Anda di halaman 1dari 13

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)

a. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphobiaceae

Marga : Sauropus

Jenis : Sauropus androgynus (L.) Merr

(Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008)

b. Deskripsi

Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan

tanaman perdu setinggi 2,5-5 m. Tanaman ini memiliki batang

berkayu, berbentuk bulat dengan berkas daun yang tampak

jelas. Batang tegak, saat masih muda berwarna hijau dan

setelah tua berwarna coklat kehijauan. Daun katuk berupa daun

majemuk, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan

pangkal tumpul.
commit to user

6
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

Bagian tepi daun berbentuk rata, dengan panjang daun 1,5-6 cm, dan

lebar daun 1-3,5 cm. Daun katuk mempunyai pertulangan menyirip,

bertangkai pendek, berwarna hijau keputihan pada bagian atas, dan hijau

terang pada bagian bawah. Katuk memiliki bunga majemuk, berbentuk seperti

payung, tumbuh pada ketiak daun. Kelopak berbentuk bulat telur dan

berwarna merah-ungu. Kepala putik bunga katuk berjumlah tiga dan

berbentuk seperti ginjal. Benang sari berjumlah tiga dan panjang tangkai

bunga 5-10 mm. Bakal buah menumpang dan berwarna ungu. Buah buni,

berbentuk bulat, beruang tiga, dengan diameter ±1,5 mm, dan berwarna hijau

keputih-putihan-keunguan. Setiap buah berisi tiga biji. Biji katuk berbentuk

bulat, keras, dan berwarna putih. Akarnya berupa akar tunggang dan

berwarna putih kotor (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008).

c. Habitat

Tanaman katuk tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1200 mdpl.

Katuk menyukai tempat terbuka atau hanya sedikit terlindung dengan struktur

tanah yang ringan. Tanaman ini banyak ditanam di kebun, ladang, atau

pekarangan (Muhlisah, 2007).

d. Kandungan kimia

Menurut penelitian Selvi dan Basker (2008), katuk (Sauropus

androgynus (L.) Merr.) mengandung senyawa protein, resin, steroid,

glikosida, gula, karbohidrat, saponin, sterol, terpenoid, komponen asam,

cardiac glycoside, cathecol, fenol, alkaloid, dan flavonoid. Dari berbagai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

senyawa tersebut, saponin, tannin, dan flavonoid berperan sebagai larvasida

(Heldt, 2011).

Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang terbentuk dari

squalene dan tersusun atas oligosakarida (glukosa, galaktosa, xylosa, dan

heksosa lainnya). Saponin memiliki rantai polisakarida hidrofilik dan steroid

hidrofobik yang bersifat seperti sabun. Itulah sebabnya senyawa tersebut

diberi nama saponin (Heldt, 2011). Saponin dihasilkan terutama pada

tanaman dikotil dan berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan tanaman

sehingga digunakan oleh petani sebagai antioksidan alami. Dalam

menanggulangi vektor, saponin mengandung aktivitas repellent diketahui

dengan adanya peningkatan konsentrasi akan menurunkan aktivitas makan

larva. Saponin mengandung steroid yang mampu menginhibisi enzim

protease usus dan menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa dinding

traktus digestivus larva dengan kemampuannya merusak ikatan lipid pada sel

mukosa usus larva sehingga dinding traktus digestivus mengalami perforasi,

menjadi korosif dan akhirnya rusak (Tiwari, 2011; Widawati, 2013). Saponin

mempengaruhi lapisan luar tubuh (kutikula) larva dengan mencuci lapisan

lilin yang melindungi tubuh larva sehingga cairan tubuh terlepas hingga

terjadi kematian (Novizan, 2002). Selain itu, saponin dapat mengikat oksigen,

menyebabkan kadar oksigen dalam air turun, sehingga dianggap sebagai

racun kuat (Nahrowi, 2008).

Flavonoid adalah senyawa phenylpropanoids yang mendapat tambahan

cincin aromatis kedua pada atom C ke-9, dan terbentuk dari bahan dasar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

chalcone. Flavonoids memiliki berbagai bentuk seperti flavon, flavonol,

antosianidin, dan isoflavon (Heldt, 2011). Senyawa flavonoid mendenaturasi

protein dan merusak membran sel dengan melarutkan lemak pada membran

selnya. Hal tersebut mengakibatkan gangguan transport nutrisi ke dalam

tubuh larva. Flavonoid menghambat pertumbuhan larva lewat penghambatan

hormon otak, hormon edikson, dan hormon pertumbuhan (Salunke, 2005;

Widawati, 2013).

Tanin merupakan senyawa polifenol dan dibagi menjadi condensed

tannins dan hydrolysable tannins. Tanin berperan sebagai pertahanan

tanaman terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga dalam

mencerna makanan. Hal tersebut terjadi karena senyawa fenolik dari tanin

akan membentuk ikatan hydrogen kuat terhadap protein sehingga protein

tidak mampu dicerna oleh enzim pencernaan. Tanin juga mampu

mengganggu proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria sel usus sehingga

menurunkan metabolisme usus larva (Tiwari, 2011). Tanin memiliki rasa

yang pahit, sehingga ikatan tanin pada protein dalam membran mukosa

menyebabkan larva takut untuk makan, kelaparan, dan akhirnya mati (Yunita

et al, 2009; Heldt, 2011).

Saponin, flavonoid, dan tanin bersifat cenderung polar sehingga akan

tertarik oleh penambahan etanol pada proses ekstraksi (Susanti, 2014).

Senyawa saponin, flavonoid, dan tannin pada daun katuk (Sauropus

andorgynus (L.) Merr.) tidak mirip secara keseluruhan dengan senyawa

dalam daun cengkeh (Syzygium aromaticum L.) yang diteliti oleh Haditomo
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

(2010). Namun, daun katuk (Sauropus andorgynus (L.) Merr.) terbukti

memiliki senyawa dengan khasiat yang sama karena pada tes pengocokan

filtrat didapatkan positif mengandung saponin, dengan tes Shinoda positif

mengandung flavonoid, dan positif mengandung senyawa tannin dengan

adanya presipitat biru dan hijau pada filtrat yang ditetesi larutan FeCl 2 (Selvi,

2012).

e. Metode ekstraksi etanol

Ekstraksi adalah proses pemisahan zat aktif dari jaringan tanaman

menggunakan pelarut spesifik melalui serangkaian prosedur standar. Pada

penelitian ini digunakan teknik maserasi yaitu teknik ekstraksi dengan cara

merendam simplisia ke dalam pelarut dan mengaduk beberapa kali pada suhu

kamar. Maserasi bertujuan untuk menarik zat yang bersifat termostabil

maupun termolabil. Teknik maserasi dipilih karena proses dan peralatan yang

digunakan sederhana (Departemen Kesehatan RI, 2000).

Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat

lain sesuai senyawa yang ditargetkan. Pada penelitian ini digunakan etanol

70% karena memiliki beberapa kelebihan. Etanol memiliki enzim polifenol-

oksidase yang mampu melepaskan polifenol dan senyawa nonpolar dalam

dinding sel, membunuh mikroorganisme lebih kuat sehingga penggunaan

etanol lebih efisien daripada air. Dalam segi keamanan hewan coba, etanol

lebih rendah toksisitasnya dibandingkan metanol. Etanol mampu menarik

senyawa metabolit yang lebih banyak daripada air dan polaritasnya lebih

tinggi daripada etanol murni (Tiwari, et al, 2011). Senyawa golongan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

saponin, flavonoid, dan tanin akan tertarik bila dimaserasi dengan etanol

70%.

2. Anopheles aconitus L.

a. Klasifikasi oleh Harbach (2004)

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Sub ordo : Nematocera

Famili : Culicidae

Sub famili : Anophelinae

Genus : Anopheles

Species : Anopheles aconitus L.

b. Morfologi dan Siklus Hidup

Anopheles aconitus L. memiliki siklus hidup seperti nyamuk pada

umumnya, yaitu mengalami empat tahap metamorphosis sempurna dari

telur, larva, pupa hingga nyamuk dewasa. Stadium telur hingga pupa hidup

di dalam air sedangkan stadium nyamuk dewasa hidup beterbangan

(Gandahusada, 2004). Anopheles aconitus L. membutuhkan waktu selama

10-14 hari sejak stadium telur hingga menjadi nyamuk dewasa pada iklim

tropis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

Telur Anopheles aconitus L. berukuran 0,44 mm x 0,18 mm. Telur

memiliki pelampung lateral dengan panjang empat perlima dari panjang

telur dan jumbai-jumbai pada pelampung sehingga terlihat sangat khas.

Terminasi pelampung berukuran panjang 0,34-0,50 mm, transparan

(Boewono dan Nalim, 1991). Punggung pelampung berjumlah sekitar 18-

22 dan antara anterior-posterior sangat lebar. Pelampung ini membuat

posisi telur terpisah satu sama lain di permukaan air (Centers for Disease

Control and Prevention, 2012). Menetasnya telur Anopheles sangat

bergantung pada suhu lingkungan. Pada kondisi suhu 30°C telur menetas

menjadi larva dalam dua hingga tiga hari. Namun, pada kondisi lebih

dingin sekitar 16°C, telur menetas dalam waktu 7-14 hari (Williams,

2012).

Larva berkembang melalui 4 stadium, atau instar, dan kemudian

bermetamorfosis menjadi pupa. Pada akhir setiap instar, larva akan

berganti kulit, melepaskan eksoskeleton atau kulitnya yang tersusun atas

kutikula untuk masuk ke stadium instar selanjutnya. Instar I dan II

ukurannya kecil dan bulu-bulunya sulit diidentifikasi. Untuk

mengidentifikasi larva biasanya dilakukan pada instar III-IV karena lebih

mudah dilihat dari ukuran kepala larva yang pendek dan besar, dan

keadaan bulu-bulunya sudah tampak jelas di kepala (Williams, 2012).

Adapun ciri-ciri masing-masing instar adalah sebagai berikut:

1) Larva instar I : berukuran 1 – 2 mm, duri – duri pada dada belum jelas

dan corong pernapasan pada siphon belum jelas.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

2) Larva instar II : berukuran 2,5 – 3,5 mm, duri – duri belum jelas,

siphon mulai menghitam.

3) Larva instar III : berukuran 4 – 5 mm, duri – duri dada mulai jelas dan

corong pernapasan berwarna coklat kehitaman.

4) Larva instar IV : berukuran 5 – 6 mm dengan warna kepala gelap,

siphon pendek, sangat gelap dan kontras dengan warna tubuhnya.

Gerakan larva instar IV lebih lincah dan sensitif terhadap rangsangan

cahaya.

Larva Anopheles aconitus L. memiliki kepala yang berkembang baik

dengan sikat mulut yang digunakan untuk makan, thorax lebar, dan

abdomen berbentuk segmen (Roberts, 2009). Larva Anopheles memiliki

siphon yang pendek yang menjadikannya alasan mengapa posisi tubuh

mereka paralel dengan permukaan air. Larva bernapas menggunakan

spirakel yang terletak di abdomen segmen kedelapan (di dorsal dari tergal

plate) sehingga saat bernapas larva mengapung di permukaan air. Larva

Anopheles aconitus L. memakan alga, bakteri, dan mikroorganisme lain

yang ada di permukaan air. Larva menyelam ke dasar hanya saat terganggu

oleh pergerakan kasar pada tubuhnya atau lewat dorongan pada sikat

mulutnya. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva antara 8-14

hari tergantung suhu dan keadaan makanan. Larva selanjutnya akan

berkembang menjadi pupa yang merupakan stadium istirahat atau tidak

makan (Roberts, 2009). Gambar 2.1 menunjukkan secara singkat

morfologi larva Anopheles aconitus L.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1. Struktur tubuh larva Anopheles aconitus L.


(Sumber: Harrison, 1980)

Pupa berwarna cerah sampai coklat, berbentuk seperti koma apabila

dilihat dari samping. Kepala


commit dan thorax pupa bergabung menjadi
to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

cephalothorax dengan abdomen melengkung di bagian bawahnya. Sama

seperti larva, pupa harus sering berada di permukaan untuk bernapas

melalui sepasang terompet pernapasan pada cephalothorax. Setelah

beberapa hari, permukaan dorsal dari cephalothorax robek dan muncul

nyamuk dewasa (Center for Disease Control and Prevention, 2012).

Nyamuk dewasa memiliki tiga bagian tubuh: kepala, thorax, dan

abdomen. Kepala nyamuk Anopheles aconitus L. dilengkapi proboscis

yang memanjang dan terjulur ke depan yang berfungsi menusuk kulit

untuk menghisap darah, serta dua buah palpi (Center for Disease Control

and Prevention, 2012). Pada thorax, lobus prenatal anterior dan pleural

tidak bersisik, torso dan rusuk juga tidak bersisik. Pada abdomen, sterna

gelap tanpa sisik (Boewono dan Nalim, 1991). Nyamuk Anopheles

aconitus L. jantan hidup sekitar satu minggu dengan menghisap nektar

atau gula dari sumber yang lain. Anopheles aconitus L. betina juga

membutuhkan nektar untuk energi selain darah. Setelah kenyang akan

darah, betina akan beristirahat selama beberapa hari sementara darah akan

dicerna dan telur mengalami perkembangan. Proses ini tergantung pada

suhu, umumnya membutuhkan 2-3 hari pada iklim tropis (Williams, 2012).

Nyamuk Anopheles aconitus L. aktif menghisap darah pada malam hari

atau sejak senja hingga dini hari, hampir 80% dijumpai di luar rumah

penduduk antara jam 18.00 – 22.00, merupakan waktu penularan parasit

yang dibawa oleh nyamuk Anopheles. Anopheles aconitus L. lebih zoofilik

daripada antropofilik, eksofagik (menggigit di luar rumah) dengan tempat


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

istirahat tetap di luar rumah. Nyamuk menghasilkan 50-200 telur sekali

bertelur. Telur nyamuk diletakkan satu per satu tanpa melekat satu sama

lain pada permukaan air sehingga mengapung (Center for Disease Control

and Prevention, 2012).

c. Habitat

Tempat berkembang biak nyamuk adalah air yang bersih dan

jernih (tidak berpolusi tetapi sedikit keruh), tenang atau aliran airnya

lambat, dan cukup terpapar sinar matahari (heliofilik). Tempat tersebut

dapat berupa danau, sungai yang mengalir lambat, genangan atau

kubangan, sawah pertanian, kolam ikan, kanal irigasi, dan

penampungan air. Dataran pesisir dan area persawahan adalah tempat

favorit nyamuk ini terutama bila tanaman sudah mencapai ketinggian

1,5 meter. Pada pagi hari banyak ditemukan di tebing parit, di dalam

rumah/kandang dan sebagian ditemukan di atas tanah, rawa (Sinka et

al, 2011).

3. Daun katuk dan larva Anopheles aconitus L

Struktur tubuh larva yang dapat terpengaruh oleh senyawa kimia daun

katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) adalah kutikula kulit luar dan

sistem pencernaan larva Anopheles aconitus L. Kulit luar larva Anopheles

aconitus L. yang tersusun atas kutikula dapat dirusak dengan cara

mengusutkan membrannya (Deore dan Khadabadi, 2009). Sistem

pencernaan larva dapat terpengaruh dengan adanya ikatan makanan dan

senyawa menjadi senyawa kompleks sehingga makanan tidak dapat


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

diserap, kerusakan mukosa usus larva oleh senyawa aktif, dan penurunan

metabolisme usus larva (Yunita, et al, 2009).

B. Kerangka Pemikiran

Untuk menggambarkan hubungan berbagai variabel penelitian, maka

dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut:


Ekstrak etanol daun katuk

Saponin Flavonoid
Tanin
Denaturasi protein
GIT serangga
Korosi GIT Mengikat
serangga oksigen Mengikat protein
dalam makanan
Gangguan
transport
Kerusakan
nutrisi
kutikula
Serangga serangga Menghambat
kekurangan hormon larva
oksigen
Menurunkan
intake
makanan

Serangga
kekurangan
Variabel luar
terkendali : nutrisi
Variabel luar tak
Umur larva terkendali :
Kepadatan larva
Makanan larva Kesehatan larva
Habitat
Volume air Larva Anopheles aconitus L.
Waktu pemaparan
Suhu dan kelembaban mati

Keterangan:
: Mempengaruhi secara langsung
: Mempengaruhi secara tidak langsung
Gambarcommit to user
2.2. Skema Kerangka Pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

Ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)

memiliki efek larvasida terhadap larva Anopheles aconitus L. instar III.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai