengumpulkan dan mengolah data. Kedua, keterampilan

berpikir. Sejumlah keterampilan berpikir banyak berkonstribusi

terhadap pemecahan masalah dan partisipasi dalam kehidupan

masyarakat secara efektif.

Ketiga, keterampilan partisipasi sosial. Dalam belajar IPS,

siswa perlu dipelajarkan bagaiman berinteraksi dan bekerja sama

dengan orang lain. Keahlian bekerja dalam kelompok sangat penting

karena dalam kehidupan bermasyarakat begitu banyak oarang

mengantungkan hidup melaui kelompok.

29
Keempat, keterampilan berkomunikasi. Pengembangan

keterampilan berkomunikasi merupakan aspek yang sangat penting

dari pendekatan pembelajaran IPS, khususnya dalam inquiry

sosial.Setiap siswa perlu diberi kesempatan untuk mengungkapkan

pemahaman dan perasaannya secara jelas, efektif, dan kreatif.

3) Dimensi Nilai dan Sikap

Nilai dan sikap merupakan seperangkat keyakinan atau prinsip

perilaku yang telah mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok

masyarakat tertentu yang terungkap ketika berpikir dan bertindak.

Nilai adalah kemahiran memegang sejumlah komitmen yang

mendalam, mendukung ketika sesuatu dianggap penting dengan

tindakan yang tepat. Adapun sikap adalah kemahiran mengembangkan

da menerima keyakinan, interest, pandangan, dan kecendrungan

tertentu. Agar ada kejelasan dalam mengkaji nilai di masyarakat,

maka nilai dibedakan atas nilai substantif dan nilai proseduran.

Pertama, nilai substantif adalah keyakinan yang telah dipegang

oleh seseorang dan umumnya hasil belajar, bukan sekedar

menanamkan informasi semata. Setiap orang memiliki keyakinan atau

pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya terhadap

suatu hal.

Kedua, nilai prosedural. Nilai-nilai prosedural yang perlu

dilatih atau dibelajarkan antara nilai kemerdekaan, toleransi,

kejujuran, menghormati kebenaran, dan mengahrgai orang lain. Nilai-

30
nilai kunci ini merupakan nilai yang menyokong masyarakat

demokratis, seperti toleransi terhadap pendapat yang berbeda,

menghargai bukti yang ada, kerja sama, dan menghormati pribadi

orang lain.

4) Dimensi Tindakan

Tindakan sosial ini merupakan dimensi IPS yang penting

karena tindakan sosial memungkinkan siswan menjadi peserta didik

yang aktif, dengan jalan berlatih secara konkret dan praktik, belajar

dari apa yang diketahui dan dipikirkan tentang isu-isu sosial untuk

dipecahkan sehinggal jelas apa yang dilakukan dan bagaiman caranya

dengan demikian siswa akan belajar menjadi warga negara yang

efektif di masyarakat.

c. Tujuan Pembelajaran IPS

Sehubungan dengan keempat dimensi pendidikan IPS di atas,

menurut Kenworthy dalam Depdiknas (2007: 14) terdapat tiga

karakteristik tujuan IPS, yaitu: pendidikan kemanusiaan, pendidikan

kewarganegaraan, dan pendidikan intelektual.

Sementara itu, Mutaqin (2004: 15) mengatakan bahwa tujuan

utama mengajarkan IPS pada peserta didik adalah menjadikan warga

negara baik, melatih kemampuan berpikir matang untuk menghadapi

permasalahan sosial dan agar mewarisi dan melanjutkan budaya

bangsanya.

31
Secara umum tujuan pendidikan IPS pada tingkat SD untuk

membekali peserta didik dalam bidang pengetahuan sosial. Adapun secara

khusus tujuan pendidikan IPS adalah sebagai berikut:

1) Pengetahuan sosisal yang berguna dalam kehidupannya.

2) Kemampuan mengidentifikasi, menganalisis, dan menyusun alternatif

masalah nasional yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

B. Penelitian Relevan

Peneliti telah melakukan penelusuran dan kajian dari berbagai sumber dan

referensi penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul dan topik

yang akan diteliti agar berguna untuk menghindari terjadinya pengulangan

penelitian dengan pokok penelitian yang sama.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Azmi Yontri 2019 tentang:

“Peningkatan proses pembelajaran tematik terpadu dengan menggunakan model

discovery learning.” Hasil penetilian menunjukan persamaan yaitu dimana dalam

penelitian yang dilakukan Azmi Yontri menggunakan model discovery learning

sedangkan perbedaannya dalam penelitian yang dilakukan Azmi Yontri

menggunakan metode pendekatan kualitatif.

Kedua, Fauzan Nurhamidin 2018: “Penggunaan kartu domino untuk

penguatan kemampuan faktual siswa pada mata pelajaran sejarah.” Hasil

penelitian menunjukan perbedaan yaitu dimana dalam penelitian yang dilakukan

Fauzan Nurhamidin lebih memfokuskan dalam penguatan kemampuan faktual

siswa sedangkan perbedaannya dalam penelitian yang dilakukan Fauzan

Nurhamidin menggunakan metode pendekatan kuantitatif.

32
Ketiga, Nabila Yuliana 2018: “Penggunaan model pembelajaran discoveri

learning dalam meningkatkan hasil belajar siswa sekolah dasar.” Hasil penetilian

menunjukan persamaan yaitu dimana dalam penelitian yang dilakukan Nabila

Yuliana menggunakan model discovery learning metode yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif.

C. Kerangka Pikir

Keberhasilan proses pembelajaran ips dapat diukur dari keberhasilan

peserta didik yang mengikuti pelajaran tersebut. Keberhasilan itu dapat dilihat dari

tingkat pemahaman penguasaan materi hasil belajar peserta didik. Semakin tinggi

pemahaman dan penguasaan materi serta prestasi maka semakin tinggi tingkat

keberhasilan pembelajaran. Namun pada kenyataannya keberhasilan

pembelajaran. Namun pada kenyataannya keberhasilan pembelajaran ips yang

dicapai peserta didik masih rendah. Kondisi inilah yang terjadi pada peserta didik

Sekolah Dasar Negeri 2 Fajar Esuk. Dari hasil tersebut diketahui bahwa pada

pengetahuan faktual dalam pembelajaran ips kelas 3 semester ganjil masih rendah,

rendahnya pengetahuan faktual dalam pembelajaran ips disebabkan peserta didik

kesulitan dalam memahami materi dan mudah lupa dengan materi yang di

sampaikan guru. Hal ini merupakan kesulitan belajar konsep pemahaman yang

dialami peserta didik, sehingga peserta didik tidak dapat mencerna materi yang di

sampaikan guru saat proses pmbelajaran. Dari keterangan di atas diketahui bahwa

peserta didik masih mengalami kesulita untuk menyelesaikan soal-soal ips. Hal itu

terlihat jawaban siswa dalam latihan atau ulangan harian. Pesertadidik kurang

33
mampu memahami permsalahan yang ada pada soal, serta menggunakan konsep

yang telah dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Salah satu yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan

mengembangkan beragam model pembelajaran. Dari semua model pembelajaran

itu tidak satupun dinyatakan sebagai yang terbaik, ,asing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan. Namun ada beberapa model yang melibatkan peran

peserta didik secara aktif dalam pross pembelajaran untuk meningkatkan masalah

yang terjadi di Sekolah Dasar 2 Fajar Esuk, di kelas 3 semester ganjil bahwa

pengetahuan faktual dalam pembelajaran ips masih rendah maka peneliti ingin

menerapkan model pembelajaran yang melibatkan peran peserta didik aktif dalam

proses pembelajaran, yaitu Discoveri Learning.

Discovery Learning didefinisikan sebagai model pembelajaran yang tidak

menyampaikan keseluruhan materi. Materi disampaikan secara terpisah hanya

sebagian saja yang disampaikan secara langsung, sedangkan yang lainnya di

temukan sendiri oleh siswa. Siswa didorong untuk aktif dalam menemukan bagian

pengetahuan yang belum disampaikan. Secara utuh siswa membangun suatu

konsep dan generalisasi dari pecahan temuan – temuan yang mereka dapatkan.

Tentunya proses tersebut tetap memerlukan bimbingan guru. Guru membimbing

siswa untuk menemukan dan membangun konsep serta generalisasi. Model

Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses

pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam

bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri (Kemendikbud,

2013:2). (Supriyadi, 2011:62) juga mendukung definisi tersebut melalui

34
pernyataan bahwa, proses mengajar-belajar dengan sistem instruksional discovery

menghendaki guru untuk menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk yang

final (utuh dari awal hingga akhir) atau dengan kata lain, guru hanya menyajikan

sebagian. Selebihnya diserahkan kepada siswa untuk mencari dan menemukannya

sendiri.

Pengetahuan faktual merupakan salah satu jenis dimensi pengetahuan yang

harus dimiliki oleh siswa untuk mempelajari satu disiplin ilmu atau untuk

menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan faktual

merupakan salah satu keterampilanyang harus dilatih secara berkelanjutan, oleh

karena ituperlu strategi dan langkah-langkah yang direncanakanuntuk mencapai

komptensi tersebut.

Dari uraian di atas, maka penelitian yang peneliti lakukan menggunakan

kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dalam pembelajarannya, untuk kelas

eksperimen dan kelas kontrol mempelajari materi pokok bahasan yang sama.

Adapun variabelnya adalah untuk meningkatkan kemampuan pecahan masalah

matematika. Untuk memperoleh data di berikan teknik tes. Tes teresbut di berikan

kepada kedua sempel dengan soal yang sama. Penelitia berangapan bahwa akan

terdapat perbedaan rata-rata hasil belajar matematika yang pembelajarannya

menggunakan model discovery learning.

D. Hipotesis Penelitian

35
Ho : Tidak Terdapa tpengaruh yang signifikan Pengaruh Model Pembelajaran

Discovery Learning Terhadap Pengetahuaan Faktual Dalam Pembelajaran

IPS Sekolah Dasar

Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan Pengaruh Model Pembelajaran

Discovery Learning Terhadap Pengetahuaan Faktual Dalam Pembelajaran

IPS Sekolah Dasar

BAB III

36
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

eksperimen yang menggunakan pretest posttest control disign. Terdapat dua

kelompok yang dipilih secara rendom kemudian diberi pretest untuk mengetahui

keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol hal ini sesuai teori Sugiyono (2016: 112-113).

adapun pola desain pada penelitian ini sebagai berikut:

R Q1 X Q2

R Q3 Q4

Keterangan:

R1 = Kelompok Eksperimen 1

R2 = Kelompok Eksperimen 2

Q1 & Q3 = Tes Awal (Pre-Test)

Q2 = Tes Akhir (Post-Test) Kelompok Eksperimen 1

Q4 = Tes Akhir (Post-Test) Kelompok Eksperimen 2

X1 = Treatment Kelompok Eksperimen 1

Kelompok pertama diberi perlakuan (X) sedangkan kelompok dua tidak.

Kemudian (X) disebut kelompok kontrol. Pada eksperimen diberi perlakuan

khusus yaitu dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning

sedangkan pada kelompok kontrol diberi pembelajaran secara konvensional.

B. Populasi dan Sampel

37
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik SDN 2 Fajar

Esuk dan SDN 3 Fajaresuk. Penelitian ini akan dilaksanakan pada tahun pelajaran

2021/2022.

Sehingga sample yang digunakan adalah kelas 3 SDN 2 Fajar Esuk

sebagai kelas eksperimen berjumlah 15 orang peserta didik dan kelas 3 SDN 3

sebagai kelas kontrol berjumlah 25 peserta didik. Jumlah keseluruhan semple

adalah 40 peserta didik. Berdasarkan uraian d atas makan peneliti memilih

sekolah tersebut dikarenakan kemampuan peserta didik bersifat heterogen dari

segi kemampuannya, kemudian adanya kesulitan yang dihadapi oleh guru

mengenai sekolah tersebut terkait pembelajaran IPS.

C. Definisi Operasional

Definisi oprasional adalah perumusan pengertian variabel yang akan

dipakai sebagai pegangan dalam pengumpulan data. Definisi oprasional dalam

penelitian ini adalah:

1. Model Pembelajaran Discovery Learning

Pembelajaran discovery learning adalah model mengajar yang

mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh

pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui

pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.

2. Pengetahuan Faktual

Pengetahuan faktual merupakan salah satu keterampilan yang harus

dilatih secara berkelanjutan, oleh karena itu perlu strategi dan langkah-

langkah yang direncanakan untuk mencapai komptensi tersebut.

38
Pembelajaran berbasis pengetahuan faktual mengedepankan kemampuan

siswa dalam mempelajari hal yang mendasar untuk memahami proses

kognitif yang lebih rumit. Proses ini akan bermanfaat untuk menghasilkan

input materi yang diajarkan lebih maksimal, dan output yang diharapkan

akan lebih berkualitas.

N Variabel Definisi Alat Ukur

O Oprasional
1 Model Pembelajaran

Discovery Learning
2 Pengetahuan Faktual

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk

memperoleh data yang ada di SDN 2 Fajar Esuk dan SDN 3 mengenai

nama-nama dan nilai untuk analisis data tahap awal dalam menentukan

semple.

2. Metode Tes

Pada penelitian ini metode ini digunakan untuk mengetahui

peningkatan peemecahan masalah peserta didik. Teknik ini dilakukan

39
terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan perlakuan dengan

tujuan untuk mendapatkan data akhir. Tes diberikan kepada ketua kelas

dengan menggunakan alat tes yang sama dan hasil pengolahannya akan

dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. Tes yang

digunakan dalam metode ini menggunakan soal berbentuk esai

dikarenakan peserta didik akan lebih mudah memahami dan berpikir

secara kritis. Untuk menyelesaikan soal tersebut.

E. Teknik Analisis Data

1. Uji Validitas

Uji validita adalah uji tentang kemampuan suatu kuesioner sehingga

benar-benar dapat mengukur apa yang ingin diukur. Untuk menguji validitas

item-item pertanyaan dengan membuat korelasi skor pada item tersebut (yang

diuji) dengan skor total. Kriteria uji validitas (rule of thumb) adalah 0,3. Jika

korelasi lebih dari 0,3 pertanyaan yang dibuat dikategorikan valid. Penguji

validitas daftar pertanyaan dilakukan dengan mengkoreksikan skor pada

masing-masing item dengan skor totalnya. Teknik korelasi seperti ini dikenal

dengan teknik korelasi product moment, hal ini sesuai teori (Arikunto dalam

Hanifah, 2010: 213).

r= n∑xy - (∑x)(∑y)

√{n∑x2 – (∑x)2 {n∑y2 – (∑y)2}

Dimana:

n = Banyaknya Pasangan data X dan Y

∑x = Total Jumlah dari Variabel

40
X∑y = Total Jumlah dari Variabel Y

∑X2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel X

∑y2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel Y

∑xy = Hasil Perkalian dari Total Jumlah Variabel X dan Variabel Y

Untuk mengetahui apakah nilai korelasinya signifikan atau tidak, maka

diperlukan tabel signifikan r product moment yang dapat dilihat dalam

tabel statistik.

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah soal tes tersebut

memiliki daya yang tinggi atau belum pada umumnya menggunakan rumus

yang disebut rumus alpha hal ini sesuai teori dari (Arikunto dalam Hanifah,

2010: 213).

Rumusannya adalah:
n
∑ s 2i
n-1 1- 2
r11 = st

keterangan:

r11 = koefisien reliabilitas tes

n = banyak butir item yang dikeluarkan dalam tes

1 = bilangan konstan

∑ s2i = jumlah varian skor dari tiap-tiap butir item

s2t = varian total

41
3. Analisis tingkat Kesukaran Soal

Tingkat kesukaran soal adalah peluang menjawab benar suatu soal

pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk

indeks, untuk menguji tingkat kesukaran menggunakan rumus sesuai teori

(Haris dalam Hanifah, 2012: 182).

Rumusnya adalah:
(jumlah skor peserta tes)
Mean =

(jumlah siswa)

(mean)
Tingkat Kesulitan =

(skor maksimum)

Klasifikasi indeks kesukaran soal adalah sebagai berikut:

P = 0.00 :Butir soal sangat sukar

0,00 < P ≤ 0,30 : Butir soal sukar

0,30 < P ≤ 0,70 : Butir soal sedang

0,70 < P ≤ 1,00 : Butir soal mudah

P = 1,00 : Sangat mudah

4. Daya Pembeda Soal

Daya pembeda soal adalah kemampuas suatu butir soal dapat

membedakan antara peserta didik yang telah menguasai materi yang diajukan

42
dan peserta didik yang belum menguasai materi yang diajukan rumus daya

pembeda soal yaitu sesuai dengan teori (Harus dalam Hanifah, 2012: 182)

Rumusnya adalah:

(Mean K A – Mean K B)
DP = (Skor maksimum soal)

Rumusnya adalah :

DP :Daya beda soal

KA :Kelompok Atas

KB :Kelompok Bawah

Daya pembeda diklarifikasikan sebagai berikut:

D = 0.00-0,20 : Daya beda jelek

D = 0.20-0,40 : Daya beda cukup

D = 0.40-0,70 : Daya beda baik

D = 0.70-1.00 : Daya beda baik sekali

5. Analisis Awal

43
Analisis data tak awal menggunakan nilai pre rest. Analisis ini

bertujuan untuk membuktikan dan mengetahui bahwa rata-rata nilai pre rest

antara kelas eksperimen yang keras kontrol sama.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas data di gunakan untuk mengetahui apakah data di

peroleh distribusi normal atau tidak. Uji nomalitas dilakukan dengan uji

Chi Kuadrat (Sudjama, 2005: 273) hipotesis yang di gunakan untuk uji

nomalitas adalah :

Ho = data distribusi normal

Ha = data tidak ber distribusi normal

Pengujian hipotesis :

k ( Oi−Ei ) ²
X2 = ∑ si=1
Ei

Keterangan :

X2 = normalitas sempel

Oi = frekuensi pengamatan

Ei = frekuensi yang diharapkan

K = banyaknya kelas interval

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas yang dilakukan untuk mengetahui bahwa sampel

yang akan diambil dalam pernyataan ini berawal dari kondisi yang sama

44
atau homogen. Uji ini dilakukan dengan menyediakan varians yang sama

atau tidak (Sudjana, 2005: 249).

Pasangan hipotesis yang diuji adalah:

Ho : σ 12 = σ 22 = (varians homogen)

Ha : σ 12 = σ 22 = (varians tidak homogen)

Keterangan:

σ 12 = varians nilai pre-test kelas eksperimen

σ 22 = varians nilai pre-test kelas kontrol

c. Uji Kesamaan Data Rata Rata

Uji ini pada tahap awal di gunakan untuk menguji apakah ada

kesamaan rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji ini

digunakan menggunakan uji t- test. jika rata-rata kedua kelompok tersebut

tidak berbeda berarti kelompok itu mempunyai kondisi yang sama sesuai

teori (Sudjana, 2005: 239).

Hipotesis yang akan diujikan adalah:

Ho : µ1 = µ2

Ha : µ1 ≠ µ2

Keterangan:

µ1 : rata-rata data kelompok kelas ekperimen

µ2 : rata-rata data kelompok kelas kontrol

Dengan hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:

Ho : Ada kesamaan antara rata-rata nilai awal siswa kelas eksperimen

dengan kelas kontrol

45
Ha : Tidak ada kesamaan antara rata-rata nilai awal siswa kelas

eksperimen dengan kelas kontrol

6. Analisi Akhir

a. Uji Normalitas Data

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah hasil belajar peserta

didi kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah dilakukan perilaku

berdistribusi normal atau tidak. Langkah-langkah uji normalitas seperti

pada pengujian data tahap awal.

b. Uji Homogenitas

Uji ini dilakukan untuk mengetahui di kedua kelompok mempunyai

varian yang sama atau tidak jadi kedua kelompok mempunyai varian yang

sama maka kelompok tersebut dikatakan homogen. Langkah-langkah

pengujian kesamaan dua varian homogenitas sama dengan langkah-

langkah uji kesamaan homogenitas pada analisi data tahap awal.

c. Uji Kesamaan Rata-Rata

Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan

kelas kontrol memiliki rata-rata yang sama ataukah berbeda (Sudjana,

2005: 239). Adakah hipotesis yang dirumuskanadalah sebagai berikut:

Ho = tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan model

pembelajaran discovery learning terhadap pengetahuan faktual dalam

pembelajaran ips siswa kelas 3 Sekolah Dasar Negeri 2 Fajar Esuk.

46
Ha = terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan model

pembelajaran discovery learning terhadap pengetahuan faktual dalam

pembelajaran ips kelas 3 Sekolah Dasar Negeri 2 Fajar Esuk.

Menggunakan hipotesis:

Ho : µ1 = µ2

Ha : µ1 ≠ µ2

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan uji-t sebagai berikut:

X ₁−X ₂
T= 1 1 dengan s = √ ¿ ¿ ¿

s

n ₁ n₂

Keterangan:

X1 : rata-rata kelompok eksperimen

X2 : rata-rata kelompok eksperimen kontrol

S₁² : varian kelompok eksperimen

47

Anda mungkin juga menyukai