4 : 274-285
ISSN-p : 2088-8139
ISSN-e : 2443-2946
ABSTRAK
Puskesmas adalah fasilitas yang menyelenggarakan upaya kesehatan ditingkat pertama guna
mencapai derajat kesehatan, namun pada pelaksanaannya masih terkendala dalam mewujudkan
pelayanan kefarmasian yang terstandar. Tujuan penelitian untuk mengetahui mutu pengelolaan obat di
Puskesmas Kota Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental. Penelitian
dilakukan pada seluruh puskesmas yang berjumlah 8 puskesmas di Kota Tegal. Pengambilan data secara
prospective dan retrospective dengan penelusuran dokumen guna mendapatkan data sekunder serta
dilakukan pengamatan langsung, wawancara tenaga kefarmasian, kepala puskesmas dan kepala seksi
farmasi untuk mendapatkan data primer. Indikator pengelolaan obat selanjutnya dilakukan analisis data
secara deskriptif dengan menghitung nilai dari indikator dengan rumus kemudian dibandingkan dengan
standar dan antarpuskesmas. Indikator pengelolaan obat yang digunakan 28 dan yang memenuhi standar
10. Hasil indikator antara lain kesesuaian item dengan pola penyakit 76,39%, ketepatan perencanaan
321,10%, ketepatan jumlah permintaan 169,84%, penyimpanan narkotika 72,92%, penyimpanan obat
tanpa kontaminasi 98,97%, penyimpanan obat high alert 68,15%, penyimpanan obat LASA 87,5%, ITOR
1,87 kali/tahun, ketersediaan obat 36,08 bulan, item obat kurang 14,01%, item obat aman 37,94%, item
stok berlebih 41,76%, obat tidak diresepkan 4,59% dan nilai obat ED 3,85%. Hasil ini menunjukkan
indikator pengelolaan obat di puskesmas Kota Tegal belum efisien dan perlu perbaikan mulai dari tahap
perencanaan sampai pengendalian. Indikator yang masih perlu perbaikan antara lain ITOR dan semua
indikator ketersediaan obat. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki indikator yang belum efisien
antara lain menambah jumlah dan kualitas SDM farmasi di Puskesmas, meningkatkan pengawasan
penggunaan dan pengendalian obat, membangun komunikasi dan budaya berorganisasi yang baik di
Puskesmas.
Kata Kunci : Puskesmas; Pengelolaan Obat; Kota Tegal
ABSTRACT
Primary health centers is a facility that organizes health efforts at the first level to achieve health
degrees, but in its implementation is still constrained in realizing standard pharmaceutical services. The
purpose of the research is to find out the quality of drug management in Tegal City primary Health Center.
This study is a non-experimental descriptive study. The study was conducted throughout the primary
health center in Tegal City. Data collection is prospective and retrospective by tracing documents to obtain
secondary data and direct observations, interviews of pharmaceutical personnel, heads of primary health
centers, and heads of the pharmaceutical section to obtain primary data. The next drug management
indicator is done descriptive data analysis by calculating the value of the indicator with the formula then
compared to the standard and inter primary health care. Indicators of drug management used 28 and
those that meet standard 10. Indicator results include conformity of items with disease patterns 76.39%,
planning accuracy 321.10%, the accuracy of the number of requests 169.84%, the storage of narcotics
72.92%, the storage of drugs without contamination 98.97%, the storage of high alert drugs 68.15%, the
storage of LASA drugs 87.5%, ITOR 1.87 times /year, the availability of drugs 36.08 months, drug items
less than 14.01%, safe drug items 37.94%, excess stock items 41.76%, non-prescribed drugs 4.59% and
drug value ED 3.85%. These results show that drug management indicators in Tegal City primary health
centers have not been efficient and need improvements ranging from the planning stage to control.
Indicators that still need improvement include ITOR and all indicators of drug availability. Things that need
to be done to improve indicators that have not been efficient include increasing the number and quality
of pharmaceutical human resources in primary health centers, increasing supervision of drug use and
control, building communication, and a good organizing culture in primary health centers.
Keywords: Primary Health Centers; Drug Management; Tegal City
memenuhi standar. Hal ini dikarenakan penyimpanan obat. Untuk obat yang
kurang tepatnya proses perencanaan sediaan memerlukan perlakuan khusus dalam
farmasi. Berdasarkan wawancara dengan penyimpanan seperti injeksi dan supositoria
tenaga kefarmasian diperoleh informasi faktor sudah ditempatkan pada lemari pendingin.
yang mempengaruhi ketidaktepatan jumlah Penyimpanan sediaan baik padat, semi padat
permintaan adalah faktor SDM dimana SDM maupun cair sudah menggunakan pallet
yang ada kurang tepat dalam membuat sehingga obat tidak langsung menyentuh
perencanaan dimana stok obat yang diminta lantai. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
masih sangat berlebih, hal ini dikarenakan penelitian Z.Wardhana14. menyatakan bahwa
adanya ketakutan akan terjadinya kekosongan mutu obat baik tablet, kapsul, cairan, salep
atau kekurangan obat di puskesmas. Nilai SD dan injeksi di kamar obat kedua puskesmas
yang besar pada permintaan disebabkan sama-sama memenuhi kriteria dari Depkes
karena adanya obat yang ada diperencanaan 2008. Berdasarkan tabel III nilai indikator
tetapi tidak terdapat pada permintaan begitu penyimpanan narkotika 91,07%, OOT 50%,
juga sebaliknya. Contoh: sirup amoxicillin prekursor 66,67% dan psikotropik 83,93%.
tidak ada diperencanaan tetapi ada di Masih belum sesuainya nilai dari tiap
permintaan, levertran salep pada di indikator sesuai standar karena tempat
perencanaan tetapi tidak ada di permintaan. penyimpanan obat di puskesmas yang terlalu
Hal ini biasanya terjadi karena adanya human kecil sehingga ada puskesmas yang
error dalam hal ini pembuat perencanaan. meletakkan lemari narkotika di tempat yang
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan mudah dilihat serta lemari narkotika dan
kesalahan dari personal dikarena kurangnya psikotropik masih digunakan untuk
jumlah SDM dan jumlah beban kerja yang menyimpan obat selain golongan narkotika
cukup banyak membuat kurang efektifnya dan psikotropik. Penyimpanan OOT untuk
kinerja dari petugas. Jumlah permintaan pada puskesmas yang ada apoteker sudah
umumnya berlebihan mempunyai pengaruh memisahkan OOT dengan golongan obat
terhadap ruang penyimpanan dan lainnya di tempat tersendiri dengan
kemungkinan obat menjadi ED. Hasil memanfaatkan ruang penyimpanan
penelitian ini sejalan dengan penelitian semaksimal mungkin agar obat bisa tertata
Waluyo,dkk13. dengan tingkat kesesuaian dengan baik dan benar sesuai peraturan yang
77,0%. Indikator kesesuaian item dan jumlah telah ditetapkan. Di puskesmas obat golongan
penerimaan mempunyai nilai 100%, ini karena prekursor tidak ditempatkan di ruangan
permintaan obat dari puskesmas akan tersendiri melainkan bersama dengan obat
dipenuhi hanya jumlahnya disesuaikan umum lainnya. Hal ini sesuai dengan
dengan dana yang tersedia. informasi yang disampaikan oleh kepala seksi
kefarmasian dimana ruang penyimpanan
Penyimpanan Obat untuk OOT disesuaiakan dengan kondisi di
Penyimpanan sesuai dengan bentuk lapangan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
sediaan dan penyimpanan sesuai suhu hasil penelitian Husnawati,dkk15. menyatakan
berdasarkan tabel III adalah 100%. puskesmas juga menggunakan almari khusus
Penyimpanan obat di puskesmas Kota Tegal untuk menyimpan obat/bahan obat sediaan
sudah terpisah antara sediaan padat, sediaan narkotika dan psikotropika yang dikunci
semi padat dan sediaan cair. Setiap puskesmas ganda yang terbuat dari kayu.
yang ada di Kota tegal sudah memiliki Berdasarkan tabel III nilai
pengatur suhu ruangan, begitu juga dengan penyimpanan obat tanpa kontaminasi adalah
pendingin ruangan (AC) sehingga suhu obat 98,97%. Kontaminan yang ditemukan di
bisa tetap terjaga dan diharapkan tetap stabil tempat penyimpanan obat berupa makanan
meskipun ruang penyimpanan tidak terlalu dan minuman. Masih adanya kontaminan di
besar dan belum memenuhi standar ruangan tempat penyimpanan obat karena kurangnya
kontrol dari petugas, kurang tegasnya petugas LASA, kurangnya kesadaran dari petugas
untuk melarang meletakkan makanan dan akan pentingnya pemberian label untuk obat-
minuman di tempat penyimpanan obat serta obat tersebut juga menjadi salah satu
kurangnya kesadaran dan kedisplinan penyebab belum terpenuhinya nilai sesuai
petugas. Indikator penataan memperhatikan standar, karena masih ada pemikiran bahwa
FEFO mempunyai nilai 100%. Puskesmas obat-obat yang ada di puskesmas hanyalah
menempatkan obat-obat dengan tahun ED obat biasa dan tidak berbahaya tidak seperti
lebih cepat di depan atau atas walaupun obat obat-obat di Rumah Sakit yang bervariatif.
tersebut lebih akhir datangnya. Setiap obat Untuk obat-obat LASA di puskesmas
yang datang akan ditandai oleh petugas diletakkan tidak saling berdampingan
dengan penanda khusus sesuai tahun ED. melainkan di selingi satu atau dua item obat.
Penanda yang diberikan tiap puskesmas Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
berbeda-beda, ada yang menggunakan penelitian Hermanto,dkk17. pengetahuan dan
penanda warna, menggunakan tulisan bulan pemahaman petugas kesehatan tentang
dan tahun, ada pula yang menggunakan pengelolaan obat High alert belum standar
keduanya. Hal ini dimaksudkan untuk atau belum baik dan juga sejalan dengan hasil
pengingat petugas agar tidak sampai obat ED. penelitian T.Wulandari18. menyatakan
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil pengetahuan Apoteker terkait LASA baik
penelitian Rosang,dkk.16 namun masih perlu ditingkatkan.
Indikator penyimpanan obat high-alert Dari tabel III diperoleh nilai
dan LASA berdasarkan tabel III adalah 68,15% penyimpanan obat yang keluar dari kemasan
dan 87,5%. Faktor SDM menjadi faktor yang primer adalah 2,25%. Masih adanya beberapa
mempengaruhi masih rendahnya persentase obat yang tidak ada kemasan primer
penyimpanan obat high-alert dan LASA di dikhawatirkan kualitas dan kestabilan obat
puskesmas. Berdasarkan wawancara yang akan berkurang apabila penyimpanannya
dilakukan dengan tenaga kefarmasian tidak baik. Berdasarkan observasi dan
diperoleh informasi bahwa masih kurangnya wawancara denga tenaga kefarmasian masih
informasi dan pengetahuan tentang obat-obat ada puskesmas yang sengaja mengeluarkan
high-alert dan LASA diantaranya obat apa saja obat dari kemasan primernya untuk racikan
yang masuk dalam kategori obat high-alert dan dengan tujuan mempercepat pelayanan.
Kurangnya pengetahuan petugas tentang arti Sebagai contoh nilai ITOR untuk obat
pentingnya kemasan obat dalam menjaga amoxicillin paling besar sedangkan untuk
kestabilan dan kualitas obat menjadi faktor aminofilin nilai ITOR nya paling kecil, hal ini
penyebab masih adanya obat yang keluar dari disebabkan angka perputaran dan
kemasan primernya. Nilai indikator ketepatan penggunaan obat amoxicillin di puskesmas
item dan jumlah distribusi ke sub unit paling besar sedangkan untuk obat aminofilin
pelayanan kefarmasian yaitu 100%. Di kota sangat jarang digunakan di puskesmas.
Tegal terdapat 24 pustu dan 8 UGD yang Penyebab rendahnya nilai ITOR karena
obatnya bersumber dari puskesmas Induk. ketidaktepatan dalam proses sebelumnya
Sistem permintaan obat yang dilakukan oleh yaitu proses perencanaan yang sekaligus juga
puskesmas induk di Kota Tegal berbeda-beda, menjadi proses permintaan obat puskesmas.
berdasarkan wawancara yang dilakukan Berdasarkan wawancara yang
dengan tenaga kefarmasian diperoleh dilakukan dengan kepala seksi kefarmasian,
informasi bahwa sistem permintaan obat dari kepala puskesmas maupun tenaga
pustu ke puskesmas induk dilakukan dengan kefarmasian semuanya menginformasikan
berbagai cara antara lain ada yang kalau SDM yang kurang sangat berpengaruh
mengirimkan permintaan sehari sebelumnya terhadap pelayanan di puskesmas, apalagi
kemudian baru diambil hari berikutnya, ada dengan jumlah kunjungan pasien yang cukup
pula yang meminta obat harian sehingga banyak sehingga performa pelayanan tenaga
apabila ada obat yang habis maka petugas kefarmasian menjadi tidak maksimal. Di masa
akan meminta ke puskesmas induk dan pandemic ini hanya pada awal saja terjadi
menulis di buku pengeluaran obat yang telah penurunan kunjungan tetapi setelah beberapa
disiapkan untuk setiap pustu dan akan bulan pandemic sudah terjadi peningkatan
direkap pada akhir bulan sehingga tidak Kembali dan sudah hampir seperti sebelum
terjadi penumpukan obat di pustu . Hal ini pandemic.
dimaksudkan untuk menghindari Hal ini sesuai dengan Berdasarkan
penumpukan obat dan obat ED di pustu. wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian
dan Perbekalan diperoleh informasi proses
Pengendalian Obat pengadaan obat dilakukan tahunan,
Nilai Inventory Turn Over Ratio (ITOR) kekurangan pola perencanaan dan
puskesmas di Kota Tegal berdasarkan tabel IV permintaan tahunan diantaranya
adalah 1,87 kali/tahun. Masih sangat penumpukan obat karena perubahan pola
rendahnya nilai ITOR menandakan peresepan yang dilakukan oleh penulis resep,
banyaknya stok obat yang masih menumpuk perubahan pola penyakit dan obat ED.
di gudang dan belum terdistribusikan. Sementara berdasarkan wawancara dengan
tenaga kefarmasian diperoleh informasi masih Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
kurang baiknya sistem perencanaan yang ada yang dilakukan oleh Aprilliani,dkk21. Tingkat
karena masih minimnya pengetahuan petugas ketersediaan obat <12 bulan terdapat 101 item
tentang perputaran obat, sehingga tujuan obat atau 43,5% dan item stok berlebih yaitu
utama dari perencanaan hanya agar tidak 2,2% yang artinya masih terdapat stok obat
kekurangan obat pada saat pelayanan. Hasil kurang di puskesmas, yang mengartikan
penelitian sejalan penelitian yang dilakukan masih adanya ketidaktepatan pada proses
oleh Daulay EH,dkk19. menyatakan tingginya sebelumnya yaitu proses seleksi dan
persentase obat yang mengalami overstock perencanaan obat. Masih adanya item obat
berkaitan dengan rendahnya nilai ITOR. mati atau obat yang tidak diresepkan selama 3
Realisasinya nilai ITOR di puskesmas adalah bulan atau lebih secara berturut-turut karena
4,08 kali/tahun dengan kategori capaian adanya obat yang kurang digunakan akan
sangat rendah. tetapi obat tersebut harus ada di puskesmas
Nilai ketersediaan obat di puskesmas seperti injeksi anti tetanus, obat psikotropik
sebesar 36,08 bulan. Tingginya nilai dan OOT. Obat-obat tersebut yang banyak
ketersediaan obat menggambarkan bahwa menjadi penyumbang item stok mati di
tingkat ketersediaan obat di puskesmas sangat puskesmas. Hasil penelitian ini sejalan dengan
melebihi kebutuhan obat yang sesungguhnya. hasil penelitian yang dilakukan oleh
Masih kurangnya jumlah SDM yang ada di Mariana,dkk22. dengan hasil 0,6% yang
puskesmas menjadi salah satu penyebab disebabkan adanya obat slow moving.
kurang baiknya sistem pengelolaan obat di Berdasarkan tabel IV diperoleh nilai stok obat
puskesmas karena terlalu banyaknya beban aman puskesmas sebesar 37,94%, masih
kerja yang harus dilakukan oleh petugas rendahnya nilai tersebut karena
sehingga membuat kinerja petugas tidak ketidaktepatan pada tahap perencanaan dan
maksimal. Hasil penelitian ini sejalan dengan tahap permintaan obat. Nilai stok aman obat
penelitian yang dilakukan oleh Carolien,dkk20. di puskesmas masih termasuk rendah karena
menyatakan ketersediaan obat di puskesmas lebih dari 50% persediaan obat yang ada di
sebelum dan sesudah JKN 2014 adalah aman, puskesmas berada diluar stok aman. Hasil
dengan rata-rata tingkat kecukupan obat penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
72,9±6,1% dan 70,9±6,1%, belum mencapai dilakukan oleh Aprilliani,dkk2. menyatakan
standar ketersediaan obat oleh WHO yaitu tingkat ketersediaan obat 12-18 bulan terdapat
90%. 126 item atau 54,3%.
Berdasarkan tabel IV nilai pengendalian Indikator nilai obat ED puskesmas
obat yang terdiri dari item stok kosong 1,54%, sebesar 3,85%, meskipun nilainya tidak terlalu
item stok kurang (1 sampai < 12 Bulan) 14,01%, besar akan tetapi hal ini menunjukkan masih
item stok obat berlebih 41,76% dan item obat adanya obat ED di puskesmas yang berkaitan
tidak diresepkan (> 3 Bulan) atau stok mati dengan masih adanya stok obat berlebih dan
4,59%. Dari nilai-nilai tersebut stok obat mati di puskesmas, karena kedua
menggambarkan masih belum baiknya proses indikator tersebut yang bisa menandakan
pengelolaan obat di puskesmas terutama persentase nilai obat ED di puskesmas. Masih
proses perencanaan dan permintaan. Untuk terdapatnya obat ED akan menyebabkan
puskesmas yang sudah mempunyai Apoteker kerugian baik bagi puskesmas sendiri
mempunyai persentase yang lebih baik maupun bagi daerah sebagai penyandang
daripada puskesmas yang belum mempunyai dana pengadaan obat. Usaha untuk
Apoteker. Masih terdapat perbedaan antara mengantisipasi terjadinya obat ED antara lain
puskesmas yang sudah terdapat Apoteker dan adanya perjanjian retur antara pihak panitia
yang belum membuktikan bahwa Apoteker dan pihak distributor farmasi dimana
lebih memahami proses pengelolaan obat beberapa bulan sebelum obat ED biasanya
yang ada di puskesmas dibandingkan TTK. obat masih bisa diretur selama kondisi obat
masih sama dan tidak mengalami kerusakan menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.
tergantung perjanjian yang dilakukan. Penelitian dengan indikator yang sama juga
Puskesmas tidak mempunyai tempat dilakukan oleh Boku,dkk24. menyatakan
penyimpanan khusus untuk obat-obat yang kesesuaian sebesar 55,92%. Nilai evaluasi
ED, hal ini dikarenakan terbatasnya ruang pengelolaan obat secara periodik di
penyimpanan yang ada di puskesmas. puskesmas 100%. Evaluasi yang dilakukan
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian meliputi evaluasi penggunaan antibiotik
yang dilakukan oleh Nuryeti,dkk23. untuk pasien diare non spesifik dan pasien
menyatakan bahwa mayoritas (65%) ISPA non pneumonia serta penggunaan
puskesmas tidak melakukan penyimpanan injeksi pada pasien myalgia, evaluasi
obat Kedaluwarsa sesuai standar. Nilai obat penggunaan obat psikotropika dan
rusak di puskesmas adalah 0%, obat rusak dilaporkan ke Dinkes setiap bulannya,
sangat jarang sekali terjadi dan bahkan tidak evaluasi ketersediaan obat dikhususkan pada
ada. Obat rusak biasanya bukan karena 20 (dua puluh) item obat yang harus ada di
tempat penyimpanan yang tidak baik puskesmas dan ketersediaannya harus selalu
melainkan sudah rusak dari distributor terjaga serta evaluasi terhadap obat ED atau
sehingga obat yang rusak akan dikembalikan obat rusak.
ke gudang farmasi dan selanjutnya dari pihak Indikator pengelolaan obat yang masih
gudang farmasi akan melakukan retur ke belum efisien diantaranya kesesuaian item
distributor. Penelitian dengan indikator yang dengan pola penyakit, ketepatan perencanaan,
sama juga dilakukan oleh Carolien,dkk20. kesesuaian item dan jumlah permintaan,
menyatakan Adanya obat rusak pada sebelum penyimpanan narkotika sesuai peraturan,
JKN 0,3±0,05% dan 0,7±1,26% sesudah JKN, penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
dengan nilai total Rp. 2.326.988,- disebabkan penyimpanan barang lainnya yang
karena ruang penyimpanan di beberapa menyebabkan kontaminasi, penyimpanan
puskesmas belum memenuhi standar obat yang dikeluarkan dari kemasan
penyimpanan obat yaitu kurangnya sirkulasi primernya, penyimpanan obat High-Alert,
udara (Puskesmas Arso Barat) serta karena penilaian ketepatan penyimpanan obat LASA,
bencana banjir di tahun sebelumnya penyimpanan obat keluar dari kemasan
(Puskesmas Arso Kota dan Puskesmas Waris). primernya, Inventory Turn Over Ratio (ITOR),
Nilai indikator kesesuaian jumlah fisik tingkat ketersediaan obat (satu bulan), item
obat yaitu 100%. Sistem yang diterapkan stok kosong, item stok kurang (1 sampai <12
puskesmas untuk bisa menjaga kesesuaian bulan), stok aman (12- <18 bulan), item stok
jumlah fisik obat dengan yang ada di stok berlebihan (>18 bulan), obat tidak diresepkan
komputer ada bermacam-macam cara akan (>3 bulan) dan nilai obat Expiration Date (ED).
tetapi pada dasarnya puskesmas Dari seluruh indikator yang belum efisien
menggunakan sistem koreksi berlapis. faktor SDM merupakan faktor penentu yang
Terdapat sistem koreksi menggunakan sangat mempengaruhi mutu pelayanan
SIMPUS dan manual yang meliputi kefarmasian khususnya pengelolaan obat di
penggunaan kartu stok, buku keluar masuk Puskesmas Kota Tegal. SDM yang jumlahnya
obat antar unit di puskesmas dan juga buku masih kurang dan pengetahuan dari SDM itu
pengeluaran obat yang digunakan oleh sendiri yang masih kurang tentang sistem
karyawan di lingkungan puskesmas. pengelolaan obat yang baik sehingga
Pengawasan obat yang dilakukan secara Puskemas perlu melakukan penambahan
berlapis dimaksudkan untuk mempermudah jumlah tenaga kefarmasian dan juga
apabila terjadi perbedaan jumlah obat antara meningkatkan kapabilitas dari tenaga
stok di komputer dengan stok fisik, sehingga kefarmasian yang sudah ada sehingga bisa
bisa lebih memudahkan mengontrol dimana tercipta sistem pengelolaan obat yang lebih
letak kekeliruan atau kesalahan yang baik.
10. Rizki AM, Erna P, Syarif HA. Evaluasi pengelolaan obat-obat lasa (Look Alike
Kesesuaian Peresepan Obat Di Puskesmas Sound Alike) di apotek kabupaten kulon
Gadang Hanyar Dengan Formularium progo. Univ Ahmad Dahlan. 2019:3.
Tahun 2018. 2019. 19. Daulay EH, Oviani GA, Erlianti K, et al.
11. Roza S, Pratiwi E. Gambaran Perencanaan Analisis Kinerja Apoteker dan Faktor Yang
dan Pengadaan Obat di Puskesmas Rawat Mempengaruhi Pada Era Jaminan
Jalan Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2018. Kesehatan Nasional di Puskesmas
J Penelit Farm Indones. 2019;8(2):85-90. Performance Analysis of Pharmacist and
12. Ulfah M, Wiedyaningsih C, Endarti D. Influencing Factors in The Era Of National
Evaluation of Drug Management in Health Insurance at Puskesmas.
Planning and Procurement Phase at 2018;8(1):32-38.
Muntilan Regional Hospital, Magelang 20. Caroline I, Fudholi A, Endarti D.
District, 2015 - 2016. Jmpf. 2018;8(1):24- Evaluasi Ketersediaan Obat Sebelum Dan
31. Sesudah Implementasi JKN Pada
https://journal.ugm.ac.id/jmpf/article/vi Puskesmas Di Kabupaten Keerom Provinsi
ew/31883/pdf. Papua. Fak Farm Univ Gadjah Mada,
13. Waluyo YW, Athiyah U, Rohmah TN. Yogyakarta. 2017;7:30-39.
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi 21. Aprilliani RPC, Pratiwi Y. Prosiding
Pengelolaan Obat Publik Di Instalasi HEFA ( Health Events for All ). Evaluasi
Farmasi Kabupaten (Studi Di Wilayah Pengelolaan Obat Pada Thp Perenc Obat Di
Papua Selatan). J Ilmu Kefarmasian Puskesmas Karanganyar I Kab Demak Pada
Indones. 2015;Vol. 13 No:94-101. Tahun 2017. 2018;PROSIDING:251-257.
14. Wardhana ZP. Profil Penyimpanan Obat 22. Rumagit HM, Sunarni T,
Di Puskemas Pada Dua Kecamatan yang Purwidyaningrum I. Analisis
Berada di Kota Kediri. J Univ Surabaya. Pengelolaan Obat Dan Strategi Perbaikan
2013;2(2):1-9. Dengan Metode Hanlon Di Instalasi
15. Husnawati H, Lukman A, Ardyansyah Farmasi Rsu Budi Setia Kabupaten
I. Implementasi Sistem Penyimpanan Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Thesis
Obat di Puskesmas Rawat Inap Univ Setia Budi. 2020.
Sidomulyo Kotamadya Pekanbaru. Sci J 23. Nuryeti Y, Ilyas Y. Pengelolaan Obat
Farm dan Kesehat. 2016;6(1):7. Kedaluwarsa dalam Upaya Pengendalian
16. Rosang MCD, Kolibu FK, Rumayar AA, Pencemaran Lingkungan di Puskesmas
et al. Analisis Proses Penyimpanan Obat Wilayah Kerja Kota Serang. Hig J Kesehat
Di Puskesmas Airmadidi Kabupaten Lingkung. 2018;4(3):138-142.
Minahasa Utara. Kesmas. 2019;8(6):429- http://journal.uin-
438. alauddin.ac.id/index.php/higiene/articl
17. Bambang Hermanto, Risdiana I, e/view/6265.
Sabtanti Harimurti. Pengelolaan Obat 24. Boku Y, Satibi S, Yasin NM. Evaluasi
High Alert Medication Pada Tahap Perencanaan dan Distribusi Obat Program
Distribusi Dan Penyimpanan Di Rs Pku di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Muhammadiyah Yogyakarta Unit Tenggara. J Manaj Dan Pelayanan Farm
II.2015. (Journal Manag Pharm Pract.
18. Wulandari T. Pengetahuan Apoteker dan 2019;9(2):88-100.