Anda di halaman 1dari 8

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

FILARIASIS

KELOMPOK 6 :

NO. NAMA NIM

1. RASMI NOVITA SARI PARDEDE 190203024


2. EKA PUTRI MARBUN 190203138
3. NOEL VICTODO R. SARAGIH 190203020

Dosen Pengampu : Vierto Irennius Girsang, SKM, M.Epid

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

31 MEI 2021
1. DEFINISI FILARIASIS
Filariasis atau yang biasa disebut penyakit kaki gajah atau bisa juga disebut
Elefentiasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang
ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab
Filariasis, yaitu : Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; dan Brugia timori. Semua
spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di
Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan
saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang
dapat menimbulkan gejala akut dan kronis. (Wahyono, 2010).
Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening
(adenomalimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di
daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali, dapat berlanjut
menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut. Dapat terjadi limfedema
dan hidrokel yang berlanjut menjadi stadium kronis yang berupa elefantiasis yang
menetap dan sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki (seperti kaki gajah)
lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita. Gejala kronis terjadi
akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan terjadinya
peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis), dan hidrokel.
Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis yang
dilaporkan sampai tahun 2009 sudah sebanyak 11.914 kasus. Filariasis umumnya
tidak menyebabkan kematian namun efek dari penyakit ini, yaitu berupa kecacatan
dan berkurangnya produktivitas. (Wahyono, 2010).
Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia,
diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang
terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan
nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama. (Wahyono, 2010).
Penyakit ini jarang terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul
bertahun-tahun kemudian setelah infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena
sumbatan microfilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi pada usia di atas 30
tahun setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, filariasis sering
juga disebut penyakit kaki gajah. Akibat paling fatal bagi penderita adalah kecacatan
permanen yang sangat mengganggu produktivitas. (Widoyono, 2008).
2. ETIOLOGI FILARIASIS

A. Faktor Biologis
Filariasis disebabkan agent biologis (yang bersifat parasit pada manusia), agent
tersebut termasuk kelompok metazoa (Athropoda dan Helmints). Agent filariasis
adalah 3 spesies cacing filarial, yaitu :
1. Wuchereria Bancrofti
Cacing nematode Wuchereria Bancrofti biasanya tinggal di sistem limfatik
(saluran dan kelenjar limfa) dari penderita. Cacing betina menghasilkan mikrofilaria
yang dapat mencapai aliran darah dalam 6–12 bulan setelah infeksi.
a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban). Ditemukan di daerah perkotaan
seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya, mempunyai
periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus yang
berkembang biak di air limbah rumah tangga.
b. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural). Ditemukan di daerah pedesaan luar
Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai
periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk
Anopheles dan Culex. (Wahyono, 2010).

2. Brugia Malayi
Brugia Malayi ditularkan oleh spesies yang bervariasi dari Mansonia,
Anopheles dan Aedes.
a. Brugia malayi tipe periodik nokturna. Mikrofilaria ditemukan di darah tepi
pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang
ditemukan di daerah persawahan.
b. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Mikrofilaria ditemukan di darah tepi
pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari.
Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah
rawa.
c. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik
malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae
dan Mansoniauniformis yang ditemukan di hutan rimba. (Wahyono, 2010).

3. Brugia Timori
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk
penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan
Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies
cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh
manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup
disaluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di
dalam sistem peredaran darah. (Arsin, 2016).

B. Faktor Environment
Faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat mempengaruhi
keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.
1. Lingkungan Fisik
A. Iklim
Daerah endemis filariasis tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di seluruh
dunia termasuk Asia, Afrika, China, Pasifik dan Amerika.
B. Suhu dan Kelembaban
Suhu yang menunjang perkembangan vektor filariasis adalah 23°C – 32,1°C dan
kelembaban 68% - 90%.
C. Geografis
Di Indonesia penyakit filariasis di temukan di daerah khatulistiwa terutama di
daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya
didapat di pedesaan daerah luar Jawa-Bali.
D. Air
Vektor filariasis suka menggunakan tempat-tempat genangan air sebagai tempat
perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur menjadi dewasa.
2. Lingkungan Biologi
A. Reservoir
Sumber infeksi filariasis bukan hanya manusia, melainkan kucing dan kera,
meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi
B. Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung
pada jenis cacing filarianya. Vektor tersebut adalah:
- W.bancrofti perkotaan dengan vektornya Culex quinguefasciatus
- W.bancrofti pedesaan dengan vektor Anopheles, Aedes dan Armigeres.
- Malayi dengan vektor Mansonia spp, Anopheles barbirostri
- B.timori dengan vektor Anopheles barbirostris.

3. DISTRIBUSI PENYAKIT
Penyakit Filariasis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
serius di Indonesia. Berdasarkan hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1.553
desa yang tersebar di 231 kabupaten dan 26 provinsi, dengan jumlah kronis 6.233
orang. Diperkirakan sampai tahun 2009, penduduk yang beresiko tertular filariasis
lebih dari 125 juta orang yang tersebar di 337 kabupaten/kota endemis filariasis. Di
kabupaten/kota endemis tersebut, telah ditemukan 11.914 kasus kronis yang di
laporkan dan diestimasikan prevalensi microfilaria 19% kurang lebih penyakit ini
akan mengenai 40 juta penduduk. Pada tahun 2012, ditemukan kasus baru Filariasis
di Provinsi NTT sebesar 414 kasus, dimana kasus yang tertinggi ditemukan di
Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu sebesar 313 kasus. (Arsin, 2016).

A. Waktu
Kasus Filariasis akan meningkat saat terjadi perubahan iklim dan cuaca. Hal
ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan perkembangbiakan
nyamuk semakin cepat karena semakin banyaknya media, lokasi, dan kondisi yang
mendukung perkembangan bibit penyakit dan media pembawanya.

B. Tempat
Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Terdapat
tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis, yaitu Nangroe Aceh
Darussalam, yaitu sebanyak 2.359 orang, Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.730 orang
dan Papua sebanyak 1.158 orang. Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali
sebanyak 18 orang, Maluku Utara sebanyak 27 orang dan Sulawesi Utara sebanyak 30
orang.

C. Orang
Indonesia menjadi Negara dengan penderita kaki gajah terbesar kedua setelah
India. Seseorang dapat tertular Filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3=L3).
Perilaku dan kebiasaan manusia dapat mempermudah penularan Filariasis. Aktivitas
pada malam hari dengan beragam kegiatan seperti meronda, tidak menggunakan
pakaian panjang atau obat nyamuk dapat memperbesar risiko tertular filariasis
(Febrianto, 2008).

4. PENCEGAHAN FILARIASIS
A. Pencegahan penyakit filariasis dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk infektif
dan memberantas risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis, misalnya yang
berasal dari lingkungan. (Permenkes RI No.347 tahun 2010). Tindakan yang dapat
dilakukan dalam pencegahan ini, berupa :
- Penggunaan Obat Nyamuk Oles dan Kawat kasa
Menggunakan obat nyamuk oles pada tubuh akan mengusir nyamuk agar tidak
mendekat ke tubuh kita. Hal ini dikarenakan adanya bahan aktif pengusir serangga
dalam obat nyamuk oles. Sedangkan, kawat kasa yang dipasang pada semua ventilasi
rumah dapat berfungsi sebagai screening untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam
rumah. Sehingga dengan upaya pemasangan kawat kasa dapat mengurangi kontak
antara nyamuk dengan penghuni yang ada dalam rumah.
- Tidak Keluar Rumah di Malam Hari
Aktivitas keluar rumah yang tinggi pada malam hari akan membuka peluang
yang lebih besar untuk kontak dengan nyamuk Anopheles sehingga berisiko
menderita Filariasis. Jika mengharuskan untuk keluar rumah sebaiknya membiasakan
diri memakai baju panjang dan celana panjang serta memakai obat nyamuk oles, hal
ini untuk meminimalkan risiko tergigit nyamuk saat beraktivitaa di luar rumah pada
malam hari. (Reyke Uloli,2008:49).
- Menjaga Kondisi Sanitasi Lingkungan
Membersihkan tempat-tempat yang dapat dijadikan sarang nyamuk,
membersihkan selokan, tidak membiarkan sampah menumpuk, dan minimal
seminggu sekali sebaiknya melakukan kegiatan membersihkan lingkungan dengan
gotong royong dapat membantu menghambat perkembangbiakan vektor karena tidak
adanya tempat perkembangbiakan vektor dan berkurangnya tempat perindukan
nyamuk. (Juli Soemirat Slamet,2002:101).
B. Penyuluhan Kepada Masyarakat
Pengetahuan mengenai penyakit filariasis sangat penting sebagai penunjang
berhasilnya upaya pemberantasan penyakit filariasis yang dilakukan. Upaya
pencegahan yang dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui
kegiatan penyuluhan yang aplikatif dan sederhana dilakukan seperti menghindari
kontak dengan vektor penyakit filariasis yaitu nyamuk, diantaranya menggunakan
kelambu, menutup ventilasi rumah dengan kawat kasa, dan menggunakan anti
nyamuk. (Yudi Syuhada,dkk,2012:99).
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyono, T. Y. M. (2010). Analisis epidemiologi deskriptif filariasis di


Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, 1, 9-14.
2. Arsin, A. A. (2016). Epidemiologi filariasis di Indonesia. Makassar: Masagena
Press Makassar.

Anda mungkin juga menyukai