0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
119 tayangan19 halaman
Penelitian ini bertujuan untuk menilai mutu pelayanan kefarmasian di 8 puskesmas di Kota Tegal, terutama untuk menganalisis indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik belum memenuhi standar, mengindikasikan pelayanan kefarmasian di puskesmas Kota Tegal bel
Penelitian ini bertujuan untuk menilai mutu pelayanan kefarmasian di 8 puskesmas di Kota Tegal, terutama untuk menganalisis indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik belum memenuhi standar, mengindikasikan pelayanan kefarmasian di puskesmas Kota Tegal bel
Penelitian ini bertujuan untuk menilai mutu pelayanan kefarmasian di 8 puskesmas di Kota Tegal, terutama untuk menganalisis indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar indikator pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik belum memenuhi standar, mengindikasikan pelayanan kefarmasian di puskesmas Kota Tegal bel
Analisis Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Kota Tegal
Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
(Analysis Of The Quality Of Pharmaceutical Services In Tegal City Primary Health Care And Factors That Influence) 1Cholilah, 1Triwijayanti, 2*Satibi
1Fakultas Farmasi. Universitas Setia Budi, Surakarta 2Fakultas Farmasi.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta * Korespondensi Penulis Nama: Satibi Satibi Phone: +62-8122755352 Email: satibi@ugm.ac.id INTISARI Puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan di tingkat pertama guna mencapai derajat kesehatan, namun pada pelaksanaannya masih terkendala dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yang terstandar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui mutu pengelolaan obat dan mutu pelayanan farmasi klinik di Puskesmas Kota Tegal serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental. Penelitian dilakukan diseluruh puskesmas di Kota Tegal. Pengambilan data secara prospective dan retrospective dengan penelusuran dokumen guna mendapatkan data sekunder serta dilakukan pengamatan langsung, wawancara dengan tenaga kefarmasian, kepala puskesmas dan kepala seksi farmasi Dinas Kesehatan Kota Tegal untuk mendapatkan data primer. Indikator yang digunakan yaitu Indikator pengelolaan obat dan indikator pelayanan farmasi klinik yang selanjutnya dilakukan analisis data secara deskriptif dengan menghitung nilai dari indikator dengan rumus kemudian dibandingkan dengan standar dan antarpuskesmas. Indikator yang sudah memenuhi standar terdapat 16 indikator dan 28 indikator belum memenuhi standar. Hasil indikator pengelolaan sediaan farmasi antara lain kesesuaian item dengan pola penyakit 76,39%, ketepatan perencanaan 321,10%, ketepatan jumlah permintaan 169,84%, penyimpanan psikotropik 72,92%, ITOR 1,87 kali/tahun, tingkat ketersediaan obat 37,94%. Hasil ini menunjukkan pengelolaan obat di puskesmas Kota Tegal belum efisien. Hasil indikator pelayanan farmasi klinik antara lain pelabelan 80,56%, penyerahan obat disertai informasi 60%, polifarmasi 6,04%, PIO 0%, konseling 0%, visite 0%, MESO 0% dan PTO 0%. Hasil ini menunjukkan pelayanan farmasi klinik di puskesmas Kota Tegal belum efisien. Kata Kunci : Puskesmas, Pengelolaan Obat Dan Farmasi Klinik, Kota Tegal ABSTRACT Primary Health Care is a health facility that organizes health efforts at the first level to achieve a degree of health. but in its implementation is still constrained in realizing standardized pharmaceutical services. The purpose of this research is to find out the quality of drug management and the quality of clinical pharmacy services in Tegal City Primary Health Care as well as the influencing factors. This research is non-experimental descriptive research. The research was conducted in all Primary Health Care in Tegal City. Prospective and retrospective data collection with document searches to obtain secondary data and conducted direct observations, interviews with pharmaceutical personnel, head of Primary Health Care, and head of a pharmacy section of Tegal City health office to obtain primary data. Indicators used are indicators of drug management and indicators of clinical pharmacy services which are then carried out descriptive data analysis by calculating the value of the indicators then compared with standards and inter Primary Health Care. Indicators that have met the standard there are 16 indicators and 28 indicators that do not meet the standards. The results of pharmaceutical preparation management indicators include the suitability of items with disease patterns 76.39%, planning accuracy 321.10%, the accuracy of the number of requests 169.84%, psychotropic storage 72.92%, ITOR 1.87 times/year, the drug availability rate of 37.94%. These results show that drug management in Tegal city Primary Health Care has not been efficient. The results of clinical pharmacy service indicators include labeling 80.56%, drug delivery with information 60%, polypharmaceuticals 6.04%, PIO 0%, counseling 0%, visite 0%, MESO 0% and PTO 0%. These results show that clinical pharmacy services in Tegal city Primary Health Care have not been efficient. Keywords: Primary Health Care, management of drug preparations and pharmacy clinics, Tegal City PENDAHULUAN Pelayanan Kefarmasian di puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2016). Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Depkes RI, 2009). Dinas Kesehatan Kota Tegal mempunyai 8 (delapan) Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) puskesmas dengan 3 puskesmas keliling dan 22 puskesmas pembantu. Jumlah apoteker sebanyak ± 4 (empat) orang dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebanyak ± 20 (dua puluh) orang yang berasal dari tenaga PNS dan karyawan BLUD. Pembinaan puskesmas yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Tegal belum optimal karena terkendala masalah efisiensi anggaran (Dinkes Kota Tegal, 2016). Masih kurangnya jumlah tenaga kesehatan terutama tenaga kefarmasian di puskesmas terutama apoteker, menjadikan beban kerja untuk tenaga kesehatan di puskesmas semakin tinggi, selain itu kurang meratanya penempatan tenaga kefarmasian menjadi penyebab menurunnya kualitas pelayanan yang dilakukan di puskesmas. Kurangnya Apoteker yang bertugas di puskesmas membuat proses pengelolaan obat yang terjadi tidak maksimal. Hal ini menyebabkan masih banyaknya obat yang ED di puskesmas. Tenaga kesehatan di puskesmas perawatan jumlahnya belum memadai, dan tenaga kefarmasian di puskesmas yang ada di kota lebih memadai daripada yang ada di pinggiran kota. Indikator mutu pengelolaan obat yang terdiri dari seleksi obat, perencanaan obat, permintaan dan penerimaan obat, penyimpanan obat, pendistribusian obat, pengendalian obat, pencatatan, pelaporan, pengarsipan serta pemantauan dan evaluasi obat. Indikator mutu pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari pengkajian resep, Pelayanan Informasi Obat, konseling, visite pasien (khusus rawat inap), Monitoring Efek Samping Obat, Pemantauan Terapi Obat, Evaluasi penggunaan obat (Satibi dkk, 2019). Kegiatan pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan hal yang baru dilakukan di puskesmas karena masih belum terpenuhinya jumlah kebutuhan tenaga kefarmasian di puskesmas baik TTK maupun apoteker. Penelitian tentang mutu pelayanan kefarmasian sebelumnya telah dilakukan oleh Herman dkk tahun 2011 di Puskesmas Kota Bogor dan Bekasi, Widha dkk tahun 2015 di Puskesmas Kota Magelang, Dianita dkk tahun 2017 di Puskesmas Kabupaten Magelang, Daulay dkk tahun 2017 di Puskesmas Kabupaten Brebes, Robiyanto dkk tahun 2019 di Puskesmas Kota Pontianak. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana mutu pelayanan kefarmasian yang ada saat ini di puskesmas. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mutu pengelolaan obat, mutu pelayanan farmasi klinik dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas Kota Tegal. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode cross sectional. Sumber data primer yang digunakan berasal dari observasi langsung dan wawancara yang berupa data kuantitatif dari puskesmas di Kota Tegal, sumber data sekunder berasal dari LPLPO puskesmas tahun 2019, RKO puskesmas tahun 2018, 360 lembar resep tahun 2019, 100 resep bulan Agustus-September tahun 2020, sampel obat yang digunakan sebanyak 95-160 item obat. Sampel penelitian yaitu 8 puskesmas yang ada di Kota Tegal, 4 Apoteker dan ± 20 orang TTK, 8 Kepala Puskesmas dan Kepala Seksi Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan Dinas kesehatan Kota Tegal. Indikator Mutu Pelayanan Kefarmasian Indikator mutu pelayanan kefarmasian yang digunakan adalah indikator mutu pengelolaan obat dan indikator farmasi klinik. Indikator pengelolaan obat terdiri dari kesesuaian item dengan formularium nasional, kesesuaian item dengan pola penyakit, kecukupan dana, ketepatan perencanaan, kesesuaian item dan jumlah permintaan, kesesuaian item penerimaan, penyimpanan sesuai bentuk sediaan, penyimpanan sesuai suhu, penyimpanan narkotika sesuai peraturan, penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi, penilaian ketepatan penyimpanan obat secara FEFO, penyimpanan obat High-Alert, penilaian ketepatan penyimpanan obat LASA, ketepatan item dan jumlah distribusi, Inventory Turn Over Ratio (ITOR), tingkat ketersediaan obat (satu bulan), item stok kosong, item stok kurang (1 sampai <12 bulan), stok aman (12- <18 bulan), item stok berlebihan (>18 bulan), obat tidak diresepkan (>3 bulan), nilai obat Expiration Date (ED), nilai obat rusak, kesesuaian jumlah fisik obat dan evaluasi pengelolaan obat secara periodik (Satibi dkk, 2019). Indikator mutu pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari pengkajian resep, pelabelan, penyerahan obat disertai informasi, waktu pelayanan, polifarmasi, dokumentasi PIO, jumlah pasien konseling, dokumentasi visite, dokumentasi MESO, dokumentasi PTO, biaya per kunjungan resep, item obat per resep, sediaan generik, antibiotik pada diare non-spesifik, pemberian oralit dan zink untuk diare, antibiotik pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) non- pneumonia dan penggunaan injeksi (Satibi dkk, 2019). Analisis Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu: Tahap pertama dilakukan analisis data dari lembar checklist observasi langsung secara deskriptif dari implementasi pelayanan kefarmasian masing-masing puskesmas di Kota Tegal, kemudian data diolah dan dihitung dengan rumus. Tahap kedua membuat transkrip rekaman hasil wawancara dari tenaga kefarmasian, kepala puskesmas dan kepala seksi kefarmasian dan perbekalan kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tegal ke dalam lembar wawancara. Tahap ketiga semua data yang terkumpul dianalisis dan disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan indikator pengelolaan obat yang ada di puskesmas Kota Tegal masih belum baik karena masih banyak indikator yang tidak sesuai dengan standar. Indikator kesesuaian item dengan fornas mempunyai nilai 76,95% dan sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Pada indikator kecukupan dana mempunyai nilai sangat rendah yaitu 0% dikarenakan dana yang disediakan puskesmas tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan obat yang kurang dan kosong. Seluruh puskesmas di Kota Tegal hanya menggunakan obat-obat yang berasal dari gudang farmasi dan untuk memenuhi kebutuhan obat yang kurang dan kosong puskesmas melakukan permintaan dan penukaran obat dengan puskesmas lain yang mempunyai persediaan lebih. Berdasarkan tabel 1 indikator ketepatan perencanaan mempunyai nilai 321,10%, kesesuaian jumlah permintaan 169,84%, tingkat ketersediaan obat 36,08 bulan, item stok kosong 1,54%, item stok kurang 14,01%, stok aman 37,94%, item stok berlebihan 41,76%, obat tidak diresepkan 4,59% dan nilai obat kedaluwarsa 3,85%, indikator-indikator tersebut mempunyai nilai yang melebihi standar karena masih belum baiknya sistem pengelolaan obat yang ada di puskesmas Kota Tegal. Tabel 1. Nilai Indikator Pengelolaan Obat
Indikator Rerata ± SD/ Standar (%)
Kesesuaian Item dengan Fornas 76,95±2,34% 75 Kesesuaian Item dengan Pola Penyakit 76,39±3,93% 100 Kecukupan Dana 0±0% 85 Ketepatan Perencanaan 321,10±193% 100 Kesesuaian Item Permintaan 109,60 ± 19,46% 100-120 Kesesuaian Jumlah Permintaan 169,84 ± 66% 100-120 Kesesuaian Item dan Jumlah Penerimaan 100 ± 0% 100
Penyimpanan Sesuai Bentuk Sediaan 100 ± 0% 100
Penyimpanan Sesuai Suhu 100 ± 0% 100 Penyimpanan Narkotika Sesuai Peraturan 72,92 ± 8,25% 100 Penyimpanan Obat Tidak Dipergunakan Untuk Penyimpanan Barang Lainnya Yang 98,97 ± 1,43% 100 Menyebabkan Kontaminasi Penataan Memperhatikan FEFO 100 ± 0% 100 Penyimpanan Obat high-alert 68,15 ± 40,90% 100 Penyimpanan Obat LASA 87,5 ± 35,36% 100 Penyimpanan Obat Yang Dikeluarkan Dari 2,25 ± 1,45% 0 Kemasan Primernya Ketepatan Jumlah Distribusi Ke Subunit 100 ± 0% 100 Pelayanan Kefarmasian 1,87 ± 0,5 Inventory Turn Over Ratio (ITOR) 12 kali/Tahun kali/Tahun 36,08 ± 11,60 Tingkat Ketersediaan Obat (Satuan Bulan) 12-18 Bulan Bulan Item Stok Kosong (< 1 Bulan) 1,54 ± 2,29% 0% Item Obat Kurang (1 sampai < 12 Bulan) 14,01 ± 15,84% 0% Item Obat Aman (12-18 Bulan) 37,94 ± 17,03% 100% Item Stok Berlebih (> 18 Bulan) 41,76 ± 11,99% 0% Obat Tidak Diresepkan (> 3 Bulan) 4,59 ± 1,86% 0% Nilai Obat Expiration Date (ED) 3,85 ± 2,73% 0% Nilai Obat Rusak 0 ± 0% 0% Kesesuaian Jumlah Fisik Obat 100 ± 0% 100 Evaluasi Pengelolaan Obat Secara Periodik 100 ± 0% 100 Masih kurangnya tenaga kefarmasian yang ada di puskesmas Kota Tegal menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi mengapa indikator pengelolaan obat di puskesmas belum efisien. Indikator ketepatan perencanaan mempunyai nilai yang sangat tinggi karena adanya ketidaktepatan pada proses seleksi dan pengadaan obat. Ketidaktepatan proses ini berpotensi menyebabkan adanya overstock dan obat kedaluwarsa yang berarti akan menimbulkan kerugian baik untuk puskesmas itu sendiri maupun untuk daerah. Ketidaktepatan dalam proses perencanaan obat juga berakibat pada proses selanjutnya dalam pengelolaan obat di puskesmas. Tingkat ketersediaan obat yang ada di puskesmas Kota Tegal masih sangat berlebihan akan tetapi ada beberapa obat juga yang tingkat ketersediaannya justru kurang dan kosong. Tingginya persentase stok obat berlebih berkaitan dengan rendahnya nilai ITOR (Satibi dkk, 2018). Hal ini dikarenakan semakin rendah nilai ITOR maka semakin lama juga perputaran obat yang ada di puskesmas dan akan menyebabkan overload pada gudang penyimpanan obat di puskesmas. Masih rendahnya nilai perputaran obat yang ada di puskesmas sepertinya belum disadari dan dipahami oleh tenaga kefarmasian di puskesmas sebagai pembuat perencanaan karena baik puskesmas yang sudah mempunyai apoteker maupun yang belum mempunyai apoteker memiliki hasil yang sama rendah. Jumlah obat kedaluwarsa di puskesmas Kota Tegal masih cukup banyak untuk beberapa puskesmas dan obat-obat tersebut akan disimpan terlebih dahulu selama beberapa waktu sebelum akhirnya dilakukan pemusnahan. Selain SDM farmasi SDM penulis resep juga menjadi salah satu yang mempengaruhi mengapa pengelolaan obat di puskesmas masih belum baik. Adanya mutasi petugas penulis resep menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran obat yang ada di puskesmas karena obat yang direncanakan biasanya merupakan obat-obat yang sering digunakan di puskesmas. Faktor penyebab yang lain yaitu perubahan pola penyakit karena proses perencanaan obat di puskesmas menggunakan metode konsumsi sehingga perencanaan hanya berdasarkan jumlah pemakaian obat tahun sebelumnya dan hal ini yang mengakibatkan adanya kelebihan dan kekurangan obat di puskesmas. Ketidaksesuaian dikarenakan dua hal yaitu jumlah penyakit berkurang atau dokter penulis resep pindah tugas sehingga obat jarang diresepkan (Pratiwi dkk, 2019). Indikator kesesuaian item permintaan, kesesuaian item dan jumlah penerimaan, penyimpanan sesuai bentuk sediaan, penyimpanan sesuai suhu, penataan memperhatikan FEFO, ketepatan distribusi ke subunit, kesesuaian jumlah fisik obat dan evaluasi pengelolaan obat secara periodik mempunyai nilai 100% yang artinya sudah sesuai dengan standar. Indikator penyimpanan narkotika sesuai peraturan mempunyai nilai 72,92%, penyimpanan tanpa kontaminasi 98,97%, penyimpanan obat High-alert dan LASA 68,15% dan 87,5% serta penyimpanan obat keluar dari kemasan primer 2,25%. Indikator penyimpanan obat sebagian besar mempunyai nilai kurang dari nilai standar. Indikator penyimpanan narkotika sesuai peraturan yang terdiri dari narkotika, psikotropika, OOT dan prekursor belum tercapai karena SDM kefarmasian belum memahami proses pengelolaan prekursor dan OOT yang rusak dan kedaluwarsa, sehingga obat yang rusak dan kedaluwarsa tidak dipisahkan dari obat-obat biasa, selain itu beberapa puskesmas belum memiliki apoteker. Indikator penyimpanan obat tanpa kontaminasi belum sesuai karena masih ditemukan adanya kontaminan di tempat penyimpanan obat berupa makanan dan minuman. SDM farmasi masih belum memahami dan menyadari pentingnya penyimpanan obat bebas dari kontaminan. Indikator penyimpanan obat High-Alert dan LASA di puskesmas Kota Tegal belum memenuhi standar karena masih belum tepatnya label yang diberikan untuk obat-obat High-Alert dan masih ada puskesmas yang belum memberikan label untuk obat High-Alert dan LASA. Kurangnya informasi akan obat High-Alert dan obat LASA membuat SDM kefarmasian yang ada di salah satu puskesmas tidak menganggap pemberian label tidak penting. Pengetahuan dan pemahaman petugas kesehatan tentang pengelolaan obat High alert belum standar atau belum baik (Hermanto Dkk, 2015). Tabel 2. Nilai Indikator Farmasi Klinik
Indikator Rerata ± SD Standar
Pengkajian Resep 95,83 ± 0% 100% Pelabelan 80,56 ± 5,14% 100% Penyerahan Obat Disertai Informasi 60 ± 0% 100% Waktu pelayanan Resep Non Racikan 5,15 ± 0,45 menit < 30 menit Waktu pelayanan Resep Racikan 9,48 ± 0,69 menit < 60 menit Polifarmasi 6,04 ± 3,10% 0% Biaya Obat Per Kunjungan Resep Rp. 4.803,15 ± 471,16 ⎯ Item Obat Per Resep 3,65 ± 0,19 Item 1,8-2,2 Item Sediaan Generik 97,44 ± 1,68% 90% Antibiotik Pada Diare Non-Spesifik 49,61 ± 25,15% ≦ 8% Pemberian Oralit Untuk Diare 12,23 ± 17,92% ⎯ Pemberian Zink Untuk Diare 38,39 ± 22,24% ⎯ Antibiotik Pada ISPA Non-Pneumonia 66, 94 ± 20,68% ≦ 20% Penggunaan Injeksi 0 ± 0% ≦ 1% Di tabel 2 persentase untuk indikator pengkajian resep 95,83% dan pelabelan 80,56% sudah cukup tinggi tetapi masih belum memenuhi standar karena resep dan etiket berasal dari SIMPUS sehingga apabila akan ada perubahan dan penyempurnaan maka memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit, sehingga proses penyempurnaan belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Etiket dari SIMPUS mempunyai ukuran yang relatif kecil sehingga belum bisa mewakili semua kriteria penilaian. nilai indikator penyerahan obat disertai informasi 60% artinya belum memenuhi standar disebabkan oleh masih kurangnya jumlah SDM kefarmasian dan banyaknya jumlah antrian di puskesmas sehingga untuk informasi yang diberikan relatif singkat dan kurang karena mereka lebih mengutamakan kecepatan dalam pelayanan. Waktu pelayanan resep di puskesmas Kota Tegal baik resep racikan maupun non-racikan sudah sesuai standar yaitu 5,15 menit untuk resep non-racikan dan 9,48 menit untuk resep racikan. Setiap puskesmas di Kota Tegal mempunyai standar yang berbeda-beda untuk waktu pelayanan resep yaitu 5-15 menit untuk resep non-racikan dan 10-15 menit untuk resep racikan. Persentase Indikator polifarmasi yaitu 6,04% dan belum memenuhi standar dikarenakan masih ditemukan resep dengan jumlah obat yang lebih dari lima. Persentase Indikator polifarmasi 6,04% dan belum memenuhi standar dikarenakan masih ditemukan resep dengan jumlah obat yang lebih dari lima. Polifarmasi pada 400 pasien geriatri (64.72%) rawat jalan dipoliklinik RS. M.Djamil (Zulkarnain dkk, 2019). Indikator dokumentasi PIO, jumlah pasien konseling, dokumentasi visite, dokumentasi MESO dan dokumentasi PTO masih belum dilakukan di puskesmas Kota Tegal karena masih kurangnya jumlah SDM kefarmasian di puskesmas baik apoteker maupun TTK, selain itu juga masih belum tersedianya ruangan untuk melakukan konseling. Pasien juga masih belum mengenal apa itu konseling banyak pasien yang menolak untuk menerima konseling. Sebagian besar pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan pada puskesmas yang sudah memiliki Apoteker adalah visite di puskesmas perawatan, monitoring efek samping obat, pemantauan terapi obat, dan evaluasi penggunaan obat (Susyanty dkk, 2020). Indikator biaya per kunjungan resep di puskemas Kota Tegal sudah cukup bagus karena masih berada di bawah kapitasi yang diterima puskesmas. Seluruh puskesmas di Kota Tegal merupakan puskesmas BLUD sehingga perhitungan biaya pengobatan menggunakan sistem kapitasi. Penggunaan obat generik di puskesmas Kota Tegal sudah sangat bagus karena obat-obat yang ada di puskesmas sebagian besar adalah obat-obat generik. Hanya di puskesmas saja yang persentase peresepan obat generik tinggi (Handayani dkk, 2010). Indikator item obat per resep di puskesmas Kota Tegal masih belum memenuhi standar karena hampir setiap resep yang ada mempunyai jumlah item obat per resep tiga atau empat item sehingga belum memenuhi standar yang ditetapkan WHO yaitu 1,8-2,2 item (WHO, 1993). Nilai rata-rata obat per lembar resep lebih tinggi daripada penelitian WHO tahun 2014 tetapi lebih rendah jika dilihat dari pengertian polifarmasi (Destiani dkk, 2016). Penggunaan antibiotik untuk pada diare non-spesifik dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) non-pneumonia di puskesmas Kota Tegal jumlahnya masih tinggi, bahkan untuk puskesmas yang berada di pinggiran Kota Tegal jumlahnya sangat tinggi. Hal ini dikarenakan pola pemikiran masyarakat yang salah terhadap penggunaan antibiotik karena mereka berpikir bahwa setiap penyakit akan sembuh bila menggunakan antibiotik. Persentase penggunaan antibiotik pada diare non spesifik di puskesmas melampaui batas toleransi yang ditetapkan (Pulungan dkk, 2019). Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik sebesar 33,7% (Muharni dkk, 2014). Indikator pemberian oralit dan zink untuk diare di puskesmas masih rendah apalagi untuk penggunaan oralit jumlahnya sangat rendah dan masih ada beberapa puskesmas yang tidak menggunakan oralit sebagai lini pertama pengobatan diare, hal ini tentunya tidak sesuai dengan standar dari WHO yang menetapkan oralit sebagai pengobatan lini pertama pasien diare (WHO, 2005). Indikator penggunaan injeksi pada pasien myalgia di puskesmas yaitu 0% dan sudah sesuai standar. Persentase tanpa penggunaan injeksi pada myalgia adalah 100%, yang artinya penggunaan injeksi pada myalgia sebesar 0% (Satibi dkk, 2018). Faktor-faktor Pendukung Manajemen (Management Support) di Puskesmas Organisasi Organisasi puskesmas sesuai PMK 75 tahun 2014 terdiri dari kepala puskesmas, kepala sub bagian tata usaha, penanggung jawab UKM dan keperawatan kesehatan masyarakat, penanggung jawab UKP, kefarmasian dan laboratorium dan penanggungjawab jaringan pelayanan puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan. Organisasi memegang peranan penting untuk keberhasilan puskesmas dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang ada. Budaya berorganisasi di puskesmas harus selalu ditumbuhkan dan dipupuk dengan baik sehingga menimbulkan kekompakan dan kebersamaan antar anggota puskesmas. Pemimpin di puskesmas harus bisa menjadi teladan yang baik dan pusat pengendali untuk seluruh karyawan di puskesmas. Kepala puskesmas harus mampu memberikan motivasi kepada semua anggotanya untuk bisa mencapai tujuan secara bersama- sama. Pada umumnya kepala puskesmas di Kota Tegal sudah mampu memberikan contoh kepemimpinan yang baik, hal ini dibuktikan dengan adanya komunikasi dan budaya berorganisasi yang baik di puskesmas. Contoh budaya berorganisasi di puskesmas yang sudah dilakukan adalah dilakukannya Mini-Lokakarya setiap bulan di puskesmas, dengan adanya Mini-Lokakarya diharapkan menjadi ruang komunikasi terbuka bagi anggota puskesmas untuk menyampaikan saran, keluhan dan capaian serta informasi antar lintas program, sehingga akan terbentuk kerjasama antar anggota yang lebih baik. Pengembangan organisasi, kepemimpinan, dan pengembangan karir terbukti berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai puskesmas (Djestawana I G dkk, 2012). Administrasi dan Keuangan Seluruh puskesmas di Kota Tegal merupakan puskesmas BLUD, sehingga puskesmas bisa mengelola dana yang ada secara mandiri. Puskesmas menggunakan sistem BLUD mulai tahun 2015 dengan menerapkan BLUD sebagian kemudian akhir 2019 dievaluasi menjadi BLUD penuh. Puskesmas lebih menyukai sistem BLUD karena bisa mengelola sendiri keuangan puskesmas sehingga penanganan untuk permasalahan yang ada bisa lebih cepat dan tidak harus melalui tahapan yang cukup panjang. Dana yang diperoleh puskesmas BLUD berasal dari dana kapitasi dan dana retribusi pasien non-BPJS yang besarnya sudah ditetapkan oleh peraturan Walikota yaitu 15.000 rupiah. Beberapa puskesmas di Kota Tegal menggunakan dana BLUD untuk memenuhi kebutuhan SDM yang masih kurang. Dana BLUD puskesmas juga digunakan untuk mencukupi kebutuhan kekurangan obat dan BMHP. Dana untuk pembelanjaan BMHP selalu digunakan setiap tahunnya dan rata-rata terserap 100%. Hal ini dikarenakan jumlah BMHP yang didapat dari gudang farmasi jumlahnya tidak banyak dan juga proses pengadaan BMHP relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan pengadaan obat. Kebijakan BLUD puskesmas memberikan keleluasaan bagi puskesmas untuk melaksanakan program-program yang tepat sasaran sesuai kebutuhan puskesmas (Indrayathi dkk, 2014). Sistem Informasi Manajemen (SIM) Puskesmas di Kota Tegal secara keseluruhan sudah menggunakan SIMPUS sejak lima tahun baik di puskesmas induk maupun puskesmas pembantu. Sudah diterapkannya SIMPUS di puskesmas Kota Tegal sangat membantu dan mempercepat proses pelayanan. Dengan adanya SIMPUS tenaga kefarmasian sangat terbantu dalam pembuatan laporan bulanan karena tidak perlu dilakukan secara manual melainkan data yang dibutuhkan sudah ada di SIMPUS. SIMPUS sangat mudah dan cepat dalam memproses data pelayanan (Thenu dkk, 2016). SIMPUS yang ada di puskesmas saat ini belum bisa merepresentasikan semua hal yang diperlukan oleh apotek, tetapi SIMPUS dinilai sudah cukup baik. Diharapkan pemerintah daerah bisa melakukan penyempurnaan SIMPUS yang yang ada saat ini sehingga bisa lebih baik. SIMPUS harus mudah digunakan, tidak mudah terjadi gangguan dan haruslah aman mengingat semua data puskesmas ada di SIMPUS. Kemudahan dalam penggunaan SIMPUS menjadi hal yang paling penting karena tidak semua SDM yang ada mempunyai kemampuan dan pemahaman yang sama terhadap SIMPUS serta usia dari pengguna juga relatif bervariasi. Penggunaan SIMPUS berkaitan dengan koneksi internet yang ada di puskesmas, kualitas jaringan internet harus baik sehingga akses antar unit di puskesmas bisa lebih cepat dan tidak terjadi gangguan akibat koneksi yang kurang baik. Sumber Daya Manusia (SDM) Sumber Daya Manusia yang cukup sangat mempengaruhi keberhasilan dalam mewujudkan tujuan puskesmas dan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang ada di puskesmas. SDM yang dimiliki oleh puskesmas di kota Tegal jumlahnya masih sangat terbatas yaitu 4 (empat) Apoteker, 20 (dua puluh) TTK dan 1(satu) non-TTK yang berasal dari PNS dan karyawan BLUD. Masih kurangnya jumlah SDM di puskesmas terutama apoteker sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di puskesmas. Apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi, mengelola obat dan menyusun LPLPO dengan lengkap lebih baik dari pada TTK. Demikian pula TTK dalam memberikan pelayanan farmasi, mengelola obat dan menyusun LPLPO dengan lengkap dalam setahun lebih baik dibandingkan dengan tenaga non-farmasi (Herman dkk, 2011). Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan PKM 26 tahun 2020 yang menyatakan puskesmas belum memiliki apoteker sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan pelayanan kefarmasian secara terbatas dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian di bawah pembinaan dan pengawasan apoteker yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Tenaga kefarmasian yang ada di puskesmas dalam melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian harus sesuai SOP yang telah dibuat, namun pada kenyataannya tenaga kefarmasian masih banyak yang melakukan pelayanan kefarmasian tanpa mengikuti tahapan yang ada pada SOP. Masih kurangnya kedisiplinan dan kepatuhan terhadap SOP menyebabkan kualitas pelayanan kefarmasian menjadi kurang maksimal. SOP yang sudah ada seharusnya dapat diletakkan pada tempat-tempat yang mudah terlihat, sehingga akan menjadi pengingat bagi tenaga kefarmasian untuk bisa mematuhi SOP. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Sumber Daya Manusia (SDM) Masih kurangnya SDM kefarmasian di puskesmas Kota Tegal menjadikan mutu pelayanan kefarmasian yang ada di puskesmas belum maksimal. Hal ini menjadi faktor yang paling mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian yang ada di puskesmas Kota Tegal. Masih kurangnya jumlah SDM baik apoteker maupun TTK membuat pelayanan farmasi klinik di puskesmas tidak berjalan efisien. Masih kurangnya pengetahuan SDM dalam membuat perencanaan obat puskesmas menjadikan mutu pengelolaan obat di puskesmas Kota Tegal belum efisien. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ketersediaan obat, masih adanya stok obat berlebih, stok obat kurang, stok obat kosong dan nilai ITOR yang sangat rendah. Kurangnya SDM juga berpengaruh terhadap mutu pelayanan farmasi klinik di puskesmas. Jumlah SDM yang kurang sementara antrian pasien yang banyak menyebabkan SDM lebih fokus pada proses penyerahan obat ke pasien secara cepat. Kurangnya kedisiplinan SDM dalam mematuhi SOP yang ada juga membuat mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas berjalan kurang maksimal. Jumlah tenaga kefarmasian berpengaruh terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Herman dkk, 2011). Ketersediaan Dana Ketersediaan dana di puskesmas tidak terlalu mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian, karena semua obat di puskesmas disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Tegal, kecuali BMHP yang sebagian untuk memenuhi kebutuhannya digunakan dana dari BLUD. Puskesmas dengan kondisi keuangan yang cukup baik akan menyiapkan dana persediaan untuk pembelian obat dan BMHP menggunakan dana BLUD, tetapi puskesmas dengan kondisi keuangan yang belum stabil akan menggunakan dana DAU untuk pembelian obat dan BMHP. Sebagian puskesmas menggunakan dana BLUD untuk menambah SDM kesehatan yang masih kurang. Akreditasi Akreditasi tidak terlalu mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian yang ada di puskesmas. Seluruh puskesmas di Kota Tegal yang telah melakukan re- akreditasi mempunyai tingkatan akreditasi Utama dan puskesmas yang belum melakukan re-akreditasi mempunyai tingkatan akreditasi Madya. Setelah akreditasi SDM kefarmasian sebagian sudah tidak lagi mematuhi SOP yang dibuat, yang artinya tingkat kedisiplinan dan tanggung jawab petugas masih kurang. Perlunya menanamkan semangat akreditasi setiap waktu di puskesmas akan mampu menjaga kedisiplinan petugas sehingga mampu memperbaiki kualitas SDM yang ada dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang ada di puskesmas Kota Tegal. Tipe Puskesmas Sebagian besar puskesmas di Kota Tegal merupakan puskesmas perkotaan, untuk puskesmas rawat inap di Kota Tegal hanya ada satu puskesmas rawat inap, akan tetapi seluruh puskesmas memiliki UGD 24 jam. Dengan tipe puskesmas dan pelayanan UGD 24 jam jumlah tenaga farmasi yang ada belum mencukupi. Semua puskesmas di Kota Tegal merupakan puskesmas BLUD dengan pembagian dua puskesmas induk disetiap kecamatan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di puskesmas Kota Tegal tentang analisis mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik di puskesmas Kota Tegal masih belum efisien. Faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas yaitu SDM menjadi faktor yang sangat mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas; ketersediaan dana berpengaruh untuk puskesmas BLUD yang kecil; akreditasi menjadi faktor yang mempengaruhi kedisiplinan SDM di puskesmas; tipe puskesmas berkaitan dengan jumlah SDM yang yang masih kurang. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kepada Universitas Setia Budi Surakarta dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tegal yang telah memberi izin untuk pengumpulan data tentang puskesmas. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan. DAFTAR PUSTAKA Destiani dkk (2016). Pola Peresepan Rawat Jalan: Studi Observasional Menggunakan Kriteria Prescribing Indicator WHO di Salah Satu Fasilitas Kesehatan Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol. 5 No. 3, hlm 225–23. September 2016. Departemen Kesehatan RI (2009). Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dinkes Kota Tegal (2016). Profil Kesehatan Kota Tegal Tahun 2016. Tegal. Dinas Kesehatan. Djestawana I G dkk (2012). Pengaruh Pengembangan Organisasi, Kepemimpinan, Jenjang Karir Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai Puskesmas. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 6, No. 6, Juni 2012. Handayani dkk (2010). Ketersediaan dan Peresepan Obat Generik dan Obat Esensial di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 1 Januari 2010: 54–60. Herman dkk (2011). Hubungan Ketersediaan Tenaga Kefarmasian Dengan Karakteristik Puskesmas Dan Praktik Kefarmasian Di Puskesmas. Jakarta. Kemenkes RI. Hermanto Dkk (2015). Pengelolaan Obat High Alert Medication Pada Tahap Distribusi Dan Penyimpanan Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana, UMY. Indrayathi dkk (2014). Mutu Pelayanan Puskesmas Perawatan yang Berstatus Badan Layanan Umum Daerah. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 2, November 2014. Kemenkes RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI (2020). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Muharni dkk (2014). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien ISPA Pada Salah Satu Puskesmas di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Farmasi Indoneisia 3(1), September 2014. Pratiwi dkk (2019). Gambaran Perencanaan dan Pengadaan Obat di Puskesmas Rawat Jalan Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2018. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 8(2), September 2019. Pulungan dkk (2019). Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Di Puskesmas Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Dunia Farmasi Vol. 3, No. 3. Agustus 2019: 144-152. Satibi dkk (2018). Analisis Kinerja Apoteker dan Faktor Yang Mempengaruhi Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas. JMPF Vol. 8 No. 1: 32-38. Satibi dkk (2019). Penilaian Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Yogyakarta. UGM Press. Susyanty dkk (2020). Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74. Thenu dkk (2016). Evaluasi Sistem Informasi Manajemen Puskesmas Guna Mendukung Penerapan Sikda Generik Menggunakan Metode Hot Fit di Kabupaten Purworejo. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia, Volume 4 No. 02 Agustus 2016. WHO (1993). How to Investigate Drug Use in Health Facilities, 12-68. World Health Organization. Geneva. WHO (2005). Dhiarrhea Treatment Guidelines for Clinic-Based Healthcare Workers. Genewa: World Health Organization. Zulkarnaini A dkk (2019). Gambaran Polifarmasi Pasien Geriatri Dibeberapa Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal; Kesehatan Andalas.