Anda di halaman 1dari 15

Analisis Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Kota Tegal Dan Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi
(Analysis Of The Quality Of Pharmaceutical Services In Tegal City Primary Health
Care And Factors That Influence)
1Cholilah, 1Triwijayanti, 2*Satibi

1Fakultas Farmasi. Universitas Setia Budi, Surakarta 2Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
*
Korespondensi Penulis
Nama: Satibi Satibi Phone: +62-8122755352 Email: satibi@ugm.ac.id
INTISARI
Puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan ditingkat
pertama guna mencapai derajat kesehatan, namun pada pelaksanaannya masih terkendala
dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yang terstandar. Tujuan penelitian untuk
mengetahui mutu pengelolaan obat dan mutu pelayanan farmasi klinik di Puskesmas Kota
Tegal serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif non eksperimental. Penelitian dilakukan diseluruh puskesmas di Kota Tegal.
Pengambilan data secara prospective dan retrospective dengan penelusuran dokumen guna
mendapatkan data sekunder serta dilakukan pengamatan langsung, wawancara dengan
tenaga kefarmasian, kepala puskesmas dan kepala seksi farmasi Dinkes Kota Tegal untuk
mendapatkan data primer. Indikator yang digunakan yaitu indikator pengelolaan obat dan
indikator pelayanan farmasi klinik yang selanjutnya dilakukan analisis data secara
deskriptif dengan menghitung nilai dari indikator dengan rumus kemudian dibandingkan
dengan standar dan antarpuskesmas. Indikator yang sudah memenuhi standar terdapat
16 indikator dan 28 indikator belum memenuhi standar. Hasil indikator pengelolaan
sediaan farmasi antara lain kesesuaian item dengan pola penyakit 76,39%, ketepatan
perencanaan 321,10%, ketepatan jumlah permintaan 169,84%, penyimpanan psikotropik
72,92%, ITOR 1,87 kali/tahun, tingkat ketersediaan obat 37,94%. Hasil indikator
pelayanan farmasi klinik antara lain pelabelan 80,56%, penyerahan obat disertai
informasi 60%, polifarmasi 6,04%, PIO 0%, konseling 0%, visite 0%, MESO 0% dan PTO
0%. Hasil ini menunjukkan indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik di
puskesmas Kota Tegal belum efisien.
Kata Kunci : Puskesmas, Pengelolaan Obat Dan Farmasi Klinik, Kota Tegal
ABSTRACT
Primary Health Care is a health facility that organizes health efforts at the first level to
achieve a degree of health. but in its implementation is still constrained in realizing
standardized pharmaceutical services. The purpose of this research is to find out the
quality of drug management and the quality of clinical pharmacy services in Tegal City
Primary Health Care as well as the influencing factors. This research is non-experimental
descriptive research. The research was conducted in all Primary Health Care in Tegal City.
Prospective and retrospective data collection with document searches to obtain secondary
data and conducted direct observations, interviews with pharmaceutical personnel, head
of Primary Health Care, and head of a pharmacy section of Tegal City health office to
obtain primary data. Indicators used are indicators of drug management and indicators of
clinical pharmacy services which are then carried out descriptive data analysis by
calculating the value of the indicators then compared with standards and inter Primary
Health Care. Indicators that have met the standard there are 16 indicators and 28
indicators that do not meet the standards. The results of pharmaceutical preparation
management indicators include the suitability of items with disease patterns 76.39%,
planning accuracy 321.10%, the accuracy of the number of requests 169.84%,
psychotropic storage 72.92%, ITOR 1.87 times/year, the drug availability rate of 37.94%.
The results of clinical pharmacy service indicators include labeling 80.56%, drug delivery
with information 60%, polypharmaceuticals 6.04%, PIO 0%, counseling 0%, visite 0%,
MESO 0% and PTO 0%. These results show that the indicators of drug management and
clinical pharmacy services in Tegal city primary health care have not been efficient.
Keywords: Primary Health Care, management of drug preparations and pharmacy clinics,
Tegal City
PENDAHULUAN
Pelayanan Kefarmasian di puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di puskesmas harus
mendukung tiga fungsi pokok puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan
strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan
masyarakat (Kemenkes RI, 2016). Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga
kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting
karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian
telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai
komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian
tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup
pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan
rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Depkes RI, 2009).
Dinas Kesehatan Kota Tegal mempunyai 8 (delapan) Unit Pelaksanaan Teknis Dinas
(UPTD) puskesmas dengan 3 puskesmas keliling dan 22 puskesmas pembantu. Jumlah
apoteker sebanyak ± 4 (empat) orang dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebanyak ± 20 (dua
puluh) orang yang berasal dari tenaga PNS dan karyawan BLUD. Pembinaan puskesmas
yang dilakukan oleh Dinkes Kota Tegal belum optimal karena terkendala masalah efisiensi
anggaran (Dinkes Kota Tegal, 2016). Masih kurangnya jumlah tenaga kesehatan terutama
tenaga kefarmasian di puskesmas terutama apoteker, menjadikan beban kerja untuk
tenaga kesehatan di puskesmas semakin tinggi, selain itu kurang meratanya penempatan
tenaga kefarmasian menjadi penyebab menurunnya kualitas pelayanan yang dilakukan di
puskesmas. Kurangnya Apoteker yang bertugas di puskesmas membuat proses
pengelolaan obat yang terjadi tidak maksimal. Hal ini menyebabkan masih banyaknya
obat yang ED di puskesmas. Tenaga kesehatan di puskesmas perawatan jumlahnya belum
memadai, dan tenaga kefarmasian di puskesmas yang ada di kota lebih memadai daripada
yang ada di pinggiran kota.
Indikator mutu pengelolaan obat yang terdiri dari seleksi obat, perencanaan obat,
permintaan dan penerimaan obat, penyimpanan obat, pendistribusian obat, pengendalian
obat, pencatatan, pelaporan, pengarsipan serta pemantauan dan evaluasi obat. Indikator
mutu pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari pengkajian resep, Pelayanan Informasi
Obat, konseling, visite pasien (khusus rawat inap), Monitoring Efek Samping Obat,
Pemantauan Terapi Obat, Evaluasi penggunaan obat (Satibi dkk, 2019). Kegiatan
pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan hal yang baru dilakukan di puskesmas
karena masih belum terpenuhinya jumlah kebutuhan tenaga kefarmasian di puskesmas
baik TTK maupun apoteker. Penelitian tentang mutu pelayanan kefarmasian sebelumnya
telah dilakukan oleh Herman dkk tahun 2011 di Puskesmas Kota Bogor dan Bekasi, Widha
dkk tahun 2015 di Puskesmas Kota Magelang, Dianita dkk tahun 2017 di Puskesmas
Kabupaten Magelang, Daulay dkk tahun 2017 di Puskesmas Kabupaten Brebes, Robiyanto
dkk tahun 2019 di Puskesmas Kota Pontianak. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana mutu pelayanan kefarmasian
yang ada saat ini di puskesmas. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
mutu pengelolaan obat, mutu pelayanan farmasi klinik dan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas Kota Tegal.

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode
cross sectional. Sumber data primer yang digunakan berasal dari observasi langsung dan
wawancara yang berupa data kuantitatif dari puskesmas di Kota Tegal, sumber data
sekunder berasal dari LPLPO puskesmas tahun 2019, RKO puskesmas tahun 2018, 360
lembar resep tahun 2019, 100 resep bulan Agustus-September tahun 2020, sampel obat
yang digunakan sebanyak 95-160 item obat. Sampel penelitian yaitu 8 puskesmas yang
ada di Kota Tegal, 4 Apoteker dan ± 20 orang TTK, 8 Kepala Puskesmas dan Kepala Seksi
Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan Dinkes Kota Tegal.
Indikator Mutu Pelayanan Kefarmasian
Indikator mutu pelayanan kefarmasian yang digunakan adalah indikator mutu
pengelolaan obat dan indikator farmasi klinik. Indikator pengelolaan obat terdiri dari
kesesuaian item dengan formularium nasional, kesesuaian item dengan pola penyakit,
kecukupan dana, ketepatan perencanaan, kesesuaian item dan jumlah permintaan,
kesesuaian item penerimaan, penyimpanan sesuai bentuk sediaan, penyimpanan sesuai
suhu, penyimpanan narkotika sesuai peraturan, penyimpanan obat tidak dipergunakan
untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi, penilaian ketepatan
penyimpanan obat secara FEFO, penyimpanan obat High-Alert, penilaian ketepatan
penyimpanan obat LASA, ketepatan item dan jumlah distribusi, Inventory Turn Over Ratio
(ITOR), tingkat ketersediaan obat (satu bulan), item stok kosong, item stok kurang (1
sampai <12 bulan), stok aman (12- <18 bulan), item stok berlebihan (>18 bulan), obat
tidak diresepkan (>3 bulan), nilai obat Expiration Date (ED), nilai obat rusak, kesesuaian
jumlah fisik obat dan evaluasi pengelolaan obat secara periodik (Satibi dkk, 2019).
Indikator mutu pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari pengkajian resep, pelabelan,
penyerahan obat disertai informasi, waktu pelayanan, polifarmasi, dokumentasi PIO,
jumlah pasien konseling, dokumentasi visite, dokumentasi MESO, dokumentasi PTO, biaya
per kunjungan resep, item obat per resep, sediaan generik, antibiotik pada diare non-
spesifik, pemberian oralit dan zink untuk diare, antibiotik pada Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) non-pneumonia dan penggunaan injeksi (Satibi dkk, 2019).
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu: Tahap
pertama dilakukan analisis data dari lembar checklist observasi langsung secara deskriptif
dari implementasi pelayanan kefarmasian masing-masing puskesmas di Kota Tegal,
kemudian data diolah dan dihitung dengan rumus. Tahap kedua membuat transkrip
rekaman hasil wawancara dari tenaga kefarmasian, kepala puskesmas dan kepala seksi
kefarmasian dan perbekalan kesehatan Dinkes Kota Tegal ke dalam lembar wawancara.
Tahap ketiga semua data yang terkumpul dianalisis dan disajikan dalam bentuk analisis
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan indikator pengelolaan obat yang ada di
puskesmas Kota Tegal masih belum baik karena masih banyak indikator yang tidak sesuai
dengan standar. Indikator kesesuaian item dengan Fornas mempunyai nilai 76,95% dan
sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Pada indikator kecukupan dana mempunyai
nilai sangat rendah yaitu 0% dikarenakan dana yang disediakan puskesmas tidak
digunakan untuk memenuhi kebutuhan obat yang kurang dan kosong. Seluruh puskesmas
di Kota Tegal hanya menggunakan obat-obat yang berasal dari gudang farmasi dan untuk
memenuhi kebutuhan obat yang kurang dan kosong puskesmas melakukan permintaan
dan penukaran obat dengan puskesmas lain yang mempunyai persediaan lebih.
Berdasarkan tabel 1 indikator ketepatan perencanaan mempunyai nilai 321,10%,
kesesuaian jumlah permintaan 169,84%, tingkat ketersediaan obat 36,08 bulan, item stok
kosong 1,54%, item stok kurang 14,01%, stok aman 37,94%, item stok berlebihan 41,76%,
obat tidak diresepkan 4,59% dan nilai obat kedaluwarsa 3,85%, indikator-indikator
tersebut mempunyai nilai yang melebihi standar karena masih belum baiknya sistem
pengelolaan obat yang ada di puskesmas Kota Tegal.
Tabel 1. Nilai Indikator Pengelolaan Obat

Indikator Rerata ± SD Standar (%)


Kesesuaian Item dengan Fornas 76,95±2,34% 75
Kesesuaian Item dengan Pola Penyakit 76,39±3,93% 100
Kecukupan Dana 0±0% 85
Ketepatan Perencanaan 321,10±193% 100
Kesesuaian Item Permintaan  109,60 ± 19,46% 100-120
Kesesuaian Jumlah Permintaan  169,84 ± 66% 100-120
Kesesuaian Item dan Jumlah Penerimaan 100 ± 0% 100

Penyimpanan Sesuai Bentuk Sediaan 100 ± 0% 100


Penyimpanan Sesuai Suhu 100 ± 0% 100
Penyimpanan Narkotika Sesuai Peraturan 72,92 ± 8,25% 100
Penyimpanan Obat Tidak Dipergunakan 98,97 ± 1,43% 100
Untuk Penyimpanan Barang Lainnya Yang
Menyebabkan Kontaminasi
Penataan Memperhatikan FEFO 100 ± 0% 100
Penyimpanan Obat high-alert 68,15 ± 40,90% 100
Penyimpanan Obat LASA 87,5 ± 35,36% 100
Penyimpanan Obat Yang Dikeluarkan Dari
2,25 ± 1,45% 0
Kemasan Primernya
Ketepatan Jumlah Distribusi Ke Subunit
100 ± 0% 100
Pelayanan Kefarmasian
Inventory Turn Over Ratio (ITOR) 1,87 ± 0,5 kali/Tahun 12 kali/Tahun
Tingkat Ketersediaan Obat (Satuan Bulan) 36,08 ± 11,60 Bulan 12-18 Bulan
Item Stok Kosong (< 1 Bulan) 1,54 ± 2,29% 0%
Item Obat Kurang (1 sampai < 12 Bulan) 14,01 ± 15,84% 0%
Item Obat Aman (12-18 Bulan) 37,94 ± 17,03% 100%
Item Stok Berlebih (> 18 Bulan) 41,76 ± 11,99% 0%
Obat Tidak Diresepkan (> 3 Bulan) 4,59 ± 1,86% 0%
Nilai Obat Expiration Date (ED) 3,85 ± 2,73% 0%
Nilai Obat Rusak 0 ± 0% 0%
Kesesuaian Jumlah Fisik Obat 100 ± 0% 100
Evaluasi Pengelolaan Obat Secara Periodik 100 ± 0% 100
Masih kurangnya tenaga kefarmasian yang ada di puskesmas Kota Tegal menjadi salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi mengapa indikator pengelolaan obat di puskesmas
belum efisien. Indikator ketepatan perencanaan mempunyai nilai yang sangat tinggi
karena adanya ketidaktepatan pada proses seleksi dan pengadaan obat. Ketidaktepatan
proses ini berpotensi menyebabkan adanya overstock dan obat kedaluwarsa yang berarti
akan menimbulkan kerugian baik untuk puskesmas itu sendiri maupun untuk daerah.
Ketidaktepatan dalam proses perencanaan obat juga berakibat pada proses selanjutnya
dalam pengelolaan obat di puskesmas. Tingkat ketersediaan obat yang ada di puskesmas
Kota Tegal masih sangat berlebihan akan tetapi ada beberapa obat juga yang tingkat
ketersediaannya justru kurang dan kosong. Tingginya persentase stok obat berlebih
berkaitan dengan rendahnya nilai ITOR (Satibi dkk, 2018). Hal ini dikarenakan semakin
rendah nilai ITOR maka semakin lama juga perputaran obat yang ada di puskesmas dan
akan menyebabkan overload pada gudang penyimpanan obat di puskesmas.
Masih rendahnya nilai perputaran obat yang ada di puskesmas sepertinya belum disadari
dan dipahami oleh tenaga kefarmasian di puskesmas sebagai pembuat perencanaan
karena baik puskesmas yang sudah mempunyai apoteker maupun yang belum mempunyai
apoteker memiliki hasil yang sama rendah. Jumlah obat kedaluwarsa di puskesmas Kota
Tegal masih cukup banyak untuk beberapa puskesmas dan obat-obat tersebut akan
disimpan terlebih dahulu selama beberapa waktu sebelum akhirnya dilakukan
pemusnahan. Selain SDM farmasi SDM penulis resep juga menjadi salah satu yang
mempengaruhi mengapa pengelolaan obat di puskesmas masih belum baik. Adanya
mutasi petugas penulis resep menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran
obat yang ada di puskesmas karena obat yang direncanakan biasanya merupakan obat-
obat yang sering digunakan di puskesmas. Faktor penyebab yang lain yaitu perubahan
pola penyakit karena proses perencanaan obat di puskesmas menggunakan metode
konsumsi sehingga perencanaan hanya berdasarkan jumlah pemakaian obat tahun
sebelumnya dan hal ini yang mengakibatkan adanya kelebihan dan kekurangan obat di
puskesmas. Ketidaksesuaian dikarenakan dua hal yaitu jumlah penyakit berkurang atau
dokter penulis resep pindah tugas sehingga obat jarang diresepkan (Pratiwi dkk, 2019).
Indikator kesesuaian item permintaan, kesesuaian item dan jumlah penerimaan,
penyimpanan sesuai bentuk sediaan, penyimpanan sesuai suhu, penataan memperhatikan
FEFO, ketepatan distribusi ke subunit, kesesuaian jumlah fisik obat dan evaluasi
pengelolaan obat secara periodik mempunyai nilai 100% yang artinya sudah sesuai
dengan standar. Indikator penyimpanan narkotika sesuai peraturan mempunyai nilai
72,92%, penyimpanan tanpa kontaminasi 98,97%, penyimpanan obat High-alert dan LASA
68,15% dan 87,5% serta penyimpanan obat keluar dari kemasan primer 2,25%. Indikator
penyimpanan obat sebagian besar mempunyai nilai kurang dari nilai standar. Indikator
penyimpanan narkotika sesuai peraturan yang terdiri dari narkotika, psikotropika, OOT
dan prekursor belum tercapai karena SDM kefarmasian belum memahami proses
pengelolaan prekursor dan OOT yang rusak dan kedaluwarsa, sehingga obat yang rusak
dan kedaluwarsa tidak dipisahkan dari obat-obat biasa, selain itu beberapa puskesmas
belum memiliki apoteker. Indikator penyimpanan obat tanpa kontaminasi belum sesuai
karena masih ditemukan adanya kontaminan di tempat penyimpanan obat berupa
makanan dan minuman. SDM farmasi masih belum memahami dan menyadari pentingnya
penyimpanan obat bebas dari kontaminan. Indikator penyimpanan obat High-Alert dan
LASA di puskesmas Kota Tegal belum memenuhi standar karena masih belum tepatnya
label yang diberikan untuk obat-obat High-Alert dan masih ada puskesmas yang belum
memberikan label untuk obat High-Alert dan LASA. Kurangnya informasi akan obat High-
Alert dan obat LASA membuat SDM kefarmasian yang ada di salah satu puskesmas tidak
menganggap pemberian label tidak penting. Pengetahuan dan pemahaman petugas
kesehatan tentang pengelolaan obat High alert belum standar atau belum baik (Hermanto
Dkk, 2015).
Tabel 2. Nilai Indikator Farmasi Klinik

Indikator Rerata ± SD Standar


Pengkajian Resep 95,83 ± 0% 100%
Pelabelan 80,56 ± 5,14% 100%
Penyerahan Obat Disertai Informasi 60 ± 0% 100%
Waktu pelayanan Resep Non Racikan 5,15 ± 0,45 menit < 30 menit
Waktu pelayanan Resep Racikan 9,48 ± 0,69 menit < 60 menit
Polifarmasi 6,04 ± 3,10% 0%
Biaya Obat Per Kunjungan Resep Rp. 4.803,15 ± 471,16 ⎯
Item Obat Per Resep 3,65 ± 0,19 Item 1,8-2,2 Item
Sediaan Generik 97,44 ± 1,68% 90%
Antibiotik Pada Diare Non-Spesifik 49,61 ± 25,15% ≦ 8%
Pemberian Oralit Untuk Diare 12,23 ± 17,92% ⎯
Pemberian Zink Untuk Diare 38,39 ± 22,24% ⎯
Antibiotik Pada ISPA Non-Pneumonia 66, 94 ± 20,68% ≦ 20%
Penggunaan Injeksi 0 ± 0% ≦ 1%
Di tabel 2 persentase untuk indikator pengkajian resep 95,83% dan pelabelan 80,56%
sudah cukup tinggi tetapi masih belum memenuhi standar karena resep dan etiket berasal
dari SIMPUS sehingga apabila akan ada perubahan dan penyempurnaan maka
memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit, sehingga proses penyempurnaan belum
bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Etiket dari SIMPUS mempunyai ukuran yang relatif
kecil sehingga belum bisa mewakili semua kriteria penilaian. nilai indikator penyerahan
obat disertai informasi 60% artinya belum memenuhi standar disebabkan oleh masih
kurangnya jumlah SDM kefarmasian dan banyaknya jumlah antrian di puskesmas
sehingga untuk informasi yang diberikan relatif singkat dan kurang karena mereka lebih
mengutamakan kecepatan dalam pelayanan. Waktu pelayanan resep di puskesmas Kota
Tegal baik resep racikan maupun non-racikan sudah sesuai standar yaitu 5,15 menit
untuk resep non-racikan dan 9,48 menit untuk resep racikan. Setiap puskesmas di Kota
Tegal mempunyai standar yang berbeda-beda untuk waktu pelayanan resep yaitu 5-15
menit untuk resep non-racikan dan 10-15 menit untuk resep racikan. Persentase Indikator
polifarmasi yaitu 6,04% dan belum memenuhi standar dikarenakan masih ditemukan
resep dengan jumlah obat yang lebih dari lima. Persentase Indikator polifarmasi 6,04%
dan belum memenuhi standar dikarenakan masih ditemukan resep dengan jumlah obat
yang lebih dari lima. Polifarmasi pada 400 pasien geriatri (64.72%) rawat jalan
dipoliklinik RS. M.Djamil (Zulkarnain dkk, 2019).
Indikator dokumentasi PIO, jumlah pasien konseling, dokumentasi visite, dokumentasi
MESO dan dokumentasi PTO masih belum dilakukan di puskesmas Kota Tegal karena
masih kurangnya jumlah SDM kefarmasian di puskesmas baik apoteker maupun TTK,
selain itu juga masih belum tersedianya ruangan untuk melakukan konseling. Pasien juga
masih belum mengenal apa itu konseling banyak pasien yang menolak untuk menerima
konseling. Sebagian besar pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan pada puskesmas
yang sudah memiliki Apoteker adalah visite di puskesmas perawatan, monitoring efek
samping obat, pemantauan terapi obat, dan evaluasi penggunaan obat (Susyanty dkk,
2020).
Indikator biaya per kunjungan resep di puskemas Kota Tegal sudah cukup bagus karena
masih berada di bawah kapitasi yang diterima puskesmas. Seluruh puskesmas di Kota
Tegal merupakan puskesmas BLUD sehingga perhitungan biaya pengobatan menggunakan
sistem kapitasi. Penggunaan obat generik di puskesmas Kota Tegal sudah sangat bagus
karena obat-obat yang ada di puskesmas sebagian besar adalah obat-obat generik. Hanya
di puskesmas saja yang persentase peresepan obat generik tinggi (Handayani dkk, 2010).
Indikator item obat per resep di puskesmas Kota Tegal masih belum memenuhi standar
karena hampir setiap resep yang ada mempunyai jumlah item obat per resep tiga atau
empat item sehingga belum memenuhi standar yang ditetapkan WHO yaitu 1,8-2,2 item
(WHO, 1993). Nilai rata-rata obat per lembar resep lebih tinggi daripada penelitian WHO
tahun 2014 tetapi lebih rendah jika dilihat dari pengertian polifarmasi (Destiani dkk,
2016). Penggunaan antibiotik untuk pada diare non-spesifik dan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) non-pneumonia di puskesmas Kota Tegal jumlahnya masih tinggi,
bahkan untuk puskesmas yang berada di pinggiran Kota Tegal jumlahnya sangat tinggi.
Hal ini dikarenakan pola pemikiran masyarakat yang salah terhadap penggunaan
antibiotik karena mereka berpikir bahwa setiap penyakit akan sembuh bila menggunakan
antibiotik. Persentase penggunaan antibiotik pada diare non spesifik di puskesmas
melampaui batas toleransi yang ditetapkan (Pulungan dkk, 2019). Ketidakrasionalan
penggunaan antibiotik sebesar 33,7% (Muharni dkk, 2014). Indikator pemberian oralit
dan zink untuk diare di puskesmas masih rendah apalagi untuk penggunaan oralit
jumlahnya sangat rendah dan masih ada beberapa puskesmas yang tidak menggunakan
oralit sebagai lini pertama pengobatan diare, hal ini tentunya tidak sesuai dengan standar
dari WHO yang menetapkan oralit sebagai pengobatan lini pertama pasien diare (WHO,
2005). Indikator penggunaan injeksi pada pasien myalgia di puskesmas yaitu 0% dan
sudah sesuai standar. Persentase tanpa penggunaan injeksi pada myalgia adalah 100%,
yang artinya penggunaan injeksi pada myalgia sebesar 0% (Satibi dkk, 2018).
Faktor-faktor Pendukung Manajemen (Management Support) di Puskesmas
Organisasi
Organisasi puskesmas sesuai PMK 75 tahun 2014 terdiri dari kepala puskesmas, kepala
sub bagian tata usaha, penanggung jawab UKM dan keperawatan kesehatan masyarakat,
penanggung jawab UKP, kefarmasian dan laboratorium dan penanggungjawab jaringan
pelayanan puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan. Organisasi memegang
peranan penting untuk keberhasilan puskesmas dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang
ada. Budaya berorganisasi di puskesmas harus selalu ditumbuhkan dan dipupuk dengan
baik sehingga menimbulkan kekompakan dan kebersamaan antar anggota puskesmas.
Pemimpin di puskesmas harus bisa menjadi teladan yang baik dan pusat pengendali untuk
seluruh karyawan di puskesmas. Kepala puskesmas harus mampu memberikan motivasi
kepada semua anggotanya untuk bisa mencapai tujuan secara bersama-sama.
Pada umumnya kepala puskesmas di Kota Tegal sudah mampu memberikan contoh
kepemimpinan yang baik, hal ini dibuktikan dengan adanya komunikasi dan budaya
berorganisasi yang baik di puskesmas. Contoh budaya berorganisasi di puskesmas yang
sudah dilakukan adalah dilakukannya Mini-Lokakarya setiap bulan di puskesmas, dengan
adanya Mini-Lokakarya diharapkan menjadi ruang komunikasi terbuka bagi anggota
puskesmas untuk menyampaikan saran, keluhan dan capaian serta informasi antar lintas
program, sehingga akan terbentuk kerjasama antar anggota yang lebih baik.
Pengembangan organisasi, kepemimpinan, dan pengembangan karir terbukti berpengaruh
signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai puskesmas (Djestawana I G dkk, 2012).
Administrasi dan Keuangan
Seluruh puskesmas di Kota Tegal merupakan puskesmas BLUD, sehingga puskesmas bisa
mengelola dana yang ada secara mandiri. Puskesmas menggunakan sistem BLUD mulai
tahun 2015 dengan menerapkan BLUD sebagian kemudian akhir 2019 dievaluasi menjadi
BLUD penuh. Puskesmas lebih menyukai sistem BLUD karena bisa mengelola sendiri
keuangan puskesmas sehingga penanganan untuk permasalahan yang ada bisa lebih cepat
dan tidak harus melalui tahapan yang cukup panjang. Dana yang diperoleh puskesmas
BLUD berasal dari dana kapitasi dan dana retribusi pasien non-BPJS yang besarnya sudah
ditetapkan oleh peraturan Walikota yaitu 15.000 rupiah. Beberapa puskesmas di Kota
Tegal menggunakan dana BLUD untuk memenuhi kebutuhan SDM yang masih kurang.
Dana BLUD puskesmas juga digunakan untuk mencukupi kebutuhan kekurangan obat dan
BMHP. Dana untuk pembelanjaan BMHP selalu digunakan setiap tahunnya dan rata-rata
terserap 100%. Hal ini dikarenakan jumlah BMHP yang didapat dari gudang farmasi
jumlahnya tidak banyak dan juga proses pengadaan BMHP relatif lebih mudah dan cepat
dibandingkan dengan pengadaan obat. Kebijakan BLUD puskesmas memberikan
keleluasaan bagi puskesmas untuk melaksanakan program-program yang tepat sasaran
sesuai kebutuhan puskesmas (Indrayathi dkk, 2014).
Sistem Informasi Manajemen (SIM)
Puskesmas di Kota Tegal secara keseluruhan sudah menggunakan SIMPUS sejak lima
tahun baik di puskesmas induk maupun puskesmas pembantu. Sudah diterapkannya
SIMPUS di puskesmas Kota Tegal sangat membantu dan mempercepat proses pelayanan.
Dengan adanya SIMPUS tenaga kefarmasian sangat terbantu dalam pembuatan laporan
bulanan karena tidak perlu dilakukan secara manual melainkan data yang dibutuhkan
sudah ada di SIMPUS. SIMPUS sangat mudah dan cepat dalam memproses data pelayanan
(Thenu dkk, 2016).
SIMPUS yang ada di puskesmas saat ini belum bisa merepresentasikan semua hal yang
diperlukan oleh apotek, tetapi SIMPUS dinilai sudah cukup baik. Diharapkan pemerintah
daerah bisa melakukan penyempurnaan SIMPUS yang yang ada saat ini sehingga bisa
lebih baik. SIMPUS harus mudah digunakan, tidak mudah terjadi gangguan dan haruslah
aman mengingat semua data puskesmas ada di SIMPUS. Kemudahan dalam penggunaan
SIMPUS menjadi hal yang paling penting karena tidak semua SDM yang ada mempunyai
kemampuan dan pemahaman yang sama terhadap SIMPUS serta usia dari pengguna juga
relatif bervariasi. Penggunaan SIMPUS berkaitan dengan koneksi internet yang ada di
puskesmas, kualitas jaringan internet harus baik sehingga akses antar unit di puskesmas
bisa lebih cepat dan tidak terjadi gangguan akibat koneksi yang kurang baik.
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang cukup sangat mempengaruhi keberhasilan dalam
mewujudkan tujuan puskesmas dan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang ada di
puskesmas. SDM yang dimiliki oleh puskesmas di kota Tegal jumlahnya masih sangat
terbatas yaitu 4 (empat) Apoteker, 20 (dua puluh) TTK dan 1(satu) non-TTK yang berasal
dari PNS dan karyawan BLUD. Masih kurangnya jumlah SDM di puskesmas terutama
apoteker sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di puskesmas.
Apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi, mengelola obat dan menyusun LPLPO
dengan lengkap lebih baik dari pada TTK. Demikian pula TTK dalam memberikan
pelayanan farmasi, mengelola obat dan menyusun LPLPO dengan lengkap dalam setahun
lebih baik dibandingkan dengan tenaga non-farmasi (Herman dkk, 2011). Hal ini tentu
saja tidak sejalan dengan PKM 26 tahun 2020 yang menyatakan puskesmas belum
memiliki apoteker sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan pelayanan kefarmasian
secara terbatas dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian di bawah pembinaan dan
pengawasan apoteker yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Tenaga
kefarmasian yang ada di puskesmas dalam melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian
harus sesuai SOP yang telah dibuat, namun pada kenyataannya tenaga kefarmasian masih
banyak yang melakukan pelayanan kefarmasian tanpa mengikuti tahapan yang ada pada
SOP. Masih kurangnya kedisiplinan dan kepatuhan terhadap SOP menyebabkan kualitas
pelayanan kefarmasian menjadi kurang maksimal. SOP yang sudah ada seharusnya dapat
diletakkan pada tempat-tempat yang mudah terlihat, sehingga akan menjadi pengingat
bagi tenaga kefarmasian untuk bisa mematuhi SOP.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Sumber Daya Manusia (SDM)
Masih kurangnya SDM kefarmasian di puskesmas Kota Tegal menjadikan mutu pelayanan
kefarmasian yang ada di puskesmas belum maksimal. Hal ini menjadi faktor yang paling
mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian yang ada di puskesmas Kota Tegal. Masih
kurangnya jumlah SDM baik apoteker maupun TTK membuat pelayanan farmasi klinik di
puskesmas tidak berjalan efisien. Masih kurangnya pengetahuan SDM dalam membuat
perencanaan obat puskesmas menjadikan mutu pengelolaan obat di puskesmas Kota
Tegal belum efisien. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ketersediaan obat, masih adanya stok
obat berlebih, stok obat kurang, stok obat kosong dan nilai ITOR yang sangat rendah.
Kurangnya SDM juga berpengaruh terhadap mutu pelayanan farmasi klinik di puskesmas.
Jumlah SDM yang kurang sementara antrian pasien yang banyak menyebabkan SDM lebih
fokus pada proses penyerahan obat ke pasien secara cepat. Kurangnya kedisiplinan SDM
dalam mematuhi SOP yang ada juga membuat mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas
berjalan kurang maksimal. Jumlah tenaga kefarmasian berpengaruh terhadap mutu
pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Herman dkk, 2011).
Ketersediaan Dana
Ketersediaan dana di puskesmas tidak terlalu mempengaruhi mutu pelayanan
kefarmasian, karena semua obat di puskesmas disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota
Tegal, kecuali BMHP yang sebagian untuk memenuhi kebutuhannya digunakan dana dari
BLUD. Puskesmas dengan kondisi keuangan yang cukup baik akan menyiapkan dana
persediaan untuk pembelian obat dan BMHP menggunakan dana BLUD, tetapi puskesmas
dengan kondisi keuangan yang belum stabil akan menggunakan dana DAU untuk
pembelian obat dan BMHP. Sebagian puskesmas menggunakan dana BLUD untuk
menambah SDM kesehatan yang masih kurang.
Akreditasi
Akreditasi tidak terlalu mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian yang ada di
puskesmas. Seluruh puskesmas di Kota Tegal yang telah melakukan re-akreditasi
mempunyai tingkatan akreditasi Utama dan puskesmas yang belum melakukan re-
akreditasi mempunyai tingkatan akreditasi Madya. Setelah akreditasi SDM kefarmasian
sebagian sudah tidak lagi mematuhi SOP yang dibuat, yang artinya tingkat kedisiplinan
dan tanggung jawab petugas masih kurang. Perlunya menanamkan semangat akreditasi
setiap waktu di puskesmas akan mampu menjaga kedisiplinan petugas sehingga mampu
memperbaiki kualitas SDM yang ada dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang
ada di puskesmas Kota Tegal.
Tipe Puskesmas
Sebagian besar puskesmas di Kota Tegal merupakan puskesmas perkotaan, untuk
puskesmas rawat inap di Kota Tegal hanya ada satu puskesmas rawat inap, akan tetapi
seluruh puskesmas memiliki UGD 24 jam. Dengan tipe puskesmas dan pelayanan UGD 24
jam jumlah tenaga farmasi yang ada belum mencukupi. Semua puskesmas di Kota Tegal
merupakan puskesmas BLUD dengan pembagian dua puskesmas induk disetiap
kecamatan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di puskesmas Kota Tegal tentang analisis mutu pelayanan
kefarmasian di puskesmas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan obat dan pelayanan
farmasi klinik di puskesmas Kota Tegal masih belum efisien. Faktor yang mempengaruhi
mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas yaitu SDM menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas; ketersediaan dana
berpengaruh untuk puskesmas BLUD yang kecil; akreditasi menjadi faktor yang
mempengaruhi kedisiplinan SDM di puskesmas; tipe puskesmas berkaitan dengan jumlah
SDM yang yang masih kurang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kepada Universitas Setia Budi Surakarta dan Kepala Dinas Kesehatan
Kota Tegal yang telah memberi izin untuk pengumpulan data tentang puskesmas. Terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan.

DAFTAR PUSTAKA
Destiani dkk (2016). Pola Peresepan Rawat Jalan: Studi Observasional Menggunakan
Kriteria Prescribing Indicator WHO di Salah Satu Fasilitas Kesehatan Bandung. Jurnal
Farmasi Klinik Indonesia. Vol. 5 No. 3, hlm 225–23. September 2016.
Departemen Kesehatan RI (2009). Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Dinkes Kota Tegal (2016). Profil Kesehatan Kota Tegal Tahun 2016. Tegal. Dinas
Kesehatan.
Djestawana I G dkk (2012). Pengaruh Pengembangan Organisasi, Kepemimpinan, Jenjang
Karir Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai Puskesmas. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, Vol. 6, No. 6, Juni 2012.
Handayani dkk (2010). Ketersediaan dan Peresepan Obat Generik dan Obat Esensial di
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 1 Januari 2010: 54–60.
Herman dkk (2011). Hubungan Ketersediaan Tenaga Kefarmasian Dengan Karakteristik
Puskesmas Dan Praktik Kefarmasian Di Puskesmas. Jakarta. Kemenkes RI.
Hermanto Dkk (2015). Pengelolaan Obat High Alert Medication Pada Tahap Distribusi Dan
Penyimpanan Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Tesis. Yogyakarta: Program
Pascasarjana, UMY.
Indrayathi dkk (2014). Mutu Pelayanan Puskesmas Perawatan yang Berstatus Badan
Layanan Umum Daerah. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 2, November
2014.
Kemenkes RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kemenkes RI (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes RI (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 tahun
2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.
Muharni dkk (2014). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien ISPA Pada Salah Satu
Puskesmas di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Farmasi Indoneisia 3(1), September 2014.
Pratiwi dkk (2019). Gambaran Perencanaan dan Pengadaan Obat di Puskesmas Rawat
Jalan Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2018. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 8(2),
September 2019.
Pulungan dkk (2019). Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Di Puskesmas Kabupaten
Serdang Bedagai. Jurnal Dunia Farmasi Vol. 3, No. 3. Agustus 2019: 144-152.
Satibi dkk (2018). Analisis Kinerja Apoteker dan Faktor Yang Mempengaruhi Pada Era
Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas. JMPF Vol. 8 No. 1: 32-38.
Satibi dkk (2019). Penilaian Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Yogyakarta. UGM
Press.
Susyanty dkk (2020). Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74.
Thenu dkk (2016). Evaluasi Sistem Informasi Manajemen Puskesmas Guna Mendukung
Penerapan Sikda Generik Menggunakan Metode Hot Fit di Kabupaten Purworejo. Jurnal
Manajemen Kesehatan Indonesia, Volume 4 No. 02 Agustus 2016.
WHO (1993). How to Investigate Drug Use in Health Facilities, 12-68. World Health
Organization. Geneva.
WHO (2005). Dhiarrhea Treatment Guidelines for Clinic-Based Healthcare Workers.
Genewa: World Health Organization.
Zulkarnaini A dkk (2019). Gambaran Polifarmasi Pasien Geriatri Dibeberapa Poliklinik
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal; Kesehatan Andalas.

Anda mungkin juga menyukai